Anda di halaman 1dari 18

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Artritis Reumatoid


2.1.1. Definisi
Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh
inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama
(Suarjana, 2014). AR adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum
diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa
kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular (IRA, 2014). AR adalah
penyakit autoimun kronik yang menyebabkan kerusakan artikular progresif,
penurunan fungsi dan komorbiditas (McInnes dan Schett, 2017).

2.1.2. Epidemiologi
Prevalensi dan insiden AR bervariasi antara populasi satu dengan
lainnya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi AR
sekitar 1 % pada Kaukasia dewasa; Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan
Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar
0,28%. Jepang sekitar 1.7% dan India 0,75%, Insiden di Amerika dan Eropa
Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000 (IRA,
2014).
Di Indonesia hasil survei epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah
didapatkan prevalensi AR 0,3%, sedangkan di Malang pada penduduk berusia
di atas 40 tahun didapatkan prevalensi AR 0,5% di daerah Kotamadya dan
0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru AR merupakan 4,1% dari
seluruh kasus baru. Di Poliklinik Reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan
9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002 (IRA, 2014).

5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6

2.1.3. Imunopatogenesis
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan
fibroblast sinovial setelah adanya faktor pencetus, berupa autoimun atau
infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-
sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada
sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-sel
inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang ireguler pada jaringan sinovial yang
mengalami inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus
menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang (Suarjana, 2014; McInnes dan
Schett, 2017).

Gambar 2.1. Destruksi Sendi oleh Jaringan Panus


Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan
dilepaskan, sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik
(Suarjana, 2014; McInnes dan Schett, 2017).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

Gambar 2.2. Patogenesis Artritis Reumatoid

Gambar 2.3. Peran Sitokin dalam Patogenesis AR


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

2.1.3.1 Peran Sel T


Induksi respons sel T pada AR diawali oleh interaksi antara
reseptor sel T dengan share epitope dari major histocompability complex
class II (MHCII-SE) dan peptide pada antigen-presenting cell (APC)
sinovium atau sistemik. Molekul tambahan (accessory) yang
diekspresikan oleh APC antara lain ICAM-1 (intracellular adhesion
molecule-1), (CD54), OX40L (CD252), inducible costimulatory (ICOS)
ligand (CD275), B7-1 (CD80) dan B7-2 (CD86), berpartisipasi dalam
aktivitas sel T melalui ikatan dengan lymphocyte function-associated
antigen (LFA)-1 (CD11a/CD18), OX40 (CD134) (Suarjana, 2014;
McInnes dan Schett, 2017).
ICOS (CD278) dan CD28, fibroblast-like synoviocytes (FLS)
yang aktif mungkin juga berpartisipasi dalam presentasi antigen dan
mempunyai molekul tambahan seperti LFA-3 (CD58) dan ALCAM
(activated leucocyte cell adhesion molecule) (CD166) yang berinteraksi
dengan sel T yang mengekspresikan CD2 dan CD6. Interleukin (IL)-6
dan transforming growth factor (TGF-β) kebanyakan berasal dari APC
aktif, signal pada sel TH17 menginduksi pengeluaran IL-17 (Suarjana,
2014; McInnes dan Schett, 2017).
IL-17 mempunyai efek independent dan sinergisitik dengan
sitokin pro inflamasi lainnya (TNF-α) dan IL-1β) pada sinovium, yang
menginduksi pelepasan sitokin, produksi metalloproteinase, ekspresi
ligan RANK/RANK (CD265/CD254), dan osteoklastogenesis. Interaksi
CD40L (CD154) dengan CD40 juga mengakibatkan aktivasi
monosit/makrofag (Mo/Mac) sinovial, FLS dan sel B. Walaupun pada
kebanyakan penderita AR didapatkan sel T regulator CD4+CD25hi pada
sinovium, tetapi tidak efektif dalam mengontrol inflamasi dan mungkin
di non aktifkan oleh TNF α synovial. IL-10 banyak didapatkan pada
cairan sinovial tetapi efeknya pada regulasi Th17 belum diketahui.
Ekspresi molekul tambahan pada sel Th17 yang tampak pada gambar 2.4
adalah perkiraan berdasarkan ekspresi yang ditemukan pada populasi sel
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

T hewan coba. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan


struktur tersebut pada subset sel Th17 pada sinovium manusia (Suarjana,
2014; Lubberts, 2015; Angelotti et al., 2017).

