Anda di halaman 1dari 105

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


FAKULTAS KEDOKTERAN
Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta, Tel/Fax (0271) 664178

S
N
BUKU PANDUAN TUTOR
BLOCK 602
U
PENYAKIT SISTEM INDERA KHUSUS
FK

(Special Sense Diseases)

TAHUN AJARAN 2023

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
FAKULTAS KEDOKTERAN
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Buku ini telah disahkan sebagai buku panduan untuk kegiatan pembelajaran di Program Studi
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Pada tanggal : 20 Februari 2023

Yang mengesahkan,
Dekan

S
N
Prof. Dr. Reviono, dr., Sp.P(K)
U
FK

1
TIM PENYUSUN
Ketua : Dr. Senyum Indrakila, dr., SpM
Sekretaris : Atik Maftuhah, dr., MHPE
Anggota :
1. Shabrina Hanifah, dr., Sp.M
2. dr. Novi Primadewi, Sp.THT-KL, M.Kes.
3. dr. Dewi Pratiwi, Sp.THT-KL, M.Kes.

KONTRIBUTOR
S
N
1. Raharjo Kuntoyo, dr., SpM
U
2. Retno Widiati, dr., SpM
3. Heru Prasetiyono, dr., SP.M
4. Sri Wardhani, dr., Sp.M
FK

5. Dyah Ayu Eliza, dr., SP.M


6. Siti Munawaroh, dr., M.MedEd
7. Nur Hafidha Hikmayani, dr., M.Clin.Epid, PhD
8. Hadi Sudrajad, dr., Sp.THT-KL, M.Si.Med.
9. Putu, dr., Sp.THT-KL (K)
10. Hendradewi, dr ., Sp.THT-KL, Msi.Med
11. Made S, dr., Sp.THT-KL(K)
12. Niken Dyah A. K., dr., Sp. THT-KL, M.Kes
13. Aziza Viquisa B.P, dr., Sp.THT-KL
14. M. Dody Hermawan , dr., Sp.THT-KL
15. Ahmad Nurdiansyah, dr. Sp.THT-KL
16. Marisa Risqiana D, dr., Sp.THT-KL
17. Yunia Hastami, dr., M.MedEd
18. Rachmi Fauziah Rahayu, dr., Sp.Rad
19. Dr.Setyo Sri Rahardjo, dr., M.Kes
20. Marwoto, dr., M. Sc., Sp. MK.

2
ABSTRAK

Buku Panduan Blok 6.2 Special Sense Diseases merupakan buku ajar semester
enam blok kedua Program Studi Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang berisi Rencana
Pembelajaran Semester (RPS) dan juga memuat skenario untuk kegiatan tutorial dalam
bentuk diskusi tutorial. Pembelajaran di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
menggunakan pendekatan Problem-Based Learning (PBL). Dengan metode ini mahasiswa
dituntut aktif dalam mempelajari ilmu kedokteran dan mendiskusikan permasalahan dalam
diskusi tutorial seven jump, sedangkan dosen berperan sebagai fasilitator atau tutor yang
mengawasi jalannya diskusi agar selalu sesuai dengan LO (Learning Objektif) tutorial. Dalam
proses tutorial, diperlukan trigger berupa skenario atau kasus penyakit yang diharapkan dapat
menstimulasi mahasiswa untuk mempelajari lebih lanjut hal-hal yang belum diketahuinya.
Blok Special Sense Diseases mempelajari tentang ilmu penyakit mata dan ilmu
penyakit telinga, hidung, dan tenggorokan, serta kepala dan leher. Tutorial blok Special Sense

S
Diseases terdiri dari empat (4) skenario terkait dengan masalah-masalah pada organ mata,
N
telinga, hidung, dan tenggorokan (larynx & pharynx), serta faktor biopsikososial yang
berkaitan. Topik perkuliahan penunjang blok juga disertakan beserta kegiatan praktikum yang
terkait dengan materi kuliah. Blok 6.2 mempunyai bobot 5 Satuan Kredit Semester (SKS).
U
Tujuan pembelajaran dalam skenario disesuaikan dengan kurikulum kedokteran terbaru
dengan mengacu pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012, sehingga diharapkan
mahasiswa dapat menguasai patofisiologi, proses penegakan diagnosis dan penatalaksanaan
FK

penyakit mata, telinga, hidung, dan tenggorokan, serta kepala dan leher sesuai Standar
Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012. Modul tutor ini disusun sebagai panduan bagi
tutor untuk memandu jalannya tutorial mahasiswa.

Keyword : Problem-Based Learning; Mata; Telinga; Hidung; Tenggorok

3
KATA PENGANTAR

Sistem Pendidikan Dokter di Indonesia dari masa ke masa selalu berubah. Hal ini
terjadi karena tuntutan dari masyarakat pengguna jasa kedokteran dan kesehatan. Sistem
pendidikan kedokteran di FK UNS sebelumnya (konvensional) memposisikan dosen sebagai
pemberi informasi secara aktif, bersifat satu arah berupa kuliah/tatap muka sedangkan
mahasiswa bersifat pasif sebagai penerima informasi. Saat ini sistem pembelajaran yang
diterapkan dikenal sebagai metode Belajar Berdasar Masalah (BBM) atau Problem Based
Learning (PBL), mahasiswa dituntut lebih aktif mendiskusikan permasalahan kedokteran.
Sedangkan dosen berperan sebagai fasilitator atau tutor yang mengawasi jalannya diskusi
agar selalu sesuai dengan LO ( Learn Objectif) tutorial, sedangkan kuliah/tatap muka sebagai
suplementasi tambahan.
Buku ini merupakan pedoman bagi tutor yang bertugas memfasilitasi tutorial pada
Blok 6.2 Special Sense Diseases di semester VI Program Studi Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dengan tersusunnya buku ini diharapkan
tutor dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih baik sehingga tujuan pembelajaran

S
(Learning Objective) yang telah ditetapkan dalam rangka pencapaian kompetensi sesuai
N
dengan yang tertuang pada SKDI 2012 dapat tercapai.
Dalam kesempatan ini penyusun menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku ini yang tak
U
dapat kami sebutkan satu persatu.
Semoga buku ini bermanfaat bagi para tutor. Bila ada hal-hal yang kurang berkenan
kami mohon maaf dan setiap masukan demi kesempurnaan isi buku ini akan kami terima
FK

dengan senang hati.

Surakarta, Februari 2023

Tim Penyusun
.

4
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan 1
Tim Penyusun 2
Abstrak 3
Kata Pengantar 4
Daftar Isi 5
Pendahuluan 6
Rencana Pembelajaran Semester Blok 6.2 7
Blueprint Soal Blok 6.2 12
Pemetaan Pembelajaran Blok 6.2 14
Peta Konsep Blok 6.2 16
Tujuan Pembelajaran Perkuliahan Blok 6.2 18

S
Tujuan Pembelajaran Diskusi Kelompok Blok 6.2 27
N
Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012 31
Langkah Diskusi Tutorial 36
U
Skenario 1 37
Skenario 2 59
FK

Skenario 3 70
Skenario 4 86
Daftar Referensi 103

5
PENDAHULUAN

Blok Special Sense Diseases merupakan blok 6.2 dalam susunan kurikulum
pendidikan dokter di FK-UNS yang dilaksanakan dengan menggunakan Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) dengan metode pembelajaran Problem Based Learning
(PBL). Blok ini mempelajari tentang ilmu penyakit mata dan ilmu penyakit telinga,
hidung, dan tenggorokan, serta kepala dan leher. Mahasiswa akan mempelajari mata,
telinga, hidung, tenggorokan, kepala, leher, dan bagian-bagiannya, dalam kondisi
normal dan terganggu.
Kegiatan belajar untuk mahasiswa terdiri dari diskusi tutorial, diskusi mandiri,
kuliah penunjang, dan keterampilan medik ( skillslab). Tujuan pembelajaran akan
dijelaskan secara terstruktur, rinci dan jelas sehingga diharapkan dapat menjadi dasar
bagi mahasiswa untuk mempelajari lebih lanjut mengenai Blok Special Sense Diseases

S
beserta sebaran ilmu yang mendasarinya. Evaluasi dilakukan dengan penilaian saat
N
tutorial, resume belajar mandiri, ujian blok dengan Computer-Based test, dan
penugasan.
U
FK

6
RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS)
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Identitas Mata Kuliah Identitas dan Validasi Nama Tanda Tangan


Kode Mata Kuliah : BLOCK602 Dosen Pengembang RPS : Atik Maftuhah, dr., MHPE

Nama Mata Kuliah : Blok Penyakit Sitem Indera Koord. Kelompok Mata Kuliah : Dr. Senyum Indrakila, dr., SpM
Khusus

S
Semester : VI (enam) : Dr. Eti Poncorini Pamungkasari,

N
dr., M.Pd.
Bobot Mata Kuliah (sks) : 5 SKS
a. Bobot tatap muka :0

U
b. Bobot praktikum :0 Kepala Program Studi
c. Bobot praktik lapangan :0
d. Bobot Simulasi :0
Mata Kuliah Prasyarat -
Tanggal Dibuat : 2023-02-18 FK Perbaikan Ke- :
Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) / Learning Outcome (LO) yang dibebabnkan pada Mata Kuliah
Kode CPL/LO Unsur CPL/LO
Tanggal Edit :

2 : Melakukan manajemen pasien mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan secara komprehensif.
3 : Mampu mengimplementasikan landasan ilmiah ilmu kedokteran dan kesehatan untuk menyelesaikan masalah kesehatan individu,
keluarga, dan masyarakat.
5 : Menggunakan prinsip kedokteran berbasis bukti dalam praktik kedokteran
Capaian Pembelajaran Mata kuliah :
(CPMK) 1. Menganalisis dan mengimplementasikan landasan ilmiah kedokteran mengenai penyakit yang sering terjadi pada organ telinga
hidung tenggorok (larynx, pharynx) & kepala leher dimulai dari etiologi sampai prognosis.
2. Menganalisis dan mengimplementasikan landasan ilmiah kedokteran mengenai penyakit yang sering terjadi pada organ mata
dimulai dari etiologi sampai prognosis.
3. Memilih, menganalisis, dan menginterpretasikan pemeriksaan laboratorium yang diperlukan dalam mendiagnosis penyakit
sistem special sense (mikrobiologi, parasitologi, dll)

7
4. Menjelaskan berbagai kondisi patologis dan neoplasma pada sistem special sense.
5. Memilih, menganalisis, dan menginterpretasikan pemeriksaan radiologis yang menunjang diagnosis penyakit sistem special
sense
6. Memilih, menganalisis, dan mengimplementasikan landasan ilmiah penatalaksanaan farmakologis pada penyakit sistem special
sense

Bahan Kajian Keilmuan : Anatomi, Histologi, Fisiologi, Farmakologi, Radiologi; Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok dan Kepala-Leher; Ilmu Penyakit
Mata; Ilmu Kesehatan Masyarakat, Ilmu Kedokteran Pencegahan, Epidemiologi

Deskripsi Mata Kuliah : Setelah mahasiswa melalui Block 602 Special Sense Diseases, diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan tentang dasar-dasar
patologis, serta mekanisme penyakit pada sistem special sense, yang kemudian diimplementasikan dalam penjelasan gejala klinis,
pemeriksaan penunjang untuk diagnostik, prognosis, serta penatalaksanaan secara komprehensif. Mahasiswa dapat memperlihatkan
hubungan kausalitas tanda dan gejala penyakit dengan patofisiologi penyakit hingga manajemen penyakit sesuai kompetensi sarjana

S
kedokteran. Block 602 Special Sense Diseases, mendasari manajemen klinis pada Life Cycle dan Community and National Health
System

N
Basis Penilaian a. Aktvitas Partisipatif (Case Method) = 100%
b. Hasil Proyek (Team Based Project) = 0%
c. Tugas = 0%

U
d. Quis = 0%
e. UTS = 0%
f. UAS = 0%
Daftar Referensi : 1. Fawcet, Don W., 2002, Buku Ajar Histologi (Text Books of Histology). EGC. Jakarta.
FK
2. Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. 2010. Gray’s Anatomy for Students. Singapore: Elsevier
3. Jack J., 2011. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach by Kanski, 7th edition. Rockwood and Green's Fractures in Adults
by Bucholz, Robert W
4. Perdami, 2010. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi 2. Jakarta: CV. Sagung Seto
5. Suhardjo, Hartono, 2007. Ilmu Kesehatan Mata. Bagian ilmu penyakit mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah mada.
6. Vaughan, Asbury, 2011. General Ophtalmology. Edisi 18. USA: Mc Graw Hill medical
7. FKUI, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Kepala Leher, Universitas Indonesia, 2020

8
Metode Pembelajaran Penilaian*
Kemampuan Referensi
Indikator,
akhir/Sub- (kode Pengalaman Teknik
Tahap Materi Pokok Waktu Basis kriteria Bobot
CPMK dan Luring Daring Belajar penilaian
Penilaian (tingkat penilaian
(Kode CPL) halaman)
Taksonomi)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1-15 Menganalisis 1 Kuliah Pengantar No 1,2,7 Diskusi 17*100 Kuliah Case • Observ C4 40%
dan 2 Anatomi klinis THT Kelompok, Menit interaktif Method asi A4
mengimpleme 3 Otologi I Studi Kasus, Presentasi • Unjuk
ntasikan 4 Otologi II Pembelajaran dan Diskusi Kerja

S
landasan 5 Neurootologi Kooperatif, Diskusi • Tes
ilmiah 6 Bronkoesofagologi Pembelajaran Tutorial Tertulis

N
kedokteran 7 Rhinologi I Berbasis
mengenai 8 Rhinologi II Masalah
penyakit yang 9 Larynx-pharynx
sering terjadi 10 THT Komunitas I

U
pada organ 11 THT Komunitas II
telinga hidung 12 Alergi di bidang THT
tenggorok 13 Kuliah Panel 2
(larynx, 14 Tutorial Skenario 3
pharynx) &
kepala leher
dimulai dari
15 Tutorial Skenario 4
FK
etiologi
sampai
prognosis.

16-32 Menganalisis 1 Anatomi klinis Mata No 1-6 Diskusi 17*100 Kuliah C4 40%
dan 2 Mata merah Kelompok, Menit interaktif A4
mengimpleme 3 Refraksi Anomali Studi Kasus, Presentasi
ntasikan 4 Vitroretina Pembelajaran dan Diskusi
landasan 5 Katarak I Kooperatif, Diskusi
ilmiah 6 Katarak II Pembelajaran Tutorial
kedokteran 7 Pediatric opthalmology Berbasis
mengenai 8 Trauma pada mata Masalah

9
penyakit yang 9 Farmakoterapi obat-
sering terjadi obatan di bidang mata
pada organ 10 Neuroophtalmology
mata dimulai 11 Glaukoma 1
dari etiologi 12 Glaukoma 2
sampai 13 Kuliah Panel 1
prognosis. 14 Tutorial Skenario 1
15 Tutorial Skenario 2

33-34 Menjelaskan Mikrobiologi klinis yang No 1-7 Diskusi 1*100 Kuliah C4 5%


pemeriksaan mendasari penyakit pada Kelompok, Menit interaktif A4
laboratorium organ mata dan THT Studi Kasus, Presentasi
yang Pembelajaran dan Diskusi

S
diperlukan Kooperatif, Diskusi
dalam Pembelajaran Tutorial
mendiagnosis Berbasis

N
penyakit Masalah
sistem special
sense

U
(mikrobiologi,
parasitologi,
dll)

35-36 Menjelaskan
berbagai
kondisi
patologis dan
1 Neoplasma THT
2 Tumor mata
FK
No 1-7 Studi Kasus,
Pembelajaran
Kooperatif,
2*100
Menit
Kuliah
interaktif
C4
A4
5%

neoplasma
pada sistem
special sense.
37-38 Menjelaskan Radiologi THT- KL No 1-7 Diskusi 1*100 Kuliah C4 5%
pemeriksaan Kelompok, Menit interaktif A4
radiologis Studi Kasus, Presentasi
yang Pembelajaran dan Diskusi
menunjang Kooperatif, Diskusi
diagnosis Pembelajaran Tutorial
penyakit Berbasis
sistem special Masalah
sense

10
39-40 Menjelaskan 1 Farmakologi klinis yang No 3-7 Diskusi 2*100 Kuliah C4 5%
penatalaksana mendasari penyakit pada Kelompok, Menit interaktif A4
an organ Telinga, Hidung& Studi Kasus, Presentasi
farmakologis sinus paranasal, Larynx- Pembelajaran dan Diskusi
pada penyakit Pharynx Kooperatif, Diskusi
sistem special 2 Farmakologi klinis yang Pembelajaran Tutorial
sense mendasari penyakit pada Berbasis
organ mata Masalah

*Rubrik Kriteria Penilaian terlampir

S
N
U
FK

11
BLUEPRINT SOAL BLOK 6.2 SPECIAL SENSE DISEASE
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

No Topik Jumlah Tinjauan Bagian


Soal Ilmu Mekanisme Penapisan Manajemen
Dasar Penyakit Diagnosis
1 Anatomi Klinis THT 3 V V V Anatomi
2 Otologi I 3 THT
3 Otologi II 3 V V V THT
4 Neurootologi 4 V V V THT
5 Bronkoesofagologi 4 V V V THT

S
6 Rhinologi I 3 V V V THT
7 Rhinologi I 3 THT

N
8 Larynx-pharynx 4 V V V THT
9 Neoplasma THT 3 V V V THT
10 THT Komunitas I 3 V V V THT

U
11 Alergi di bidang THT 4 V V V THT
12 Radiologi THT- KL 4 V V Radiologi
13 Farmakoterapi obat-obatan di bidang THT 4 v v Farmakologi
14
15
16
THT Komunitas II
Mikrobiologi di bidang mata dan
THT
Anatomi Klinis Mata
FK 3
4
3
V V V THT
Mikrobiologi
Anatomi
17 Mata merah 4 V V V Mata
18 Refraksi Anomali 4 V V V Mata
19 Vitroretina 4 Mata
20 Farmakoterapi obat-obatan di bidang mata 4 Farmakologi
21 Katarak 1 3 Mata
22 Katarak 2 3 Mata
23 Tumor mata 3 Mata
24 Pediatric opthalmology 4 V V V Mata
25 Trauma pada mata 4 V V V Mata
27 Neuroophtalmology 4 V V V Mata
12
28 Glaukoma 1 4 Mata
29 Glaukoma 2 4 Mata

S
N
U
FK

13
PEMETAAN PEMBELAJARAN PER MINGGU

Minggu ke- Tema Kegiatan Pembelajaran Referensi


Tutorial Kuliah Praktikum
I Mata Mata 1. Kuliah Pengantar 1. Fawcet, Don W., 2002,
2. Anatomi Klinis Mata Buku Ajar Histologi (Text
3. Refraksi Anomali Books of Histology). EGC.
4. Mata Merah Jakarta.
5. Vitroretina 2. Drake RL, Vogl W,
6. Farmakoterapi Mata Mitchell AWM. 2010.
7. Trauma pada Mata Gray’s Anatomy for
8. Katarak I Students. Singapore:

S
9. Neuroopthalmology Elsevier
10. Pediatric opthalmology 3. Jack J., 2011. Clinical
Ophthalmology: A

N
Systematic Approach by
Kanski, 7th edition.
Rockwood and Green's

U
Fractures in Adults by
Bucholz, Robert W
4. Perdami, 2010. Ilmu
Penyakit Mata untuk
FK Dokter Umum dan
Mahasiswa Kedokteran.
Edisi 2. Jakarta: CV.
Sagung Seto
5. Suhardjo, Hartono, 2007.
Ilmu Kesehatan Mata.
Bagian ilmu penyakit mata
Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah mada.

