Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH OBAT INFLAMASI

RHINITIS, CONJUNCTIVITIS, ALERGI, DAN PSEUDOALERGI

Disusun oleh:

Kelompok 7

Obat Inflamasi - B

Alya Azzahra 1706024923

Athyya Wulan Syafitri 1706974321

Fadel Muhammad Riziq 1706034312

Frederick 1706034180

Hariman Aji Ariyanto 1706034703

Raihani Putri Dayati 1706033966

Regita Putri 1706034230

Theresia P G Taa 1706103556

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Rhinitis, Conjunctivitis, Alergi, dan Pseudoalergi” tepat pada waktunya dan sesuai yang
diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas Rhinitis, Conjunctivitis, Alergi, Dan Pseudoalergi
dari mulai penjelasan umum, patofisiologi, dan juga pengobatannya. Pada masing-masing penyakit
tersebut dijabarkan mengenai patofisiologi, pengobatan mencakup contoh obatnya, mekanisme
kerja obat dan kaitannya dengan patofisiologi, serta efek samping.
Makalah ini disusun secara sistematis dalam memaparkan Rhinitis, Conjunctivitis, Alergi,
dan Pseudoalergi. Makalah ini dibuat dengan tujuan agar nantinya bermanfaat bagi mahasiswa
program studi Farmasi pada khususnya untuk lebih mudah memahami mata kuliah Obat Inflamasi
dan bagi pembaca pada umumnya. Dalam proses pendalaman materi “Rhinitis, Conjunctivitis,
Alergi, dan Pseudoalergi” ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran,
untuk itu rasa terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Dr. Anton Bahtiar S.Si., M.Si. sebagai
dosen pengajar mata kuliah Obat Inflamasi-B dan juga kepada semua pihak yang telah membantu
dalam kelancaran pembuatan tugas makalah ini.
Kami sadar masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Untuk itu, kami berharap kritik
dan saran yang membangun mengenai makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat memberikan
manfaat dan dapat berguna sebagai tambahan ilmu pengetahuan bagi para pembaca.

Depok, 18 Mei 2019


DAFTAR ISI

COVER .....................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI ...........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHLUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................................1
1.3. Tujuan................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pendahuluan .....................................................................................................................3
2.2. Alergi dan Pseudoalergi ..................................................................................................3
2.2.1 Patofisiologi Alergi dan Pseudoalergi...................................................................4
2.2.2 Pengobatan Alergi dan Pseudoalergi ....................................................................8
2.3. Rhinitis ..............................................................................................................................
2.3.1 Patofiologi Rhinitis .................................................................................................8
2.3.2 Pengobatan Rhinitis .............................................................................................
2.4.Conjunctivitis....................................................................................................................
2.4.1 Patofisiologis Conjunctivitis.................................................................................
2.4.2 Pengobatan Conjunctivitis....................................................................................
BAB III PENUTUPAN
3.1. Kesimpulan .....................................................................................................................
3.2. Saran ................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Alergi merupakan reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme

imunologis, yaitu akibat induksi IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang

berikatan dengan sel mast. Reaksi alergi timbul akibat paparan terhadap bahan yang

umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan yang disebut

sebagai alergen (Wistiani & Notoatmojo, 2011).

Prevalensi penyakit alergi di seluruh dunia meningkat secara drastis di negara

maju dan berkembang. Penyakit alergi termasuk asma, rinitis, anafilaksis, alergi obat-

obatan, alergi makanan, alergi serangga, eksim, urtikaria (gatal-gatal), dan angioedema.

Selama dua dekade terakhir, peningkatan prevalensi alergi terutama terjadi pada anak-

anak. Di negara maju, perawatan pasien dengan penyakit alergi terfragmentasi dan

masih jauh dari kata ideal. Salah satu aspek yang perlu dibenahi adalah kepatuhan yang

baik terhadap pengobatan. Kepatuhan harus menjadi prioritas terkait dengan

perkembangan pasien.

Alergi tidak hanya menyebabkan disfungsi kekebalan dalam jangka waktu yang

panjang, tetapi juga terjadi inflamasi yang mendasari penyakit tidak menular lainnya.

Faktor penting lain yang ikut berperan adalah interaksi gen-lingkungan. Akibat dari

besarnya prevalensi alergi, alergi harus dianggap sebagai masalah kesehatan

masyarakat utama dan dalam kerangka penyakit tidak menular.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana mekanisme patofisiologi dan pengobatan alergi dan pesudoalergi ?

2. Bagaimana mekanisme patofisiologi dan pengobatan rhinitis ?

3. Bagaimana mekanisme patofisiologi dan pengobatan conjunctivitis ?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui fungsi dan peran mediator inflamasi pada rhinitis, konjungtivitis,
alergi, dan pseudoalergi.
2. Mengetahui dan memahami klasifikasi penyakit rhinitis, konjungtivitis,
alergi, dan pseudoalergi.
3. Mengetahui dan memahami patofisiologi dan mekanisme terjadinya rhinitis,
konjungtivitis, alergi, dan pseudoalergi.
4. Mengetahui dan memahami pemicu yang dapat menyebabkan rhinitis,
konjungtivitis, alergi, dan pseudoalergi.
5. Mengetahui dan memahami mekanisme terapi non farmakologi pada rhinitis,
konjungtivitis, alergi, dan pseudoalergi.
6. Mengetahui dan memahami golongan dan mekanisme terapi farmakologi
pada rhinitis, konjungtivitis, alergi, dan pseudoalergi.
BAB II

PEMBAHASAN

1) Pendahuluan

2) Alergi dan Pseudoalergi

a) Patofisiologi

a. Alergi

Reaksi hipersensitivitas tipe I (immediate hypersensitivity) biasa

disebut sebagai alergi. Hipersensitivitas langsung adalah reaksi yang terjadi

secara cepat (dalam hitungan menit) setelah interaksi antigen dengan

antibodi IgE yang terikat pada permukaan sel mast pada host yang peka.

