Anda di halaman 1dari 57

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

DIAGNOSA MEDIS ABSES PARAFARING DI RUANG


BEDAH TERATAI
RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

Oleh:
Kelompok 10
1. Pratama Soldy Izzulhaq, S.Kep 131411131091
2. Ayu Tria Kartika Putri, S.Kep 131411133023
3. Bella Nabila Wijaya Krisnawan, S.Kep 131411133020
4. Cholilatul Zuhriya, S.Kep 131411131051
5. Senja Putrisia Fajar Eldiningtyas, S.Kep 131411131082

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2018
ii

Lembar Pengesahan
Laporan Asuhan Keperawatan Stase Keperawatan Dasar
Ruang Teratai 13 – 25 Agustus 2018

Pembimbing Akademik

Sylvia Dwi Wahyuni, S.Kep.Ns., M.Kep


NIP. 198610262015042003

Pembimbing Klinik

Nazirotul Khoiriah, S.Kep.Ns


NIP. 196505031987032013

Kepala Ruangan

Nazirotul Khoiriah, S.Kep.Ns


NIP. 196505031987032013

ii
iii

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan praktik klinik Keperawatan Dasar Program Studi Pendidikan

Profesi (P3N) angkatan 2014 Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga

Surabaya di Ruang Teratai Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya yang dilaksanakan

pada tanggal 13 – 25 Agustus 2018 telah dilaksanakan sebagai laporan praktik

atas nama :

1. Pratama Soldy Izzulhaq, S.Kep

2. Ayu Tria Kartika Putri, S.Kep

3. Bella Nabila Wijaya Krisnawan, S.Kep

4. Cholilatul Zuhriya, S.Kep

5. Senja Putrisia Fajar Eldiningtyas, S.Kep

Surabaya, 25 Agustus 2018


Mengetahui
Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Sylvia Dwi Wahyuni, S.Kep.Ns., M.Kep Nazirotul Khoiriah, S.Kep.Ns


NIP. 198610262015042003 NIP. 196505031987032013

iii
iv

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................5


1.1 Latar Belakang..........................................................................................5
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................8
1.3 Tujuan........................................................................................................8
1.4 Manfaat......................................................................................................9
BAB 2 RESUME KASUS....................................................................................10
2.1 Pengkajian...............................................................................................10
BAB 3 RESUME KASUS ...................................................................................22
3.1 Pengkajian Keperawatan.........................................................................22
3.2 Diagnosa, Intervensi, Implementasi dan Evaluasi Keperawatan............25
BAB 4 PENUTUP.................................................................................................29
4.1 Simpulan..................................................................................................29
4.2 Saran........................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................30
LAMPIRAN..........................................................................................................32

iv
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Abses parafaring merupakan salah satu infeksi ruang leher dalam yang

terjadi akibat komplikasi dari berbagai infeksi rongga mulut dan orofaring

(Blumberg, J. M. & Ludson, B.L., 2014). Infeksi pada ruang parafaring dapat

terjadi akibat dari: (1) komplikasi infeksi pada orofaring, seperti tonsilitis,

faringitis, dan infeksi gigi, (2) proses supurasi pada kelenjar limfe ruang leher

dalam, mastoid, dan vertebra servikal, (3) penjalaran infeksi dari ruang leher

dalam di sekitarnya akibat letak ruang parafaring yang berada relatif di tengah

dibandingkan ruang-ruang leher dalam lainnya, (4) tusukan jarum saat

melakukan tonsilektomi dengan anestesi lokal dan benda asing (Rahardjo,

S.P., 2013). Ada pula kondisi sistemik yang menjadi faktor predisposisi

terjadinya abses parafaring yaitu; diabetes melitus, penyakit autoimun seperti

sistemik lupus erythematosus dan infeksi HIV/AIDS (Aynehchi, B. B. & Har,

El G., 2014).

Angka kejadian abses parafaring tidak diketahui secara pasti, namun

dari beberapa literatur dilaporkan 18-23,5% (Lee, Y. Q. & Kanagalingam, J.,

2011). Pada penelitian yang dilakukan oleh para ahli Amerika Serikat

dikatakan dari 117 anak yang menderita abses leher dalam yang diteliti

selama kurun waktu 6 tahun ditemukan infeksi peritonsil (49%); infeksi

retrofaring (22%); infeksi submandibular (14%); infeksi bukalis (11%);

infeksi parafaring (2%), dan infeksi ruang kanina (2%) (Marcincuk, M. C.,

1
2

2005). Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001

sampai Oktober 2006 mendapatkan lokasi abses lebih dari satu ruang

potensial 29%. Abses submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%,

peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%,

ruang karotis 11% (Yang, et al., 2008). Di departemen THT-KL Rumah Sakit

dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun terakhir (Oktober 2009 sampai

September 2010) didapatkan abses leher dalam sebanyak 33 orang, abses

peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%) kasus, abses

parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses mastikator 3

(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus (Dewantara, I. P. S., Putra, I. D. G.

A. E., Sucipta, I. W., 2017).

Pasien abses parafaring umumnya mengeluhkan demam, kesulitan

membuka mulut, nyeri tenggorok, nyeri menelan, kesulitan menelan,

kesulitan menggerakkan leher, dan perubahan suara (Page, C. et al, 2008).