14
II Mata Mata 11. Glaukoma 1
Otologi-Rhinologi-Larynx 12. Anatomi Klinis THT
pharynx 13. Mikrobiologi mata dan THT
14. Katarak II
15. Glaukoma 2
16. Anatomi Klinis THT

III Mata THT 17. Kuliah Panel I 1. Vaughan, Asbury, 2011.


Otologi-Rhinologi-Larynx 18. Otologi I General Ophtalmology.

S
pharynx 19. Rhinologi I Edisi 18. USA: Mc Graw
20. Neurootologi Hill medical

N
21. Farmakoterapi obat-obatan 2. BOEIS
THT 3. THT FK UI
22. Otologi II 4. Byron J Bailey : Head

U
23. Rhinologi II &Neck Surgery-
24. Larynx-pharynx Otolaryngology,
25. Bronkoesofagologi Lippincot William &
Wilkins, A Wolter
FK Kluwer, CO. Philadelphia
IV Otologi-Rhinologi-Larynx THT 26. Neoplasma THT 2001
pharynx 27. THT Komuitas I
28. Alergi di Bidang THT
29. Radiologi THT- KL
30. THT Komunitas II
31. Kuliah Panel 2

15
PETA KONSEP BLOK SPECIAL SENSE DISEASES

THT
-Edukasi
Tata Laksana -Medika mentosa
Struktur & -Non Medika mentosa
HIDUNG (operatif/tindakan)
Fungsi Pemeriksaan penunjang

Struktur Penyakit
Anatomi

S
Histologi: Fungsi
- Sistem Laboratorium Faal Radiologi Tes Alergi
Fisiologi: Penghidu
penghidu Pemeriksaan
Penghidu

N
- Jalan nafas
1. Infeksi Klinis Fisik
2. Kongenital Darah Tes Fungsi x-Ray :
3. Trauma Penghidu -Ro SPN 3 Posisi Skin prick
Sekret test
4. Benda asing -Ro Os Nasal
Anamnesis hidung

U
5. Tumor General
6. Alergi Rhinoskopi
anterior
Rhinoskopi posterior

Struktur -Edukasi -Edukasi

Struktur
&
Fungsi
TELINGA

Klinis
FK
Tata Laksana

Anamnes
is
-Medika mentosa
-Non Medika mentosa
(operatif/tindakan)
Struktur
&
Fungsi
LARING-
FARING
Tata
Laksana
-Medika mentosa
-Non Medika mentosa
(operatif/tindakan)

Anatomi- Pemeriksaan
Klinis
Histologi: Fisik Pemeriksaan
Fungsi Penyakit
1. Konduksi Fisiologi: Penunjang
a. Telinga Keseimbangan, Pemeriksaan General Anamnes
Pendengaran 1. Infeksi Otoscopy is
luar 2. kongenital Penunjang Tes garputala
b. Telinga 3. Trauma Struktur Fungsi Faal
Penyakit Laboratorium Radiologi
tengah 4. Benda Anatomi-
Fisiologi: Pengecapa
asing Histologi: n
2. Sensori 5. Tumor -Faring -Jalan Nafas
a. Telinga Tes Fungsi
-Laring -Jalan Pengecapan -Darah Ro kepala
dalam Faal Laboratoriu Radiologi Makan 1. Infeksi -Swab lateral fokus
Pendengaran m 2. Kongenital Tenggorok adenoid
3. Trauma Pemeriksaan
1. Darah Ro Mastoid 4. Benda fisik
Audiometri asing
2. Sekret telinga (schuller)
1. Pemeriksaan Orofaring
3. Jamur (KOH) 5. Tumor
16 6. Alergi
2. Laringoskopi indirect
3. Pemeriksaan KGB leher
ORGAN MATA

Anatomi : Histologi : Fisiologi: Fisika optik Farmakologi: Mikrobiologi:


Cavum orbita, konjungtiva, visus, Macam lensa farmakodinamik dan kuman-kuman
sistem lakrimal, kornea, media refrakta, Sifat bayangan mekanisme kerja penyebab
otot ekstraokuler, sklera, akomodasi, Cara menghitung obat-obat sympatis kelainan pada
Vaskularisasi khoroid, lapangan pandang, kekuatan/ daya dan parasympatis mata dan cara
inervasi mata retina, lintasan visual/ refraksi lensa misalnya miotikum pemeriksaanny
iris, penglihatan aplikasi penggunaan dan midriatikum a
lensa, lensa dalam kasus
vitreus klinis

S
Kelainan Struktur dan Fungsi

N
Patofisiologi, gejala dan tanda klinis, pemeriksaan
penunjang, diagnosis, dan tata laksana

U
Mata merah: Trauma : Akomodasi dan Apparatus Neuro Kelainan Vitreoretina:
refraksi: lakrimalis: ophthalmology: bentuk dan
konjungtivitis, benda asing di struktur: ablasio retina,
pterigium, konjuntiva, hipermetropia
FK kering, diplopia binokuler, perdarahan
perdarahan laserasi kelopak ringan, miopia dakrioadenitis, buta senja, , trikiasis , retina, oklusi
subkonjungtiva, mata, erosi, ringan, dakriosistitis, skotoma, ptosis, retraksi pembuluh darah
blefaritis, benda asing di astigmatisma dakriostenosis, hemianopia kelopak mata, retina,
skleritis dan kornea, luka ringan, laserasi duktus bitemporal and hordeolum, degenerasi
episkleritis, bakar kornea presbiopia, lakrimal homonymous dan chalazion, makula karena
keratitis, ambliopia, gangguan lapang lagoftalmos, usia, retinopati
keratokonjungti anisometropia pandang, optic disc mikroftalmos, (DM, hipertensi,
vitis sicca, pada dewasa cupping, edema epikantus, prematur),
edema kornea, papil, atropi optik, xantelasma, korioretinitis,
keratokonus, Tumor: tumor iris, retinoblastoma Strabismus neuropati optik dan perdarahan
xeropthalmia, neuritis optic, vitreous
endoftalmitis, ambliopia
hifema dan
hipopion, Katarak: Pediatric ophtalmology:
afakia kongenital, Glaukoma:
iridosiklitis, katarak,
iritis dislokasi lensa anisometropia pada anak
glaukoma akut dan glaukoma lainnya

17
TUJUAN PEMBELAJARAN PERKULIAHAN BLOK SPECIAL SENSE DISEASES

No. LO Blok LO Kuliah Topik Kuliah Minggu Pengampu Waktu


(menit)
1. Menerangkan masalah 1. Mahasiswa mampu Kuliah Pengantar I
menyebutkan LO blok special
kesehatan mata serta THT-KL
sense disease.
individu dan masyarakat. 2. Mahasiswa mampu menjelaskan
kegiatan pembalajaran di dalam Atik Maftuhah, dr., MHPE 1x 100
blok special sense disease
3. Mahasiswa mampu
mengidentifikasi daftar penyakit

S
Level 3 dan 4 sesuai SKDI 2012
2. Menjelaskan faktor pencetus, 1. Mahasiswa mampu Mata Merah I

N
menjelaskan etiologi mata
patogenesis, gejala klinis,
merah
diagnosis, penatalaksanaan dan 2. Mahasiswa mampu
menjelaskan klasifikasi mata

U
pencegahan penyakit/ kelainan
merah
pada: 3. Mahasiswa mampu
menjelaskan diagnosis mata
a. Mata merah: konjungtivitis,
merah
pterigium, perdarahan
subkonjungtiva, blefaritis,
FK
4. Mahasiswa mampu
menjelaskan differensial
diagnosis mata merah
Shabrina Hanifah, dr., Sp.M 1x 100
skleritis dan episkleritis, 5. Mahasiswa mampu
menjelaskan tata laksana mata
keratitis, keratokonjungtivitis
merah
sicca, edema kornea, 6. Mahasiswa mampu
menjelaskan edukasi pasien
keratokonus, xeropthalmia,
dengan mata merah
endoftalmitis, hifema dan 7. Mahasiswa mampu
menjelaskan macam-macam
hipopion, iridosiklitis, iritis,
kelianan struktur dan bentuk
b. Kelainan bentuk dan mata
8. Mahasiswa mampu
struktur: enteropion, trikiasis
menjelaskan tata laksana

18
, ptosis, retraksi kelopak kelianan struktur dan bentuk
mata
mata, hordeolum, chalazion,
lagoftalmos, mikroftalmos,
epikantus, xantelasma
3. Menjelaskan faktor pencetus, Mahasiswa mampu menjelaskan Vitroretina I
faktor pencetus, patogenesis, gejala
patogenesis, gejala klinis,
klinis, diagnosis, penatalaksanaan
diagnosis, penatalaksanaan dan dan pencegahan penyakit/ kelainan
pada: perdarahan vitreous, Ablasio
pencegahan penyakit/ kelainan:
retina, perdarahan retina, oklusi
a. Vitreoretina: ablasio retina, pembuluh darah retina, degenerasi

S
macula karena usia, retinopati
perdarahan retina, oklusi
(diabetic, hipertensi, premature),
Dyah Ayu Eliza, dr., SP.M 1x 100
pembuluh darah retina, korioretinitis

N
degenerasi makula karena
usia, retinopati (DM,

U
hipertensi, prematur),
korioretinitis, perdarahan
vitreous
4. Mahasiswa mampu menjelaskan
farmakodinamik dan mekanisme
1.
FK
Mahasiswa mampu
menjelaskan farmakodinamik
obat-obatan untuk penyakit
Farmakoterapi Mata I

kerja obat-obatan untuk penyakit organ mata Nur Hafidha Hikmayani, dr.,
1x 100
2. Mahasiswa mampu menuliskan M.Clin.Epid, PhD
organ mata
resep untuk kasus penyakit
organ mata

5. Menjelaskan faktor pencetus, 1. Mahasiswa mampu Tumor Mata II


menjelaskan macam-macam
patogenesis, gejala klinis,
tumor okuler, adneksa dan
Dr. Senyum Indrakila, dr.,
diagnosis, penatalaksanaan dan rongga mata. 1x 100
SpM
2. Mahasiswa mampu
pencegahan penyakit/ kelainan
menjelaskan diagnosis tumor
mata

19
pada: 3. Mahasiswa mampu
menjelaskan kelainan pada
a. Tumor: tumor iris,
apparatus lakrimalis.
retinoblastoma
b. Apparatus lakrimalis: mata
kering, dakrioadenitis,
dakriosistitis, dakriostenosis,
laserasi duktus lakrimal.
6. Menjelaskan faktor pencetus, 1. Mahasiswa mampu Refraksi Anomali I
menjelaskan pembagian
patogenesis, gejala klinis,
kelainan refraksi

S
diagnosis, penatalaksanaan dan 2. Mahasiswa mampu
menjelaskan patogenesis
pencegahan penyakit/ kelainan:

N
kelainan refraksi
a. Akomodasi dan refraksi: 3. Mahasiswa mampu
menjelaskan gejala kelainan
hipermetropia ringan,
refraksi

U
Retno Widiati, dr., SpM 1x 100
miopia ringan, astigmatisma 4. Mahasiswa mampu
menjelaskan cara pemeriksaan
ringan, presbiopia,
pasien dengan kelainan refraksi
ambliopia, anisometropia 5. Mahasiswa mampu
pada dewasa,
6.
refraksi
FK
menjelaskan diagnosis kelainan

Mahasiswa mampu
menjelaskan tata laksana
kelainan refraksi
7. Menjelaskan faktor pencetus, 1. Mahasiswa mampu Pediatric opthalmology I
menjelaskan cara pemeriksaan
patogenesis, gejala klinis,
kelainan mata pada bayi dan
diagnosis, penatalaksanaan dan anak-anak
2. Mahasiswa mampu Yuri Dwi Mayasari, dr.,
pencegahan penyakit/ kelainan 1x 100
menjelaskan diagnosis kelainan Sp.M
Pediatric ophtalmology: afakia mata pada bayi dan anak-anak.
3. Mahasiswa mampu
kongenital, anisometropia pada
menjelaskan tata laksana
anak kelainan mata pada bayi dan

20
anak-anak
8. Menjelaskan faktor pencetus, 1. Mahasiswa mampu Katarak I
menjelaskan etiologi katarak II
patogenesis, gejala klinis,
2. Menjelaskan klasifikasi katarak
diagnosis, penatalaksanaan dan 3. Mahasiswa mampu
menjelaskan patogenesis
pencegahan penyakit/ kelainan:
terjadinya katarak Heru Prasetiyono, dr., SP.M 2x 100
a. Katarak: katarak, dislokasi 4. Mahasiswa mampu
menjelaskan diagnosis katarak
lensa
5. Mahasiswa mampu
menjelaskan tata laksana
katarak
9. Menjelaskan faktor pencetus, 1. Mahasiswa mampu Trauma pada Mata I

S
menjelaskan macam-macam
patogenesis, gejala klinis,
trauma pada mata
diagnosis, penatalaksanaan dan 2. Mahasiswa mampu

N
menjelaskan diagnosis trauma
pencegahan penyakit/ kelainan
pada mata
pada: 3. Mahasiswa mampu

U
menjelaskan penanganan
a. Trauma : benda asing di
trauma pada mata.
konjuntiva, laserasi kelopak 4. Mahasiswa mampu Dr. Senyum Indrakila, dr.,
1x 100
menjelaskan kelainan pada SpM
mata, erosi, benda asing di
kornea, luka bakar kornea
b. Apparatus lakrimalis: mata
FK
apparatus lakrimalis.

kering, dakrioadenitis,
dakriosistitis, dakriostenosis,
laserasi duktus lakrimal.
10. Menjelaskan faktor pencetus, 1. Mahasiswa mampu Neuroopthalmology I
menjelaskan faktor pencetus,
patogenesis, gejala klinis,
patogenesis, gejala klinis,
diagnosis, penatalaksanaan dan diagnosis, penatalaksanaan dan Sri Wardhani, dr., Sp.M 1x 100
pencegahan penyakit/ kelainan
pencegahan penyakit/ kelainan:
pada:
Neuro ophthalmology: diplopia 2. Neuro ophthalmology: ptosis,

21
binokuler, buta senja, skotoma, retraksi kelopak mata, diplopia
binokuler, buta senja, skotoma,
hemianopia bitemporal and
hemianopia bitemporal and
homonymous dan gangguan homonymous dan gangguan
lapang pandang, optic disc
lapang pandang, optic disc
cupping, edema papil, atropi
cupping, edema papil, atropi optik, neuropati optik dan
neuritis optik, ambliopia
optik, neuropati optik dan
neuritis optik
11. Menjelaskan faktor pencetus, 1. Mahasiswa mampu Glaukoma 1 II
menjelaskan etiologi glaukoma
patogenesis, gejala klinis,
2. Mahasiswa mampu Glaukoma 2

S
diagnosis, penatalaksanaan dan menjelaskan patogenesis
terjadinya glaukoma
pencegahan penyakit/ kelainan:

N
3. Mahasiswa mampu
a. Glaukoma: glaukoma akut menjelaskan gejala glaukoma
4. Mahasiswa mampu
dan glaukoma lainnya. Raharjo Kuntoyo, dr., SpM 2x 100
menjelaskan cara pemeriksaan

U
(K)
pasien glaukoma
5. Mahasiswa mampu
menjelaskan diagnosis
glaukoma
FK
6. Mahasiswa mampu
menjelaskan tata laksana
Glaukoma
12. Mahasiswa mampu menjelaskan Kasus Skenario Mata Anatomi Klinis Mata I Siti Munawaroh, dr., 1x 100
M.MedEd
secara integratif dan
komprehensif mulai dari faktor Kuliah Panel 1 III Sri Wardhani, dr., Sp.M
Atik Maftuhah, dr., MHPE
pencetus, patogenesis, gejala
klinis, diagnosis,
penatalaksanaan dan pencegahan
penyakit/ kelainan penyakit
Mata melalui pendekatan kasus

22
klinis
13. Menjelaskan klasifikasi macam- 1. Mampu menjelaskan Otologi I II
etiopatofisiologi dan gambaran
macam penyakit, mekanisme
klinis dari berbagai penyakit
dan etiopatogenesis pada organ telinga.
2. Mampu menjelaskan
THT berdasarkan jenis
etiopatofisiologi dan gambaran Dewi Pratiwi, dr., Sp.THT-
penyebab, fungsi, dan lokasi klinis dari berbagai penyakit 1x 100
KL, M.Kes.
hidung dan sinus paranasal.
organ.
3. Mampu menjelaskan
etiopatofisiologi dan gambaran
klinis dari berbagai penyakit
laring-faring.

S
14. Menjelaskan faktor-faktor Otologi II II

N
pencetus terjadinya gangguan Hadi Sudrajad, dr., Sp.THT-
1x 100
pada organ THT. KL, M.Si.Med.

U
15. Menjelaskan mekanisme Neurootologi III
terjadinya kelainan pada
sel/organ pada penyakit- FK Novi Primadewi, dr.,
penyakit organ THT meliputi 1x 100
Sp.THT-KL, M.Kes.
patogenesa, patologi, dan
patofisiologinya.