Reaksi dimulai dengan masuknya antigen, yang disebut alergen karena

memicu alergi. Alergen adalah zat lingkungan yang umumnya tidak

berbahaya bagi orang yang terpapar. Namun, beberapa orang mewarisi gen

yang membuatnya rentan terhadap alergi. Kerentanan ini dimanifestasikan

oleh kecenderungan orang-orang tersebut untuk merespon TH2 yang kuat,

selanjutnya untuk menghasilkan antibodi IgE terhadap gen-gen. IgE adalah

pusat aktivasi sel mast dan pelepasan mediator yang bertanggung jawab

untuk manifestasi klinis dan patologis dari reaksi. Hipersensitivitas langsung

menyebabkan reaksi lokal yang mengganggu (rinitis dan demam), sangat

melemahkan (asma), atau bahkan fatal (anafilaksis).


Sebagian besar reaksi hipersensitivitas memiliki mekanisme sebagai

berikut:

● Aktivasi sel-sel TH2 dan produksi antibodi IgE

Alergen dapat masuk melalui inhalasi, tertelan, atau

disuntikkan. Respon TH2 terhadap alergen dipengaruhi oleh

rute masuk, dosis, tingkat keparahan paparan antigen, dan

genetik. Sel-sel TH2 yang diinduksi mengeluarkan sitokin,

termasuk IL-4, IL-5, dan IL-13, yang bertanggung jawab atas

seluruh reaksi hipersensitivitas langsung. IL-4 menstimulasi

sel B khusus untuk alergen, IL-5 mengaktifkan eosinofil yang

direkrut, dan IL-13 bekerja pada sel epitel dan merangsang

sekresi lendir.

● Sensitisasi sel mast oleh antibodi IgE

Sel mast mengekspresikan reseptor afinitas tinggi untuk

bagian Fc dari rantai berat IgE, yang disebut FcεRI. Meskipun

konsentrasi serum IgE sangat rendah (dalam kisaran 1 hingga

100 μg/mL), afinitas reseptor sel mast FcεRI sangat tinggi

sehingga reseptor selalu ditempati oleh IgE. Sel mast yang

mengandung antibodi ini “peka” untuk bereaksi jika antigen

berikatan dengan molekul antibodi. Kemudian, ada basofil


yang juga mengekspresikan FcεRI. Sel ketiga yang

mengekspresikan FcεRI adalah eosinofil.

● Aktivasi sel mast dan pelepasan mediator

Ketika seseorang yang tersensitisasi oleh paparan alergen

diekspos ulang terhadap alergen, ia terikat pada beberapa

molekul IgE spesifik pada

sel mast, biasanya pada

atau dekat lokasi

masuknya alergen. Ketika

molekul-molekul IgE

saling terkait, serangkaian

sinyal biokimia dipicu

dalam sel mast. Sinyal

memuncak dalam sekresi

berbagai mediator dari sel

mast, yaitu:

○ Pelepasan amin

vasoaktif

○ Mediator lipid

○ Sitokin
b. Pseudoalergi

Pseusoalergi memiliki gejala klinis yang mirip dengan alergi pada

umumnya atau reaksi tipe 1. Reaksi pseudoalergi muncul pertama kali tanpa

diawali sensitisasi. Selain itu, psudolaergi juga dapat dipicu oleh beberapa

obat dengan mekanisme yang berbeda. Seperti contoh, obat taxol yang dapat

menginduksi pseudoalergi dengan mengaktivasi sistem komplemen.

a. Pseudoalergi terkait aktivasi komplemen

Anaphylatoxin adalah faktor penyebab yang memicu complement

activation-related pseudoallergy (CARPA). Reaksi komplemen

termediasi dapat melawan efek - efek yang berpotensi sebagai agen yang

berbahaya bagi tubuh. Pada dasarnya, proses yang mendasari terjadinya


CARPA terdiri dari 3 tahap, yaitu (1) Sistem komplemen diaktivasi, (2)

sel - sel sekretori dan sel - sel darah terstimulasi, (3) Sel efektor dari

CARPA memberikan respon terhadap mediator. CARPA cascade

(kompleks pelindung untuk antiviral) dapat dipicu dengan 3 jalur, yaitu

Classical pathway, Lectin pathway, Alternative pathway.

- Classical Pathway (CP)

Classical Pathway dipicu oleh interaksi antara kompleks antigen-

antibodi pada permukaan mikroorganisme. C1q berikatan dengan

immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin M yang

mengakibatkan aktivasi C1r dan C1s. C4 dan C2 masing - masing

akan membelah menjadi C4b dan C2a dengan adanya proteasi C1r

dan C1s. Kemudian, terbentuklah C4bC2a (C3 convertase) yang

nantinya mengubah C3 menjadi C3b dan membentuk C4bC2aC3b

(C5 convertase).

- Lectin Pathway (LP)

Lectin Pathway melibatkan aktivitas dari mannose-binding lectin

(MBL) dan molekul ficolins acted pattern-recognition yang langsung

mengenali pola - pola karbohidrat pada permukaan dari

mikroorganisme patogen. Setiap molekul pengenal pola yang bersatu

dengan MBL-associated serine proteases (MASPs) memiliki struktur

yang sama dengan C1r dan C1s. Karena memiliki fungsi yang sama

dengan C1r dan C1s, MASP-2 membelah C4 dan C2 untuk

membentuk C3 convertase.