Gambar 2.4. Interaksi Sel Th17 Patogenik dalam Synovial


Microenvironment pada AR

2.1.3.2 Peran Sel B


Peran sel B dalam imunopatogenesis AR belum diketahui secara
pasti, meskipun sejumlah peneliti menduga ada beberapa mekanisme
yang mendasari keterlibatan sel B. Keterlibatan sel B dalam patogenesis
AR diduga melalui mekanisme sebagai berikut (Suarjana, 2014; McInnes
et al., 2016):
1. Sel B berfungsi sebagai APC dan menghasilkan signal
kostimulator yang penting untuk clonal expansion dan fungsi
efektor dari sel T CD4+
2. Sel B dalam sinovial AR juga memproduksi sitokin proinflamasi
seperti TNF-α dan kemokin
3. Membaran sinovial AR mengandung banyak sel B yang
memproduksi faktor rheumatoid. AR dengan RF positif
(seropositif) berhubungan dengan penyakit artikuler yang lebih
tinggi dan angka morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. RF
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

juga bisa mencetuskan stimulus diri sendiri untuk sel B yang


mengakibatkan aktivasi dan presentasi antigen kepada Th, yang
pada akhirnya proses ini juga akan memproduksi RF. Selain itu
kompleks imun RF juga memperantarai aktivasi komplemen,
kemudian secara bersama-sama bergabung dengan reseptor Fcg,
sehingga mencetuskan kaskade inflamasi
4. Aktivasi sel T dianggap sebagai komponen kunci dalam
patogenesis AR. Bukti terbari menunjukkan bahwa aktivasi ini
sangat tergantung kepada adanya sel B. berdasarkan mekanisme
yang diatas, mengindikasikan bahwa sel B berperan penting dalam
penyakit AR, sehingga layak dijadikan target terapi AR

Gambar 2.5. Partisipasi Sel B pada AR

Gambar 2.5 Memperlihatkan peranan potensial sel B dalam


regulasi respons imun pada AR. Sel B mature yang terpapar oleh antigen
dan stimulasi TLR (Toll-like receptor ligand) akan berdiferensiasi
menjadi short-lived plasma cells atau masuk kedalam reaksi GC
(germinal centre) sehingga berubah menjadi sel B memori dan long-lived
plasma cells yang dapat memproduksi autoantibodi. Autoantibodi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

membentuk kompleks imun yang selanjutnya akan mengaktivasi sistem


imun melalui reseptor Fc dan reseptor komplemen yang terdapat pada sel
target. Antigen yang diproses oleh sel B mature selanjutnya disajikan
kepada sel T sehingga menginduksi diferensiasi sel T efektor untuk
memproduksi sitokin pro inflamasi, dimana sitokin ini diketahui secara
langsung maupun tidak langsung terlibat dalam destruksi tulang dan
tulang rawan. Sel B mature juga dapat berdiferensiasi menjadi sel B yang
memproduksi IL-10 yang dapat menginduksi respons autoreaktif sel T
(Suarjana, 2014; Kalampokis et al., 2013).

2.1.4. Mekanisme AR pada Interleukin 6


IL-6 adalah glycoprotein dengan berat molekul 26kDa dan mempunyai
aktivitas pleiotropic. IL-6 memicu sistem pensinyalan melalui ikatan pada 80
kDa transmembrane IL-6 reseptor (IL-6R). Setelah mengikat IL-6R, kompleks
yang terdiri dari IL-6 dan transmembrane IL-6R berhubungan dengan molekul
transduksi sinyal gp130, menghasilkan aktivasi dari sinyal downstream melalui
Janus Kinase (JAK) dalam sel target. Aktivasi ini dikenal sebagai jalur sinyal
klasik. Transmembran IL-6R diekspresikan hanya pada sel terbatas seperti
hepatosit dan beberapa leukosit, dimana gp130 di ekspresikan ke berbagai sel.
Bentuk laru dari IL-6R (sIL-6R) tidak memiliki sitoplasma dalam serum dan
memiliki afinitas yang sama dengan IL-6 sebagai transmembrane IL-6R.
Kompleks IL-6 dan sIL-6R dapat juga berikatan dengan gp130, mengarah ke
aktivasi kaskade pensinyalan. Proses ini disebut trans-signaling. Akumulasi
bukti menunjukkan bahwa pensinyalan trans IL-6 bersifat proinflamasi,
sedangkan pensinyalan klasik diperlukan untuk regenerative atau aktifitas anti
inflamasi (Yoshida et al., 2014).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