16. Menjelaskan komplikasi yang 1. Mampu menjelaskan prognosis Rhinologi I III Hendradewi, dr., Sp.THT- 1x 100
dan komplikasi penyakit telinga KL, Msi.Med
ditimbulkan pada penyakit-
2. Mampu menjelaskan prognosis Rhinologi II Aziza Viquisa B.P, dr., 1x 100
penyakit di organ THT. dan komplikasi penyakit Sp.THT-KL
hidung dan sinus paranasal
3. Mampu menjelaskan prognosis
dan komplikasi penyakit laring-
faring

23
17. Menjelaskan 1. Mampu melakukan tatalaksana Larynx-pharynx III
penyakit telinga dan
manajemen/penatalaksanaan
mengetahui tindakan yang
penyakit pada organ THT sesuai dengan kelainan yang
ditemui
meliputi dasar-dasar terapi yaitu
2. Mampu melakukan tatalaksana
medikamentosa, penyakit hidung dan sinus M. Dody Hermawan , dr.,
paranasal dan mengetahui 1x 100
konservatif,diet, operatif, Sp.THT-KL
tindakan yang sesuai dengan
rehabilitasi, dll. kelainan yang ditemui
3. Mampu menjelaskan
prognosis dan komplikasi
penyakit hidung dan sinus

S
paranasal
18. Menjelaskan penegakan 1. Mampu menentukan dan THT Komuitas I IV

N
melakukan pemeriksaan fisik
diangnosis penyakit pada organ
dan penunjang pada penyakit
THT. telinga.
2. Mampu menentukan dan

U
melakukan pemeriksaan fisik Novi Primadewi, dr.,
1x 100
dan penunjang pada penyakit Sp.THT-KL, M.Kes
hidung dan sinus paranasal
3. Mampu menentukan dan
FK
melakukan pemeriksaan fisik
dan penunjang pada penyakit
laring-faring.
19. Menentukan prosedur klinik 1. Mampu menentukan dan Radiologi THT- KL IV
melakukan pemeriksaan fisik
untuk penunjang diangnosis
dan penunjang pada penyakit
penyakit pada organ THT telinga.
2. Mampu menentukan dan
meliputi : pemeriksaan fisik Rachmi Fauziah Rahayu, dr.,
melakukan pemeriksaan fisik 1x 100
telinga, hidung dan tenggorokan, dan penunjang pada penyakit Sp.Rad
hidung dan sinus paranasal
test pendengaran, pemeriksaan
3. Mampu menentukan dan
suara dan bicara. melakukan pemeriksaan fisik
dan penunjang pada penyakit
laring-faring.
20. Menentukan pemeriksaan Bronkoesofagologi III Putu , dr., Sp.THT-KL (K) 1x 100

24
laboratorium penunjang Neoplasma THT IV Ahmad Nurdiansyah, dr.
Sp.THT-KL
diagnosis penyakit organ THT. 1x 100
Made S, dr., Sp.THT-KL(K)

21. Menjelaskan 1. Mahasiswa mampu menjelaskan Farmakoterapi obat- III


macam-macam obat untuk obatan THT
manajemen/penatalaksanaan
gangguan pada, telinga, hidung,
penyakit pada organ THT laring-faring.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan
meliputi dasar-dasar terapi yaitu
cara kerja macam-macam obat
medikamentosa, untuk gangguan pada telinga,
hidung, laring-faring.
konservatif,diet, operatif,
3. Mahasiswa mampu menjelaskan
Dr.Setyo Sri Rahardjo, dr.,

S
rehabilitasi, dll. efek macam-macam obat untuk 1x 100
M.Kes
gangguan pada telinga, hidung,
laring-faring.

N
4. Mahasiswa mampu menjelaskan
contoh macam-macam obat
untuk gangguan pada telinga,

U
hidung, laring-faring.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan
cara menuliskan resep obat-
obat penyakitTHT
22. Merancang tindakan promotif
dan preventif penyakit pada
organ THT dengan
FK
1. Mampu melakukan tatalaksana
penyakit telinga dan
mengetahui tindakan yang
sesuai dengan kelainan yang
Alergi di Bidang THT IV

ditemui
mempertimbangkan faktor-
2. Mampu melakukan tatalaksana
faktor pencetus. penyakit hidung dan sinus
paranasal dan mengetahui Niken, dr., Sp.THT-KL 1x 100
tindakan yang sesuai dengan
23. Mampu menjelaskan dan
kelainan yang ditemui
menerapkan strategi pencegahan 3. Mampu menjelaskan
prognosis dan komplikasi
primer,sekunder dan tersier
penyakit hidung dan sinus
terkait penyakit pada organ paranasal

25
THT.
24. Menjelaskan prognosis secara 1. Mampu menjelaskan prognosis THT Komunitas II IV
dan komplikasi penyakit telinga
umum tentang penyakit pada
2. Mampu menjelaskan prognosis
organ THT. dan komplikasi penyakit Dewi Pratiwi, dr., Sp.THT-
1x 100
hidung dan sinus paranasal KL, M.Kes.
3. Mampu menjelaskan prognosis
dan komplikasi penyakit laring-
faring
25. Mahasiswa mampu menjelaskan 1. Mahasiswa mampu Mikrobiologi mata dan II
menjelaskan kuman-kuman THT
Mikrobiologi kuman-kuman
penyebab kelainan pada organ
penyebab kelainan pada organ special sense

S
Marwoto, dr., M. Sc., Sp.
2. Mahasiswa mampu 1x 100
special sense dan cara MK.
menjelaskan cara pemeriksaan

N
pemeriksaannya. mikrobiologi kuman-kuman
penyebab kelainan pada organ
special sense

U
26. Mahasiswa mampu menjelaskan Kasus Skenario 2 Anatomi Klinis THT II Yunia Hastami, dr., 1x 100
M.MedEd
secara integratif dan
komprehensif mulai dari faktor Kuliah Panel 2 IV Marisa Risqiana D, dr., 1x 100
FK Sp.THT-KL; Atik
pencetus, patogenesis, gejala
Maftuhah, dr., MHPE
klinis, diagnosis,
penatalaksanaan dan pencegahan
penyakit/ kelainan penyakit
THT melalui pendekatan kasus
klinis

26
TUJUAN PEMBELAJARAN DISKUSI KELOMPOK BLOK SPECIAL SENSE DISEASES

No LO Blok LO Diskusi Kelompok Topik Diskusi Kelompok Minggu


Tutorial 1
1. 1. Menjelaskan mengenai 1. Mahasiswa dapat menjelaskan Kelainan refraksi I
penyakit yang sering terjadi anatomi dan fisologi mata Kelainan lensa
pada organ mata dimulai dari 2. Mahasiswa dapat menjelaskan Kelainan saraf optik
etiologi sampai prognosis. berbagai macam kelainan refraksi
2. Menjelaskan pemeriksaan 3. Mahasiswa mampu menjelaskan
laboratorium yang pemeriksaan untuk mata tenang
diperlukan dalam dan visus turun
mendiagnosis penyakit 4. Mahasiswa mampu menjelaskan

S
sistem special sense patofisiologi diagnosis banding
(mikrobiologi, parasitologi, mata tenang visus turun.

N
dll) 5. Mahasiswa mampu menyusun data
3. Menjelaskan mulai dari gejala, tanda, dan
penatalaksanaan pemeriksaan fisik untuk

U
farmakologis pada penyakit menyimpulkan suatu diagnosis
sistem special sense mata tenang visus turun.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan
FK
penatalaksanaan diagnosis banding
mata tenang visus turun

Tutorial 2
2. 1. Menjelaskan mengenai 1. Mahasiswa mampu menyebutkan Mata merah dengan atau tanpa penurunan II
penyakit yang sering terjadi diagnosis banding mata merah. visus
pada organ mata dimulai dari 2. Mahasiswa mampu menjelaskan
etiologi sampai prognosis. gejala dan tanda khas dari
2. Menjelaskan pemeriksaan diagnosis banding mata merah.
laboratorium yang 3. Mahasiswa mampu menjelaskan
diperlukan dalam penyebab dan patofisiologi mata
mendiagnosis penyakit merah.

27
sistem special sense 4. Mahasiswa mampu menerangkan
(mikrobiologi, parasitologi, manajemen dan terapi mata merah.
dll)
3. Menjelaskan
penatalaksanaan
farmakologis pada penyakit
sistem special sense
Tutorial 3
3. 1. Menjelaskan mengenai 1. Mahasiswa dapat menjelaskan Peradangan kronik tenggorok III
penyakit yang sering terjadi patofisiologi suara serak, suara
pada organ telinga hidung hilang, tenggorokan kering, nyeri
tenggorok (larynx, pharynx) telan

S
& kepala leher dimulai dari 2. Mahasiswa dapat menjelaskan
etiologi sampai prognosis. diagnosis banding dari kelainan

N
2. Menjelaskan pemeriksaan pada laring dan faring.
laboratorium yang 3. Mahasiswa dapat menjelaskan

U
diperlukan dalam manifestasi klinis dan perjalanan
mendiagnosis penyakit penyakit faringitis kronik
sistem special sense 4. Mahasiswa dapat menjelaskan
(mikrobiologi, parasitologi, manifestasi klinis dan perjalanan
FK
dll) penyakit laringitis kronik
3. Menjelaskan 5. Mahasiswa dapat menjelaskan
penatalaksanaan manifestasi klinis dan perjalanan
farmakologis pada penyakit penyakit laryngopharyngeal reflux
sistem special sense 6. Mahasiswa dapat menjelaskan
pemeriksaan laring-faring
7. Mahasiswa dapat menjelaskan
penatalaksanaan medikamentosa
dan non-medikamentosa pada
faringitis kronik dan laringitis
kronik
8. Mahasiswa dapat menjelaskan

28
komplikasi dari faringitis dan
laringitis kronik
Tutorial 4
4. 1. Menjelaskan mengenai 1. Mahasiswa dapat menjelaskan Peradangan akut telinga tengah IV
penyakit yang sering terjadi anatomi dan fisiologi telinga
pada organ telinga hidung tengah (tuba eustachius), tonsila
tenggorok (larynx, pharynx) palatina serta adenoid dan hidung
& kepala leher dimulai dari 2. Mahasiswa dapat menjelaskan
etiologi sampai prognosis. faktor risiko dan patofisiologi
2. Menjelaskan pemeriksaan Otitis Media Akut
laboratorium yang 3. Mahasiswa dapat menjelaskan

S
diperlukan dalam faktor risiko dan patofisiologi
mendiagnosis penyakit adenotonsilitis kronik dan rhinitis

N
sistem special sense akut dalam kaitannya dengan
(mikrobiologi, parasitologi, terjadinya Otitis Media Akut
dll) 4. Mahasiswa dapat menjelaskan

U
3. Menjelaskan manifestasi klinis dan perjalanan
penatalaksanaan penyakit (stadium) Otitis Media
farmakologis pada penyakit Akut, Rhinitis Akut dan
sistem special sense FK
Adenotonsilitis Kronik
5. Mahasiswa dapat menjelaskan
pemeriksaan fisik THT dan
pemeriksaan penunjang yang
diperlukan
6. Mahasiswa dapat menjelaskan
penegakan diagnosis dan diagnosis
banding dari Otitis Media Akut
7. Mahasiswa dapat menjelaskan
penatalaksanaan medikamentosa
dan nonmedikamentosa pada Otitis
Media Akut, Rhinitis Akut dan
Adenotonsilitis Kronik
29
8. Mahasiswa dapat menjelaskan
komplikasi dan prognosis dari
Otitis Media Akut

S
N
U
FK

30
DAFTAR PENYAKIT SISTEM SPECIAL SENSE (SKDI 2012)

Tingkat kemampuan yang diharapkan dicapai pada akhir pendidikan profesi dokter
adalah sebagai berikut:
Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan
Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan
mengetahui cara yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut
mengenai penyakit tersebut, selanjutnya menentukan rujukan yang paling tepat bagi
pasien. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan

S
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan
N
merujuk
U
3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu
FK

menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara
mandiri dan tuntas

31
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/atau
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)
Dengan demikian didalam Daftar Penyakit ini level kompetensi tertinggi adalah 4A

No Penyakit Kompetensi
A Telinga
Tuli (kongenital, perseptif, konduktif) 2
Inflamasi pada aurikular 3A
Herpes zoster pada telinga 3A
Fistula pre-aurikular 3A
Labirintitis 2
Otitis eksterna 4A
Otitis media akut 4A
Otitis media serosa 3A
Otitis media kronik
Mastoiditis S 3A
3A
N
Miringitis bullosa 3A
Benda asing 3A
Perforasi membran timpani 3A
U
Otosklerosis 3A
Timpanosklerosis 2
Kolesteatoma 1
FK

Presbiakusis 3A
Serumen prop 4A
Mabuk perjalanan 4A
Trauma akustik akut 3A
Trauma aurikular 3B
B Hidung
Deviasi septum hidung 2
Furunkel pada hidung 4A
Rhinitis akut 4A
Rhinitis vasomotor 4A
Rhinitis alergika 4A
Rhinitis kronik 3A
Rhinitis medikamentosa 3A
Sinusitis 3A
Sinusitis frontal akut 2
Sinusitis maksilaris akut 2
Sinusitis kronik 3A
Benda asing 4A
Epistaksis 4A

32
Etmoiditis akut 1
Polip 2
C Kepala & Leher
Fistula dan kista brankial lateral dan 2
medial 2
Higroma kistik 3A
Tortikolis 3A
Abses Bezold
D Laring dan faring
Faringitis 4A
Tonsilitis 4A
Laringitis 4A
Hipertrofi adenoid 2
Abses peritonsilar 3A
Pseudo-croop acute epiglotitis 3A
Difteria (THT) 3B
Karsinoma laring 2
Karsinoma nasofaring 2

S
N
U
FK

33
FK
U

34
N
S
FK
U

35
N
S
LANGKAH DISKUSI

Langkah ke- Diskusi Tutorial1)

Hari/ Pertemuan Pertama

1 Membaca Skenario dan mengklarifikasi istilah

2 Merumuskan permasalahan

3 Melakukan curah pendapat dan membuat pernyataan sementara


mengenai permasalahan, tanpa membuka gadget atau mencari
literatur
4 Menginventarisasi permasalahan dan hasil curah pendapat secara
sistematis
5 Merumuskan LO (tujuan pembelajaran)

S
Belajar Mandiri
N
6 Mengumpulkan informasi dengan belajar mandiri
Menyusun Ringkasan Belajar Mandiri
U
Hari/ Pertemuan Kedua

7 Melaporkan informasi baru yang diperoleh; menata dan membahas


informasi baru dengan informasi atau hipotesis pada pertemuan I
FK

36
SKENARIO 1

A. Topik
Kelainan refraksi: miopia, hipermetropia, astigmatisma, anisometropia
Kelainan lensa: katarak, afakia, presbiopia
Kelainan saraf optik: glaucoma simpleks

B. Daftar Penyakit berdasarkan SKDI 2012


No. Penyakit Level Kompetensi
1. Glaukoma Simpleks 3A
2. Hipermetropia 4A
3. Miopia 4A
4. Astigmatisma 4A
5. Presbiopia
S 4A
N
6. Anisometropia 3A
U
C. Tujuan pembelajaran Skenario 1
Setelah mengikuti tutorial skenario 1, mahasiswa diharapkan mampu :
FK

1. Mahasiswa dapat menjelaskan anatomi dan fisologi mata


2. Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai macam kelainan refraksi
3. Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan untuk mata tenang dan visus
turun
4. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi diagnosis banding mata tenang
visus turun.
5. Mahasiswa mampu menyusun data mulai dari gejala, tanda, dan pemeriksaan
fisik untuk menyimpulkan suatu diagnosis mata tenang visus turun.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan diagnosis banding mata
tenang visus turun

37
Kenapa Penglihatan Saya Kabur?

Seorang dokter muda yang sedang bertugas di Poliklinik Mata RSUD Dr. Moewardi,
mendapatkan 2 pasien dengan keluhan yang sama yaitu penglihatannya kabur.
• Seorang laki-laki, 50 tahun datang dengan keluhan kedua pandangan mata kabur
untuk melihat jauh dan dekat. Keluhan tsb dirasakan sejak 1 tahun yang lalu.
Pasien tidak mengeluhkan adanya mata merah. Pasien memiliki riwayat
menggunakan kacamata sejak SMP. Pasien diperiksa visusnya dengan
menggunakan Snellen Chart dan hasil pemeriksaan diperoleh :

S
N
U

VOD : pasien tidak bisa membaca huruf Snellen baris paling atas dan kemudian
FK

dilakukan pemeriksaan hitungan jari tangan dan bisa menghitung jari pada jarak 5
meter, mata tampak tenang, uji pinhole visus membaik
VOS : pasien dapat membaca semua huruf Snellen sampai baris ke-4, mata
tampak tenang, uji pinhole visus membaik.
Setelah dilakukan koreksi OD S-3,00 visus mencapai 6/6, sedangkan koreksi OS
S-1,50 C-0,50 axis 900 visus mencapai 6/6.
Selain itu pasien juga dilakukan koreksi membaca dekat S+2,00 D dan pasien
merasa nyaman membaca kartu Jaeger 30
• Seorang perempuan usia 65 tahun dengan hasil pemeriksaan visus :
VOD : pasien dapat membaca semua huruf Snellen sampai baris ke-3, mata
tenang

38
VOS : pasien tidak bisa membaca huruf Snellen baris paling atas dan kemudian
dilakukan pemeriksaan hitungan jari tangan dan bisa menghitung jari pada jarak 3
meter, mata tenang
Pasien mengeluhkan lapang pandang yang semakin menyempit dan sering
menabrak benda di sekelilingnya ketika berjalan. Kemudian dilakukan
pemeriksaan tekanan bola mata, konfrontasi, dan pemeriksaan funduskopi.
Pasien kemudian dirujuk ke dokter spesialis mata.

SEVEN JUMP

Langkah 1: klarifikasi istilah dan konsep


Pada langkah ini dimulai dengan brain storming / curah pendapat mengenai
istilah, konsep yang belum diketahui oleh masing-masing anggota kelompok. Dari

S
materi skenario ini diharapkan mahasiswa minimal mengklarifikasi istilah dan
N
konsep:
1. VOD
U
2. VOS
3. mata tenang
FK

4. uji pinhole visus membaik


5. koreksi OD dengan S-3.00 D
6. koreksi OS dengan S-1.50 C-0.50 axis 900
7. pemeriksaan tekanan bola mata
8. pemeriksaan konfrontasi
9. pemeriksaan funduskopi
Keterangan: kata atau konsep diatas adalah contoh, tidak harus muncul semua,
tergantung kelompok yang bersangkutan, mana yang belum dipahami oleh
kelompok tersebut.

