Anda di halaman 1dari 23

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN

RINITIS ALERGI BERULANG


DI RSUD DATU SANGGUL RANTAU

NAMA : EKA NORSAPUTERA, S.Kep., Ns

NIP : 19811114 201001 1 015

JABATAN : PERAWAT AHLI MUDA

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

RSUD DATU SANGGUL RANTAU

2021
LEMBAR PENGESAHAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN


RINITIS ALERGI BERULANG
DI RSUD DATU SANGGUL RANTAU

NAMA : EKA NORSAPUTERA, S.Kep., Ns

NIP : 19811114 201001 1 015

JABATAN : PERAWAT AHLI MUDA

Banjarmasin, 5 Maret 2021

Mengesahkan,

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, semangat serta kesabaran
hati, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian rinitis alergi berulang di RSUD Datu Sanggul Rantau.
Selesainya penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Kami menyadari adanya
ketidaksempurnaan dari kajian ilmiah ini, karenanya penyusun mengharapkan
dengan senang hati menerima kritik maupun saran yang bersifat membangun yang
diharapkan dapat menyempurnakan kajian ilmiah ini. Namun demikian, semoga
hasil yang telah tertuang ke dalam kajian ilmiah ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu kesehatan pada umumnya dan ilmu keperawatan pada
khususnya. Wassalamualaikum Wr. Wb.

Banjarbaru, Maret 2021

Eka Norsaputera

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN................................................................... i

KATA PENGANTAR............................................................................... ii

DAFTAR ISI............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Bekang.................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan............................................................. 2
C. Manfaat Penulisan........................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................... 3

A. Rinitis Alergi................................................................... 3
B. Asuhan Keperawatan Rinitis Alergi................................ 13

BAB III PEMBAHASAN..................................................................... 15

BAB IV PENUTUP.............................................................................. 17

A. Kesimpulan........................................................................... 17
B. Saran..................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh adanya
reaksi alergi pada pasien yang mempunyai riwayat atopi yang sebelumnya
sudah tersensitasi dengan alergen yang sama. Alergen yang dapat
menimbulkan alergen reaksi alergi adalah alergen inhalan yang masuk
bersama udara pernafasan antara lain: tungau, debu rumah (D.
pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang
(kucing dan anjing), rerumputan (Bermuda grass) dan jamur (Aspergillus,
Alternaria) (Mangunkusumo et al., 2016).
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh World Health Organization
(WHO), pada tahun 2011 diperkirakan sekitar 400 juta orang di dunia
menderita rinitis alergi. Studi-studi epidemiologi menunjukkan bahwa
prevalensi dari rinitis alergi telah meningkat secara progresif di
negaranegara yang lebih maju, dan saat ini mempengaruhi hingga 40%
populasi di dunia; dengan 23%-30% dari populasi yang terpengaruhi di
Eropa, dan 12%- 30% dari populasi yang terpengaruhi di Amerika Serikat.
Tetapi, informasi yang tersedia di negara-negara berkembang masih sedikit
dibandingkan dengan negara-negara yang lebih maju. Prevalensi rinitis
alergi di Indonesia memiliki rentang antara 1,5-12,3%, Jakarta 26,71%, dan
cenderung meningkat setiap tahunnya.
Rhinitis didefinisikan sebagai radang mukosa nasal yang disebabkan
oleh proses inflamasi. Rhinitis memiliki setidaknya satu dari gejala berikut:
hidung tersumbat, rinore, bersin, dan gatal pada hidung. Gejala lain yang
dilaporkan meliputi sakit kepala, sakit wajah, sakit telinga, gatal pada
tenggorokan dan langit-langit mulut, mendengkur, dan terganggunya tidur.
Rhinitis alergi dapat ditegakkan bila munculnya gejala-gejala tersebut
dipicu oleh riwayat paparan alergen. Rhinitis alergi perenial (muncul