Gambar 2.6 Aktivitas pleiotropic IL-6

IL-6 telah terbukti berkontribusi pada produksi autoantibodi dengan


bekerja pada plasmablast. Secara historis, IL-6 pada awalnya diidentifikasi
sebagai faktor larut turunan sel-T pembantu yang mempromosikan sekresi
imunoglobulin oleh sel B yang diaktifkan, sementara temuan terbaru
menunjukkan bahwa IL-6 juga bertindak sebagai pengatur diferensiasi sel T
CD4 + dan pengaktifan. Pensinyalan IL-6 telah ditemukan untuk mengontrol
proliferasi dan resistensi sel T yang beristirahat terhadap apoptosis dengan
mempromosikan produksi IL-2 dan aktivasi STAT3. Selain itu, IL-6
mempengaruhi fungsi efektor sel T dengan mempromosikan diferensiasi sel
Th2 melalui upregulasi faktor nuklir dari sel T teraktivasi (NFAT) c2 dan c-
maf, sementara itu memblokir sinyal IFN-g dan menghambat diferensiasi sel
Th1. Selain itu dan yang lebih penting, dengan adanya transforming growth
factor (TGF) -𝛽, IL-6 mampu mempromosikan diferensiasi sel Th17 melalui
upregulasi yang dimediasi STAT3 dari reseptor orphan retinoid (ROR) gt,
sementara itu menghambat TGF- 𝛽 yang menginduksi diferensiasi sel T
regulator (Treg). IL-6 dengan demikian mempromosikan dominasi Th17
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

dibandingkan Treg dalam subset sel T CD4+ efektor, yang dianggap


memainkan peran utama dalam pengembangan RA dan berbagai penyakit yang
dimediasi kekebalan lainnya. Selain itu, IL-6 telah terbukti mempromosikan
pengembangan sel pembantu folikel T, yang mengeluarkan IL-21, faktor
diferensiasi sel B lainnya (Yoshida et al., 2014).

2.1.5. Diagnosis
Saat ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis
menurut American College of Rheumatology/European League Against
Rheumatism 2010, yaitu (IRA, 2014):

Tabel 2.1. Kriteria Klasifikasi AR ACR/EULAR 2010

Kriteria ini ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru. Di samping itu,
pasien dengan gambaran sendi khas AR dengan riwayat penyakit yang cocok
untuk kriteria sebelumnya diklasifikasikan sebagai AR. Pasien dengan
penyakit lama yang termasuk penyakit tidak aktif (dengan atau tanpa
pengobatan) yang berdasarkan data-data sebelumnya didiagnosis AR
hendaknya diklasikasikan sebagai AR (IRA, 2014).
Pada pasien dengan skor kurang dari 6 dan tidak diklasifikasikan sebagai
AR, kondisinya dapat dinilai kembali dan mungkin kriterianya dapat terpenuhi
seiring berjalannya waktu (IRA, 2014).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