Langkah 2 : menetapkan / mendefinisikan masalah


Diharapkan mahasiswa dapat mengidentifikasi masalah kedokteran yang
muncul pada skenario. Masalah berupa pertanyaan (kalimat tanya) yang muncul

39
setelah membaca skenario. Pada skenario ini diharapkan mahasiswa minimal
mendapatkan masalah berikut :
1. Bagaimana perjalanan sinar pada visus normal, visus orang miopia, visus orang
hipermetropia dan visus orang astigmatisma?
2. Bagaimana cara pemeriksaan tajam penglihatan (visus) dan interpretasinya?
3. Mengapa pada pasien yang kedua, visus tidak maju saat dikoreksi?
4. Mengapa diperlukan pemeriksaan konfrontasi?
5. Mengapa diperlukan pemeriksaan tekanan bola mata?
6. Mengapa diperlukan pemeriksaan funduskopi?
7. Apa saja diagnosis banding penyakit mata tenang visus turun?
8. Bagaimana menegakkan diagnosis banding atau diagnosis pada kasus mata
tenang visus turun?
9. Bagaimana penatalaksanaan berbagai macam diagnosis banding mata tenang
visus turun?

S
N
Langkah 3 : analisis masalah
U
Dari curah pendapat dengan analisis kritis masalah telah ditetapkan pada
langkah 2, dengan pendalaman ilmu kedokteran yang relevan maka akan timbul
FK

berbagai pertanyaan sebagai bentuk analisis kritis.

40
PANDUAN TUTOR UNTUK KEY WORD DAN LEARNING OBJECTIVE SKENARIO 1

No Kata Kunci LO Skenario 1 Subtopik LO Penjelasan


1. Penglihatan kabur - 1. Mahasiswa dapat a. Mahasiswa dapat menjelaskan
- Penurunan Visus menjelaskan anatomi dan anatomi fisiologi mata normal.
fisologi mata. b. Visus dan cara pemeriksaannya.

S
2. Mahasiswa dapat c. berbagai macam kelainan

N
menjelaskan berbagai refraksi dan patofisiologinya
macam kelainan refraksi

U
a. Visus: tajam penglihatan
3. Mahasiswa mampu seseorang yang dinilai menurut
menjelaskan pemeriksaan ukuran baku yang ada, dengan

turun
FK
untuk mata tenang dan visus prinsip membandingkan visus
pasien dengan orang normal.
4. Mahasiswa mampu b. Cara pemeriksaan visus:
menyusun data mulai dari 1. Menggunakan 'chart' =>
gejala, tanda, dan yaitu membaca 'chart' dari
pemeriksaan fisik untuk jarak yang ditentukan,
menyimpulkan suatu biasanya 5 (optotip Straub)
diagnosis mata tenang visus atau 6 meter (optotip

41
turun Snellen). Visus pasien sesuai
5. Mahasiswa mampu dengan angka yang tertera
menjelaskan patofisiologi disamping huruf/ angka yang
diagnosis banding mata terbaca pada kartu/ chart
tenang visus turun 2. Bila tidak bisa membaca
kartu, maka dilakukan

S
penghitungan jari.

N
Penghitungan jari di mulai
pada jarak tepat 1 meter di

U
depan pasien
3. Bila tidak bisa menghitung
FK jari pada jarak 1 meter, maka
dilakukan pemeriksaan
penglihatan dengan lambaian
tangan. Lambaian tangan
dilakukan tepat 1 m di depan
pasien.
Dapat berupa lambaian ke
kiri dan kanan, atau atas

42
bawah. Bila pasien dapat
menyebutkan arah lambaian,
berarti visusnya 1/300
4. Bila tidak bisa melihat
lambaian tangan, maka
dilakukan penyinaran, dapat

S
menggunakan 'pen light'

N
Bila dapat melihat sinar,
berarti visusnya 1/~.

U
c. Berbagai kelainan refraksi:
~ Miopia adalah sinar datang dari
FK jauh tak terhingga dibiaskan
menjadi satu titik di depan
retina
~ Hipermetropia adalah sinar
datang dari jauh tak terhingga
dibiaskan menjadi satu titik di
belakang retina.
~ Astigmatisma adalah sinar

43
datang dari jauh tak terhingga
dibiaskan menjadi lebih dari
satu titik, dibedakan menjadi:
astigmatisma regular dan
iregular.
Astigmat iregular dibagi menjadi

S
5:

N
1. Astigmatisma miop simpleks
2. Astigmatisma miop

U
kompositus
3. Astigmatisma hipermetrop
FK simpleks
4. Astigmatisma hipermetrop
kompositus
5. Astigmatisma mikstus
2. OD/OS Mahasiswa mampu Mahasiswa mampu menjelaskan arti Istilah umum yang digunakan di
menjelaskan pemeriksaan kepanjangan dari OD atau OS. Mata, yaitu OD: Oculi Dextra, OS:
untuk mata tenang dan visus Oculi Sinistra.
turun

44
3. Pasien dapat Mahasiswa mampu Mahasiswa mampu menjelaskan arti Visus 6/15 artinya: pasien dapat
membaca semua menjelaskan pemeriksaan visus 6/15 membaca huruf snellen pada jarak 6
huruf Snellen untuk mata tenang dan visus meter yang seharusnya pada orang
sampai baris ke-4 turun normal dapat terbaca pada jarak 15
→ Hasil meter.
pemeriksaan :

S
Visus 6/15

N
U
FK
4. Pasien tidak bisa Mahasiswa mampu Mahasiswa mampu menjelaskan arti Pada orang normal bisa melihat jari
membaca huruf menjelaskan pemeriksaan visus 5/60 pada jarak 60 meter, tapi pasien
Snellen baris untuk mata tenang dan visus dengan visus 5/60 harus mendekati
paling atas dan turun atau mendekatkan jari hingga jarak
kemudian 5 meter supaya dapat melihat
dilakukan dengan jelas.

45
pemeriksaan
hitungan jari
tangan dan bisa
menghitung jari
pada jarak 5 meter
→ Visus 5/60

S
5. Uji pinhole maju Mahasiswa mampu a. Mahasiswa megetahui alat uji a. Alat uji pinhole yaitu penutup

N
menjelaskan pemeriksaan pinhole mata seperti lensa coba yang
untuk mata tenang dan visus b. Mahasiswa mampu menjelaskan berwarna gelap dengan lubang di

U
turun arti pemeriksaan uji pinhole tidak tengahnya yang berdiameter
maju. 0.75-1mm ditengahnya.
FK b. Jika pada pemeriksaan uji
pinhole maju berarti pasien
mengalami kelainan refraksi.
6. Koreksi dengan S- Mahasiswa mampu a. Mahasiswa mampu menjelaskan a. Koreksi dengan S-1.50 C-0.50
1.50 menjelaskan penatalaksanaan arti koreksi tersebut. axis 900 artinya dengan lensa
C-0.50 axis 900 diagnosis banding mata tenang b. Mahasiswa mampu mendiagnosa sferis -1.50 dioptri cum atau
visus turun kelainan refraksi tersebut dan ditambah silinder -0.50 dioptri
mahasiswa dirangsang untuk pada axis 900, bayangan menjadi

46
mengembangkan ke diagnosis tepat di retina atau menjadi 6/6.
kelainan refraksi lainnya. b. Kelainan refraksi tersebut (yang
terkoreksi dengan S-1.50 C-0.50
axis 900) adalah astigmat miop
kompositus.
7 Anisometropia Mahasiswa mampu 1. Mahasiswa mampu menjelaskan 1. Anisometropia adalah keadaan

S
OD: S -3.00 D menjelaskan penatalaksanaan definisi anisometropia dimana didapatkan perbedaan

N
OS: S-1.50 C-0.50 diagnosis banding mata tenang 2. Mampu menuliskan resep pada status refraksi pada kedua mata.
axis 900 visus turun kasus anisometropia 2. Untuk peresepan kacamata

U
disesuaikan dengan kenyamanan
pasien. Biasanya bisa ditoleransi

8. Membaca dekat
FK
Mahasiswa mampu Mahasiswa mampu menjelaskan arti
sampai perbedaan 3 Dioptri.
Sejak usia 50 tahun kemampuan
dikoreksi dengan menjelaskan penatalaksanaan koreksi tersebut. akomodasi mata menurun sehingga
S +2,00 D. diagnosis banding mata tenang untuk melihat dekat harus dikoreksi
visus turun dengan lensa S +2.00 D dan setiap
usia bertambah 2,5 tahun maka
koreksi melihat dekat bertambah
+0.25 D.

47
9. Tekanan bola mata Mahasiswa mampu a. Mahasiswa mampu menjelaskan a. Dengan palpasi: Merupakan
menjelaskan pemeriksaan cara pemeriksaan tekanan bola pengukuran tekanan bola mata
untuk mata tenang dan visus mata dengan jari telunjuk pemeriksa
turun Nilai: didapat kesan berapa
b. Mahasiswa mengerti arti
ringannya bola mata ditekan.
pemeriksaan tersebut
Tinggi rendahnya tekanan dicatat

S
sebagai berikut: TN: normal,

N
TN+1 : agak tinggi, TN+2 : lebih
tinggi lagi, TN-1 : lebih rendah

U
dari normal dst.
b. Tonometer Schiotz merupakan
FK tonometer
menekan
indentasi
permukaan
atau
kornea
dengan beban yang dapat
bergerak bebas pada sumbunya.
Nilai: pembacaan skala
dikonversikan pada tabel
tonometer schoitz untuk
mengetahui tekanan bola mata

48
dalam mmHg. Pada tekanan lebih
dari 20mmHg dicurigai
glaukoma, jika lebih dari 25
mmHg pasien menderita
glaukoma
c. Tonometri aplanasi: pemeriksaan

S
dengan aplanasi Goldmann

N
d. Tonometri non-kontak:
pemeriksaan tekanan bola mata

U
tanpa menyentuh kornea
10. Pemeriksaan Mahasiswa mampu a. Mahasiswa mampu menjelaskan Pemeriksaan konfrontasi adalah
Konfrontasi
FK
menjelaskan pemeriksaan
untuk mata tenang dan visus
cara pemeriksaan konfrontasi
b. Mahasiswa mengerti arti hasil
pemeriksaan lapang pandang
(diajarkan di skills lab.)
turun pemeriksaan tersebut.
11. Funduskopi Mahasiswa mampu a. Mahasiswa mampu menjelaskan a. Pemeriksaan refleks fundus,
menjelaskan pemeriksaan cara pemeriksaan funduskopi dengan melihat refleks fundus
untuk mata tenang dan visus b. Mahasiswa mengerti arti menggunakan oftalmoskop direk
turun pemeriksaan tersebut. (diajarkan di skills lab)
b. Arti pemeriksaan refleks fundus:

49
apabila fundus tampak kuning
kemerahan maka fundus
refleksnya cemerlang. Apabila
hitam atau tidak jelas terlihat
berarti fundus refleks tidak
cemerlang, bisa karena ada

S
kekeruhan lensa/ katarak atau

N
kekeruhan di vitreus.
c. Pemeriksaan funduskopi menilai

U
papil N. II, vasa retina, reflex
macula, dan retinal background
FK

50
Langkah 4 : mengiventarisasi secara sistematik berbagai penjelasan yang
didapatkan pada langkah 3
Pada langkah 4 diharapkan mahasiwa merumuskan penjelasan berupa
hipotesis / plausible explanation permasalahan di atas. Inventarisasi sistematik ini
disarankan berupa skema masalah (problem tree). Minimal akan didapatkan:

Mata tenang
visus turun

Pinhole maju Pinhole tidak maju

Pemeriksaan: visus
S Pemeriksaan: segmen anterior,
refleks pupil, funduskopi,
Ishihara, tekanan bola mata,
N
tes konfrontasi

Kelainan refraksi
U
Kelainan media 1. Kelainan Retina
refrakta 2. Kelainan papil N. opticus
3. Kelainan lintasan visual
FK

Kornea: Lekoma,
distrofi Retina: Retinopati
Lensa: katarak DM, Retinopati
Vitreus: Uveitis Hipertensi dll.
posterior Papil N. opticus:
glaukoma, papil atrofi,
papil edema.
Lintasan visual:
Neuritis optik, stroke
oksipital

Keterangan:
Uji Pinhole dilakukan apabila visus subnormal, yaitu kurang dari 20/20.

51
Langkah 5 : merumuskan tujuan pembelajaran (learning objectives)
Tujuan pembelajaran pada langkah ini adalah minimal berupa tujuan
pembelajaran skenario dari tim blok. Tujuan pembelajaran dapat bertambah sesuai
dengan dinamika diskusi kelompok oleh mahasiswa.
1. Mahasiswa dapat menjelaskan anatomi dan fisologi mata
2. Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai macam kelainan refraksi
3. Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan untuk mata tenang dan visus
turun
4. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi diagnosis banding mata tenang
visus turun.
5. Mahasiswa mampu menyusun data mulai dari gejala, tanda, dan pemeriksaan
fisik untuk menyimpulkan suatu diagnosis mata tenang visus turun.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan diagnosis banding mata
tenang visus turun

S
N
Langkah 6: mengumpulkan informasi tambahan di luar diskusi kelompok
U
Langkah 7: melaporkan, membahas dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh.
FK

Melakukan sintesis dan pengujian informasi yang telah terkumpul


(reporting). Pada langkah ini diharapakan mahasiswa dapat menerapkan dalam
diagram / alur pikir yang dapat dipahami secara sistematis.

SUPLEMEN/ JAWABAN SKENARIO 1


(MATA TENANG DENGAN PENURUNAN VISUS)

Kondisi mata tenang dengan penurunan visus dapat disebabkan dua hal, yaitu
kelainan refraksi dan kelainan organik. Kedua kondisi tersebut dapat dibedakan
melalui pemeriksaan uji pinhole. Uji pinhole dilakukan setelah pemeriksaan visus.
Pasien diminta melihat melalui lubang di tengah lempeng pinhole. Pinhole akan
memasukkan sinar ke dalam mata yang terletak dekat dengan sumbu cahaya yang
masuk sehingga akan mengurangi efek kelainan pembiasan sinar pada mata. Apabila

52
visus pasien bertambah menunjukkan adanya kelainan refraktif yang dapat dikoreksi
dengan pemberian lensa korektif (kacamata). Sedangkan apabila visus tidak
bertambah menunjukkan adanya kelainan organik yang tidak dapat diperbaiki
dengan lensa korektif. Kelainan organik ini dapat berupa kelainan pada media
refrakta, retina, Nervus Optikus atau lintasan visual.
Kelainan Refraktif
Emetropia adalah status refraktif dimana sinar sejajar dari jarak jauh (tak terhingga)
yang masuk ke dalam mata mampu dibelokkan sehingga jatuh pada titik fokus tepat
di retina (makula). Kondisi refraktif dimana fungsi refraktif bola mata tidak dapat
memfokuskan bayangan tepat di makula disebut dengan ametropia. Ametropia
terdiri dari miopia, hipermetropia, dan astigmatisma.

S
N
U
FK

Gambar 1. Perbandingan myopia, hiepropia, dan astigmatisma

Miopia merupakan kelainan refraktif dimana sinar sejajar dari jarak jauh difokuskan
di depan retina. Kelainan miopia dapat disebabkan karena panjang bola mata
melebih rata-rata (miopia aksial) atau karena kekuatan refraksi mata yang terlalu
besar (miopia refraktif). Berdasarkan besarnya koreksi refraktif yang dibutuhkan,
miopia dibagi menjadi tiga, yaitu miopia ringan (-0.25 s/d -3.00 dioptri), miopia
sedang (-3.25 s/d -6.00 dioptri), dan miopia berat (> -6.00 dioptri). Keluhan yang
dijumpai pada pasien miopia umumnya adalah kesulitan melihat jauh. Kelainan
miopia dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa sferis negatif.
Hiperopia/ hipermetropia merupakan kelainan refraktif dimana sinar sejajar dari
jarak jauh difokuskan di belakang retina, tanpa adanya akomodasi. Hipermetropia
dapat disebabkan karena panjang bola mata yang lebih pendek dibanding rerata

53
normal atau kekuatan refraksi mata yang kurang. Derajat hipermetropia dibagi
menjadi tiga, yaitu hipermetropia ringan (+0.25 s/d +3.00 dioptri), hipermetropia
sedang (+3.25 s/d +6.00 dioptri), dan hipermetropia berat (> +6.00 dioptri).
Kelainan hipemetropia dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa sferis positif.
Astigmatisma merupakan kelainan refraktif dimana sinar-sinar sejajar tidak
dibiaskan pada satu titik fokus tunggal. Hal ini disebabkan karena kelengkungan
(kurvatura) dan kekuatan refraksi permukaan kornea dan/ atau lensa berbeda-beda di
antara berbagai meridian. Astigmatisma dibedakan menjadi astigmatisma regular
dan iregular. Astigmatisma regular terjadi bila meridian-meridian astigmatisma
mempunyai orientasi yang konstan pada setiap titik yang melewati pupil.
Astigmatisma regular mempunyai dua meridian utama. Kondisi ini dapat dikoreksi
dengan menggunakan lensa silindris. Apabila meridian-meridian astigmatisma
mempunyai orientasi yang berbeda pada setiap titik yang melewati pupil, maka
sinar-sinar sejajar dengan garis pandang akan dibiaskan tidak teratur. Kondisi ini

S
yang disebut dengan astigmat iregular. Astigmat iregular dapat dikoreksi dengan
N
pemberian lensa kontak rigid. Berdasarkan letak garis fokus terhadap retina,
astigmatisma dibedakan menjadi lima tipe, yaitu:
U
1. Astigmatisma miop simpleks: astigmatisma dengan satu garis fokus pada
retina, sedangkan garis fokus lain terletak di depan retina
FK