Infeksi pada kompartemen prestiloid dan poststiloid akan menunjukkan gejala

yang berbeda. Infeksi pada kompartemen prestiloid memberikan gejala klasik

yang meliputi trismus, pembengkakan pada angulus mandibula, penonjolan

dinding faring ke arah medial, dan toksisitas sistemik. Sedangkan, infeksi

pada kompartemen poststiloid tidak akan menunjukkan trismus kecuali otot

pterigoideus terlibat, selain itu penonjolan dinding faring ke arah medial juga

tidak selalu terlihat (Aynehchi, B. B. & Har, El G., 2014). Komplikasi abses

parafaring dapat timbul akibat abses itu sendiri ataupun akibat tindakan

pembedahan yang dilakukan. Komplikasi yang timbul akibat abses parafaring

itu sendiri adalah mediastinitis, perikarditis, sindrom Lemierre, syok sepsis,


3

aneurisma atau ruptur arteri karotis interna, obstruksi jalan napas, empiema,

dan sindrom Horner (Blumberg, J. M. & Ludson, B.L., 2014). Sisa abses

merupakan komplikasi yang paling sering timbul dari tindakan pembedahan

(Aynehchi, B. B. & Har, El G., 2014).

Penatalaksanaan abses parafaring adalah dengan rawat inap, perbaikan

kondisi umum pasien, pengecekan hasil kultur dan tes sensitivitas, serta

diberikan antibiotika. Beberapa pasien mungkin mengalami ancaman

sumbatan jalan napas dan memerlukan trakeostomi atau intubasi. Selain

pemberian antibiotik, pembedahan adalah penatalaksanaan yang lain dalam

penanganan abses parafaring. Indikasi untuk melakukan pembedahan adalah

tidak terdapat perbaikan gejala dalam waktu 24 jam, ancaman sumbatan jalan

napas, adanya komplikasi neurovaskular yang mengancam nyawa, pus yang

tampak lebih dari 3 cm pada CT-scan, dan abses multipel (Aynehchi, B. B. &

Har, El G., 2014). Lokasi abses dan struktur sekitarnya dapat dievaluasi

dengan baik memakai CT-scan dengan kontras preoperasi. Pemeriksaan ini

dapat memberikan informasi mengenai luas dan lokasi abses serta

hubungannya dengan pembuluh-pembuluh darah besar di ruang parafaring

serta dapat mendeteksi ada atau tidaknya komplikasi (Page, C. et al, 2008).

Penatalaksanaan abses parafaring akan lebih sulit jika diikuti oleh

faktor penyulit seperti penyakit sistemik dan diabetes melitus, sistem

imunologi yang menurun, pasien dengan gangguan pernafasan, dan faktor

kebersihan rongga mulut. Hal inilah yang akan mempermudah timbulnya

infeksi, memperlama waktu perawatan, dan bila tidak ditangani dengan baik

akan dapat menimbulkan komplikasi yang lebih berat (Gadre, A. K. & Gadre,
4

K. C., 2001). Oleh karena itu, sebagai seorang tenaga kesehatan diharapkan

mampu memberikan asuhan keperawatan terutama keperawatan dasar, yaitu

meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pencegahan, skrinning dan

penatalaksanaan jika terkena penyakit abses parafaring. Sehingga setelah

dilakukan asuhan keperawatan dapat dilakukan pencegahan baik pencegahan

secara primer, sekunder maupun tersier kepada pasien.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang penulis rumuskan dari proposal seminar kasus

ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah anatomi dan fisiologi parafaring?

2. Apa pengertian dari Abses Parafaring?

3. Apa saja penyebab dari Abses Parafaring?

4. Bagaimanakah patofisiologi dari Abses Parafaring?

5. Bagaimanakah manifestasi klinik dari Abses Parafaring?

6. Apa sajakah pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada Abses

Parafaring?

7. Apa saja penatalaksanaan yang bisa dilakukan pada Abses Parafaring?

8. Apa sajakah komplikasi yang disebabkan oleh Abses Parafaring?

9. Bagaimanakah prognosis dari Abses Parafaring?

10. Bagaimana konsep asuhan keperawatan umum Abses Parafaring?


5

11. Bagaimana konsep asuhan keperawatan kasus Abses Parafaring?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan proposal seminar ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi dari parafaring

2. Menjelaskan pengertian dari Abses Parafaring.

3. Menjelaskan penyebab dari Abses Parafaring.

4. Menjelaskan patofisiologi dari Abses Parafaring.

5. Menjelaskan manifestasi klinik dari Abses Parafaring.

6. Menjelaskan pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada Abses

Parafaring.

7. Menjelaskan penatalaksanaan yang bisa dilakukan pada Abses

Parafaring.

8. Menjelaskan komplikasi yang disebabkan oleh Abses Parafaring.

9. Menjelaskan prognosis dari Abses Parafaring.

10. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan umum Abses Parafaring.

11. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan kasus Abses Parafaring.

1.4 Manfaat

Manfaat yang bisa diperoleh dari penulisan proposal seminar kasus ini

adalah sebagai berikut:

1. Teoritis

Proposal seminar kasus ini diharapkan mampu menambah pengetahuan

perawat terutama pada pemberian asuhan keperawatan di bidang

keperawatan dasar, yaitu Abses Parafaring.


6

2. Praktis

Proposal seminar kasus ini dapat digunakan sebagai tambahan

pengetahuan dan pembelajaran pada petugas kesehatan yang ada di klinisi

RSUD Dr. Soetomo, terutama jika ada kasus yang sama.