- Alternative Pathway (AP)

Alternative pathway pada sistem komplemen merupakan komponen

bawaan dari sistem imun dan memainkan peran penting dalam

perlindungan alami melawan infeksi. Perbedaan Alternative pathway


dengan Classical pathway dan Lectin pathway adalah C3 dapat

diaktivasi secara langsung. Protease B dan D dapat berikatan dengan

C3(H2O) dan ikatan tersebut dapat membentuk C3 convertase

(C3(H2O)Bb) yang membelah C3 menjadi C3a dan C3b. C3b

menginduksi pembentukkan C5 convertase Altenative pathway. C5

convertase tersebut membelah C5 menjadi C5a anaphylatoxin dan

fragmen C5b yang nantinya memiliki peran penting dalam cascade.

b) Pengobatan

1. Antibodi anti-igE dikenali oleh reseptor IgE sehingga IgE bebas yang di produksi

oleh B-cell berkurang dan tidak dapat sampai kepada reseptor (FcƐRI)pada sel mast,

sehingga mediator inflamasi tidak dilepaskan oleh sel Mast.

2. Mast Cell Stabilizer (Disodium Kromoglikat) bekerja dengan cara mencegah

reseptor (FcƐRI) sampai kepada sel mast sehingga IgE yang bersirkulasi dalam

tubuh tidak dapat diterima oleh sel mast dan mencegah lepasnya mediator inflamasi,

DSCG mencegah degranulasi sel Mast dengan cara menghambat influks kalsium

3. Anti Histamin (Fexofenadine) memiliki mekanisme kerja sebagai antagonis selektif

reseptor H1 disaluran pencernaan, uterus, pembuluh darah besar, dan otot bronkial.

Menekan terjadinya bengkak, kemerahan, pruirits (gatal) karena reaksi alergi

4. Kortikosteroid bebas adalah molekul yang kecil dan dapat berdifusi kedalam sel

karena sifatnya yang lipofilik, kortikosteroid berikatan dengan glukokotikoid-

kortikosteroid membentuk suatu kompleks yang memodifikasi aktifitas transkripsi

yang menyebabkan terjadinya produksi lipocortin yang menginhibisi fosfolipase A2

sehingga fosfolipid tidak dapat diubah menjadi asam arakidonat

5. Epinefrin menyebabkan bronkodilatasi kuat dengan aksi langsung pada otot polos
bronkial, aksi ini dapat mengurangi bronkokonstriksi yang disebabkan oleh
alergi.Obat ini memberikan aksi secara langsung pada reseptor Alfa dan Beta
sehingga memberikan efek yang sama seperti hormon adrenalin
3) Rhinitis

2.3.1. Patofisiologi
Terdapat dua jenis Rhinitis, yaitu :

a. Rhinitis Non-Allergic

Rhinitis Non-Allergic, yang biasa disebut sebagai "flu biasa," dalam banyak kasus

disebabkan oleh satu atau lebih virus. Penyebab utamanya adalah adenovirus, echovirus,

dan rhinovirus. Selama tahap akut awal, mukosa hidung menebal, edematosa, dan merah;

rongga hidung menyempit; dan turbinatnya membesar. Perubahan ini dapat meluas, untuk

menghasilkan faringotonsilitis. Infeksi bakteri sekunder meningkatkan reaksi inflamasi dan

menghasilkan eksudat mukopurulen atau kadang supuratif. Tetapi infeksi ini segera

sembuh, dalam seminggu jika diobati atau lebih jika diabaikan.

b. Rhinitis Allergic

Rhinitis alergi (hay fever) diawali oleh reaksi hipersensitif terhadap salah satu alergen,

paling umum adalah serbuk sari tanaman, jamur, alergen hewan, dan tungau debu. Seperti

halnya dengan asma, rinitis alergi adalah reaksi imun yang dimediasi IgE dengan respons

dini dan late-phase. Reaksi alergi ditandai dengan edema mukosa yang ditandai, kemerahan,

dan sekresi lendir, disertai dengan infiltrasi leukosit dimana eosinofil menonjol.

Sensitisasi Alergen dan Sintesis IgE dan Peran Sel Dendritik dan Limfosit

Proses sensitisasi dimulai pada jaringan hidung ketika sel antigen-presenting (APC), yang

terutama merupakan sel dendritik, menelan alergen, memecahnya menjadi peptida alergenik

(antigenik), dan bermigrasi ke kelenjar getah bening, di mana mereka menyajikan peptida

ini untuk limfosit T CD41 spesifik-epitop. Aktivasi limfosit CD41 membutuhkan interaksi

reseptor sel T spesifik pada permukaan sel T dengan kompleks alergen peptida-MHC kelas

II pada APC dan ligasi reseptor kostimulator dari keluarga CD28 pada sel T oleh anggota

keluarga B7 dari molekul kostimulator (CD80 dan CD86) pada APC. Dalam reaksi alergi,

sel limfosit T naif diubah menjadi sel Th2 dengan mediator IL-4.

Sel dendritik (DC) membentuk jaringan yang terlokalisasi di dalam epitel dan submukosa

seluruh mukosa pernapasan, termasuk mukosa hidung. Jumlah DC dan sel T pada

permukaan epitel hidung meningkat pada rhinitis. Sebagai contoh, peningkatan jumlah sel

dendritik CD1a1 dan CD11c1 di epitel dan lamina propria mukosa hidung yang
dikelompokkan dengan limfosit T CD41 dan eosinofil telah ditemukan pada penyakit ini.