2. Astigmatisma miop kompositus: astigmatisma dengan kedua garis fokus


terletak di depan retina
3. Astigmatisma hipermetrop simpleks: astigmatisma dengan satu garis fokus
pada retina, sedangkan garis fokus lain terletak di belakang retina
4. Astigmatisma hipermetrop kompositus: astigmatisma dengan kedua garis
fokus di belakang retina
5. Astigmatisma mikstus: astigmatisma dengan satu garis fokus di depan retina,
sedangkan garis fokus lain terletak di belakang retina
Anisometropia merupakan gangguan penglihatan yang diakibatkan perbedaan
kekuatan refraksi lensa sferis atau silindris pada kedua mata. Perbedaan kekuatan
refraksi yang dianggap signifikan sebesar 1 dioptri. Permasalahan yang timbul
akibat anisometropia adalah perbedaan efek prismatik mata kanan dan kiri yang

54
akan mengganggu penglihatan binokular. Umumnya penderita akan mengeluhkan
adanya pandangan ganda dan pusing.
Presbiopia merupakan kondisi berkurang atau hilangnya kemampuan akomodasi,
yang berhubungan dengan usia. Umumnya keluhan yang dijumpai adalah kesulitan
membaca dekat. Keluhan ini biasanya dimulai pada usia 40 tahun. Koreksi kacamata
yang diberikan menggunakan lensa sferis positif, dimulai dari S+1.00 pada usia 40
tahun dan bertambah 0.25 dioptri setiap ±2.5 tahun, hingga mencapai koreksi
maksimal S+3.00 untuk usia ≥ 60 tahun. Koreksi ini dapat berbeda-beda pada setiap
orang, tergantung dari amplitudo akomodasi yang dimiliki.
Kelainan Organik
Penurunan visus pada kondisi mata tenang dapat juga disebabkan dari kelainan pada
media refrakta, retina, Nervus Optikus atau lintasan visual. Kelainan-kelainan ini
dapat dideteksi melalui pemeriksaan segmen anterior, refleks pupil, funduskopi,
tekanan bola mata, dan pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan lapang

S
pandang maupun pemeriksaan buta warna dengan menggunakan tes Ishihara.
N
Kelainan media refrakta meliputi kelainan pada kornea (misal: sikatriks kornea,
distrofi kornea), kelainan pada lensa (katarak, dislokasi lensa, subluksasi lensa), dan
U
kelainan pada vitreus (uveitis posterior, perdarahan vitreus). Kelainan retina dapat
berupa retinopati diabetika, retinopati hipertensi, ablasio retina, retinitis pigmentosa,
FK

dll. Kelainan pada papil Nervus Optikus dapat disebabkan karena glaukoma,
inflamasi, maupun karena peningkatan tekanan intrakranial. Gangguan pada lintasan
visual dapat menimbulkan gangguan lapang pandang yang khas. Kasus kedua pada
skenario 1 mengarah kepada glaukoma.
Glaukoma merupakan kumpulan penyakit mata yang terdiri dari atrofi papil optikus
glaukomatosa, defek luas lapang pandang yang karakteristik (sejalan dengan
kelainan saraf optik), dan peningkatan tekanan intraocular (TIO). Rentang TIO
normal adalah 10-21 mmHg. Peningkatan TIO tanpa disertai kelainan lain belum
dapat ditegakkan sebagai glaukoma.

55
Gambar 2. Perbandingan cup disc ratio mata Nervus Optikus normal dengan glaucoma

S
Gambar 3. Kesesuaian kerusakan papil Nervus Optikus dengan kerusakan lapang pandang
N
Sistematika pemikiran pada kasus glaukoma adalah, yang pertama apakah glaukoma
U
tersebut bersifat akut atau kronis, yang kedua apakah glaukoma tersebut primer atau
sekunder, dan yang ketiga apakah glaukoma tersebut disertai dengan sudut bilik
FK

mata yang terbuka atau tertutup. Glaukoma yang bersifat akut akan memberikan
keluhan berupa penurunan tajam penglihatan yang mendadak. Pada seseorang
dengan gangguan penurunan tajam penglihatan secara perlahan tanpa mata merah,
glaukoma yang terjadi dapat bersifat primer atau sekunder. Glaukoma tersebut juga
dapat diklasifikasikan menjadi sudut terbuka atau sudut tertutup. Glaukoma
dikatakan primer apabila penyebabnya tidak diketahui dan mengenai kedua mata,
disertai pengaruh faktor genetik. Sedangkan dikatakan sekunder apabila terdapat
faktor penyebab lain, misal trauma pada mata, kondisi lensa mencembung (katarak
insipien), pemakaian steroid jangka panjang.
Glaukoma primer sudut terbuka (Primary Open Angle Glaucoma/ POAG), disebut
juga glaukoma simpleks adalah glaukoma yang disertai dengan peningkatan TIO di
atas 21 mmHg dengan sudut bilik mata depan yang terbuka. Kondisi ini mengenai
kedua mata (bilateral) tanpa disertai kelainan mata lain dan umumnya terjadi di atas

56
usia 40 tahun serta terkait erat dengan faktor genetik. Peningkatan TIO pada POAG
diakibatkan karena adanya resistensi aliran keluar (outflow) humor akuos melalui
anyaman trabekulum sehingga terjadi penumpukan humor akuos di bilik mata depan
dan belakang. Peningkatan resistensi ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, anatara
lain:
• Penumpukan material sel pigmen, sel darah merah, glukosaminoglikan,
protein atau material plak jaringan
• Hilangnya sel endotel trabekulum
• Berkurangnya ukuran serta densitas pori trabekulum di endotel dinding
internal kanal Schlemm
• Berkurangnya aktivitas fagositosis normal di anyaman trabekulum yang
mengakibatkan berkurangnya fagositosis material jaringan mati/ degradasi
makroseluler

S
Secara histologik, di anyaman trabekulum terlihat penebalan membrane basal
dan hilangnya vakuola-vakuola raksasa pada endotel dinding internal kanal
N
Schlemm
Glaukoma primer sudut tertutup (Primary Angle Closure Glaucoma/ PACG) kronis
U
merupakan glaukoma kronis dengan sudut bilik mata depan tertutup permanen.
Patofisiologi terjadinya PACG adalah akibat perlekatan pangkal iris di anyaman
FK

trabekulum yang disebut sebagai blockade iris. Sudut bilik mata depan yang sempit
akan tertutup jika pupil berada dalam keadaan mid-dilatasi. Keadaan mid-dilatasi
membuat iris lebih kendur sehingga ujungnya bersentuhan dengan permukaan lensa.
Hal ini mengakibatkan aliran humor akuos dari bilik mata belakang ke bilik mata
depan terhambat.
Tatalaksana glaukoma dengan menurunkan TIO. Obat penurun TIO terbagi menjadi
lima golongan, yaitu
1. Penghambat adrenergik-beta (timolol maleat 0.25%, timolol maleat 0.50%,
betaxolol 0.50%, carteolol)
Obat ini bekerja dengan menghambat produksi cyclic adenosine
monophosphate di epitel badan siliar sehingga menurunkan sekresi humor
akuos. Penggunaan adrenergik-beta memiliki efek samping di bronkus

57
(bronkospasem) dan jantung (bradikardi). Oleh karena itu, perlu diwaspadai
pemberian adrenergic-beta pada penderita asma dan penderita jantung.
2. Penghambat anhidrase karbonat
Yang termasuk golongan ini adalah tetes mata brinzolamid atau oral
asetazolamid. Obat ini bekerja dengan menghambat produksi humor akuos di
epitel badan siliar. Salah satu efek samping pemberian obat ini adalah
hipokalemi, sehingga perlu disertai dengan pemberian asupan kalium. Obat-
obatan golongan ini tidak dapat diberikan pada orang dengan riwayat alergi
sulfa.
3. Agonis adrenergik-alfa
Cara kerja adrenergik-alfa dalam menurunkan TIO adalah dengan
menurunkan produksi humor akuos, menurunkan tekanan vena episklera, dan
memperbaiki aliran keluar jalur trabekular. Yang termasuk golongan obat ini
adalah tetes mata apraclonidine dan brimonidine.
4. Analog prostaglandin
S
N
Mekanisme analog prostaglandin (contoh: katanorpost, travaprost) dalam
menurunkan TIO secara spesifik tidak diketahui. Namun, diduga
U
meningkatkan aliran keluar uveoscleral dan trabekular. Efek samping
pemberian analog prostaglandin adalah hiperpigmentasi iris dan kulit
FK

periorbita, konjungtiva hiperemis, hipertrikosis, trikhiasis, distikhiasis.


5. Obat parasimpatomimetik/ miotikum
Yang termasuk golongan parasimpatomimetik adalah pilokarpin. Obat ini
menyebabkan kontraksi otot longitudinal badan siliar sehingga
mengencangkan anyaman trabecular dan meningkatkan aliran keluar humor
akuos.
Apabila TIO tidak dapat diturunkan dengan pemberian medikamentosa, maka perlu
dilakukan tindakan operatif, seperti iridektomi maupun trabekulektomi baik dengan/
tanpa implan.

58
SKENARIO 2

A. Topik
Mata merah dengan atau tanpa penurunan visus: benda asing di
konjungtiva, konjungtivitis, perdarahan subkonjungtiva, mata kering,
episkleritis, blefaritis, glaukoma akut

B. Daftar Penyakit berdasarkan SKDI 2012


No. Penyakit Level Komptensi
1. Benda asing di konjungtiva 4A
2. Konjungtivitis 4A
3. Perdarahan subkonjungtiva 4A
4. Mata kering 4A
5.
6.
Episkleritis
Blefaritis S 4A
4A
N
7. Keratitis 3A
U
8. Glaucoma akut 3B

C. Tujuan pembelajaran Skenario 2


FK

Setelah mengikuti tutorial skenario 2, mahasiswa diharapkan mampu :


1. Mahasiswa mampu menyebutkan diagnosis banding mata merah.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan gejala dan tanda khas dari diagnosis
banding mata merah.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan penyebab dan patofisiologi mata merah.
4. Mahasiswa mampu menerangkan manajemen dan terapi mata merah.

59
Mata Saya Tiba-tiba Merah

Ketika sedang berjaga di UGD Puskesmas, dokter Andi mendapatkan dua orang
pasien:
Pasien pertama: laki-laki, 20 tahun, datang dengan keluhan mata kanan merah
sejak 2 hari yang lalu. Pasien mengeluhkan mata kanan berair, dan nyeri ringan,
serta kelopak mata bengkak dan lengket ketika bangun tidur di pagi hari. Pasien
tidak mengeluh pandangan mata kanannya kabur ataupun silau. Keluarga pasien
memiliki keluhan yang sama 5 hari yang lalu.
Kemudian dokter Andi melakukan pemeriksaan visus, segmen anterior, dan
pemeriksaan limfonodi. Dokter Andi kemudian memberikan terapi, dan
mempersilakan pasien pulang.
Pasien kedua: Seorang perempuan berusia 40 tahun datang dengan keluhan mata
kiri merah sejak satu hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan kelopak matanya

S
bengkak, nyeri, cekot-cekot, pandangannya kabur, dan silau.
N
Dokter Andi juga melakukan pemeriksaan visus dan segmen anterior pada pasien
ini. Kemudian, Dokter Andi mendiagnosis dan memberikan terapi pendahuluan,
U
kemudian merujuk pasien tersebut ke dokter spesialis mata.
FK

SEVEN JUMP

Langkah 1: klarifikasi istilah dan konsep


Pada langkah ini dimulai dengan brain storming / curah pendapat mengenai
istilah, konsep yang belum diketahui oleh masing-masing anggota kelompok. Dari
materi skenario ini diharapkan mahasiswa minimal mengklarifikasi istilah dan
konsep:
1. kelopak mata bengkak dan lengket
2. pemeriksaan segmen anterior
Keterangan: kata atau konsep diatas adalah contoh, tidak harus muncul semua,
tergantung kelompok yang bersangkutan, mana yang belum dipahami oleh
kelompok tersebut.

60
Langkah 2 : menetapkan / mendefinisikan masalah
Diharapkan mahasiswa dapat mengidentifikasi masalah kedokteran yang
muncul pada skenario. Masalah berupa pertanyaan (kalimat tanya) yang muncul
setelah membaca skenario. Pada skenario ini diharapkan mahasiswa minimal
mendapatkan masalah berikut :
1. Pada kasus pertama, mengapa mata merah tetapi tidak ada pandangan kabur?
2. Pada kasus kedua, mengapa mata merah tetapi pandangannya juga kabur?
3. Mengapa pasien kasus pertama tidak merasa silau sedangkan pada pasien kedua
silau?
4. Mengapa pasien kedua mengeluhkan nyeri dan cekot-cekot?
5. Apa saja kemungkinan hasil pemeriksaan visus, segmen anterior, dan
pemeriksaan limfonodi pada pasien pertama?
Diskusi lanjutan jika mahasiswa memunculkan istilah injeksi konjunctiva --
Mengapa muncul injeksi konjungtiva? Adakah jenis injeksi yang lain?

S
6. Apa saja kemungkinan hasil pemeriksaan visus, dan segmen anterior pada pasien
N
kedua?
Diskusi lanjutan terkait hasil uji pinhole tidak maju pada pemeriksaan visus
U
pasien kedua, kelopak mata bengkak dan spasme, konjunctiva hiperemis, dan
kornea tampak tidak jernih
FK

7. Bagaimana diagnosis banding mata merah berdasar jenis sekretnya?


8. Apa saja diagnosis banding penyakit mata merah visus tidak turun?
9. Apa saja diagnosis banding penyakit mata merah visus turun?
10. Bagaimana penatalaksanaan berbagai macam diagnosis banding mata merah?
Mengapa pada pasien pertama diberikan terapi dan dipersilahkan pulang
sedangkan pada pasien kedua diberikan terapi pendahuluan kemudian dirujuk?
Mahasiswa diharapkan mampu mendiskusikan pemberian resep terapi pada
pasien tersebut.

Langkah 3 : analisis masalah


Dari curah pendapat dengan analisis kritis masalah telah ditetapkan pada
langkah 2, dengan pendalaman ilmu kedokteran yang relevan maka akan timbul
berbagai pertanyaan sebagai bentuk analisis kritis.

61
PANDUAN TUTOR UNTUK KEY WORD DAN LEARNING OBJECTIVE SKENARIO 2

N Kata Kunci LO Skenario 2 Subtopik LO Penjelasan


o
1. Pemeriksaan Mahasiswa mampu a. Pemeriksaan Visus Dapat dibaca pada buku panduan skills lab pemeriksaan mata
Mata menyebutkan b. Pemeriksaan Segmen dasar dan pemeriksaan identifikasi kelainan mata

S
pemeriksaan mata Anterior Buku panduan pemeriksaan mata dasar

N
sesuai kasus pasien, https://docs.google.com/document/d/1D6WNT92YQgrG7DXuSB
kemungkinan hasil U0vz7dATH5A3v8/edit?usp=sharing&ouid=10016840469542361

U
yang didapatkan 5731&rtpof=true&sd=true
dan
menginterpretasikan
hasilnya
FK Buku panduan pemeriksaan identifikasi kelainan mata
https://docs.google.com/document/d/1MW2qZyYFlaVCpmirzZtIS
_e-
1brNqMXY/edit?usp=sharing&ouid=100168404695423615731&r
tpof=true&sd=true

2. Konjungtiva a. Mahasiswa a. Mahasiswa mampu a. Macam-macam hiperemis konjungtiva: injeksi konjungtiva,


bulbi mampu membedakan macam- injeksi perikornea/ siliar, injeksi episklera, injeksi sklera.

62
hiperemis menyebutkan macam hiperemi b. Kemungkinan penyakit berdasar hiperemis konjungtiva: injeksi
diagnosis konjungtiva konjungtiva ada pada kelainan di konjungtiva, injeksi
banding mata b. Mahasiswa mampu perikornea/ siliar ada pada kelainan di kornea, iris, prosessus
merah membedakan berbagai siliaris, injeksi episklera ada pada kelainan di episklera, dan
b. Mahasiswa kemungkinan penyakit injeksi sklera ada pada kelainan di sklera
mampu berdasar hiperemi c. Jika teraba limfonodi pre-aurikuler, kemungkinan disebabkan

S
menjelaskan konjungtiva oleh virus (pharyngo-conjunctivitis)

N
gejala dan tanda c. Teraba atau tidaknya
khas dari DD limfonodi pre-

U
mata merah aurikuler

3. Sekret a. Mahasiswa
mampu
FK Mahasiswa
membedakan
mampu Berbagai macam sekret untuk menjabarkan diagnosis banding
dan penyakit mata merah visus tidak turun: watery pada virus, mukoid
menjelaskan menjelaskan berbagai pada alergi, purulen /mukopurulen pada bakteri.
gejala dan tanda macam sekret untuk
khas dari menjabarkan diagnosis
diagnosis banding penyakit mata
banding mata merah visus tidak turun.
merah

63
b. Mahasiswa
mampu
menjelaskan
penyebab dan
patofisiologi
mata merah

S
4. Kelopak Mahasiswa mampu Mahasiswa mampu Bengkak dan lengket yang disebabkan oleh infeksi bakteri.

N
mata menjelaskan gejala menjelaskan kuman-
bengkak dan dan tanda khas dari kuman penyebab infeksi

U
lengket DD mata merah mata
5. Kelopak Mahasiswa mampu Mahasiswa mampu Bengkak dan spasme yang disebabkan oleh kontraksi m.
mata menjelaskan gejala
bengkak dan dan tanda khas dari
FK
menjelaskan spasme
kelopak mata
Orbicularis oculi

spasme DD mata merah


6. Melengkapi Mahasiswa mampu Mahasiswa mampu Pemeriksaan mata secara urut dan lengkap artinya pemeriksaan
pemeriksaan menjelaskan gejala melakukan pemeriksaan urut mulai dari palpebra, konjungtiva dst.
dan tanda khas dari mata secara urut dan
diagnosis banding lengkap.
mata merah visus

64
tidak turun

S
N
U
FK

65
Langkah 4 : mengiventarisasi secara sistematik berbagai penjelasan yang
didapatkan pada langkah 3
Pada langkah 4 diharapkan mahasiwa merumuskan penjelasan berupa
hipotesis / plausible explanation permasalahan di atas. Inventarisasi sistematik ini
disarankan berupa skema masalah (problem tree). Minimal akan didapatkan:

DEFINISI

Infeksi
Tipe/Macam

Non-infeksi

MEKANISME Peradangan

Mata Merah
Visus tidak turun Bakteri

PENYEBAB
S Virus
N
Alergi
U

Farmakologik
PENANGANAN
FK

Non-farmakologik

Infeksi/
peradangan
PENYEBAB
Produksi humor
akuos ↑
Mata Merah
Visus turun
Hambatan aliran
humor akuos

Farmakologik
PENANGANAN

Operatif

66
Langkah 5 : merumuskan tujuan pembelajaran (learning objectives)
Tujuan pembelajaran pada langkah ini adalah minimal berupa tujuan
pembelajaran skenario dari tim blok. Tujuan pembelajaran dapat bertambah sesuai
dengan dinamika diskusi kelompok oleh mahasiswa.
1. Mahasiswa mampu menyebutkan diagnosis banding mata merah.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan gejala dan tanda khas dari diagnosis banding
mata merah.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan penyebab dan patofisiologi mata merah.
4. Mahasiswa mampu menerangkan manajemen dan terapi mata merah.