Terkenanya sendi adalah bengkak atau nyeri sendi pada pemeriksaan


yang dapat didukung oleh adanya bukti sinovitis secara pencitraan. Sendi DIP,
CMC I dan MTP I tidak termasuk dalam kriteria. Penggolongan distribusi sendi
diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan jumlah sendi yang terkena, dengan
penempatan ke dalam kategori yang tertinggi yang dapat dimungkinkan (IRA,
2014).
Sendi besar adalah bahu, siku, lutut, pangkal paha dan pergelangan kaki.
Sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, IP ibu jari dan pergelangan tangan.
Hasil laboratorium negatif adalah nilai yang kurang atau sama dengan ambang
batas normal; positif rendah adalah nilai yang lebih tinggi dari batas atas
normal tapi sama atau kurang dari tiga kali nilai tersebut; positif tinggi adalah
nilai yang lebih tinggi dari tiga kali batas atas. Jika RF hanya diketahui positif
atau negatif, maka positif harus dianggap sebagai positif rendah. Lamanya sakit
adalah keluhan pasien tentang lamanya keluhan atau tanda sinovitis (nyeri,
bengkak atau nyeri pada perabaan). Dalam menegakkan diagnosis AR
sangatlah penting untuk mengelompokkannya berdasarkan waktu dimana
dikatakan recent onset jika sudah menderita kurang dari dua tahun (IRA, 2014).

2.2. SDAI
The Simplified Disease Activity Index (SDAI) telah di publikasikan pada
tahun 2003 untuk menghasilkan alat yang lebih sederhana daripada Disease Activity
Score (DAS) untuk menilai derajat aktivitas dari AR. SDAI di dapatkan dengan
cara menjumlahkan 5 faktor yang terdiri dari:
28TJC + 28SJC + Kadar CRP + Patient Global Assestment (PtGA) +
Physician Global Assestmen (PhGA)
Keterangan: 28TJC= nyeri tekan pada 28 sendi, 28SJC= pembengkakan pada 28
sendi, CRP= C Reactive Protein, PtGA= diukur dengan menggunakan skala VAS
0-10, PhGA= diukur menggunakan skala VAS 0-10
Untuk score akhir tidak diperlukan alat penghitung untuk mengkalkulasikan
hasilnya sehingga lebih mudah dan sederhana untuk digunakan. Nilai dapat berkisar
antara 0-86. Perubahan skor SDAI sebanyak 22 atau lebih menunjukkan adanya
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

perkembangan besar, dan perubahan 10-22 menunjukkan perkembangan yang


sedang. (Salaffi et al., 2013).

Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas Aktivitas Penyakit AR


Aktivitas Penyakit Skor SDAI
Remisi ≤ 3.3
Rendah > 3.3 s/d ≤ 11
Sedang > 11 s/d ≤ 26
Tinggi > 26

SDAI merupakan alat untuk mengukur aktivitas penyakit AR yang validitas


sama baiknya dengan DAS28 untuk menilai status pasien (Sharma, 2009).

2.3. Moringa Oleifera (Daun Kelor)


Moringa oleifera adalah pohon asli India sub-Himalaya yang tumbuh di
daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia. Tanaman ini telah digunakan selama
ribuan tahun sebagai sumber makanan dan agen obat karena sifatnya yang bergizi
tinggi. Moringa dikenal dengan banyak nama di berbagai negara atau wilayah di
dunia, termasuk pohon horse radish, pohon drum stick dan tree of life. Baru-baru
ini telah banyak dilakukan penelitian yang dilakukan sehingga semakin menambah
pengetahuan kita tentang komposisi fitokomia dan efek obat MO pada hewan dan
juga kesehatan manusia. Dari efek obat ini, sifat antiinflamasi, immunomodulasi
dan anti bakteri adalah yang paling banyak dipelajari (Ray, 2017).
2.3.1. Taksonomi
Klasifikasi botani tanaman daun kelor adalah sebagai berikut:
• Kingdom : Plantae
• Divisi : Tracheophyta
• Subdivisi : Spermatophytina
• Kelas : Magnoliopsida
• Ordo : Brassicales
• Famili : Moringaceae
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

• Genus : Moringa
• Spesies : Moringa oleifera

2.3.2. Gambaran Makroskopis Moringa oliefera
M. oleifera adalah tanaman yang dapat tumbuh di tanah yang
miskin (pH 5-9) dengan iklim kering (250-300 mm hujan / tahun).
Buahnya menghasilkan 12 biji (rata-rata), berbentuk panjang kering,
sederhana dan coklat (saat matang), memiliki kapsul loculicide yang
tidak berfungsi dengan ujung segitiga, berbiji oleaginous, memiliki
kotiledon (Gambar 2.7).