7

BAB 2

RESUME KASUS

2.1 PENGKAJIAN

1. Identitas

a. Identitas Pasien

Nama                        : Ny. N

Umur                        : 58 tahun

Agama                      : Islam

Jenis Kelamin           : Perempuan

Status                        : Janda

Pendidikan                : SMA

Pekerjaan                  : Ibu Rumah Tangga

Suku Bangsa             : Jawa

Alamat                      : Perum Magersari Sidoarjo

Tanggal Masuk         : 07 Agustus 2018

Tanggal Pengkajian   : 14 Agustus 2018

No. Register              : 104xxxxxx

Diagnosa Medis        : Abses Parafaring, Abses Retrofaring

b. Identitas Penanggung Jawab

Nama : An. V

Umur : 22 tahun

Hub. Dengan Pasien : Keponakan

Pekerjaan : Swasta
8

Alamat : Surabaya

2. Status Kesehatan 6
a. Status Kesehatan Saat Ini

1) Keluhan Utama (Saat MRS dan saat ini)

Saat MRS : Nyeri saat menelan selama 7 hari

Saat ini     : Nyeri pasca operasi, tidak bisa tidur

2) Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya: Tindakan kolaborasi

b. Satus Kesehatan Masa Lalu

1) Penyakit yang pernah dialami: Demam berdarah

Pernah dirawat: Pernah saat kecil

Alergi: Alergi obat asam mefenamat dan penicilin

2) Kebiasaan (merokok/kopi/alkohol dll): klien tidak pernah merokok,

minum alkohol, dan minum kopi

3) Riwayat Penyakit Keluarga: klien tidak memiliki keluarga yang

menderita penyakit sama dengan dirinya

4) Diagnosa Medis dan therapy: Abses Parafaring, Abses retrofiring

3. Pola Kebutuhan Dasar (Data Bio-psiko-sosio-kultural-spiritual)

a. Pola Bernapas

1) Sebelum sakit: Normal, klien tidak pernah mengalami sesak nafas atau

mempunyai riwayat asma.    

2) Saat sakit: Nafas klien meningkat saat mengalami nyeri, namun kembali

normal saat nyeri hilang.


9

b. Pola makan-minum

1) Sebelum sakit: Nafsu makan baik

2) Saat sakit: klien terpasang NGT, makan hanya susu dan jus.

c. Pola Eliminasi

1) Sebelum sakit: Normal, tidak mengalami gangguan BAK dan BAB.

2) Saat sakit: Tidak mengalami gangguan BAK dan BAB

d. Pola aktivitas dan latihan

1) Sebelum sakit: klien melakukan aktivitas normal sehari-hari.

2) Saat sakit:klien mengurangi aktivitas karena leher klien terdapat luka insisi

yang menimbulkan nyeri apabila terjadi gesekan

e. Pola istirahat dan tidur

1) Sebelum sakit: klien tidak mengalami gangguan tidur, klien biasanya tidur

mulai pukul 20.00 hingga 04.00

2) Saat sakit: klien mengeluh susah tidur, kadang bisa tidur namun kadang

tidak bisa tidur.

f. Pola Berpakaian

1) Sebelum sakit: klien dapat berganti pakaian sendiri, klien ganti pakaian 2-

3 kali tiap hari

2) Saat sakit: klien saat berganti pakaian harus dibantu oleh orang lain.

g. Pola rasa nyaman

1) Sebelum sakit: klien merasa nyaman dengan aktivitas dan lingkungan nya

sehari-hari.

2) Saat sakit: klien merasa tidak nyaman pada luka bekas operasi dan

badannya terasa nyeri


10

h. Pola Aman

1) Sebelum sakit: klien merasa tidak mendapat ancaman atau bahaya

2) Saat sakit: klien merasa lebih waspada ketika merasa nyeri

i. Pola Kebersihan Diri

1) Sebelum sakit: klien rutin melakukan mandi 2-3 kali tiap hari, keramas 3-

4 kali tiap minggu, memotong kuku saat panjang, dan memotong rambut

saat panjang.

2) Saat sakit: klien jarang mandi karena tidak ada yang menyeka, tidak bisa

gosok gigi hanya berkumur.

j. Pola Komunikasi

1) Sebelum sakit: klien mampu berkomunikasi dengan baik dengan orang

lain

2) Saat sakit: klien dapat berkomunikasi dengan baik

k. Pola Beribadah

1) Sebelum sakit: klien melakukan ibadah dengan rutin, rutin sholat 5 waktu

2) Saat sakit: klien jarang beribadah, klien melakukan ibadah apabila tidak

merasa nyeri.

l. Pola Produktifitas

1) Sebelum sakit: klien melakukan aktivitas sehari-hari sebagai ibu rumah

tangga.

2) Saat sakit: klien tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari sebagai ibu

rumah tangga

m. Pola Rekreasi
11

1) Sebelum sakit: klien jarang berrekreasi, sesekali ia melakukan rekreasi

bersama keluarganya.

2) Saat sakit: klien tidak pernah rekreasi sejak sakit.

n. Pola Kebutuhan Belajar

1) Sebelum sakit: biasa saja, tergantung ada yang mengajari atau tidak

2) Saat sakit: banyak belajar dan bertanya tentang penyakitnya.

4. Pengkajian Fisik

a. Keadaan umum :

Tingkat kesadaran: komposmetis

GCS  : verbal: 5. Psikomotor: 6. Mata: 4

b. Tanda-tanda Vital :

Nadi =  100, Suhu = 35,3, TD = 110/90, RR = 22

c. Keadaan fisik

1) Kepala  dan leher: adanya luka insisi di leher kanan, mukosa lembab,

mata tidak cekung, dan anemis

2) Dada:

a) Paru: terdapat bullow drain pada dada kanan dan kiri

b) Jantung: irama jantung reguler.

3) Payudara dan ketiak: simetris, tidak terdapat pembesaran.

4) Abdomen: tidak terdapat luka post operasi.

5) Genetalia: tidak terkaji.