1
sepanjang tahun) paling sering dikaitkan dengan tungau debu, spora jamur,
dan bulu binatang, sedangkan rhinitis alergi musiman (muncul beberapa kali
dalam setahun) dikaitkan dengan paparan alergen berupa serbuk sari yang
bervariasi bentuknya, tergantung wilayah geografis (Tran dkk, 2011).
Rhinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang dapat
memicu penyakit yang lebih parah lagi, salah satunya adalah asma.
Sebagian besar pasien dari seluruh negara, kelompok etnis, dan usia
menderita rhinitis alergi, dan tentunya kondisi ini dapat mempengaruhi
kehidupan sosial, pola tidur, performa di sekolah maupun pekerjaan mereka
(Brozek dkk, 2017). Rinitis alergi, walaupun tidak mematikan, dapat
menurunkan kualitas hidup dan mengganggu pekerjaan termasuk
kemampuan belajar pada remaja dan anak-anak (Zhang & Zhang, 2014).
Rinitis alergi menurunkan kualitas hidup karena dapat menyebabkan
kelelahan, sakit kepala, gangguan tidur, dan gangguan kognitif (Sinsha, et
al, 2015).
Berdasarkan fenomena yang ditemui di ruang THT RSUD Datu
Sanggul Rantau diperoleh bahwa pasien yang menderita rinitis alergi sering
kembali ke rumah sakit untuk memeriksakan kembali rinitia alergi yang
dialami dengan keluhan yang sama, maka dari itu penulis tertarik untuk
meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian rinitis berulang
di RSUD Datu Sanggul Rantau.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang rinitis alergi.
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan rinitis alergi.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kejadian rinitis
alergi berulang.

C. Manfaat
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi tentang rinitis
alergi dan penatalaksanaan yang tepat pada pasien dengan rinitis alergi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Rinitis Alergi
1. Pengertian Rinitis Alergi
Rinitis secara umum didefinisikan sebagai dua atau lebih gejala
dari: sumbatan hidung, hidung berair (rhinorrhea), bersin atau gangguan
penghiduan selama lebih dari 1 jam dalam sehari. Ada beberapa jenis
dari Rinitis, umumnya dibagi menjadi 3 kategori utama rinitis infektius,
rinitis alergi, dan rinitis non-alergi (Martinez, 2009). Rinitis alergi
adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Soepardi, 2007).
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis And Its Impact On
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-
bersin, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai oleh Ig E. Sedangkan menurut Okubo (2011) dari
Jepang rinitis alergi adalah penyakit alergi tipe I dari mukosa
nasal,dengan gejala bersin paroksismal berulang, ingus berair, dan
sumbatan hidung. Rinitis alergi sering dikenal sebagai alergi hidung,
hipersensitivitas hidung, dan pollinosis.Pollinosis adalah rhinitis alergi
musiman yang merupakan salah satu dari klasifikasi rinitis alergi.
Pollinosis biasanya memiliki komplikasi konjungtivitis alergi.

2. Klasifikasi Rinitis Alergi


Klasifikasi rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan
sifat berlangsungnya,yaitu (Soepardi, 2007):
a. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di
Indonesia tidak dikenal alergi musiman, hanya ada di negara 4

3
musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari (pollen)
dan spora jamur.
b. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini
timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, dan
dapat terjadi sepanjang tahun. Penyebab paling sering ialah alergen
inhalan dan alergen ingestan. Penyebab tersering pada orang
dewasa adalah alergen inhalan.
Pada saat ini yang sering digunakan adalah klasifikasi ARIA
berdasarkan waktu terjadinya rinitis alergi dapat dibedakan menjadi dua
yaitu, rinitis alergi berselang (intermittent allergic rhinitis) dan rinitis
alergi menetap (persistent allergic rhinitis).Rinitis alergi berselang
terjadi 4 hari per minggu dan >4 minggu. ARIA juga
mengklasifikasikan rinitis alergi berdasarkan tingkat keparahan yaitu
sebagai berikut: rinitis alergi ringan (mild allergic rhinitis) dan rinitis
alergi sedang-berat (moderate-severe allergic rhinitis). Pada rinitis
alergi ringan, penderita dapat tidur dengan nyenyak, tidak terdapat
gangguan aktivitas seharihari maupun pekerjaan ataupun sekolah, serta
tidak memiliki gejala yang mengganggu.Sedangkan pada rinitis alergi
sedang-berat penderita harus memiliki salah satu atau lebih gejala
sebagai berikut: tidur yang terganggu, gangguan aktivitas sehari-hari,
gangguan pekerjaan ataupun sekolah, serta memiliki gejala yang
mengganggu (ARIA, 2008).