Langkah 6: mengumpulkan informasi tambahan di luar diskusi kelompok

Langkah 7: melaporkan, membahas dan menata kembali informasi baru yang


diperoleh.

S
Melakukan sintesis dan pengujian informasi yang telah terkumpul
N
(reporting). Pada langkah ini diharapakan mahasiswa dapat menerapkan dalam
diagram / alur pikir yang dapat dipahami secara sistematis.
U

SUPLEMEN/ JAWABAN SKENARIO 2


FK

(MATA MERAH)

Kondisi mata merah merupakan salah satu gejala klinis yang dikeluhkan pasien.
Secara umum mata merah dapat disebabkan 2 hal, yaitu inflamasi dan perdarahan.
Keluhan mata merah dapat disertai dengan atau tanpa penurunan tajam penglihatan.
Mata merah yang disebabkan karena dilatasi pembuluh darah mata disebut dengan
injeksi. Keluhan mata merah yang disertai dengan penurunan tajam penglihatan
dapat terjadi karena peradangan yang mengenai media refrakta, baik yang bersifat
infeksius maupun non-infeksius. Selain itu, kondisi glaukoma sudut tertutup akut
juga dapat memberikan keluhan klinis berupa mata merah.

67
Berikut ringkasan pemeriksaan untuk menentukan diagnosis banding mata merah
Sensasi
Tajam
benda Fotofobia Sekret Kornea Pupil Tanda Kardinal Penatalaksanaan
penglihatan
asing
Perdarahan Tidak Tidak
- - - Jernih Ekstravasasi darah (+) Resorbsi 2-3 minggu
subkonjungtiva terganggu terganggu
Konjungtivitis Tidak Purulen/ Tidak
- - Jernih Sekret (+++) Antibiotika topikal
bakteri terganggu mukopurulen terganggu
Konjungtivitis Tidak Watery Tidak

S
- - Jernih - Self-limiting
viral terganggu discharge terganggu

N
Konjungtivitis Tidak Tidak
- - Mukoid Jernih Gatal (+++) Mast-cell stabilizer
alergi terganggu terganggu
Tidak Kering, krusta Tidak Antibiotika topikal, rujuk

U
Blefaritis -/+ - Jernih Inflamasi kronik
terganggu di bulu mata terganggu bila terjadi komplikasi
Dapat Watery Tidak Defek (+) dilihat Rujuk bila 24-48 jam tidak
Abrasi kornea + + Defek (+)

Keratitis
menurun

Dapat
FK discharge terganggu

Tidak
dengan fluoresin

Defek (+), bercak/


mengalami perbaikan
Antibiotika topikal empiris,
rujuk untuk kultur, uji
+ + Mukopurulen Defek (+) opasitas putih di kornea
bacterial menurun terganggu sensitivitas, dan tatalaksana
dilihat dengan fluoresin
lanjut
Defek (+) seperti
Dapat Watery Tidak Rujuk bila 24-48 jam tidak
Keratitis viral + + Defek (+) cabang ranting/
menurun discharge terganggu mengalami perbaikan
dendritic berwarna abu-

68
abu di kornea dilihat
dengan fluoresin
Pupil 1-2 mm, kurang Kortikosteroid topikal,
-/+ (watery Dapat Miosis (1-2 responsif terhadap rujuk untuk mengetahui
Uveitis anterior Menurun - +
discharge) terganggu mm) rangsang cahaya, injeksi etiologi dan tatalaksana
siliar (+) lanjut
Pupil 4-5 mm, tidak
Mid- responsif terhadap
Glaukoma sudut -/+ (watery Keruh Rujuk ke pelayanan
Menurun - + dilatasi (4- rangsang cahaya. TIO
tertutup akut discharge) (edema) kesehatan yang lebih tinggi

S
5 mm) dapat mencapai 45
mmHg

N
Sumber: Buku Ajar Oftalmologi FK UI edisi pertama, 2017

U
FK

69
SKENARIO 3

A. Topik
Peradangan kronik tenggorok

B. Daftar Penyakit berdasarkan SKDI 2012


No. Penyakit Level Kompetensi
1. Laringitis 4A
2. Faringitis 4A

C. Tujuan pembelajaran Skenario 3


Setelah mengikuti tutorial skenario 3, mahasiswa diharapkan mampu :
1. Mahasiswa dapat menjelaskan patofisiologi suara serak, suara hilang,
tenggorokan kering, nyeri telan

S
2. Mahasiswa dapat menjelaskan diagnosis banding dari kelainan pada laring
dan faring.
N
3. Mahasiswa dapat menjelaskan manifestasi klinis dan perjalanan penyakit
U
faringitis kronik
4. Mahasiswa dapat menjelaskan manifestasi klinis dan perjalanan penyakit
laringitis kronik
FK

5. Mahasiswa dapat menjelaskan manifestasi klinis dan perjalanan penyakit


laryngopharyngeal reflux
6. Mahasiswa dapat menjelaskan pemeriksaan laring-faring
7. Mahasiswa dapat menjelaskan penatalaksanaan medikamentosa dan non-
medikamentosa pada faringitis kronik dan laringitis kronik
8. Mahasiswa dapat menjelaskan komplikasi dari faringitis dan laringitis kronik

70
MENGAPA SUARA SAYA HILANG?

Seorang perempuan, usia 25 tahun, profesi pelatih senam datang ke


Poliklinik THT dengan keluhan suara serak dan makin lama makin hilang.
Keluhan sudah dirasakan sejak 3 bulan terakhir. Keluhan disertai dengan
tenggorokan terasa kering terutama pada pagi hari, kadang dirasakan nyeri telan,
kadang disertai batuk. Saat menelan makanan, pasien tidak mengalami kesulitan.
Tidak didapatkan keluhan sesak napas
Pasien mempunyai kebiasan mengkonsumsi goreng-gorengan, es dan
makanan instant. Pasien mempunyai riwayat penyakit maag dan kebiasaan minum
kopi di pagi hari. Tidak ada riwayat merokok, alkohol, penyakit sistemik (DM,
Hipertensi).
Dokter kemudian melakukan pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan
tenggorok, laringoskopi indirect, pemeriksaan hidung, telinga dan pemeriksaan
kelenjar getah bening leher.
S
N
SEVEN JUMP
U
Langkah 1: klarifikasi istilah dan konsep
Pada langkah ini dimulai dengan brain storming / curah pendapat mengenai
FK

istilah, konsep yang belum diketahui oleh masing-masing anggota kelompok. Dari
materi skenario 3 diharapkan mahasiswa minimal mengklarifikasi istilah dan
konsep:
1. laringoskopi indirect : Pemeriksaan dengan menggunakan kaca laring dan lampu kepala
untuk melihat daerah laring secara tidak langsung (melihat bayangan laring pada kaca
laring)

Langkah 2 : menetapkan / mendefinisikan masalah


Diharapkan mahasiswa dapat mengidentifikasi masalah kedokteran yang
muncul pada skenario. Masalah berupa pertanyaan (kalimat tanya) yang muncul
setelah membaca skenario. Pada skenario 3 diharapkan mahasiswa minimal
mendapatkan masalah berikut :

71
1. Apa penyebab timbulnya suara serak, suara hilang, temggorokan kering, nyeri
telan?
2. Penyakit apa saja yang dapat menimbulkan manifestasi klinis tersebut?
3. Pemeriksaan apa saja yang diperlukan untuk menyingkirkan differensial
diagnosis?
4. Bagaimana penegakan diagnosis untuk kelainan laring dan faring pada kasus ini?
5. Bagaimana kemungkinan hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan dan
interpretasinya?
6. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini?
7. Mengapa dilakukan pemeriksaan kelenjar getah bening leher pada pasien?
Apakah hubungan limfadenopati dengan kasus tersebut?

Langkah 3 : analisis masalah


Dari curah pendapat dengan analisis kritis masalah telah ditetapkan pada

S
langkah 2, dengan pendalaman ilmu kedokteran yang relevan maka akan timbul
N
berbagai pertanyaan sebagai bentuk analisis kritis.
U
FK

72
PANDUAN TUTOR UNTUK KEY WORD DAN LEARNING OBJECTIVE SKENARIO 3

No. Key Word Learning Objectives Subtopik dari LO Penjelasan


1. Suara serak, makin Mahasiswa dapat menjelaskan 1. Patofisiologi laringitis kronik Suplemen
hilang patofisiologi suara serak, suara hilang. 2. Gejala klinis laringitis kronik Skenario 1

S
Mahasiswa dapat menjelaskan

N
differensial diagnosis dari kelainan pada
laryng dan faring.

U
2. Tenggorokan kering, Mahasiswa dapat menjelaskan 3. Patofisiologi faringitis kronik
nyeri telan patofisiologi tenggorokan kering, nyeri 4. Gejala klinis faringitis kronik
telan. FK
Mahasiswa dapat menjelaskan
differensial diagnosis dari kelainan pada
laryng dan faring.
3. Pemeriksaan THT Mahasiswa dapat menjelaskan 5. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
pada pasien manifestasi klinis dan perjalanan penyakit penunjang pada laringitis kronik
faringitis kronik. 6. Penatalaksanaan laringitis kronik

Mahasiswa dapat menjelaskan

73
pemeriksaan faring

Mahasiswa dapat menjelaskan


penatalaksanaan medikamentosa dan
nonmedikamentosa pada faringitis
kronik, laringitis kronik dan

S
laryngopharyngeal reflux

N
4. Pemeriksaan Mahasiswa dapat menjelaskan 7. Interpretasi hasil pemeriksaan
laringoskopi indirek manifestasi klinis dan perjalanan penyakit laringoskopi indirek

U
laringitis kronik.

Mahasiswa dapat menjelaskan


FK
pemeriksaan laring

Mahasiswa dapat menjelaskan


penatalaksanaan medikamentosa dan
nonmedikamentosa pada laringitis kronik.

5. Usia 25 tahun Mahasiswa dapat menjelaskan pengaruh 8. Prevalensi Ca laryng, yg cenderung pada

74
faktor usia untuk menyingkirkan risiko usia lanjut.
keganasan laring.

6. Limfadenopati Mahasiswa dapat menjelaskan komplikasi 9. Hubungan lymphadenopati dengan


dari laryngitis dan faringitis kronik kelainan laring faring.

7. Hobby dan profesi Mahasiswa dapat menjelaskan factor 10. Hubungan vocal abuse dengan

S
sebagai penyanyi, pencetus dari laryngitis dan faringitis terjadinya laringitis kronik

N
kebiasaan merokok, kronik 11. Faktor risiko faringitis kronik
makan

U
gorengan/es/makanan
instan
FK
Salah satu contoh hasil pemeriksaan yang mungkin didapatkan pada kasus pasien tersebut yaitu :
Pada pemeriksaan tenggorok didapatkan: tonsil T1-T1, granulasi (+) di dinding faring posterior, hiperemis (+), tonsil lingual >>.
Dari pemeriksaan laringoskopi indirek didapatkan : epiglotis edema (-), plica aryepiglottica edema (-), aritenoid edema (+), mukosa
hiperemis, plica vocalis edema (+), gerakan plica vocalis sulit dievaluasi.
Pada pemeriksaan hidung dan telinga tidak didapatkan kelainan.
Pemeriksaan kelenjar getah bening leher tidak didapatkan limfadenopati.
1. Granulasi Jaringan yang terbentuk akibat peradangan kronis yang mengenai mukosa faring

75
3. Plika aryepiglotica Struktur yang terletak di bagian samping epiglotis, berjalan ke belakang menuju kartilago arytenoidea
4, Edema Peembengkakan mukosa dimana stroma terisi oleh cairan interseluler

S
N
U
FK

76
Langkah 4 : mengiventarisasi secara sistematik berbagai penjelasan yang
didapatkan pada langkah 3
Pada langkah IV diharapkan mahasiwa merumuskan penjelasan berupa
hipotesis / plausible explanation permasalahan di atas. Inventarisasi sistematik ini
disarankan berupa skema masalah (problem tree). Minimal akan didapatkan:

S
N
U
FK

Langkah 5 : merumuskan tujuan pembelajaran (learning objectives)


Tujuan pembelajaran pada langkah ini adalah minimal berupa tujuan
pembelajaran skenario dari tim blok. Tujuan pembelajaran dapat bertambah sesuai
dengan dinamika diskusi kelompok oleh mahasiswa.

77
1. Mahasiswa dapat menjelaskan patofisiologi suara serak, suara hilang,
tenggorokan kering, nyeri telan
2. Mahasiswa dapat menjelaskan diagnosis banding dari kelainan pada laring dan
faring.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan manifestasi klinis dan perjalanan penyakit
faringitis kronik
4. Mahasiswa dapat menjelaskan manifestasi klinis dan perjalanan penyakit
laringitis kronik
5. Mahasiswa dapat menjelaskan manifestasi klinis dan perjalanan penyakit
laryngopharyngeal reflux
6. Mahasiswa dapat menjelaskan pemeriksaan laring-faring
7. Mahasiswa dapat menjelaskan penatalaksanaan medikamentosa dan non-
medikamentosa pada faringitis kronik dan laringitis kronik
8. Mahasiswa dapat menjelaskan komplikasi dari faringitis dan laringitis kronik

S
Langkah 6: mengumpulkan informasi tambahan di luar diskusi kelompok
N
U
Langkah 7: melaporkan, membahas dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh.
Melakukan sintesis dan pengujian informasi yang telah terkumpul
FK

(reporting). Pada langkah ini diharapakan mahasiswa dapat menerapkan dalam


diagram / alur pikir yang dapat dipahami secara sistematis.

SUPLEMEN/ JAWABAN SKENARIO 3

A. Faringitis Kronik
1. Definisi
Faringitis kronik adalah inflamasi kronik pada mukosa faring akibat infeksi,
alergi, atau iritasi kronik.
Berdasarkan patologinya, faringitis kronik dibagi menjadi faringitis kronik
hipertrofi/granuler dan faringitis kronik atrofi/sika

78
2. Faktor predisposisi Faringitis
Umumnya faktor predisposisi faringitis kronik adalah rhinitis kronik,
sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang
merangsang mukosa faring dan debu.
Masyarakat awam pada umumnya memiliki anggapan bahwa
mengkonsumsi minuman panas dapat meringankan rasa tidak enak pada
tenggorok, namun minuman panas justru menimbulkan traumatik yang dapat
merusak mukosa pada permukaan saluran cerna seperti faring dan
esofagus.Kerusakan pelindung mukosa dan penggunaan antibiotik yang
menekan pertumbuhan flora normal justru dapat memperbesar kemampuan
invasi dari organisme komensal.
3. Gejala klinik
Gambaran klinis faringitis kronik pada umumnya terdapat rasa tidak
nyaman di tenggorok. Pada tipe atrofi seperti ada rasa kering di tenggorok,

S
sedangkan pada tipe hipertrofi terasa selalu ada lendir di tenggorok.
N
4. Pemeriksaan fisik
• Faringitis kronik hiperplastik
U
Pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan
lateral hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior
FK

tidak rata dan bergranular (cobble stone appearance).


• Faringitis kronik atrofi
Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental
dan bila diangkat tampak mukosa kering.
5. Penatalaksanaan
Terapi terhadap faringitis yang disebabkan bakteri, diberikan
penisilin, dan jika pasien alergi terhadap penisilin maka diberikan
eritromisin.
Faringitis yang disebabkan oleh virus, diberikan aspirin,
asetaminofen untuk membantu mengurangi rasa sakit dan nyeri pada
tenggorokan. Dianjurkan untuk beristirahat di rumah, karena faringitis yang
disebabkan oleh virus dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.

79
Penderita juga dianjurkan untuk mengkonsumsi cairan yang banyak,
tidak meminum minuman yang mengandung alkohol dan minuman yang
dingin. Kumur-kumur larutan NaCl hangat setiap 2-3 jam untuk mengurangi
keluhan rasa sakit, menghindari makanan yang merangsang seperti cabe dan
lain-lain.

B. Laringitis Kronik
1. Patofisiologi
Hampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus. Invasi bakteri
mungkin sekunder. Laringitis biasanya disertai rinitis atau nasofaringitis.
Awitan infeksi mungkin berkaitan dengan pemajanan terhadap perubahan
suhu mendadak, defisiensi diet, malnutrisi, dan tidak ada immunitas.
Laringitis umum terjadi pada musim dingin dan mudah ditularkan. Ini terjadi
seiring dengan menurunnya daya tahan tubuh dari host serta prevalensi virus

S
yang meningkat. Laringitis ini biasanya didahului oleh faringitis dan infeksi
N
saluran nafas bagian atas lainnya. Hal ini akan mengakibatkan iritasi mukosa
saluran nafas atas dan merangsang kelenjar mucus untuk memproduksi
U
mucus secara berlebihan sehingga menyumbat saluran nafas. Kondisi
tersebut akan merangsang terjadinya batuk hebat yang bisa menyebabkan
FK

iritasi pada laring dan memacu terjadinya inflamasi pada laring tersebut.
Inflamasi ini akan menyebabkan nyeri akibat pengeluaran mediator kimia
darah yang jika berlebihan akan merangsang peningkatan suhu tubuh.
2. Gejala klinis Laringitis Kronik
a. Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara
yang kasar atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih
rendah dari suara yang biasa / normal dimana terjadi gangguan getaran
serta ketegangan dalam pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan
sehingga menimbulkan suara menjadi parau bahkan sampai tidak bersuara
sama sekali (afoni).
b. Sesak nafas dan stridor
c. Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menalan atau berbicara.
d. Gejala radang umum seperti demam, malaise

80
e. Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental
f. Gejala commmon cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit
menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan
demam dengan temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 380C.
g. Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit
menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk,
peningkatan suhu yang sangat berarti yakni lebih dari 38 0C, dan adanya
rasa lemah, lemas yang disertai dengan nyeri di seluruh tubuh .
h. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukosa laring yang hiperemis,
membengkak terutama dibagian atas dan bawah pita suara dan juga
didapatkan tanda radang akut dihidung atau sinus paranasal atau paru.
i. Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang
terjadi dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa
anak menjadi gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat,

S
pemeriksaan fisik akan ditemukan retraksi suprasternal dan epigastrium
N
yang dapat menyebabkan keadaan darurat medik yang dapat mengancam
jiwa.
U
3. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
a. Foto rontgen leher AP: bisa tampak pembengkakan jaringan subglotis
FK

(Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50% kasus.


b. Pemeriksaan laboratorium : gambaran darah dapat normal. Jika disertai
infeksi sekunder, leukosit dapat meningkat.
c. Pada pemeriksaan laringoskopi indirek akan ditemukan mukosa laring
yang sangat sembab, hiperemis dan tanpa membran serta tampak
pembengkakan subglotis yaitu pembengkakan jaringan ikat pada konus
elastikus yang akan tampak dibawah pita suara.