6) Integumen: turgor kulit normal, akral hangat kering merah, tidak ada

edema.
12

7) Ekstremitas:

a) Atas: Normal, tidak terdapat edema.

b) Bawah: Normal, tidak terdapat edema.

8) Neurologis:

a) Status mental dan emosi: tidak ada gangguan kognitif, tenang,

kooperatif

b) Pengkajian saraf kranial: Normal, tidak ada gangguan pada saraf

kranial.

c) Pemeriksaan refleks: refleks patella ada.

d. Pemeriksaan Penunjang

1) Data laboratorium yang berhubungan:

a) Hasil kultur dan tes sensitivitas kemudian mendapatkan kuman

penyebab pada kasus ini adalah Klebsiella pneumonia yang sensitif

terhadap ciprofloxacin.

b) Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb 11,7 gr/dl, hematokrit 35 vol

%, leukosit 20.100/mm, trombosit 538.000/mm. Pada pemeriksaan

darah didapatkan Hb normal, hematokrit normal, peningkatan

jumlah leukosit, dan peningkatan jumlah trombosit. Fungsi

hemostasis, ginjal, dan hati dalam batas normal. Elektrolit Na 128

mEQ/L, K 3,4, mEq/L, Cl 94 mEq/L. Pada pemeriksaan elektrolit

didapatkan penurunan jumlah natrium, kalium normal, klorida

normal. Analisa gas darah pH 7, 237 mmHg, PCO2 37,6 mmHg,

PO2 130,7 mmHg, HCO3 17,2 mEq/L, Sat O2 98,2%. Pada analisa
13

gas darah didapatkan pH darah normal, PCO2 normal,

peningkatan PO2, penurunan HCO3, dan Saturasi O2 normal.

2) Pemeriksaan radiologi

a) Foto jaringan lunak AP menunjukkan penebalan jaringan lunak

parafaring dan pendorongan trakhea ke samping depan.

b) CT-scan:

1. Pemeriksaan CT-scan leher dengan kontras mendapatkan lesi

hipodens berbatas tidak tegas pada ruang parafaring kanan

yang menunjukkan heterogenous contrast enhancement

dengan pemberian kontras. Tidak didapatkan abnormal

contrast enhancement pada mediastinum. Kesimpulannya

sesuai dengan gambaran abses parafaring kanan tanpa

perluasan ke mediastinum. Pada pasien ini, diagnosis abses

parafaring kanan ditegakkan.

3) Hasil konsultasi: tidak ada

4) Pemeriksaan penunjang diagnostic lain: tidak ada.


14

5. Analisa Data
DATA INTERPRETASI MASALAH
DS: klien mengatakan Abses parafaring Nyeri Akut
nyeri pada bagian luka
bekas operasi Reaksi peradangan

DO: Terjadi pembengkakan


P: luka insisi
Q: seperti ditusuk-tusuk Pembedahan
R: leher sebalah kanan
S: skala nyeri 5 (1-10) Luka insisi
T: hilang timbul
Nyeri Akut
DS: klien mengatakan Abses parafaring Gangguan Pola Tidur
sulit tidur
Pembedahan
DO: klien tampak
lemas, terdapat kantong Luka insisi
mata
Nyeri

Tidak nyaman

Tidak bisa tidur

Gangguan pola tidur


DS: - Abses parafaring Ketidakefektifan
Bersihan Jalan Nafas
DO: terdapat luka post Peningkatan
operasi, terdapat secret, kemampuan produksi
dan adanya pus secret dan penurunan
reflex batuk

Penumpukan secret

Bersihan jalan nafas


tidak efektif
DS: klien mengatakan Abses parafaring Defisit Perawatan Diri
tidak pernah mandi dan
jarang di seka, tidak Pembedahan
pernah gosok gigi
Luka insisi
DO: klien Nampak
kotor, kuku panjang, bau Fiksasi area leher
nafas, dan bau badan
Bed rest
15

Defisit perawatan diri


16

DAFTAR  DIAGNOSA KEPERAWATAN /MASALAH KOLABORATIF BERDASARKAN PRIORITAS

N TANGGAL / JAM TANGGAL


DIAGNOSA KEPERAWATAN Ttd
O DITEMUKAN TERATASI
1. 14-8-2018 Nyeri Akut 17-8-2018

2. 14-8-2018 Gangguan Pola Tidur 17-8-2018

3. 14-8-2018 Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas 17-8-2018

4. 14-8-2018 Defisit Perawatan Diri (Toiletting) 17-8-2018


17

RENCANA TINDAKAN  KEPERAWATAN

Hari/Tgl No Dx Rencana Perawatan Ttd


Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Rabu, 15-8-2018 1 Tujuan: setelah dilakukan tindakan 1) Kaji tingkat nyeri, perhatikan respon
keperawatan selama 3x24 jam nyeri klien verbal dan non verbal klien
berkurang atau hilang 2) Anjurkan klien untuk posisi nyaman
Kriteria hasil: (semifowler)
1) Klien tidak merasakan nyeri/nyeri 3) Ajarkan teknik imajinasi tentang hal-
berkurang hal yang menyenangkan untuk
2) Klien dapat mengetahui penyebab mengalihkan rasa nyeri
dan kapan terjadinya nyeri 4) Anjurkan teknik relaksasi otot agar
3) Klien mampu melakukan pencegahan tidak tegang
nyeri 5) Monitor tanda-tanda vital dan respon
4) Klien mampu menggunakan klien
analgesic sesuai dengan rekomendadi 6) Kolaborasi pemberian analgesic
dokter yang sesuai untuk meredakan nyeri.
5) Klien tidak menunjukkan ekspresi
nyeri
Rabu, 15-8-2018 2 Tujuan: setelah dilakukan tindakan 1) Jelaskan pentingnya tidur yang
keperawatan selama 3x24 jam, pola tidur adekuat
pasien kembali normal 2) Ciptakan lingkungan yang nyaman
Kriteria hasil: 3) Kolaborasi pemberian obat tidur
1) Jumlah tidur klien dalam batas normal 4) Monitor dan catat kebutuhan tidur
6-8 jam per hari pasien setiap hari
2) Pola tidur, kualitas dalam batas 5) Diskusikan dengan pasien dan
normal keluarga tentang teknik tidur klien
18