3. Etiologi Rinitis Alergi


Penyebab rinitis alergi berbeda-beda bergantung apakah gejala
yang muncul merupakan episode musiman, perenial, maupun sporadik.
Beberapa pasien sensitif terhadap lebih dari satu alergen dan bisa
mempunyai rinitis alergi perenial dengan eksaserbasi musiman.
Perkembangan penyakit rinitis alergi memerlukan interaksi antara
lingkungan dengan predisposisi genetik. Faktor genetik dan herediter

4
sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. (Sheikh, 2014; Ilavarase,
2010).
Berdasarkan cara masuknya, alergen dibagi atas:
a. Alergen inhalan, yaitu alergen yang masuk bersama dengan udara
pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu
binatang, serta jamur.
b. Alergen ingestan, yaitu alergen yang masuk ke saluran cerna,
berupa makanan misalnya susu, telur, coklat, ikan, dan udang.
c. Alergen injektan, yaitu alergen yang masuk melalui suntikan atau
tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah.
d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau
jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada
dewasa dan ingestan pada anak-anak, dimana pada anak-anak sering
dijumpai gejala alergi lain serperti urtikaria dan gangguan pencernaan
(Ilavarase, 2010). Sedangkan berdasarkan jenis alergennya, penyebab
rinitis alergi dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yakni penyebab
spesifik dan non spesifik.
a. Penyebab Spesifik
Sebagian besar anggota kelompok ini merupakan alergen
hirupan (inhalan), dimana alergen inhalan merupakan alergen yang
sering ditemukan, biasanya terbagi ke dalam 2 jenis berdasarkan
kemampuan hidup dalam lingkungannya, yaitu perenial dan
seasonal.
1) Alergen perenial
Merupakan alergen yang ada sepanjang tahun dan sulit
dihindari. Contohnya
a) Debu rumah adalah alergen gabungan yang terdiri dari
tungau, kecoa, partikel kapas, serpih kulit manusia, dan
lain-lain. Merupakan alergen udara dengan ukuran >10µm
yang sering pada ruang tertutup.

5
b) Tungau debu rumah merupakan komponen alergi tersering
yang hidup dari serpihan kulit manusia. Terdapat dua
spesies utama yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus. Mereka lebih suka
hidup pada suhu 21,1-26,6˚C sehingga tidak ditemukan
pada ketinggian lebih dari 5000 kaki.
c) Serpihan kulit binatang mengandung antigen Fel D1 yang
diproduksi pada kelenjar sebasea kulit kucing. Serpihan
kulit anjing mempunyai antigen yang bervariasi dan
umumnya kurang kuat untuk menyebabkan alergi.
Serpihan kulit binatang lainnya juga ditemukan
menyebabkan alergi seperti unggas, kuda, atau sapi yang
biasanya terjadi di kawasan pertanian dan peternakan.
d) Jamur merupakan alergen yang ditemukan baik di dalam
maupun di luar ruangan. Berkembang dengan baik pada
daerah yang lembab diatas barang yang busuk, ruang
bawah tanah, tumpukan koran lama, debu kayu, dan
tempat lainnya. Penyebab tersering diantaranya genus
Alternaria, Aspergillus, Pullularia, Hormodendrum,
Penicillium, dan Cephalosphorium.
e) Kecoa yakni alergen ini sulit dihilangkan dan terdapat
pada rumah yang kotor. Pada anak-anak, alergi terhadap
kecoa berhubungan dengan asma. Alergen berasal dari
sekresi serangga, yang terdapat pada badan dan sayap
kecoa.
2) Alergen musiman (Seasonal)
Biasanya disebabkan oleh serbuk sari tanaman yang
muncul secara musiman. Postulat Thommen menyatakan
alergen serbuk sari yang efektif harus dapat diterbangkan
angin, ringan, diameter lebih < 38µm dan terbawa sampai jarak

6
jauh, terdistribusi luas, dan bersifat alergenik. Tipe-tipe dari
alergen musiman adalah:
a) Pohon, biasanya pada musim dingin dan musim semi,
bulan Februari-Mei.
b) Rumput, biasanya pada musim semi, panas, dan gugur,
bulan April-Desember.
c) Rumput liar, biasanya pada musim panas dan gugur, bulan
Juli-Desember.
b. Penyebab Nonspesifik
Penyebab nonspesifik rinitis alergi diantaranya iklim,
hormonal, psikis, infeksi, dan iritasi. Perubahan iklim akan
menyebabkan perubahan lingkungan. Udara lembab, perubahan
suhu, dan angin secara tidak langsung berpengaruh terhadap
penyebaran debu rumah dan serbuk sari bunga, disamping memberi
suasana yang baik untuk tumbuhnya berbagai macam jamur
(Lumbanraja, 2007).