Selain menghadirkan antigen, DC dapat mempolarisasi sel T naif menjadi sel Th1 atau Th2

sesuai dengan fenotip mereka sendiri dan dengan sinyal yang diterima dari antigen yang

diproses dan dari lingkungan mikro jaringan selama presentasi antigen. Misalnya, DC

plasmacytoid yang matang oleh keterlibatan ligan IL-3 dan CD40 mempromosikan sel T

menuju fenotip Th2, sedangkan sel yang matang melalui kontak dengan virus

mempromosikan fenotipe Th1. Sinyal lain yang mempengaruhi DC dan pengaruhnya pada

polarisasi sel T Th2 termasuk prostaglandin E2 dan limfopoietin stroma thymus yang

dilepaskan dari sel epitel, yang mengubah pematangan DC myeloid menjadi DC yang

mempromosikan Th2, dan mengarah pada ekspresi ligan OX40 dan ligand costimulatory

yang diinduksi. di DC.

IgE, seperti semua imunoglobulin, disintesis oleh limfosit B (sel B) di bawah regulasi

sitokin yang berasal dari limfosit Th2. Diperlukan dua sinyal. IL-4 atau IL-13 memberikan

sinyal penting pertama yang mendorong sel B untuk produksi IgE dengan menginduksi

transkripsi gen germline. Dalam kasus sel B memori yang mengekspresikan IgE, sitokin ini

menginduksi ekspansi klon. Sinyal kedua adalah interaksi kostimulasi antara ligan CD40

pada permukaan sel-T dan CD40 pada permukaan sel-B. Sinyal ini mempromosikan

aktivasi sel-B dan beralih rekombinasi untuk produksi IgE. Setelah diproduksi oleh sel B,

antibodi IgE menempel pada reseptor afinitas tinggi tetramerik (abg2) (FceRI) pada

permukaan sel mast dan basofil, menjadikannya ‘‘ peka ’’. IgE juga dapat berikatan dengan

FRIRI trimerik (ag2) pada permukaan berbagai sel termasuk sel dendritik (31), serta pada

reseptor IgE afinitas rendah (CD23, FceRII) yang ada pada monocyte macrophage dan pada

limfosit B. Namun, interaksi IgE-FceRI pada sel mast dan basofil yang menginduksi reaksi

alergi klasik pada tingkat sel. Fungsi dari FceRI trimerik dan FceRII tidak sepenuhnya

dijelaskan. Pada permukaan DC, FceRI berikatan dengan IgE dan ini tampaknya

memfasilitasi penyerapan alergen oleh DC untuk pemrosesan dan presentasi.

Reaksi alergi pada hidung memiliki komponen awal dan akhir (fase awal dan akhir), yang

keduanya berkontribusi pada presentasi klinis rinitis alergi. Fase awal melibatkan aktivasi
akut sel efektor alergi melalui interaksi IgE-alergen dan menghasilkan seluruh spektrum

gejala rinitis alergi. Fase akhir ditandai dengan rekrutmen dan aktivasi sel-sel inflamasi dan

pengembangan respons hidung yang berlebihan dengan gejala yang lebih lamban.

Dalam beberapa menit setelah kontak dengan orang-orang yang peka dengan alergen,

interaksi IgE-alergen terjadi, yang mengarah ke degranulasi sel mast dan basofil dan

pelepasan mediator yang telah dibentuk sebelumnya seperti histamin dan triptase, dan

generasi mediator lain dari de novo, termasuk sisteinil leukotrien ( LTC4, LTD4, LTE4) dan

prostaglandin (terutama PGD2). Sel mast dan basofil tidak menghasilkan susunan mediator

yang persis sama; misalnya, PGD2 hampir secara eksklusif merupakan produk sel mast.

Target para mediator ini beragam; misalnya, histamin mengaktifkan reseptor H1 pada ujung

saraf sensorik dan menyebabkan respon bersin, pruritus, dan refleks sekresi, tetapi juga

berinteraksi dengan reseptor H1 dan H2 pada pembuluh darah mukosa, yang menyebabkan

pembengkakan pembuluh darah (hidung tersumbat) dan kebocoran plasma. Sebaliknya,

leukotrien sulfidopeptida, bertindak langsung pada reseptor CysLT1 dan CysLT2 pada

pembuluh darah dan kelenjar, dan dapat menyebabkan hidung tersumbat dan, pada tingkat

lebih rendah, sekresi lendir (37). Zat tambahan seperti protease (tryptase) dan sitokin (tumor

necrosis factor-a) dilepaskan pada tahap awal reaksi alergi ini, tetapi peran mereka dalam

pembentukan gejala akut tidak jelas. Mediator lain diproduksi melalui jalur tidak langsung;

misalnya, bradikinin dihasilkan ketika kininogen bocor ke jaringan dari sirkulasi perifer dan

dibelah oleh jaringan kallikrein yang dihasilkan oleh kelenjar serosa.


2.3.2. Pengobatan

Pengobatan dari rhinitis dapat diawali dengan menghindari alergen yang

dapat memicu. Penghindaran alergen dapat dilakukan dengan sebagai berikut.

1. Jika sensitif terhadap bulu hewan, hindari memelihara hewan dalam rumah.

2. Mengurangi paparan debu dengan membungkus kasur dan bantal dengan

seprai kedap air dan mencuci seprai dengan air panas.

3. Filter udara partikulat efisiensi tinggi dapat menghilangkan partikel ringan

seperti serbuk sari, spora kapang, dan alergen kucing sehingga mengurangi

gejala alergi pada pernapasan.

4. Pasien dengan rinitis alergi musiman harus menutup jendela dan

meminimalkan waktu yang dihabiskan di luar rumah selama musim serbuk

sari. Masker penyaring bisa dipakai saat berkebun atau memotong rumput.

Selain dengan menghindari alergen yang dapat memicu rhinitis, rhinitis dapat

diobati dengan terapi farmakologi.


a. Antihistamin

Antihistamin bekerja sebagai antagonis kompetitif dari reseptor

histamin, khususnya reseptor H1. Reseptor ini terdapat pada ujung saraf, otot

polos, dan sel kelenjar. Antihistamin memblokir aksi histamin yang

dilepaskan oleh sel sebagai respons terhadap alergen. Namun, diyakini

bahwa antagonis H1 mungkin bukan satu-satunya mekanisme aksi reseptor

H1.