3) Perasaan segar setelah tidur atau


istarahat
Rabu, 15-8-2018 3 Tujuan: setelah dilakukan tindakan 1) Memposisikan klien semi fowler
keperawatan selama 1x24 jam jalan nafas untuk memaksimalkan ventilasi
klien bersih dan klien merasa nyaman 2) Mengeluarkan secret berlebih
Kriteria hasil: dengan melakukan nebul dan suction
1) Menunjukkan jalan nafas yang paten 3) Monitor tanda-tanda vital
(klien tidak merasa tercekik) 4) Auskultasi suara nafas tambahan
2) Irama nafas normal, frekuensi nafas
normal, tidak ada suara nafas
tambahan
3) Klien mampu mendemonstrasikan
batuk efektif
4) Tidak mengalami sianosis
Rabu, 15-8-2018 4 Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1) Memfasilitasi pasien untuk
selama 3x24 jam, klien nampak bersih melakukan gosok gigi
Kriteria hasil: 2) Memantau integritas kulit pasien
1) Klien mampu mempertahankan 3) Mendorong keluarga untuk
kebersihan penampilan bepartisipasi aktif dalam melakukan
2) Tubuh klien nampak bersih perawatan kebersihan pada klien
3) Gigi klien nampak bersih
19

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Hari/Tgl/Jam No Dx Tindakan Keperawatan Ttd


Kamis, 16 Agustus 2018 1 1) Mengkaji tingkat nyeri klien
Pukul 08.00 2) Mengkaji respon verbal dan non verbal yang ditunjukkan klien
3) Monitoring tanda-tanda vital klien
4) Mengajarkan kepada klien tentang teknik relaksasi
5) Memberikan obat analgesic sesuai anjuran dokter
Kamis, 16 Agustus 2018 2 1) Mengkaji penyebab gangguan tidur klien
Pukul 08.00 2) Monitoring TTV klien
3) Memberikan edukasi pada keluarga untuk menciptakan lingkungan yang nyaman
guna memfasilitasi tidur klien
4) Mengajarkan teknik pengantar tidur, dengan melakukan nafas dalam dan dzikir
Kamis, 16 Agustus 2018 3 1) Memberikan edukasi kepada klien dan keluarga untuk mempertahankan posisi
Pukul 08.00 semi fowler untuk memaksimalkan pernafasan klien dan meningkatkan
kenyamanan klien saat bernafas
2) Mengajarkan keluarga klien untuk melakukan nebul
3) Melakukan auskultasi suara nafas. Hasil: suara nafas vesikuler kanan dan kiri
4) Mengobservasi tanda-tanda vital. Hasil: TD: 125/70, N: 80x/menit, S: 36,8
Kamis, 16 Agustus 2018 4 1) Memfasilitasi perawatan gigi klien, dengan mengajarkan klien berkumur
Pukul 08.00 menggunakan air garam
2) Memberikan edukasi terhadap klien dan keluarga untuk tetap menjaga
kebersihan mulut
3) Memantau integritas kulit klien. Hasil: tidak terdapat luka decubitus.
4) Memberikan edukasi keluarga untuk membantu klien dalam merawat diri
5) Menganjurkan keluarga untuk menyeka klien 2 kali setiap hari untuk menjaga
kebersihan diri klien
20

EVALUASI KEPERAWATAN
No Hari/Tgl No Dx Evaluasi Ttd
jam
1. Sabtu, 18 Agustus 2018 1 S: klien mengatakan nyeri di luka operasi berkurang
Pukul 13.00 O: klien dengan abses parafaring post insisi hari ke-8, skala nyeri 2
A: nyeri akut
P: masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan
I: memberikan analgesic ulang
2. Sabtu, 18 Agustus 2018 2 S: klien mengatakan sudah bisa tidur, walaupun kurang dari 6 jam per hari
Pukul 13.00 O: klien Nampak lebih segar, kantong mata klien berkurang
A: gangguan pola tidur
P: masalah teratasi
I: -
3. Sabtu, 18 Agustus 2018 3 S: klien tidak mengeluh sesak nafas, secret dapat dikeluarkan dengan mudah
Pukul 13.00 setelah dilakukan nebul
O: suara nafas vesikuler kanan dan kiri, tidak ada suara nafas tambahan, secret
sedikit, TTV dalam batas normal
A: ketidakefektifan bersihan jalan nafas
P: masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan
I: memberikan posisi semi fowler, melakukan nebul setiap 2-4 jam sekali,
melakukan batuk efektif
4. Sabtu, 18 Agustus 2018 4 S: klien mengatakan badan segar dan mulut bersih, klien merasa lebih nyaman
Pukul 13.00 O: badan dan gigi klien Nampak bersih
A: klien tidak ada keluhan
P: masalah teratasi, intervensi dilanjutkan
I: melakukan oral hygiene, melakukan perawatan diri mandi dengan diseka,
mengedukasi keluarga untuk menjaga kebersihan tubuh
21

BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Pengkajian Keperawatan


Pasien mengeluhkan nyeri saat menelan selama 7 hari sebelum pasien

masuk rumah sakit. Hal tersebut sesuai dengan ciri-ciri yang dialami oleh

pasien abses parafaring pada umumnya yang mengeluhkan demam, kesulitan

membuka mulut, nyeri tenggorok, nyeri menelan, kesulitan menelan,

kesulitan menggerakkan leher, dan perubahan suara. Klien didiagnosa abses

parafaring. Infeksi pada ruang parafaring dapat terjadi akibat: 1) komplikasi

infeksi pada orofaring, seperti tonsilitis, faringitis, dan infeksi gigi, 2) proses

supurasi pada kelenjar limfe ruang leher dalam, mastoid, dan vertebra

servikal, 3) penjalaran infeksi dari ruang leher dalam di sekitarnya akibat

letak ruang parafaring yang berada relatif di tengah dibandingkan ruang-

ruang leher dalam lainnya, 4) tusukan jarum saat melakukan tonsilektomi

dengan anestesi lokal dan benda asing (Blumberg, J. M. & Ludson, B.L.,

2014). Kondisi sistemik yang menjadi faktor predisposisi terjadinya abses

parafaring adalah diabetes melitus, penyakit autoimun seperti sistemik lupus

erythematosus dan infeksi HIV/AIDS. Sumber infeksi dan faktor predisposisi

terjadinya abses parafaring pada pasien ini tidak diketahui dengan jelas.

Seringkali sumber infeksi pada pasien abses parafaring telah sembuh saat

abses terjadi dan sekitar 20% kasus abses leher dalam sumber infeksinya

tidak diketahui (Aynehchi, B. B. & Har, El G., 2014).

Indikasi untuk melakukan pembedahan adalah tidak terdapat perbaikan

gejala dalam waktu 24 jam, ancaman sumbatan jalan napas, adanya

18
22

komplikasi neurovaskular yang mengancam nyawa, pus yang tampak lebih

dari 3 cm pada CT-scan, dan abses multiple (Aynehchi, B. B. & Har, El G.,

2014). Hasil CT-scan pasien ini menunjukkan pus dalam jumlah yang

signifikan hingga menyebabkan edema di bagian leher kanan, sehingga

diputuskan untuk melakukan tindakan pembedahan.Setelah dilakukan operasi

di daerah leher, pasien mengeluhkan nyeri dan sulit untuk tidur.Klien

mengurangi aktivitas karena leher klien terdapat luka insisi yang

menimbulkan nyeri jika terjadi gerakan. Klien mengeluh terkadang bisa tidur

terkadang tidak. Saat berpakaian klien dibantu orang lain. Klien merasa tidak

nyaman pada luka dan badan sampai kaki terasa nyeri. Tidak terdapat

komplikasi yang serius pada pasien ini. Komplikasi abses parafaring dapat

timbul akibat abses itu sendiri ataupun akibat tindakan pembedahan yang

dilakukan. Komplikasi yang timbul akibat abses parafaring itu sendiri adalah

mediastinitis, perikarditis, sindrom Lemierre, syok sepsis, aneurisma atau

ruptur arteri karotis interna, obstruksi jalan napas, empiema, dan sindrom

Horner(Blumberg, J. M. & Ludson, B.L., 2014).

Hasil dari pemeriksaan fisik ditemukan, nadi: 100 x/menit, suhu: 35,3
o
C, TD: 130/90 mmHg. Saat nyeri pola bernafas klien meningkat, tetapi

kembali membaik saat nyeri hilang. Pada pemeriksaan fisik lainnya

ditemukan luka insisi di leher kanan, mukosa lembek, mata tidak cekung dan

anemis. Saat berada di ruang Bedah Teratai selang NGT dan nutrisi yang

diperoleh klien hanya susu dan jus. Tidak ada gangguan dalam BAK/BAB.

Klien jarang mandi jika tidak diseka dan klien tidak gosok gigi tetapi

berkumur. Klien terpasang bulow draine.Pada anamnesis pasien dengan abses


23

parafaring didapatkan riwayat demam, pembengkakan dan nyeri pada daerah

infeksi terutama di daerah parafaring, regio tiroid dan regio submandibular.

Keluhan nyeri biasanya akan semakin hebat ketika pasien sedang menoleh

atau sedang menggerakkan leher. Pada beberapa pasien didapatkan riwayat

sakit gigi atau riwayat tertelan benda asing. Keluhan lain didapatkan sulit

menelan selama beberapa hari, trismus bahkan sampai sesak nafas(Aynehchi,

B. B. & Har, El G., 2014).

Penanganan abses parafaring adalah dengan rawat inap, perbaikan

kondisi umum pasien dan diberikan antibiotika empirik berspektrum luas

sambil menunggu hasil kultur dan tes sensitivitas. Beberapa pasien mungkin

mengalami ancaman sumbatan jalan napas dan memerlukan trakeostomi atau

intubasiHorner(Blumberg, J. M. & Ludson, B.L., 2014).Pasien pada laporan

kasus ini dirawat inap dan segera dilakukan rehidrasi dengan cairan infus.

Antibiotik yang diberikan adalah ceftriaxone dan kemudian diubah menjadi

ciprofloxacin dan metronidazole sambil menunggu hasil kultur dan tes

sensitivitas.

Hasil kultur dan tes sensitivitas kemudian mendapatkan kuman

penyebab pada kasus ini adalah Klebsiella pneumonia yang sensitif terhadap

ciprofloxacin, sehingga terapi sebelumnya dilanjutkan. Klebsiella pneumonia

merupakan bagian dari gram negatif Enterobacteriaceae dan didapatkan

sebagai flora normal pada 5% individu normal (Rahardjo, S. P., 2013).