4. Faktor Risiko Rinitis Alergi


Penelitian sebelumnya dengan menggunakan instrumen
kuesionerthe European Community Respiratory Health Study II
(ECRHS II) menyatakan bahwa insiden rinitis alergi berkurang seiring
bertambahnya jumlah saudara, bertambahnya paparan terhadap hewan
peliharaan sebelum umur 5 tahun dan bermukim di lingkungan
perkebunan. Sedangkan merokok pada saat hamil dan pada masa anak-
anak menambah resiko rinitis alergi pada subjek atopi sehingga rinitis
alergi akan menetap sepanjang hidupnya (Matheson dkk, 2011).
Ghazal, dkk. (2007) dalam penelitiannya di Negara Pakistan
menyatakan bahwa faktor resiko yang berhubungan dengan rinitis alergi
adalah sebagai berikut: jenis kelamin perempuan (51,1%) lebih beresiko
daripada pria (44,8%) ; sering olahraga (51,4%) lebih beresiko daripada

7
yang tidak berolahraga secara rutin (41,8%) ; perokok pasif (55,4%)
lebih beresiko daripada perokok aktif (17,6%).

5. Patofisiologi Rinitis Alergi


Rinitis alergi ditandai oleh berbagai jenis infiltrat sel radang.
Respon selulernya termasuk kemotaksis, rekrutmen selektif dan migrasi
transendotelial sel, lokalisasi sel pada kompartmen berbeda di mukosa
hidung, aktivasi dan diferensiasi berbagai jenis sel dan juga
perpanjangan umur sel, pelepasan mediator oleh sel yang teraktivasi,
regulasi sintesis IgE lokal dan sistemik serta komunikasi dengan sistem
imun dan sumsum tulang. Proses ini hanya terjadi pada subjek yang
telah tersensitisasi alergen sebelumnya, dimana antibodi IgE yang
spesifik terhadap alergen tertentu telah terbentuk dan berikanan dengan
membran mast cell ataupun sel lain (Bachert, et al, 2014).
Kecenderungan untuk menjadi alergi oleh reaksi yang dimediasi
IgE ini bergantung pada komponen genetik. Pada individu yang
susceptibel, paparan terhadap protein asing tertentu akan menyebabkan
sensitisasi alergi, yang ditandai dengan pembentukan IgE spesifik
terhadap protein tersebut. IgE spesifik tersebut menempel pada
permukaan sel mast, yang terdapat pada mukosa hidung. Setelah
deposisi dan elusi alergen ke dalam lapisan mukus, alergen ditangkap
oleh antigen presenting cells dan diproses untuk dipresentasikan pada
limfosit T helper. T helper yang diaktifkan akan melepaskan sitokin
seperti IL-4 dan IL-13 dan berinterksi dengan limfosit B untuk
mensintesis IgE spesifik terhadap alergen tersebut. IgE berikatan
dengan reseptor berafinitas tinggi pada permukaan sel mast,
menyebabkan pelepasan berbagai mediator immediate dan delayed
(Seikh, 2014).
Mediator yang dilepaskan segera termasuk histamin, triptase,
chymase, kinins, dan heparin. Sel mast secara cepat mensintesis
mediator lain, seperti leukotrin dan prostaglandin D2. Mediator-

8
mediator ini, melalui berbagai interaksi, akhirnya akan menyebabkan
gejala rinore (hidung berair, bersin, gatas, kemerahan, bengkak, tekanan
dalam telinga, postnasal drip). Kelenjar mukosa terstimulasi oleh
histamin, menyebabkan sekresi mukus (rinorea). Permeabilitas vaskuler
juga meningkat, meyebabkan eksudasi plasma. Histamin, leukotrin, dan
prostaglandin bekerja pada pembuluh darah dan menyebabkan
vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti. Histamin menstilmulasi ujung
saraf sensoris saraf kranialis V (trigeminal), menyebabkan bersin dan
gatal. Semua proses ini terjadi dalam hitungan menit, jadi reaksi ini
disebut reaksi immediate (Seikh, 2014; Bachert, et al, 2014).
Setelah 4-8 jam, mediator-mediator ini melewati berbagai proses
yang akan menyebabkan perekrutan sel inflamasi lain ke mukosa,
seperti netrofil, eosinofil, limfosit, dan makrofag. Hal ini menyebabkan
inflamasi yang kontinyu, atau late phase reaction yang ditandai
perpanjangan gejala-gejala seperti bersin, rinorea, dan kongesti hidung
yang bisa bertahan selama 18-24 jam. Efek sistemik termasuk lelah,
mengantuk, dan malaise dapat disebabkan oleh respon inflamasi.
Gejala-gejala inilah yang menyebabkan terganggunya kualitas hidup
penderita (Seikh, 2014; Bachert, et al, 2014).