Dalam patofisiologi rhinitis alergi, histamin menyebabkan bersin,

gatal, rhinorrhea, hidung tersumbat, bengkak, dan cairan menumpuk di

fragile linings saluran hidung, sinus, dan kelopak mata. Berdasarkan

penelitian, sebagian besar antihistamin H1 telah ditemukan mengurangi

bersin, gatal, rhinorrhea dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,

tetapi tidak mempengaruhi pelepasan histamin.

Antihistamin tersedia dalam sediaan oral dan topikal atau intranasal.

Sebagai tambahan, antihistamin oral dapat mengurangi gejala non-nasal

seperti konjungtivitis dan urtikaria. Antagonis H1 ini memiliki onset aksi

yang cepat (dalam 1 ± 2 jam) dan durasi aktivitas hingga 12 ± 24 jam

(kecuali untuk acrivastine, yang memiliki aktivitas lebih pendek).

Antihistamin oral terbagi menjadi generasi pertama, kedua, dan ketiga.

a. Antihistamin generasi pertama

Penggunaan antihistamin golongan ini dibatasi karena memiliki efek

sedatif dan antikolinergik seperti sedatif, lekas marah, mulut kering,

gangguan fungsi motorik dan fungsi kognitif, dll. Efek samping dari

antihistamin generasi pertama ini dapat dijelaskan oleh dua

fenomena, yaitu jenis ini memiliki spesifisitas yang buruk untuk

reseptor H1 dan berinteraksi dengan reseptor lain dan dapat melintasi

sawar darah-otak dan berinteraksi dengan berbagai reseptor di SSP.

Contoh obat antihistamin generasi pertama seperti chlorpheniramine,


diphenhydramine, promethazine, tripolidine, clemastine, dan

tripelennamine.

b. Antihistamin generasi kedua

Antihistamin oral generasi kedua ini lebih efektif dibandingkan

dengan generasi pertama. Golongan ini efektif dalam mengurangi

gejala hidung seperti gatal, bersin, dan rhinorrhea, tetapi memiliki

efek lebih kecil pada penyumbatan hidung dan diklasifikasikan

sebagai non-sedatif karena kecenderungannya untuk menyebabkan

sedasi tidak lebih besar dari plasebo. Antihistamin generasi kedua

juga memiliki lebih sedikit efek pada SSP yang tidak diinginkan dan

efek antikolinergik. Contoh obat dari antihistamin generasi kedua

adalah acrivastine, astemizole, azelastine, cetirizine, ebastine,

fexofenadine, loratadine, mizolastine, dan terfenadine Namun,

terfenadine, astemizole dan baru-baru ini, loratadine, telah ditemukan

menyebabkan perpanjangan interval QT pada elektrokardiogram, dan

dapat meningkatkan risiko pengembangan takiaritmia ventrikel yang

berpotensi mematikan, atau torsades de pointes.

c. Antihistamin generasi ketiga

Antihistamin golongan ini merupakan hasil modifikasi secara

struktural, metabolit aktif atau isomer dari antihistamin generasi

kedua. Maka dari itu, golongan ini memiliki sifat non-sedatif dari

antihistamin generasi kedua dengan menghilangkan atau membatasi

risiko jantungnya. Contoh obat dari antihistamin generasi ketiga

adalah fexofenadine, desloratadine, tecastemizole, dan levocetirizine.

Antihistamin topikal atau intranasal memiliki onset aksi yang cepat

(kurang dari 15 menit) daripada antihistamin oral, tetapi aksinya terbatas

pada organ. Antihistamin ini diberikan melalui semprotan hidung untuk

menghindari atau meminimalkan efek samping sistemik. Pada dosis yang


direkomendasikan, antihistamin topikal tidak menunjukkan efek sedatif yang

signifikan. Contoh obat antihistamin topikal adalah azelastine dan

levocabastine.

b. Kortikosteroid Nasal

Kortikosteroid intranasal bekerja mengurangi peradangan dengan

menghambat pelepasan mediator, menekan kemotaksis neutrofil,

menyebabkan vasokonstriksi ringan, dan menghambat mast cell–mediated,

late-phase reactions. Kortikosteroid intranasal ini efektif dalam meredakan

bersin, rinore, pruritus, dan hidung tersumbat dengan efek samping minimal.

Agen-agen ini merupakan pilihan yang sangat baik untuk rinitis perennial

dan dapat berguna untuk rinitis musiman, terutama jika dimulai sebelum

gejala.

Agen-agen ini memiliki penyerapan sistemik yang minimal dan efek

sampingnya terlokalisasi seperti iritasi hidung, mimisan, sakit tenggorokan,

dan, jarang, kandidiasis. Untuk menghindari penyerapan sistemik, pasien

diinstruksikan untuk tidak menghirup dalam-dalam saat memberikan

menggunakan obat ini karena jaringan targetnya adalah hidung, bukan paru-

paru atau tenggorokan. Contoh agen kortikosteroin nasal adalah


beclomethasone, budesonide, fluticasone, ciclesonide, mometasone, dan

triamcinolone.

c. Dekongestan

Dekongestan nasal (topikal dan sistemik) adalah agen

simpatomimetik yang bekerja pada reseptor adrenergik (Agonis α-adrenergik

) di mukosa hidung untuk menghasilkan vasokonstriksi, mengecilkan

mukosa yang bengkak, dan meningkatkan ventilasi. Dekongestan biasanya

dikombinasikan dengan antihistamin ketika hidung tersumbat.