Gambar 2.7. Gambaran Pohon (A), Buah (B), Biji (C) dan Bunga (D)
Moringa oleifera.(Ferreira, 2014).

Benihnya berbentuk anemochoric, bitegumetend,


exalbuminous dan bersayap, sehingga membuat penyebaran benih
lebih efektif. Biji ini dapat ditanam secara langsung dengan cara
yang definitif atau di persemaian, meskipun pertumbuhannya juga
dapat dilakukan oleh stek, tanaman ini bisa tumbuh dengan cepat
hingga 4m di tahun pertama dan tinggi 15 m dalam tahap
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

pengembangan selanjutnya. Dalam kondisi yang menguntungkan,


tanaman bisa menghasilkan 50-70 kg buah / tahun (Ray et al, 2017).

2.3.3. Kandungan Moringa oliefera


Meskipun, secara historis, hampir setiap bagian tanaman
moringa dapat digunakan dalam beberapa cara, bentuk atau pun untuk
berbagai aplikasi (nutrisi, obat atau industri), tidak setiap bagian
tanaman mengandung nilai kimia atau nutrisi yang sama. Sebagai
contoh, satu studi yang membandingkan nilai gizi daun, ranting,
polong dan pohon utuh menemukan bahwa persentase protein kasar
tertinggi terdapat pada daun dan terendah ranting, sedangkan
persentase serat tertinggi ditemukan pada ranting dan biji, berlawanan
dengan daun dan pohon utuh. Untuk alasan ini, setiap bagian tanaman
digunakan dengan cara yang berbeda (Ray et al., 2017).
2.3.3.1. Biji
Karena benih, pada umumnya, bukanlah sumber nutrisi
utama, analisis nutrisi biji moringa belum banyak dilakukan.
Namun, ada beberapa fitokimia penting lainnya di dalam biji.
Salah satu komponen penting tersebut adalah koagulan alami
yang secara tradisional dan terutama digunakan dalam
pengolahan air dengan keruh air. Identitas kimia yang
mungkin dari koagulan pada benih adalah protein lectin.
Protein yang larut dalam air ini telah ditemukan memiliki
sifat aglutinatif tinggi, serta sifat anti bakteri yang ampuh
(Ferreira et al., 2014).
Biji juga banyak digunakan untuk minyak mereka, yang
secara komersial dikenal sebagai minyak Ben. Minyak ini
mengandung sekitar 70% asam lemak oleat, serta konsentrasi
asam palmitat, stearat dan behenat yang signifikan. Biji juga
telah menunjukkan banyak aplikasi obat yang menjanjikan
lainnya. Misalnya, penelitian telah menunjukkan aplikasi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

anti-diabetesnya, serta kemampuannya untuk mengurangi


nefropati akibat diabetes. Ekstrak dari biji juga telah
menunjukkan aktivitas anti-inflamasi terhadap radang
umum, kolitis, artritis dan asma (Ray et al., 2017).

2.3.3.2. Bunga
Analisis nutrisi dari 100 g berat basah bunga moringa
mengandung 3,6 g protein, 1,3 g serat kasar, 7,1 g karbohidrat,
90 mg fosfor, dan lebih dari 1,3 g berbagai mineral. Semua
tingkat nutrisi di dalam bunga ditemukan berada di dalam
batas dosis harian yang direkomendasikan (RDA). Namun,
bunga tanaman M. oleifera nampaknya merupakan bagian
tanaman yang paling jarang digunakan. Hal ini mungkin
disebabkan oleh musiman atau terbatasnya ketersediaan bunga
versus daun atau biji yang relatif lebih mudah disimpan dalam
jangka panjang. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa bunga
memiliki potensi obat juga. Misalnya, nanopartikel emas
dengan kemampuan apoptosis yang kuat terhadap sel kanker
telah dihasilkan dari kelopak bunga dan ekstrak bunga juga
memberi efek antiinflamasi dengan menekan sitokin inflamasi
dari jalur faktor-kisi nuklir (NF-κß) (Ray et al, 2017).