6. Manifestasi Klinis Rinitis Alergi


Rinitis alergi ditandai dengan trias gejala yaitu bersin-bersin,
beringus, dan hidung tersumbat. Gejala tambahan berupa gatal atau rasa
pedih pada hidung, gatal pada mata, urtikaria, rasa sumbatan pada
telinga, gatal pada palatum, gatal pada tenggorok, serta asma dapat
menyertai apabila reaksi alergi terjadi juga pada organ-organ lain
(Lumbanraja, 2007). Bersin berulang merupakan gejala khas rinitis
alergi. Bersin merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap
patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai
akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore)

9
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadangkadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau
laring.
Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang–garis hitam
melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok
hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan
edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung
bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata
termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam
dibawah mata (allergic shiner). Gejala lain yang tidak khas dapat
berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, penekanan pada sinus
dan nyeri wajah, dan post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami
lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur
(Ilavarase, 2010).

7. Diagnosis Rinitis Alergi


Rinitis alergi perlu dibedakan dari jenis rinitis yang lain.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat pada umumnya sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis awal dan memulai terapi (Soepardi,
2007).
a. Anamnesis
Gejala utama meliputi: hidung tersumbat, keluar seperti
sekret hidung yang encer, bersin-bersin, rasa gatal di hidung,
langit-langit, sekitar mata dan telinga. Beberapa penderita
mengeluhkan mata merah dan lakrimasi. Gejala nasal dan okuler
menjadi petunjuk untuk membedakan rinitis alergi dan rinitis
kronis lainnya. Gejala tambahan (sekunder) yang didapatkan pada
penderita tertentu meliputi penjalaran inflamasi pada tuba eustachii,
telinga tengah, dan sinus paranasalis; mengakibatkan rasa penuh di
telinga, gangguan pendengaran, serta nyeri kepala. Postnasal drip

10
dapat menyebabkan nyeri tenggorokan dan batuk kronis (Soepardi,
2007).
Menurut kriteria evaluasi anamnesis ARIA, diagnosis rinitis
alergi dapat ditegakkan apabila terdapat gejala utama sebagai
hidung berair dengan ingus encer. Gejala utama tersebut dapat
bersamaan dengan satu atau lebih gejala sebagai berikut: bersin,
sumbatan hidung, gatal pada hidung, atau konjungtivitis (mata
merah dan gatal). Apabila seseorang memenuhi kriteria diatas
diperlukan pemeriksaan diagnostik lebih lanjut untuk mendapatkan
diagnosa pasti Rinitis Alergi (ARIA, 2008).
b. Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi terdapat garis gelap periorbital (allergic
shinners) akibat poolingdarah vena kronis. Anak-anak sering kali
menggosok-gosok hidungnya dengan telunjuk karena gatal
(allergic salute). Konjungtiva tampak kemerahan dengan encer
atau gelatinous. Rhinoscopy anterior menunjukkan concha nasalis
inferior dan medius pucat dan membengkak disertai eksudat encer
(Soepardi, 2007).
c. Pemeriksaan penunjang
Bila diagnosis masih diragukan maka pemeriksaan
laboratorium diharapkan dapat membantu.
1) Tes tusuk kulit : Pemeriksaan ini lebih sensitif dan
memungkinkan pemeriksaan dengan alergen lebih bervariasi.
2) IgE spesifik (RAST) : Hanya dianjurkan pada penderita
dengan dermatitis yang luas atau dermatografisme.
3) Pemeriksaan darah tepi : Pada hitung jenis lekosit dan hitung
jenis eosinofil terjadi peningkatan eosinofil darah tepi.
Pemeriksaan ini tidak dapat digunakan untuk menyaring
karena rinitis alergi dapat terjadi tanpa peningkatan eosinofil,
sebaliknya didapatkan pada rinitis nin alergi (NARES)
(Soepardi, 2007).