Dekongestan topikal diaplikasikan langsung ke mukosa hidung yang

bengkak melalui tetes atau semprotan. Dekongestan jenis ini memiliki onset

aksi yang cepat dan menunjukkan sedikit efek sistemik. Namun, penggunaan

agen topikal atau intranasal ini harus digunakan tidak lebih dari 3 hari karena

risiko rhinitis medicamentosa, yang merupakan peningkatan vasodilatasi

dengan kongesti (rebound kongesti). Oleh karena itu, agen α-adrenergik

tidak digunakan sebagai pengobatan jangka panjang dari rinitis alergi.

Efek samping lain dari dekongestan topikal termasuk burning,

stinging, bersin, dan keringnya mukosa hidung. Produk-produk ini harus

digunakan hanya ketika benar-benar diperlukan, misalnya pada waktu tidur

dan dalam dosis yang sekecil dan sesering mungkin.


Dekongestan oral memiliki onset aksi yang lambat daripada

dekongestan topikal, tetapi efeknya lebih bertahan lama dan lebih sedikit

menyebabkan iritasi lokal. Rhinitis medicamentosa tidak terjadi dengan

penggunaan dekongestan oral. Contoh dari dekongestan adalah

Pseudoephedrine, phenylephrine, dan Oxymetazoline.

d. Cromolyn Sodium

Cromolyn sodium (Nasalcrom) merupakan penstabil sel mast bekerja

dengan menghambat degranulasi sel mast yang peka sehingga menghambat

pelepasan mediator inflamasi dan alergi, termasuk histamin dan leukotrienes.

Cromolyn mengurangi gejala rinitis alergi dan ketika digunakan secara

profilaksis dapat mencegah timbulnya gejala. Cromolyn tersedia sebagai

sediaan intranasal dan memiliki efek samping, yaitu iritasi lokal (bersin dan

rasa menyegat pada hidung). Cromolyn intranasal ini berguna pada rinitis

alergi terutama bila diberikan sebelum kontak dengan alergen. Dosis untuk

individu yang berusia minimal 2 tahun adalah satu semprotan di setiap

lubang hidung, tiga hingga empat kali sehari secara berkala.


e. Ipatropium bromide (Atrovent)

Ipatropium bromide (Atrovent) merupakan agen antikolinergik yang

bekerja dengan menghalangi aksi asetilkolin di tempat parasimpatis pada otot

polos bronkial untuk menyebabkan bronkodilatasi dan menghambat sekresi

kelenjar serosa dan seromukosa.

Sifat antisekresi Atrovent ditunjukkan ketika diaplikasikan secara

lokal dan dapat meredakan gejala rhinorrhea terkait dengan alergi dan bentuk

lain dari rinitis kronis.

Dosis Atrovent yang diberikan

berupa larutan 0,03% diberikan sebagai dua

semprotan (42 mcg) dua hingga tiga kali

sehari. Obat ini memiliki efek samping

ringan seperti sakit kepala, epistaksis, dan

kekeringan pada hidung.

f. Montelukast
Leukotrien (LT) B4 dan cysteinyl leukotrienes, LTC4, LTD4, dan

LTE4, adalah produk dari jalur 5-lipoksigenase dari metabolisme asam

arakidonat dan bagian dari kaskade inflamasi. 5-Lipoksigenase ditemukan

dalam sel asal myeloid, seperti sel mast, basofil, eosinofil, dan neutrofil.

LTB4 adalah kemoatraktan kuat untuk neutrofil dan eosinofil, sedangkan

cysteinyl leukotrienes menyempitkan otot polos bronkiolar, meningkatkan

permeabilitas endotel, dan meningkatkan sekresi lendir. Montelukast adalah

antagonis selektif dari reseptor cysteinyl leukotriene-1. Obat ini bekerja

dengan memblokir efek dari cysteinyl leukotrienes.

Dosis untuk orang dewasa dan remaja yang lebih tua dari 15 tahun

adalah satu tablet 10 mg setiap hari. Anak-anak berusia 6 hingga 14 tahun

adalah satu tablet kunyah 5 mg setiap hari, sedangkan anak-anak berusia 2

hingga 5 tahun dapat diberikan satu tablet kunyah 4 mg atau paket granul

oral setiap hari. Untuk waktu administrasi obat dapat bersifat individual dan

dosis harus diberikan pada malam hari jika pasien memiliki asma dan rinitis

alergi musiman.

Antagonis leukotrien merupakan terapi alternatif baru, tetapi

penelitian menunjukkan bahwa golongan ini tidak lebih efektif daripada

antihistamin selektif perifer dan juga kurang efektif daripada kortikosteroid

intranasal. Namun, penggunaan kombinasi antagonis leukotrien dengan

antihistamin lebih efektif daripada pengobatan antihistamin saja.


Pengobatan rhinitis juga dapat dilakukan dengan imunoterapi. Imunoterapi

adalah proses lambat, bertahap untuk menyuntikkan dosis antigen yang bertanggung

jawab untuk memunculkan gejala alergi pada pasien dengan maksud meningkatkan

toleransi terhadap alergen ketika paparan alami terjadi. Efektivitas imunoterapi

terjadi akibat berkurangnya produksi IgE, peningkatan produksi IgG, perubahan

limfosit T, berkurangnya pelepasan mediator inflamasi dari sel-sel yang peka, dan

berkurangnya respons jaringan.

Imunoterapi hanya harus dipertimbangkan pada pasien tertentu karena

mahal, memiliki potensi risiko, dan memerlukan komitmen waktu yang besar dari

pasien. Pasien yang dapat dipertimbangkan untuk diberikan imunoterapi adalah

pasien yang memiliki riwayat kuat gejala parah yang tidak berhasil dikendalikan

oleh penghindaran alergen dan pengobatan farmakoterapi dan pasien yang tidak

dapat mentolerir efek samping dari terapi obat.