2.3.3.3. Daun
Analisis nutrisi dari 100 gr berat basah daun moringa
mengandung 2,5 g protein, 4,8 g serat kasar, 3,7 g karbohidrat,
110 mg fosfor, dan lebih dari 2,0 g berbagai mineral. Bila 100
g makanan yang dapat dimakan umum dibandingkan dengan
daun moringa kering, moringa mengandung 10 kali lebih
banyak vitamin A daripada wortel, 9 kali protein dalam yogurt,
17 kali kalsium dalam susu, 15 kali kalium pisang, dan 35 kali
zat besi. dari bayam. Analisis polifenol antioksidan pada daun
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

menunjukkan adanya beberapa asam fenolik, bersifat gallic,


chlorogenic, ellagic, dan ferulic, serta beberapa flavonoid,
kaempferol, quercetin dan rutin. Semua tingkat nutrisi di
dalam daun ditemukan berada di dalam batas dosis harian yang
direkomendasikan (Ray et al., 2017).
Studi ekstensif juga telah dilakukan pada daun M.
oleifera yang mencakup berbagai macam aplikasi obat.
Aplikasi yang lebih umum dari daun M. oleifera melibatkan
sifat anti-mikroba, anti-inflamasi dan anti-diabetesnya. Seperti
pada kebanyakan tanaman, M. oleifera juga ditemukan
mengandung tingkat tanin tinggi, yang merupakan zat pahit
yang dalam konsentrasi lebih tinggi dapat menghambat
kemampuan tubuh untuk menyerap nutrisi (Ray et al., 2017).

Tabel 2.3 Komposisi Kandungan Daun Moringa oleifera (Oyewo et al.,


2013)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

2.3.4. Efek anti inflamasi Moringa oleifera


Respon inflamasi adalah respon kimia non-spesifik dan
bertingkat sistem kekebalan tubuh terhadap berbagai kelainan atau
rangsangan dalam tubuh (Owen et al., 2013). Rangsangan yang
berbeda ini memicu kaskade sitokin dan mediator inflamasi yang
menyebabkan vasodilatasi, kebocoran vaskular, sel kekebalan
jaringan infiltrasi, dan stimulasi membran mukosa (Owen et al.,
2013).
Perubahan jaringan molekuler dan mikroskopis ini
dimanifestasikan sebagai kemerahan, panas, bengkak dan nyeri.
Peradangan juga bisa berlangsung lama, seperti pada infeksi akut atau
kronis, seperti pada artritis reumatoid dan lupus, yang juga sering
dikaitkan dengan obesitas, diabetes, infeksi, stres oksidatif, kanker
dan hepatotoksisitas (Ray et al, 2017).
Studi dengan menggunakan model hewan jelas telah
menunjukkan aktivitas anti-inflamasi M. oleifera yang potensial.
Namun, yang masih belum jelas adalah identifikasi lengkap senyawa
atau senyawa yang tepat yang bertanggung jawab untuk mengerahkan
aktivitas semacam itu. Untuk saat ini, glucosinolates dan
isothiocyanates dengan flavonoid adalah temuan paling
memungkinkan. Selain itu, moringa mengandung beberapa senyawa
yang jarang ditemukan di alam tetapi peran spesifik mereka belum
digambarkan secara jelas. Glukosinolat adalah senyawa organik yang
mengandung sulfur dan nitrogen dan berasal dari glukosa dan asam
amino (Waterman et al., 2015).
Zat ini dikenal memiliki efek penghambatan yang kuat pada
produksi NO. Konsentrasi M. oleifera isothiocyanate juga ditemukan
dapat mengurangi resistensi insulin, leptin, resistin, kolesterol,
interleukin-1ß (IL-1ß), tumor necrosis factor-alpha (TNFα), dan
glukosa-6-phosphotase pada tikus diabetes, dan berdasarkan pada
temuan tersebut penelitian ini menyimpulkan bahwa senyawa
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