11
8. Penatalaksanaan Rinitis Alergi
Pada guideline ARIA dicantumkan beberapa tujuan
penatalaksanaan dari rinitis alergi adalah sebagai berikut:
a. Tidur yang tidak terganggu
b. Kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, termasuk
pekerjaan dan kehadiran sekolah, tanpa keterbatasan atau
gangguan, dan kemampuan untuk sepenuhnya berpartisipasi dalam
olahraga dan aktivitas kesenangan
c. Tidak ada gejala yang menganggu
d. Tidak atau efek samping minimal dari pengobatan rinitis alergi
Penatalaksanaan rinitis alergi terdiri atas 3 kategori utama dari
pengobatan, yaitu:
a. Pengandalian lingkungan dan penghindaran allergen
Pengendalian lingkungan dan penghindaran alergen
meliputi penghindaran terhadap alergen yang diketahui (substansi
spesifik yang dapat merangsang hipersensitivitas yang dimediasi
IgE pada pasien) serta penghindaran terhadap alergen non spesifik,
misalnya iritan ataupun perangsang (Sheikh, 2014).
b. Penatalaksanaan secara farmakologi
Penderita dengan gejala Rinitis Alergi berselang
(intermitten) dapat diobati secara adekuat dengan antihistamin oral,
dekongestan, atau keduanya bersamaan. Penggunaan rutin dari
steroid sediaan semprot tidak dianjurkan untuk penderita dengan
gejala Rinitis Alergi kronis. Penggunaan sehari-hari dari
antihistamin, dekongestan, atau keduanya dapat dipertimbangkan
daripada atau sebagai tambahan dari steroid nasal. Antihistamin
generasi kedua (yaitu golongan nonsedatif) biasanya lebih
dianjurkan untuk menghindari efek sedatif dan efek samping
lainnya. Antihistamin tetes mata (untuk gejala pada mata),

12
intihistamin intranasal sediaan semprot, intranasal cromolyn (mast
cell stabilizer), dan kortikosteroid oral jangka pendek (terbatas
hanya untuk episode berat dan akut) mungkin juga dapat digunakan
sebagai obat simtomatik (Sheikh, 2014).
c. Imunoterapi
Imunoterapi mengandung resiko karena reaksi alergi
sistemik berat dapat terjadi. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan
resiko dan keuntungan dari imunoterapi dibandingkan resiko dan
keuntungan dari pengobatan lainnya. Terdapat beberapa jenis
imunoterapi, misalnya Sublingual Immunotherapy (SLIT) dan
Subcutaneous Immunotherapy (SCIT) Indikasi imunoterapi lebih
dianjurkan pada penyakit berat, respon yang kurang terhadap
pilihan pengobatan lainnya, dan adanya faktor pemberat ataupun
komplikasi. Imunoterapi biasanya dikombinasikan dengan
pengobatan farmakoterapi dan pengendalian lingkungan. Terdapat
juga kontraindikasi dari imunoterapi. Imunoterapi hanya boleh
dilakukan oleh individu yang telah terlatih, yang dapat
melaksanakan tindakan pencegahan yang tepat, dan seseorang yang
berpelengkapan untuk menanggulangi kejadian yang tidak
diinginkan (Sheikh, 2014).

9. Komplikasi Rinitis Alergi


Komplikasi yang dapat terjadi pada penederita rinitis alergi bila
tidak dilakukan penatalaksanaan secara benar, misalnya: progresi
menjadi eksaserbasi asthma, gangguan pertumbuhan fasial, hyposmia,
protrusi gigi seri, malocclusion, nasal polyps, efusi telinga tengah
(gangguan pendengaran), sinusitis, dan gangguan tidur (Sheikh, 2014).

B. Asuhan Keperawatan Rinitis Alergi


Asuhan keperawatan pada pasien rinitis alergi pada tahap pengkajian
yakni keluhan utama pasien bersin-bersin, hidung mengeluarkan sekret,
hidung tersumbat, dan hidung gatal. Riwayat peyakit dahulu pernahkan

13
pasien menderita penyakit THT sebelumnya. Riwayat keluarga yakni
apakah keluarga adanya yang menderita penyakit yang di alami pasien.
Pemeriksaan fisik pada saat inspeksi permukaan hidung terdapat sekret
mukoid. Palpasi ditemukan nyeri, karena adanya inflamasi. Pemeriksaan
penunjang : pemeriksaan nasoendoskopi, pemeriksaan sitologi hidung,
hitung eosinofil pada darah tepi, dan uji kulit allergen penyebab.
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien rinitis alergi
yakni :
1. Ketidakefektifan jalan nafas b/d obstruksi /adanya secret yang
mengental.
2. Pertukaran gas, kerusakan b/d gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan
napas oleh sekresi).
3. Ketidak nyamanan pasien b/d hidung yang meler.
4. Rasa nyeri di kepala b/d kurangnya suplai oksigen.
5. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan fisik.