Secara umum, larutan yang sangat encer diberikan pada awalnya satu atau

dua kali per minggu. Konsentrasi ditingkatkan sampai dosis maksimum yang dapat

ditoleransi tercapai. Dosis maintenance ini dilanjutkan setiap 2 hingga 6 minggu,

tergantung pada respon klinis. Hasil yang lebih baik diperoleh dengan suntikan

sepanjang tahun. Efek samping lokal ringan yang dapat terjadi dari imunoterapi

adalah indurasi dan pembengkakan di tempat injeksi. Reaksi yang lebih parah

seperti urtikaria, bronkospasme, laringospasme, kolaps pembuluh darah, dan

kematian akibat anafilaksis jarang terjadi. Reaksi yang parah dapat diobati dengan

epinefrin, antihistamin, dan kortikosteroid sistemik.

4) Conjunctivitis

2.4.1. Patofisiologi

Konjungtiva merupakan selaput bening pada mata yang berguna untuk


melindungi sklera (area putih dari mata). Konjungtiva mengandung epitel skuamosa
yang tidak berkeratin dan substansia propria yang tipis,kaya pembuluh darah.
Konjungtiva juga memiliki kelenjar lakrimal aksesori dan sel goblet.

Konjungtivitis adalah proses inflamasi akibat infeksi maupun non-infeksi


pada konjungtiva yang ditandai dengan vascular, infiltrasi seluler, dan eksudasi.
Konjungitivitis akibat infeksi dapat disebabkan adanya infeksi virus/bakteri,
klamidia, dan viral. Sementara pada konjuntivitis akibat non-infeksi dapat
disebabkan oleh alergi, seperti pada asap, debu, pollen. Beberapa jens konjuntiva
dapat sembuh sendiri, namun ada beberapa jenis yang butuh penanganan khusus.
1. Konjungtivitis Bakteri
Konjungtivitis ini disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis. Baketi ini
menyebabkan konjungtivitis akut yang berifat self-limiting. Terdapat pula bakteri
Neisseria gonorrhoeae, Neisseria kochii, Neisseria meningitides yang menyebabkan
konjungtivitis perulen yang dapat menyebabkan kerusakan kornea, kebutaan,dan
sepsis. Konjungtivitis bakteri sangat menular, menyebar melalui kontak langsung
dengan pasien dan sekresinya atau dengan objek yang terkontaminasi.

2. Konjungtivitis Viral
Konjungitivitis ini memiliki berbagai jenis, seperti folikuler viral akut,
folikuler viral kronik, dan blefarokonjungtivitis viral. Jenis konjungtivitis folikuler
viral akut ini adalah akibat infeksi human adenovirus, seperti Keratokonjungtivitis
epidermika. Biasanya disertai dengan pembentukan folikel sehingga disebut
jugakonjungtivitis folikularis. Mata yang lain biasanya tertular dalam 24-48 jam.
Pada konjungtivitis folikuler viral kronik biasanya disebabkan oleh Molluscum
contagiosum dan ditandai dengan folikuler unilateral kronik, keratitis superior, dan
pannus superior. Pad blefarokonjungtivitis disebabkan oleh Varicella dan herpes
zoster dan ditandai dengan lesi erpusi vesicular CN VI, Lesi pupil, folikel, dan lesi
varicella kulit di sekitar mata.

3. Konjungtivitis Klamidia
Konjungtivitis trakomatis adalah konjungtivitis pada 5-20% orang dewasa
muda aktif pada negara barat. Konjungtivitis klamidia merupakan konjungtivitis
folikular kronik yang disebabkan Chlamydia trachomatis. Masa inkubasi dari
trachoma adalah 7 hari ( 5 – 14 hari). Cara penularannya melalui autoinokulasi
(secret genital-mata) atau melalui secret mata pada 10% kasus, kontak langsung
dengan sekret atau alat-alat pribadi. Tanda-tanda penyakit ini adalah secret berair
atau mukopurulen, folikel besar, infiltrate subepitelial perifer, limfadenopati
preauricular.

4. Konjungtivitis Alergi
Konjungtivitis alergi disebabkan oleh paparan asap, debu dan oleh pajanan
dengan alergen misalnya polen (serbuk sari). Konjungtivitis ini akan ditandai dengan
rasa sakit, perih dan iritasi yang berlebihan. Terbentuk papilla di konjungtiva, dan
kornea bisa terlibat.Konjungtivitis alergi dapat terjadi bersama dengan reaksi alergi
yang lain. Misalnya astma dan “hay fever”.

Konjuntivitis infeksi timbul sebagai akibat penurunan daya imun dan


kontaminasi eksternal. Patogen yang infeksius dapat menginvasi dari tempat yang
berdekatan atau dari jalur aliran darah dan bereplikasi di dalam sel mukosa
konjungtiva. Kedua infeksi, yaitu bakterial dan viral memulai reaksi dari peradangan
leukosit atau limfositik yang meyebabkan penarikan sel darah merah atau putih ke
area tersebut. Sel darah putih ini mencapai permukaan konjungtiva dan akan
berakumulasi dengan berpindah secara mudah melewati kapiler yang berdilatasi dan
memiliki permeabilitas yang tinggi.
Konjungtivitis non infeksi / alergi disebabkan oleh respon imun tipe I
terhadap alergen. Alergen terikat dengan sel mast dan reaksi silang terhadap IgE
terjadi, menyebabkan degranulasi dari sel mast dan reaksi dari peradangan dimulai.
Hal ini menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast, dan mediator lain termasuk
triptase, kimase, heparin, kondroitin sulfat, prostaglandin, tromboksan, leukotriene,
histamin dan bradykinin. Mediator-mediator ini dengan segera menstimulasi
nosiseptor, yang dapat menyebabkan rasa gatal, peningkatan permeabilitas vaskuler,
vasodilatasi, kemerahan, dan infeksi konjungtiva.
Adanya peradangan pada konjungtiva ini menyebabkan dilatasi pembuluh-
pembuluh konjungtiva posterior, menyebabkan hiperemi yang tampak pada forniks
ke arah limbus. Pada hiperemia konjungtiva ini biasanya didapatkan pembengkakan
dan hipertrofi papila yang sering disertai sensasi benda asing dan sensasi tergores,
panas, atau gatal. Sensasi ini merangsang sekresi air mata. Transudasi ringan juga
timbul dari pembuluh darah yang mengalami hiperemia dan meningkatkan jumlah
air mata. Hiperemi yang tampak merah cerah biasanya menandakan konjungtivitis
bakterial sedangkan hiperemi yang tampak seperti kabut biasanya menandakan
konjungtivitiskarena alergi. Jika terjadi rasa sakit pada iris atau badan silier, hal ini
menandakan bahwa inflamasi ini telah merusak kornea.
2.4.2. Pengobatan