Bakteri lain yang sering ditemukan adalah Streptococcus viridans,

Streptococcus pyogenes, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus


24

aureus, Diphteria, Neisseria, Haemophylus influenzae, Peptostreptococcus,

Fusobacte-rium,dan Bacteriodes(Blumberg, J. M. & Ludson, B.L., 2014).

3.2 Diagnosa, Intervensi, Implementasi dan Evaluasi Keperawatan


1. Nyeri akut

Definisi: pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan

kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau

lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari

3 bulan

Penyebab:

1) Agen pencedera fisiologis (mis. Inflamasi, iskemia, neoplasma)

2) Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan)

3) Agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar, terpotong,

mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)

Masalah keperawatan kasus: masalah nyeri akut pada klien, disebabkan

karena tindakan operasi yang menyebabkan terputusnya kontinuitas

jaringan, sehingga terjadi perangsangan saraf pusat untuk merespon nyeri,

sehingga timbul masalah nyeri akut.. Hal ini didukung dengan DS klien

yang mengatakan nyeri hilang timbul di bagian dada dan DO klien dengan

P (Provoke): nyeri akibat luka insisi, Q (Quality): nyeri seperti ditusuk, R

(Regio): nyeri di leher kanan. S (Scala): skala nyeri 5 (dalam rentang 1-

10). T: nyeri hilang timbul.

Intervensi yang sudah diimplementasikan pada Ny. N yaitu: 1)

mengidentifikasi nyeri klien dan respon verbal yang ditunjukkan, 2)

monitoring TTV klien, 3) mengajarkan kepada klien tentang teknik


25

relaksasi, dan 4) menginjeksikan obat anti nyeri sesuai dengan

rekomendasi

2. Gangguan pola tidur

Definisi: gangguan kualitas waktu tidur akibat faktor eksternal dari

lingkungan.

Penyebab: faktor lingkungan bisa suhu, kelembaban, pencahayaan,

kebisingan, bau tidak sedap, kurang privasi, dan kondisi sakit.

Masalah keperawatan kasus: gangguan pola tidur pada klien disebabkan

karena kondisi dari lingkungan dan diri sendiri, klien mengeluhkan merasa

kepanasan sehingga sulit tidur dan merasa nyeri akibat luka post operasi.

Hal ini sesuai dengan etiologi dari gangguan pola tidur yang dibuktikan

dengan data subjektif klien mengatakan sulit tidur. DO selama pengkajian

klien tampak lemas dan terdapat kantung mata.

Intervensi yang sudah diimplementasikan pada Ny. N adalah 1) mengkaji

penyebab gangguan pola tidur, 2) monitoring TTV klien, 3) memberikan

edukasi pada keluarga agar menciptakan lingkungan yang nyaman saat

klien akan tidur, dan 4) mengajarkan teknik pengantar tidur, tarik napas

dan dzikir.

3. Bersihan jalan napas tidak efektif

Definisi: ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas

untuk mempertahankan jalan napas tetap paten

Penyebab:

1) Fisiologis meliputi spasme jalan napas, hipersekresi jalan napas,

disfungsi neuromuscular, benda asing dalam jalan napas, adanya jalan


26

napas buatan, sekresi yang tertahan, hiperplasia dinding jalan napas,

proses infeksi, respon alergi dan efek agen farmakologis (mis.

anastesi)

2) Situasional meliputi merokok aktif, merokok pasif, dan terpajan

polutan

Masalah keperawatan kasus: masalah bersihan jalan napas tidak efektif

pada klien disebabkan karena abses parafaring meningkatkan kemampuan

produksi sekret dan menurunkan reflek batuk kemudian terjadi

penumpukan sekret yang menyumbat jalan napas. Hal ini didukung

dengan dengan data objektif klien selama pengkajian ditemukan adanya

luka post operasi, terdapat sekret dan adanya pus.

Intervensi yang sudah diimplementasikan pada Ny. N adalah 1) edukasi

keluarga dan klien untuk mempertahankan posisi semifowler untuk

memaksimalkan pernapasan dan meningkatkan kenyamanan untuk

bernapas, 2) ajarkan klien untuk menggunakan nebulizer dan ajarkan

keluarga untuk melakukan nebul dan suction bila diperlukan, 3) auskultasi

suara napas, didapatkan suara napa vesikuler antara paru kanan dan kiri, 4)

observasi TTV, didapatkan TD: 125/70 mmHg, nadi: 80 x/menit, dan

suhu: 36,8 oC.

4. Defisit perawatan diri

Definisi:klien tidak mampu melakukan atau menyelesaikan aktivitas

perawatan diri sendiri.

Penyebab:penyebabnya adalah gangguan musculoskeletal, gangguan

neuromuscular, kelemahan, psikotik dan penurunan motivasi.


27

Masalah keperawatan kasus:masalah defisit perawatan diri pada klien

dikarenakan klien masih lemas dan akibat dari tindakan operasi, sehingga

sesuai dengan penyebab dan dibuktikan dengan data subjektif klien

mengatakan lemas, sulit untuk pergi ke kamar mandi, DO menunjukkan

klien terlihat kotor, kuku panjang, napas bau, dan ercium bau badan.