isothiocyanate mungkin merupakan bahan bioaktif utama yang


memiliki aktivitas anti-diabetes serta respons anti-inflamasi yang
manjur pada M. oleifera. Flavonoid, yang meliputi kuersetin,
kaempferol glukosida, dan malfat flavonoid, menunjukkan aktivitas
anti-inflamasi melalui penghambatan produksi NO pada makrofag
LPS (Waterman et al., 2015).
Banyak penelitian sebelumnya telah menetapkan efek
penghambatan M. oleifera pada NO, VEGF, TNFα, IL-2, IL-1ß, IL-6,
glukosa-6-phosphotase, insulin, leptin, resistin dan kolesterol
(Waterman et al., 2015). Jalur yang paling umum, yang dianggap
sebagai jalur pensinyalan pro-inflamasi prototipikal dan faktor
transkripsi induk, dimediasi oleh NF-kß (Lawrence, 2009). Jalur NF-
κß telah dikaitkan dengan beberapa kondisi peradangan, termasuk
rheumatoid arthritis, lupus, gangguan paru obstruktif kronik, multiple
sclerosis, asma, penyakit radang usus dan kolitis ulserativa
(Lawrence, 2009).
Banyak penyakit inflamasi ini telah dipelajari dengan
menggunakan M. oleifera. Salah satu sumber seluler potensial yang
merangsang produksi sitokin adalah makrofag. Dalam sebuah
penelitian yang menguji efek ekstrak bunga M. oleifera
hydroethanolic pada makrofag RAW 264.7 makrofag, M. oleifera
ditemukan mampu menekan kadar NO, prostaglandin E (2) [PGE (2)],
IL-6, IL-1β, TNF-α, NF-κß, inducible NO synthase (iNOS), dan
cyclooxygenase-2 (COX-2), namun juga meningkatkan tingkat faktor
antiinflamasi, termasuk IL-10 dan Iκß-α (Tan et al., 2015). Karena
Iκß-α menghambat κß pada NF-κß, hal ini mengakibatkan penurunan
regulasi ekspresi gen TNF-α, IL-6, COX-2, dan iNOS. Komponen
bioaktif dalam ekstrak etanol dapat menghambat degradasi Iκß-α (Tan
et al., 2015).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

2.3.5. Efek Immunomodulatory Moringa oleifera


Modulasi kekebalan adalah manipulasi respons imun untuk
menekan respons yang tidak diinginkan akibat autoimmunitas, alergi,
dan penolakan transplantasi, serta untuk merangsang respons protektif
terhadap patogen yang sebagian besar menghindari sistem kekebalan
tubuh. Modulator imun adalah zat yang mempengaruhi secara
langsung atau tidak langsung respon imun terhadap agen atau terapi
eksternal dan mencegah atau mengurangi perkembangan penyakit
degeneratif (Fagnoni et al., 2000). Mereka memiliki efek luas pada
keseluruhan sistem imunitas, namun terutama mempengaruhi
imunitas seluler, sementara imunitas humoral dapat terpengaruh
secara tidak langsung (Goldsby et al., 2008). Modulator imun
mencapai efeknya dengan meningkatkan area spesifik dari sistem
kekebalan tubuh, terutama imunitas bawaan dan aktivitas limfosit T.
Mereka diketahui memiliki aktivitas penguat dan penekan, tergantung
pada status kekebalan pengguna (Spelman et al., 2006).
Penelitian yang telah dilakukan di Universitas Brawijaya
Malang juga telah membuktikan bahwa ekstrak aquoeus daun M.
oleifera secara in vitro memiliki aktivitas sebagai imunomodulator
melalui senyawa aktifnya, seperti saponin dan flavonoid, yang
bertindak sebagai imunostimulan pada CD4 + (sel T helper) dan CD4
+ (sel T sitotoksik), serta B220 + , dimana dosis rendah dapat
meningkatkan jumlah sel CD 4+ dan CD 8+ (Rachmawati et al, 2014).
Ekstrak methanol daun MO ternyata lebih penting daripada ekstrak
daun lainnya selama studi imunomodulasi. Ekstrak methanol
merangsang sistem kekebalan seluler dan humoral. Ekstrak methanol
juga menunjukkan efek potensial pada sistem haemopoetic. Potensi
imunomodulator dari daun MO dapat dikaitkan dengan adanya
flavonoid, polifenol dan terpenoid yang dapat memodulasi salah satu
mekanisme kekebalan yang disebutkan di atas (Gaikwad et al., 2011).

Anda mungkin juga menyukai