4. Penatalaksanaan Laring
Deteksi dini pada stadium awal terjadinya gangguan pada pita suara
dapatmemperbesar peluang pulihnya organ ini untuk berfungsi normal
kembali. Namun, bila baru diketahui pada stadium lanjut, seseorang dapat
kehilangan kemampuan berbicara.

81
Terapi :
1. Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari
2. Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 l/ menit
3. Istirahat
4. Menghirup uap hangat dan dapat ditetesi minyak atsiri / minyak mint bila
ada muncul sumbatan dihidung atau penggunaan larutan garam fisiologis
(saline 0,9 %) yang dikemas dalam bentuk semprotan hidung atau nasal
spray
5. Medikamentosa : Parasetamol atau ibuprofen / antipiretik jika pasien ada
demam, bila ada gejala pain killer dapat diberikan obat anti nyeri / 7
analgetik, hidung tersumbat dapat diberikan dekongestan nasal seperti
fenilpropanolamin (PPA), efedrin, pseudoefedrin, napasolin dapat
diberikan dalam bentuk oral ataupun spray.Pemberian antibiotika yang
adekuat yakni : ampisilin 100 mg/kgBB/hari, intravena, terbagi 4 dosis

S
atau kloramfenikol : 50 mg/kgBB/hari, intra vena, terbagi dalam 4 dosis
N
atau sefalosporin generasi 3 (cefotaksim atau ceftriakson) lalu dapat
diberikan kortikosteroid intravena berupa deksametason dengan dosis 0,5
U
mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis, diberikan selama 1-2 hari.
6. Pengisapan lendir dari tenggorok atau laring, bila penatalaksanaan ini
FK

tidak berhasil maka dapat dilakukan endotrakeal atau trakeostomi bila


sudah terjadi obstruksi jalan nafas.
7. Pencegahan : Jangan merokok, hindari asap rokok karena rokok akan
membuat tenggorokan kering dan mengakibatkan iritasi pada pita suara,
minum banyak air karena cairan akan membantu menjaga agar lendir yang
terdapat pada tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk
dibersihkan, batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegah
tenggorokan kering. jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan
karena berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi abnormal pada
pita suara, meningkatkan pembengkakan dan berdehem juga akan
menyebabkan tenggorokan memproduksi lebih banyak lendir.

82
5. Hubungan vocal abuse dengan terjadinya Laringitis Kronik
Jenis pekerjaan yang banyak menggunakan suara seperti penyanyi
seringkali menyebabkan penggunaan yang berlebihan dari pita suara.
Penyalahgunaan suara yang terlalu keras dan lama akan menimbulkan
inflamasi pada daerah laring (plica vokalis) sehingga terjadi ganguan pada
pita suara. Apabila tidak diobati secara adekuat dapat berlanjut menjadi
laringitis kronis dan akan memperkecil peluang pulihnya pita suara untuk
berfungsi normal kembali.
6. Faktor risiko
Faktor risiko terjadinya laringitis adalah adanya infeksi saluran napas,
iritasi pita suara akibat asam lambung, menurunnya daya tahan tubuh dari
host serta prevalensi virus yang meningkat.

C. Laryngopharyngeal Reflux (LPR)


1. Definisi
S
N
Refluks Laring Faring/ Laryngopharyngeal Reflux (LPR) dapat
didefinisikan sebagai pergerakan asam lambung secara retrograde menuju
U
faring dan laring serta saluran pencernaan atas. Laryngopharyngeal reflux
dapat menyebabkan iritasi dan perubahan pada laring. Pasien dengan LPR
FK

biasanya mempunyai keluhan di daerah kepala dan leher sedangkan pada


GERD biasanya didapatkan keluhan klasik seperti esofagitis dan rasa panas
di dada (heartburn).
2. Etiologi
Penyebab LPR adalah adanya refluks secara retrograd dari asam
lambung atau isinya seperti pepsin ke saluran esofagus atas dan
menimbulkan cedera mukosa karena trauma langsung.3 Akibat iritasi dan
inflamasi pada laring, terjadi kerusakan silia yang menimbulkan
tertumpuknya mukus, aktivitas mendehem dan batuk kronis.
3. Patofisiologi
Patofisiologi LPR sampai saat ini masih sulit dipastikan. Seperti yang
diketahui mukosa faring dan laring tidak dirancang untuk mencegah cedera
langsung akibat asam lambung dan pepsin yang terkandung pada refluxate.

83
Laring lebih rentan terhadap cairan refluks dibanding esofagus karena tidak
mempunyai mekanisme pertahanan ekstrinsik dan instrinsik seperti esofagus.
Terdapat beberapa teori yang mencetuskan respon patologis karena cairan
refluks ini, yaitu:
1. Cedera laring dan jaringan sekitar akibat trauma langsung oleh cairan
refluks yang mengandung asam dan pepsin. Byrne menyimpulkan bahwa
cairan asam dan pepsin merupakan zat berbahaya bagi laring dan jaringan
sekitarnya. Pepsin merupakan enzim proteolitik utama lambung. Aktivitas
optimal pepsin terjadi pada pH 2,0 dan tidak aktif dan bersifat stabil pada
pH 6 tetapi akan aktif kembali jika pH dapat kembali ke pH 2,0 dengan
tingkat aktivitas 70% dari sebelumnya.
2. Asam lambung pada bagian distal esofagus akan merangsang refleks
vagal sehingga akan mengakibatkan bronkokontriksi, gerakan mendehem
(throat clearing) dan batuk kronis. Lama kelamaan akan menyebabkan

S
lesi pada mukosa. Mekanisme keduanya akan menyebabkan perubahan
N
patologis pada kondisi laring. Bukti lain juga menyebutkan bahwa
rangsangan mukosa esofagus oleh cairan asam lambung juga akan
U
menyebabkan peradangan pada mukosa hidung, disfungsi tuba dan
gangguan pernafasan. Cairan lambung tadi menyebabkan refleks vagal
FK

eferen sehingga terjadi respons neuroinflamasi mukosa dan dapat saja


tidak ditemukan inflamasi di daerah laring.
4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan meliputi medikamentosa dengan obat-obatan anti
refluks, perubahan gaya hidup dengan modifikasi diet serta secara bedah
dengan funduplikasi.

84
DAFTAR PUSTAKA

Dhingra, P.L. and Dhingra, S., 2017. Diseases of Ear, Nose and Throat-eBook.
Elsevier India.
Jamal, N., & Wang, M. B. (Eds.). (2019). Laryngopharyngeal Reflux Disease.
Springer USA. doi:10.1007/978-3 030-12318-5
Mustafa, Z. and Ghaffari, M., 2020. Diagnostic methods, clinical guidelines, and
antibiotic treatment for group A streptococcal pharyngitis: a narrative
review. Frontiers in Cellular and Infection Microbiology, 10, p.644.
Norton, L.E., Lee, B.R., Harte, L., Mann, K., Newland, J.G., Grimes, R.A. and
Myers, A.L., 2018. Improving guideline-based streptococcal pharyngitis
testing: a quality improvement initiative. Pediatrics, 142(1).
Zhukhovitskaya, A. and Verma, S.P., 2019. Identification and Management of
Chronic Laryngitis. Otolaryngologic Clinics of North America, 52(4),
pp.607-616.
Guedes, V., Junior, A., Fernandes, J., Teixeira, F. and Teixeira, J.P., 2018. Long
short term memory on chronic laryngitis classification. Procedia computer
science, 138, pp.250-257.
S
TUÆALIU, M., DRAGU, A.A., GOANÅÃ, C.M., MIHALCEA, R., IONIÅÃ, C.,
N
LUCA, A., GHIUZAN, L. and BUDU, V., 2016. Chronic laryngitis in
adults. Archives of the Balkan Medical Union vol, 51(1), pp.34-36.
U
Lee, K.J., 2015. Essential otolaryngology. McGraw-Hill Publishing.
FK

85
SKENARIO 4

A. Topik
Peradangan akut telinga tengah

B. Daftar Penyakit berdasarkan SKDI 2012


No. Penyakit Level Kompetensi
1. Otitis Media Akut 4A
2. Rhinitis Akut 4A
3. Tonsilitis Kronis 4A
4. Hipertrofi Adenoid 2

C. Tujuan pembelajaran Skenario 4

S
Setelah mengikuti tutorial skenario 4, mahasiswa diharapkan mampu :
1. Mahasiswa dapat menjelaskan anatomi dan fisiologi telinga tengah (tuba
N
eustachius), tonsila palatina serta adenoid dan hidung
2. Mahasiswa dapat menjelaskan faktor risiko dan patofisiologi Otitis Media
U
Akut
3. Mahasiswa dapat menjelaskan faktor risiko dan patofisiologi adenotonsilitis
FK

kronik dan rhinitis akut dalam kaitannya dengan terjadinya Otitis Media
Akut
4. Mahasiswa dapat menjelaskan manifestasi klinis dan perjalanan penyakit
(stadium) Otitis Media Akut, Rhinitis Akut dan Adenotonsilitis Kronik
5. Mahasiswa dapat menjelaskan pemeriksaan fisik THT dan pemeriksaan
penunjang yang diperlukan
6. Mahasiswa dapat menjelaskan penegakan diagnosis dan diagnosis banding
dari Otitis Media Akut
7. Mahasiswa dapat menjelaskan penatalaksanaan medikamentosa dan
nonmedikamentosa pada Otitis Media Akut, Rhinitis Akut dan
Adenotonsilitis Kronik
8. Mahasiswa dapat menjelaskan komplikasi dan prognosis dari Otitis Media
Akut

86
DOKTER, ANAK SAYA SAKIT APA YA?

Seorang anak laki-laki usia 5 tahun dibawa ibunya ke praktek dokter


umum karena dari liang telinga kanan keluar cairan. Hal ini diketahui sejak 1 hari
yang lalu. Sebelum timbul keluhan tersebut, pasien demam dan menangis serta
mengeluh telinga kanannya sakit. Pasien mengalami batuk pilek sejak 7 hari yang
lalu. Satu tahun terakhir, pasien sering batuk pilek. Paling tidak sebulan sekali
batuk pileknya selalu kambuh, namun sebelumnya tidak pernah keluar cairan dari
telinga. Pasien juga sering bernapas lewat mulut dan mendengkur saat tidur.
Dokter kemudian melakukan pemeriksaan fisik status generalis,
pemeriksaan telinga dengan otoskopi, pemeriksaan rhinoskopi anterior,
pemeriksaan tenggorok, dan pemeriksaan kelenjar getah bening leher. Selain itu,
dokter juga merekomendasikan pemeriksaan penunjang kepada pasien.

S
N
SEVEN JUMP
Langkah 1: klarifikasi istilah dan konsep
U
Pada langkah ini dimulai dengan brain storming / curah pendapat mengenai
istilah, konsep yang belum diketahui oleh masing-masing anggota kelompok. Dari
FK

materi skenario 4 diharapkan mahasiswa minimal mengklarifikasi istilah dan


konsep:
No. Kata yang diklarifikasi Definisi
1. Otoskopi Suatu pemeriksaan untuk melihat warna,
kontur, reflek cahaya dari membran timpani
dan melihat adanya sekret telinga
2. Rhinoskopi anterior Pemeriksaan rongga hidung dari depan
dengan memakai spekulum hidung dan lampu
kepala

Langkah 2 : menetapkan / mendefinisikan masalah


Diharapkan mahasiswa dapat mengidentifikasi masalah kedokteran yang
muncul pada skenario. Masalah berupa pertanyaan (kalimat tanya) yang muncul

87
setelah membaca skenario. Pada skenario 4 diharapkan mahasiswa minimal
mendapatkan masalah berikut :
1. Mengapa pada pasien dapat terjadi keluarnya cairan dari telinga kanan?
2. Bagaimanakah membedakan keluar cairan dari telinga akibat peradangan di
telinga luar atau telinga tengah?
3. Mengapa pada pasien dapat terjadi demam dan telinga sakit?
4. Apakah hubungan keluhan demam dan telinga sakit dengan timbulnya keluhan
keluar cairan dari telinga?
5. Apakah hubungan riwayat sejak satu tahun yang lalu pasien sering batuk pilek
minimal sebulan sekali dengan keluhan sekarang?
6. Bagaimanakah cara melakukan pemeriksaan otoskopi pada pasien dan
gambaran apa saja yang mungkin didapatkan?
7. Bagaimanakah cara melakukan pemeriksaan pemeriksaan rinoskopi anterior
pada pasien dan gambaran apa saja yang mungkin didapatkan?
8.
S
Pemeriksaan penunjang apa yang direkomendasikan oleh dokter pada pasien
N
dan kemungkinan interpretasinya?
U
Langkah 3 : analisis masalah
Dari curah pendapat dengan analisis kritis masalah telah ditetapkan pada
FK

langkah 2, dengan pendalaman ilmu kedokteran yang relevan maka akan timbul
berbagai pertanyaan sebagai bentuk analisis kritis.

88
PANDUAN TUTOR UNTUK KEY WORD DAN LEARNING OBJECTIVE SKENARIO 4

No. Key Word Learning Objectives Subtopik dari LO Penjelasan


1. Keluar cairan dari Menjelaskan epidemiologi, 1. Patomekanisme radang akut telinga Suplemen Skenario 4
telinga patomekanisme, gambaran klinis pada tengah
radang akut telinga tengah 2. Gejala dan tanda radang akut telinga

S
tengah (OMA)

N
3. Identifikasi tipe perforasi membran
timpani dari pemeriksaan otoskopi

U
2. Nyeri telinga Menjelaskan perjalanan penyakit pada 1. Stadium Otitis Media Akut
disertai demam radang akut telinga tengah
3. Batuk pilek
minimal sebulan OMA
FK
Menjelaskan etiologi/faktor risiko dari 1. Kuman penyebab OMA
2. Faktor risiko OMA
sekali Menjelaskan hubungan kelainan hidung/ 3. Perbedaan anatomi tuba eustachius
tenggorokan dengan kelainan di telinga pada anak dan dewasa serta kaitannya
tengah dengan kejadian OMA
Menjelaskan epidemiologi, 4. Pengaruh rhinitis akut dan
patomekanisme, gejala dan tanda rhinitis adenotonsilitis kronik terhadap
akut kejadian OMA

89
Menjelaskan epidemiologi, 5. Grading tonsila palatina
patomekanisme, gejala dan tanda 6. Indikasi dan kontraindikasi
adenotonsilitis kronik tonsilektomi
7. Penegakan diagnosis hipertrofi
adenoid

S
4. Tidak ada riwayat Menjelaskan perbedaan OMA dan 1. Diagnosis banding OMA

N
keluar cairan dari OMSK 2. Penatalaksanaan OMA sesuai
telinga sebelumnya stadiumnya

U
FK

90
Langkah 4 : mengiventarisasi secara sistematik berbagai penjelasan yang
didapatkan pada langkah 3
Pada langkah IV diharapkan mahasiwa merumuskan penjelasan berupa
hipotesis / plausible explanation permasalahan di atas. Inventarisasi sistematik ini
disarankan berupa skema masalah (problem tree). Minimal akan didapatkan:

S
N
U
FK

91
Langkah 5 : merumuskan tujuan pembelajaran (learning objectives)
Tujuan pembelajaran pada langkah ini adalah minimal berupa tujuan
pembelajaran skenario dari tim blok. Tujuan pembelajaran dapat bertambah sesuai
dengan dinamika diskusi kelompok oleh mahasiswa.
1. Mahasiswa dapat menjelaskan anatomi dan fisiologi telinga tengah (tuba
eustachius), tonsila palatina serta adenoid dan hidung
2. Mahasiswa dapat menjelaskan faktor risiko dan patofisiologi Otitis Media Akut
3. Mahasiswa dapat menjelaskan faktor risiko dan patofisiologi adenotonsilitis
kronik dan rhinitis akut dalam kaitannya dengan terjadinya Otitis Media Akut
4. Mahasiswa dapat menjelaskan manifestasi klinis dan perjalanan penyakit
(stadium) Otitis Media Akut, Rhinitis Akut dan Adenotonsilitis Kronik
5. Mahasiswa dapat menjelaskan pemeriksaan fisik THT dan pemeriksaan
penunjang yang diperlukan
6. Mahasiswa dapat menjelaskan penegakan diagnosis dan diagnosis banding dari
Otitis Media Akut
S
N
7. Mahasiswa dapat menjelaskan penatalaksanaan medikamentosa dan
nonmedikamentosa pada Otitis Media Akut, Rhinitis Akut dan Adenotonsilitis
U
Kronik
8. Mahasiswa dapat menjelaskan komplikasi dan prognosis dari Otitis Media Akut
FK

Langkah 6: mengumpulkan informasi tambahan di luar diskusi kelompok

Langkah 7: melaporkan, membahas dan menata kembali informasi baru yang


diperoleh.
Melakukan sintesis dan pengujian informasi yang telah terkumpul
(reporting). Pada langkah ini diharapakan mahasiswa dapat menerapkan dalam
diagram / alur pikir yang dapat dipahami secara sistematis.