14
BAB III
PEMBAHASAN

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian rinitis alergi yakni allergen,


dimana allergen tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada
anak-anak, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang,
jamur, susu, telur, coklat, ikan, dan udang. Pasien dengan rinitis alergi disarankan
untuk menghindari alergen atau iritan, seperti debu, asap, bau, tepung, sprei, atau
asap tembakau. Sprei nasal salin mungkin dapat membantu dalam menyembuhkan
membrane mukosa, melunakan sekresi yang kering, dan menghilangkan iritan.
Untuk mencapai kesembuhan maksimal, pasien diinstruksikan untuk
menghembuskan hidung sebelum memberikan obat apapun ke dalam rongga
hidung.
Faktor risiko rinitis alergi yakni jenis kelamin (perempuan), dimana seorang
perempuan dengan riwayat atopi positif maka akan diturunkan pada anak laki-laki
dimana seluruh anak laki-lakinya akan menderita atopi positif tetapi bagi anak
perempuannya hanya sebagai carrier. Berbeda halnya apabila riwayat alergi hanya
berasal dari pihak ayah maka anak laki-laki hanya memiliki kemungkinan alergi
50% yang diturunkan, dan seluruh anak perempuannya tidak akan menderita atopi
atau sebagai carrier (Sheikh & Najib, 2011).
Jumlah penderita rinitis alergi perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
Hal ini dimungkinkan karena yang datang berobat lebih banyak perempuan dan
pada umumnya perempuan lebih peduli dengan kesehatan (Lumbanraja, 2007).
Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-beda tergantung
perbedaan genetik, faktor geografi, lingkungan serta jumlah populasi. Dalam
hubungannya dengan jenis kelamin, jika rinitis alergi terjadi pada masa
kanakkanak maka laki-laki lebih tinggi daripada wanita namun pada masa dewasa
prevalensinya nyaris seimbang antara lakilaki dan wanita (Sheikh & Najib, 2011).
Penderita dengan riwayat manifestasi alergi lain lebih cenderung menderita
rinitis alergika. Rasio prevalensi timbulnya rinitis alergi 2,87 kali lebih besar pada

15
pasien yang memiliki riwayat atopi dibandingkan pasien yang tidak memiliki
riwayat atopi (Nurjannah, 2011). Atopi adalah kecenderungan untuk menjadi peka
dan menghasilkan IgE antibodi sebagai respon terhadap paparan oleh alergen.
Manifestasi klinis yang paling sering muncul pada individu atopi adalah rinitis
alergika, asma bronkial, dermatitis atopik dan kadang-kadang alergi makanan.
Insidensinya meningkat di dekade terakhir ini (Sheikh & Najib, 2011). Rinitis
alergi berat dan sensitif terhadap multi alergen lebih sering ditemukan pada
individu dengan riwayat atopi dibandingkan dengan non-atopi. Rinitis alergika
telah terbukti berkaitan dengan insiden asma dan ekzema atopic (Sheikh & Najib,
2011).
Penderita dengan penderita dengan riwayat keluarga alergi cenderung
menderita rinitis alergi. Rasio prevalensi timbulnya rinitis alergi 5,55 kali lebih
besar pada pasien yang memiliki riwayat keluarga dengan rinitis alergi dan atau
keluhan alergi lainnya dibandingkan pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga
(Nurjannah, 2011). Riwayat keluarga berperan dalam penurunan atopi pada anak.
Rinitis alergi biasanya didapat pada keluarga atopi dengan riwayat adanya
manifestasi alergi lain seperti asma dan urtikaria/dermatitis atopi/eczema.
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien rinitis alergi yakni
ketidakefektifan jalan nafas yang berhubungan dengan obstruksi /adanya secret
yang mengental, pertukaran gas, kerusakan berhubungan dengan gangguan suplai
oksigen (obstruksi jalan napas oleh sekresi), dan ketidaknyamanan pasien
berhubungan dengan hidung yang meler. Diagonosa tersebut sering muncul
dikarenakan adanya tanda dan gejala yang sering dialami pasien seperti gatal atau
rasa pedih pada hidung, gatal pada tenggorok, hidung berair sejak 1 bulan yang
lalu, yang berlangsung terus menerus, warna putih bening dan encer, pasien
merasakan hidung tersumbat, dan kadang-kadang timbul sesak nafas yang disertai
batuk, dan hilang setelah minum obat asma (Salbutamol). Keluhan sesak nafas
dengan suara nafas yang menciut disertai batuk ini timbul bila kontak dengan
debu, udara dingin, udara yang pengap, makan coklat atau setelah minum es.
Maka dari itu, faktor yang paling sering mempengaruhi kejadian rinitis berulang
pada pasien yaitu alergen berupa debu dan perubahan iklim.