Antibiotik topikal tampaknya lebih efektif pada pasien yang memiliki


hasil kultur bakteri gram positif. Dalam review sistemik, ditemukan antibiotik
topikal efektif untuk meningkatkan tingkat kesembuhan klinis dan
mikrobiologi pada kelompok pasien dengan kultur yang terbukti
konjungtivitis. Penelitian lain menemukan jika terdapat perubahan meskipun
sedikit pada frekuensi pemberian antibiotik, dapat merubah angka kesembuhan
klinis secara signifikan.
Semua obat tetes mata antibiotik spektrum luas secara umum efektif
dalam mengobati konjungtivitis bakteri. Tidak ada perbedaan yang signifikan
antara salah satu antibiotik dalam mencapai kesembuhan klinis. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pilihan antibiotik adalah ketersediaan lokal, alergi pasien,
resistensi, dan biaya. Steroid topikal harus dihindari karena berpotensi
memperpanjang perjalanan penyakit dan potensiasi infeksi.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Alergi, Pseudoalergi, Rhinitis, dan conjunctivitis merupakan penyakit yang

mempunyai persamaan dimana penyakit-penyakit ini melibatkan sistem imun dan benda

asing dari luar yang menyebabkan inflamasi yang mediatornya menyebabkan gejala-gejala

yang tidak diinginkan pada manusia, pada umumnya terapi yang terbaik adalah menghindari

benda asing yang menyebabkan hipersensitivitas pada pasien, namun terapi yang dapat

dijadikan solusi bagi pasien yang sudah mengalami salah satu dari keempat penyakit

tersebut dengan memperhatikan mekanisme terjadinya penyakit tersebut, kita dapat

mensurpresi sistem imun agar responya tidak berlebihan, mencegah mediator inflamasi

lepas, menutup reseptor yang dibutuhkan mediator inflamasi, menyingkirkan benda asing

menggunakan antibiotik, dan menggunakan hormon yang efeknya berkebalikan dengan

respon inflamasi agar dapat mengarahkan pasien ke kondisi normal.

3.2. Saran

Saran yang dapat disampaikan untuk peneliti dan kaum pelajar yang tertarik pada

bidang ini adalah penggalian informasi terbaru mengenai pengobatan dengan menggunakan

modifikasi DNA yang baru-baru ini dikembangkan untuk menurunkan hipersinsitivitas

respon sistem imun terhadap benda asing yang menyebabkan inflamasi secara permanen
DAFTAR PUSTAKA

Çobanoğlu, B., Toskala, E., Ural, A., & Cingi, C. (2013). Role of Leukotriene Antagonists and

Antihistamines in the Treatment of Allergic Rhinitis. Current Allergy and Asthma

Reports, 13(2), 203–208. https://doi.org/10.1007/s11882-013-0341-4

Dipiro, C. V., DiPiro, J. T., Schwinghammer, T. L., & Wells, B. G. (2015). Pharmacotherapy

Handbook (9th Ed). New York, NY : McGraw Hill Education.

Ferrer FJG, Schwab IR, SHetlar DJ. Conjunctiva. In Vaugan and Asbury’s General
Ophtalmology. 16th Edition. USA: Mc.Graw-Hill companies;2007.
Kansky JJ, Bowling B. Clinical ophthalmology a systemis approach. 7th ed. UK: Elsvier;2011
Kumar, V., Abbas, A. K., & Aster, J. C. (2013). Robbins Basic Pathology. 9th ed. Elsevier

Saunders.

Min, Y.-G. (2010). The pathophysiology, diagnosis and treatment of allergic rhinitis. Allergy,

Asthma & Immunology Research, 2(2), 65–76. https://doi.org/10.4168/aair.2010.2.2.65

Peters-Golden, M., & Henderson, W. R. (2005). The role of leukotrienes in allergic rhinitis.

Annals of Allergy, Asthma & Immunology, 94(6), 609–618.

https://doi.org/10.1016/S1081-1206(10)61317-8

Ratner, P. H., Ehrlich, P. M., Fineman, S. M., Meltzer, E. O., & Skoner, D. P. (2002). Use of

Intranasal Cromolyn Sodium for Allergic Rhinitis. Mayo Clinic Proceedings, 77(4), 350–

354. https://doi.org/10.4065/77.4.350

Unal, M., & Hafiz, G. (2005). The Role of Antihistamines in the Management of Allergic

Rhinitis. Current Medicinal Chemistry Anti-Inflammatory & Anti-Allergy Agents, 4(5),

477–480. https://doi.org/10.2174/156801405774330349

Whalen, K. (2015). Lippincott Illustrated Reviews Pharmacology (6th Ed). Philadelphia:

Wolters Kluwe.

Pawankar, Ruby (2011).WAO (White Book on Alergy),107-108

Anda mungkin juga menyukai