92
SUPLEMEN/ JAWABAN SKENARIO 4

1. Patomekanisme radang akut telinga tengah


Otitis media adalah suatu peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah. Otitis Media Akut (OMA) didefinisikan bila proses peradangan pada telinga
tengah terjadi secara cepat dan singkat (< 3 minggu) yang disertai dengan gejala lokal
dan sistemik.
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan
faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam
telinga tengah oleh silia mukosa tuba eustachius, enzim dan antibodi.
Otitis Media Akut (OMA) terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu.
Sumbatan tuba eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media.
Karena fungsi tuba eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga
tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi
peradangan.

S
Dikatakan juga bahwa pencetus terjadinya OMA ialah infeksi saluran napas atas
N
(ISPA). Pada anak, makin sering anak terserang ISPA, makin besar kemungkinan
terjadinya OMA.
U
2. Gejala dan tanda radang akut telinga tengah (OMA)
Gejala klinik OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien.
FK

Pada anak yang sudah dapat berbicara, keluhan utama adalah rasa nyeri di
dalam telinga, disamping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat
batuk pilek sebelumnya.
Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri
terdapat pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa
kurang dengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA ialah suhu tubuh
tinggi dapat sampai 39.5oC (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar
tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-
kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran
timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak
tertidur tenang.

93
3. Identifikasi tipe perforasi membran timpani dari pemeriksaan otoskopi
Perforasi membran timpani dapat ditemukan di daerah sentral, marginal
atau atik. Oleh karena itu disebut perforasi sentral, marginal atau atik.
Pada peforasi sentral, perforasi terdapat di pars tensa, sedangkan di seluruh
tepi perforasi masih ada sisa membran timpani. Pada perforasi marginal,
sebagian tepi perforasi langsung berhubungan dengan anulus atau sulkus
timpanikum. Perforasi atik ialah perforasi yang terletak di pars flaksida.

4. Stadium OMA
Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas 5
stadium: (1) stadium oklusi tuba eustachius, (2) stadium hiperemis, (3) stadium
supurasi, (4) stadium perforasi, (5) stadium resolusi. Keadaan ini berdasarkan
pada gambaran membran timpani yang diamati melalui liang telinga luar.
Stadium oklusi tuba eustachius

S
Tanda adanya oklusi tuba eustachius ialah gambaran retraksi membran
N
timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah akibat
absorbsi udara. Kadang-kadang membran timpani tampak normal (tidak ada
U
kelainan) atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tetapi tidak
dapat dideteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang
FK

disebabkan oleh virus atau alergi.


Stadium hiperemis (stadium pre-supurasi)
Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di membran
timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edema. Sekret
yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudatif yang serosa sehingga
sukar terlihat.
Stadium supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel
superfisial serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani,
menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar.
Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta
rasa nyeri di telinga bertambah hebat.

94
Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak berkurang, maka terjadi
iskemia akibat tekanan pada kapiler-kapiler, serta timbul tromboflebitis pada
vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada
membran timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna
kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur.
Bila tidak dilakukan insisi membran timpani (miringotomi) pada stadium
ini, maka kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan nanah keluar ke
liang telinga luar.
Dengan melakukan miringotomi, luka insisi akan menutup kembali,
sedangkan apabila terjadi ruptur, maka lubang tempat ruptur (perforasi) tidak
mudah menutup kembali.
Stadium perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau
virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani dan

S
nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Anak yang
N
tadinya gelisah sekarang menjadi tenang, suhu badan turun dan anak dapat
tertidur nyenyak.
U
Stadium resolusi
Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani
FK

perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi maka sekret
akan berkurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan baik atau virulensi kuman
rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan.

5. Kuman penyebab OMA


Kuman penyebab utama pada OMA ialah bakteri piogenik, seperti
Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus, Pneumokokkus. Selain itu
kadang-kadang ditemukan juga Hemofilus influenza, Escherichia colli,
Streptokokus anhemolitikus, Proteus vulgaris dan Pseudomona aeruginosa.
Hemofilus influenza sering ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5
tahun.

95
6. Faktor risiko OMA
Faktor risiko terjadinya OMA adalah bayi yang lahir prematur dan berat
badan lahir rendah, umur (sering pada anak-anak), anak yang dititipkan ke
penitipan anak, variasi musim dimana OMA lebih sering terjadi pada musim
gugur dan musim dingin, predisposisi genetik, kurangnya asupan ASI,
imunodefisiensi, gangguan anatomi seperti celah palatum dan anomali
kraniofasial lain, alergi, lingkungan padat, sosio ekonomi rendah.

7. Perbedaan anatomi tuba eustachius pada anak dan dewasa serta kaitannya
dengan kejadian OMA
Tuba eustachius terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah
nasofaring dan sepertiganya terdiri atas tulang. Pada anak tuba lebih pendek,
lebih lebar dan kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang dewasa. Panjang
tuba orang dewasa 37.5 mm dan pada anak di bawah 9 bulan adalah 17.5 mm.

S
Pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena tuba eustachius-nya pendek, lebar
N
dan letaknya agak horisontal.
U
8. Pengaruh rhinitis akut dan adenotonsilitis kronik terhadap kejadian OMA
Infeksi di hidung/tenggorokan→MO masuk ke tuba eustachius→ inflamasi pada
tuba eustachius→edema tuba eustachius→obstruksi tuba eustachius→gangguan
FK

drainase→tekanan negatif di kavum timpani→mudah terjadi infeksi kavum


timpani→sel-sel darah putih membunuh bakteri→terbentuk pus di kavum
timpani→terbentuk eksudat yang purulen di kavum timpani→membran timpani
bulging→menekan saraf di telinga→nyeri telinga→membran timpani
perforasi→keluar sekret mukopurulen dari kavum timpani.

9. Grading tonsil palatina


• T0 : tonsil telah diangkat
• T1 : bila besarnya ¼ jarak arkus anterior dan uvula
• T2 : bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan uvula
• T3 : bila besarnya ¾ jarak arkus anterior dan uvula
• T4 : bila besarnya mencapai uvula atau lebih

96
10. Indikasi dan Kontra Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi
A. Obstruksi
1. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi.
2. Gangguan bernafas saat tidur.
a. Obstructive sleep apnea syndrome
b. Upper airway resistance syndrome
c. Obstructive hypoventilation syndrome
B. Gagal tumbuh
1. Cor pulmonale
2. Abnormalitas menelan
3. Abnormalitas berbicara
4. Abnormalitas orofacial/dental
5. Gangguan limfoproliferatif
S
N
C. Infeksi
1. Tonsilitis rekuren/kronis
U
2. Tonsilitis dengan :
a. Abses nodus cervical
FK

b. Obstruksi jalan nafas akut


c. Penyakit jantung katup
3. Tonsilitis persisten dengan :
a. Sore throat persisten
b. Nodus cervical yang nyeri
c. Halitosis
4. Tonsilolithiasis
5. Status karier streptococcal yang tidak responsif terhadap terapi medis
pada anak-anak atau keluarga yang beresiko
6. Abses peritonsial yang tidak responsif terhadap terapi medis atau pada
pasien dengan tonsilitis rekuren atau abses rekuren
D. Neoplasma
Tersangka neoplasma, baik benigna maupun maligna

97
Kontra Indikasi tonsilektomi
1. Diskrasia darah.
2. Tonus otot yang lemah.

11. Penegakan diagnosis Hipertrofi Adenoid


Diagnosis hipertrofi adenoid dapat ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala
klinik, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Secara klinik dapat
ditemukan tanda-tanda seperti bernapas melalui mulut, sleep apnea, fasies
adenoid, snoring, dan gangguan telinga tengah, sedangkan pada pemeriksaan
rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan velum palatum mole
pada waktu fonasi (palatal fenomena -/-), pemeriksaan rinoskopi posterior (pada
anak biasanya sulit), tetapi tidak dapat menentukan ukuran adenoid apalagi
ukuran adenoid secara relatif. Maka diperlukan pemeriksaan penunjang yaitu
pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos true lateral.

S
Pemeriksaan ini dianggap paling baik untuk mengetahui ukuran adenoid dan
N
pengukuran hubungan besar adenoid dan sumbatan jalan napas.
U
12. Diagnosis banding OMA
OMSK
Infeksi kronik di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret
FK

yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul.

Otitis eksterna
Radang liang telinga akut maupun kronik yang disebabkan oleh infeksi bakteri,
jamur dan virus, yang biasanya disebabkan oleh trauma ringan ketika mengorek
telinga.

13. Penatalaksanaan OMA


Penatalaksanaan
Penatalaksanaan OMA sangat bergantung pada stadiumnya. Pada stadium
oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba eustachius,
sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Untuk itu diberikan obat tetes

98
hidung, HCl efedrine 0.5% dalam larutan fisiologik (anak < 12 tahun) atau HCl
efedrine 1% dalam larutan fisiologik untuk anak > 12 tahun dan orang dewasa.
Selain itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotika diberikan apabila penyebab
penyakit adalah kuman, bukan oleh virus atau alergi.
Terapi pada stadium presupurasi ialah antibiotika, obat tetes hidung dan
analgetika. Antibiotika yang dianjurkan ialah dari golongan penisilin atau
ampisilin. Pemberian antibiotika dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila alergi
penisilin, maka diberikan eritromisin.
Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotika, idealnya harus disertai
dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi,
gejala-gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur membran timpani dapat
dihindari.
Pada stadium perforasi sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang
terlihat sekret keluar secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan

S
adalah obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotika yang
N
adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali
dalam waktu 7-10 hari.
U
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal, sekret tidak
ada lagi dan perforasi membran timpani menutup.
FK

Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang
telinga luar melaui perforasi di membran timpani. Keadaan ini dapat
disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan
ini, antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila 3 minggu setelah
pengobatan sekret masih tetap banyak kemungkinan telah terjadi mastoiditis.

Pencegahan
a. Pencegahan ISPA pada bayi dan anak
b. Pemberian ASI minimal selama 6 bulan
c. Menghindari pemberian susu botol saat anak berbaring
d. Penghindaran terhadap pajanan asap rokok

99
Contoh gambaran pemeriksaan fisik pasien OMA:
Pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dan kesadaran dalam batas
normal. Pada pemeriksaan telinga dengan otoskopi didapatkan canalis auditiva
lapang, tampak sekret mucopurulen, dan tampak perforasi membran timpani
sentral, pulsating point (+).
Rhinoskopi anterior didapatkan sekret seromukous, concha nasalis
inferior oedema, hiperemis, septum nasi deviasi (-), palatal phenomena (-/-). Pada
pemeriksaan tenggorok didapatkan tonsil T3-T3, hiperemis, kripta melebar,
detritus (+). Pada pemeriksaan kelenjar getah bening leher tidak didapatkan
lymphadenopathy.

Kecurigaan adanya hipertrofi adenoid dapat dilakukan pemeriksaan penunjang :


Pemeriksaan penunjang dengan rontgen kepala lateral fokus Adenoid,
tampak gambaran soft tissue mass di regio nasofaring, dicurigai hipertrofi
adenoid, dengan A/N ratio 0.8.
S
N
No. Definisi Penjelasan
U
1. Sekret Substansi yang dihasilkan dalam setiap
sekresi
2. Mukopurulen Cairan yang bersifat kental seperti susu dan
FK

berwarna kehijauan
3. Perforasi membran timpani Letak perforasi di sentral dan pars tensa
sentral membran timpani. Seluruh tepi perforasi
masih mengandung sisa membran timpani
4. Pulsating point Keluarnya sekret dari “point” perforasi
(pada perforasi membran membran timpani, yang tampak “berdenyut”
timpani) seirama dengan denyut nadi pasien selama
fase aktif, yang nampak pada pemeriksaan
otoskopi
5. Seromukous Cairan bening dan kental
6. Concha inferior Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah
konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat
pada os maksila dan labirin ethmoid.
7. Palatal phenomena Yaitu fenomena palatum mole, yang diperiksa
dengan cara mengarahkan cahaya lampu
kepala ke arah dinding nasofaring secara
tegak lurus. Normalnya akan terlihat cahaya

100
lampu yang terang benderang. Kemudian
pasien diminta untuk mengucapkan “iii”,
palatum mole akan kembali bergerak ke
bawah sehingga benda gelap akan menghilang
dan dinding nasofaring akan terang kembali.
Fenomena palatum mole positif bila palatum
mole bergerak saat pasien mengucapkan “iii”
dimana akan tampak adanya benda gelap
yang bergerak ke atas. Sebaliknya fenomena
palatum mole negatif apabila palatum mole
tidak bergerak sehingga tidak tampak adanya
benda gelap yang bergerak ke atas dan
dinding nasofaring tetap tampak terang.
8. Kripta melebar Merupakan jaringan parut yang mengalami
pengerutan akibat terkikisnya jaringan limfoid
karena proses radang berulang, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid diganti
oleh jaring parut.
9. Detritus Tonsil terdiri dari banyak jaringan limfoid
yang disebut folikel. Saat folikel mengalami

S
peradangan, tonsil akan membengkak dan
membentuk eksudat yang akan mengalir
N
dalam saluran (kanal) lalu keluar dan mengisi
kripta yang terlihat sebagai kotoran putih atau
bercak kuning. Kotoran ini disebut detritus.
U
Detritus terdiri atas kumpulan leukosit PMN,
bakteri yang mati dan epitel tonsil yang
terlepas.
FK

10. Lymphadenopathy Pembesaran kelenjar getah bening


11. A/N ratio Rasio besarnya adenoid dan nasofaring untuk
menentukan adanya hipertrofi adenoid.
Ditentukan melalui pemeriksaan radiografi
kepala true lateral dengan mengukur
besarnya adenoid dan nasofaring kemudian
menghitung rasionya menurut teknik Fujioka.
Normal < 0.7.

101
DAFTAR PUSTAKA

Adams, L. 2012. Boeis: fundamentals of otolaryngology. 6th ed. Jakarta: EGC.


Chan, Y. and Goddard, J., 2015. K.J. Lee's Essential otolaryngology. 11th ed. New
York: McGraw-Hill Education.
Dhingra, P., Dhingra, S. and Dhingra, D., 2016. Diseases of Ear, Nose and Throat &
Head and Neck Surgery. 7th ed. New Delhi, India: Elsevier.
Gulya AJ. 2003. Anatomy of the ear and temporal bone. In: Glasscock III ME,
Gulya AJ, editors. Glasscokc-Shambaugh, surgery of the ear. Fifth edition.
Ontario:BC Decker Inc.
Johnson, J., Rosen, C., Forber, V., Pazos, A., Gralapp, C. and Bailey, B., 2014.
Bailey's head and neck surgery - otolaryngology. 5th ed. Philadelphia:
Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins.
Soepardi, A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, RD. 2011. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6.
Jakarta: FK UI

S
N
U
FK

102
DAFTAR REFERENSI YANG DIBERIKAN PADA MAHASISWA DALAM
BLOK SPECIAL SENSE DISEASES

Adams, L. 2012. Boeis: fundamentals of otolaryngology. 6th ed. Jakarta: EGC.


Brodie, Scott E et al (Ed.). 2019. Basic and Clinical Science Source 2019-2020
Clinical Optics. USA: American Academy of Ophthalmology.
Chan, Y. and Goddard, J., 2015. K.J. Lee's Essential otolaryngology. 11th ed. New
York: McGraw-Hill Education.
Dhingra, P.L. and Dhingra, S., 2017. Diseases of Ear, Nose and Throat-eBook. New
Delhi, India: Elsevier.
Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. 2010. Gray’s Anatomy for Students. Singapore:
Elsevier
Fawcet, Don W., 2002, Buku Ajar Histologi (Text Books of Histology). Jakarta:
EGC..
S
N
Guedes, V., Junior, A., Fernandes, J., Teixeira, F. and Teixeira, J.P., 2018. Long
short term memory on chronic laryngitis classification. Procedia computer
U
science, 138, pp.250-257.
Gulya AJ. 2003. Anatomy of the ear and temporal bone. In: Glasscock III ME,
Gulya AJ, editors. Glasscokc-Shambaugh, surgery of the ear. Fifth edition.
FK

Ontario:BC Decker Inc.


Harper, Richard A. 2010. Basic Opthalmology. American Academy of
Opthalmology. The Eye MD Association.
Jack J., 2011. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach by Kanski, 7th
edition. Rockwood and Green's Fractures in Adults by Bucholz, Robert W
Jamal, N., & Wang, M. B. (Eds.). (2019). Laryngopharyngeal Reflux Disease.
Springer USA. doi:10.1007/978-3 030-12318-5
Johnson, J., Rosen, C., Forber, V., Pazos, A., Gralapp, C. and Bailey, B., 2014.
Bailey's head and neck surgery - otolaryngology. 5th ed. Philadelphia:
Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins.

103
Lee, K.J., 2015. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. McGraw-Hill
Publishing. McGraw-Hill Medical Publishing Division CO New York
Chicago
Mustafa, Z. and Ghaffari, M., 2020. Diagnostic methods, clinical guidelines, and
antibiotic treatment for group A streptococcal pharyngitis: a narrative
review. Frontiers in Cellular and Infection Microbiology, 10, p.644.
Norton, L.E., Lee, B.R., Harte, L., Mann, K., Newland, J.G., Grimes, R.A. and
Myers, A.L., 2018. Improving guideline-based streptococcal pharyngitis
testing: a quality improvement initiative. Pediatrics, 142(1).
Perdami, 2010. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa
Kedokteran. Edisi 2. Jakarta: CV. Sagung Seto
Sitorus, Rita S et al (Ed.). 2017. Buku Ajar Oftalmologi edisi pertama. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI.
Soepardi, A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, RD. 2011. Buku Ajar Ilmu

S
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta:
N
FK UI
Suhardjo, Hartono, 2007. Ilmu Kesehatan Mata. Bagian ilmu penyakit mata Fakultas
U
Kedokteran Universitas Gadjah mada.
TUÆALIU, M., DRAGU, A.A., GOANÅÃ, C.M., MIHALCEA, R., IONIÅÃ, C.,
FK

LUCA, A., GHIUZAN, L. and BUDU, V., 2016. Chronic laryngitis in adults.
Archives of the Balkan Medical Union vol, 51(1), pp.34-36.
Vaughan, Asbury, 2011. General Ophtalmology. Edisi 18. USA: Mc Graw Hill
medical
Zhukhovitskaya, A. and Verma, S.P., 2019. Identification and Management of
Chronic Laryngitis. Otolaryngologic Clinics of North America, 52(4),
pp.607-616.

104

Anda mungkin juga menyukai