16
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi pada mukosa
hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien yang sebelumnya
sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
mediator-mediator kimia pada saat terpapar kembali dengan alergen
tersebut. Untuk mengurangi gejala bersin dan rinore pada rhinitis alergi
dapat menghidari faktor pencetus alergi seperti debu dan angin, memakai
masker dan menjaga kebersihan lingkungan, menerapkan pola makan teratur
dan sehat, istirahat cukup dan berolahraga.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian rinitis alergi berulang


yaitu alergen seperti debu, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang,
makanan tertentu, perubahan iklim, jenis kelamin, riwayat alergi atopi, dan
riwayat alergi keluarga. Diagnosa yang sering muncul pada pasien rinitis
alergi ialah ketidakefektifan jalan nafas, pertukaran gas, kerusakan, dan
ketidaknyamanan pasien

B. Saran
Diharapkan perawat memiliki tanggung jawab dan ketrampilan yang
lebih dan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan lain dalam memberikan
asuhan keperawatan pada pasien dengan ranitis alergi dan melakukan
perawatan sesuai dengan faktor risiko yang dialami pasien standart
operasional prosedur.

17
DAFTAR PUSTAKA

Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma, 2008. ARIA Guidelines.


http://www.whiar.org/docs/ARIA_PG_08_View_WM.pdf.

Bachert, C., Pawankar, R., Zhang, L., Bunnag, C., Fokkens, J.W.,
Jirapongsananuruk, O., Kern, R., Meltzer, E. O., Mullol, J., Naclerio, R.,
Pilan, R., Rhee, C., Suzaki, H., Voegels, R., Blaiss, M. 2014, ICON :
Chronic Rhinosinusitis, WAO Journal, 7-25.

Brozek, J. L., Bousquet, J., Agache, I., Agarwal, A., Bachert, C., Bosnic-
Anticevich, S., & de Sousa, J. C. 2017. Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma (ARIA) guidelines—2016 revision. Journal of Allergy and
Clinical Immunology, 140(4), 950-958.

Ghazal, S., Musmar, M., dan Minawi, W.A. 2007. Prevalence of Allergic Rhinitis
and it’s Risk Factors Among An-Najah University Students - Nablus,
Pakistan. Middle East Journal of Family Medicine, 5(5): 55-58.

Ilavarase, N. 2010. Prevalensi Gejala Rinitis Alergi di Kalangan Mahasiswa


Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2007-2009 :
Cross Sectional Study. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

Lumbanraja, P. L. 2007. Distribusi Alergen pada Penderita Rinitis Alergi di


Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. FK
USU/RSUP H. Adam Malik. Departemen THT-KL. Medan : USU e-
Repositor.

Mangunkusumo E, Soetjipto D. 2016. Dalam Soepardi EA, Iskandar N, Basruddin


J, Restuti R. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala
dan leher edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 106-11;127-30.

Martinez, L., 2009. Non-Allergic Rhinitis. Skripsi. Dept. of Otolaryngology,


University of Texas Medical Branch. Texas.

Matheson, M.C., Dharmage, S.C., Abramson, M.J., Walters, E.H., Sunyer, J.,
Marco, R., Leytnaert, B., Heinrich, J., Jarvis, D., Norback, D., Raherison,
C., Wjst, M., dan Svanes, C. 2011. Early-life risk factors and incidence of
rhinitis: Results fromthe European Community Respiratory Health Study-
aninternational population-based cohort study. The Journal of Allergy and
Clinical Immunology, 128 (4) : 816-823.

18
Okubo, K., Kurono, Y., Fujieda, S., Ogino, S., Uchio, E., Odajima, H., Takenaka,
H., dan Baba, K., 2011. Japanese Guideline for Allergic Rhinitis.
Allergology International, 60:171-189.

Sheikh, J., 2014. Allergic Rhinitis, Medscape.


http://emedicine.medscape.com/article/134825-overview.

Sheikh, J & Najib, U. 2011. Allergic Rhinitis.


http://emedicine.medscape.com/article/134825-print.

Sinsha B, Vibha, Singla R, Chowdhury. 2015. Allergic Rhinitis: A neglected


disease — A community based assessment among adults in Delhi. J
Postgrad Med, 61(3): 169-175.

Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi keenam.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Tran, N. P., Vickery, J., & Blaiss, M. S. 2011. Management of rhinitis: allergic
and nonallergic. Allergy, asthma & immunology research, 3(3), 148-156.

World Health Organization. 2011, The World Medicine Situation 2011 3ed.
Geneva : Rational Use of Medicine.

Zhang, Y & Zhang, L. 2014. Prevalence of Allergic Rhinitis in China. Allergy


Asthma Immunol Res, 6(2):105–13.

19

Anda mungkin juga menyukai