Intervensi yang sudah diimplementasikan pada Ny. N adalah 1)

memfasilitasi perawatan gigi dengan menganjurkan kumur dengan air

garam, 2) mengedukasi untuk tetap menjaga kebersihan mulut, 3)

memantau integritas kulit pasien, hasil tidak ada dekubitus dan kemerahan,

4) edukasi keluarga untuk menjaga kebersihan diri dan oral hygiene, dan

5) anjurkan keluarga untuk menyeka badan klien 2 kali sehari.


28

BAB 4
PENUTUP

4.1 Simpulan
Abses parafaring adalah infeksi di daerah parafaring yang dapat meluas

dan menyebabkan penimbunan nanah. Ruang parafaring dapat terinfeksi dengan

cara 1) langsung yaitu akibat tusukan jarum akibat melakukan tonsilektomi

dengan analgesia, 2) proses supurasi kelenjar leher limfa bagian dalam, gigi,

tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan serebra servikal, 3) infeksi

dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula. pada orofaring, seperti

tonsilitis, faringitis, dan infeksi gigi dan 4) kondisi sistemik. Klien yang

mengalami abses parafaring akan mengalami beberapa masalah keperawatan

yang kompleks, terutama yang sudah infiltrate ke organ-organ lain.

Masalah keperawatan utama yang bisa ditemukan adalah bersihan jalan

napas tidak efektif, nyeri akut, gangguan pola tidur dan defisit perawatan

diri.Masalah keperawatan yang ditemukan disesuaikan dengan intervensi yang

akan diterapkan, sehingga masalah keperawatan bisa teratasi dengan baik.

Berdasarkan hasil tindakan keperawatan, semua masalah keperawatan klien

sudah teratasi dengan baik dan perlu dilanjutkan intervensi agar masalah tidak

muncul kembali.

4.2 Saran
Setelah kita mengetahui penyebab dan cara merawat pasien dengan penyakit

abses parafaring, kita bisa melakukan asuhan keperawatan sebagaimana mestinya

dan juga kita bisa memberikan informasi kepada masyarakat untuk selalu

memperhatikan kebersihan makanan dan minuman yang dikonsumsi serta

lingkungan.

25
29

DAFTAR PUSTAKA
Adam GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adam GL,Boies
LR Jr, Higler P, ed. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Alih bahasa: Wijaya
C. Jakarta: EGC; 1994: 320-55.
Amar, Y. G. & Manoukian, J. J. (2004). Intraoral drainage: recomended as the
initial approach for the treatment of parapharyngeal abscess. Otolaryngol
Head Neck Surg. 130:676-80.
Aynehchi, B. B. & Har, El. G. (2014). Deep neck Infections dalam: Johnson JT,
Rosen CA, penyunting. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology.
Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins. h.794-816.
Ballenger JJ. Leher, orofaring dan nasofaring. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid 1. Edisi 13. Alih
bahasa: Staf Ahli Bag THT RSCM-FKUI. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994:
295-304.
Blumberg, J. M. & Ludson, B. L. (2014). Surgical management of parapahryngeal
abscess, Operative Technique in Otolaryngology, 25:304-9.
Brito-Mutunayagam, S., Chew, Y. K., Sivakumar, K., Prepageran, N. (2007).
Parapharyngeal and retropharyngeal abscess: anatomical complexity and
etiology. Med J Malaysia, 62(5):S413-5.
Dewantara, I. P. S., Putra, I. D. G. A. E., Sucipta, I. W. (2017). Penanganan abses
parafaring dengan pendekatan transoral. Medicina 48(1): 62-66.
DOI:10.15562/medi.v48i1.28.
Fachruddin D, Abses leher dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, ed. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 5
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001: 18589
Gani, A. N., Badullah, A., Hazim, M. Y. S., Rozman, Z. (2007). Parapharyngeal
abscess in immuno-compromissed patients. Med & Health, 2(2):S158-63.
Gadre, A. K., Gadre, K. C. (2001). Infections of the deep spaces of the neck, In:
Bailey BJ ed. Head & Neck Surgery Otolaryngology 3th ed. Vol 1.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins co; 665-82.
Haben, C. M., Campisi, P., Sweet, R. (2001). Sequential parapharyngeal
abscesses. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology.
57:255-8.
Lee, Y. Q., Kanagalingam, J. (2011). Deep neck abscesses: Singapore experience,
Eur Arch Otorhinolaryngol. 268(4):609-14.
Marcincuk, M. C. (2005). Deep neck infections. Available at:
URL:http://www.emedicine.com/ ent/topic 669.htm-ggk. Accessed August
30, 2018.
30

Novialdi, Pulungan M. R. (2010). Pola kuman abses leher dalam, Bagian THT-KL
FK Universitas Andalas-RS dr.M Jamil Padang [Tesis].Padang:
Universitas Andalas.
Page, C., Biet, A., Zaatar, R., Strunski, V. (2008). Parapharyngeal abscess:
diagnosis and treatment. Eur Arch Otorhinolaryngol, 265:681-6.
Pedlar J. Spreading infection. Available at: URL:http://www.fleshandbones.c
om/readingroom/pdf/111.pdf. Accessed August 30, 2018.
Rahardjo, S. P. (2013). Infeksi Leher Dalam. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rigante D, Spanu T, Nanni L, Tornesello A, Sanguinetti M. Deep neck infection
complicating lymphadenitis caused by Streptococcus intermedius in an
immunocompetent child. Available at: URL:http://www.biomedcentral.c
om/1471-2334/6/61/prepup. Accessed August 30, 2018.
Rosen EJ, Bailey BJ. Deep neck spaces and infections. Available at:
URL:http://www.utmb.edu/otoref/ Grnds/Deep-neck-spaces-200204-
slides.pdf. Accessed August 30, 2018.
Shumrick KA, Sheaft SA. Deep neck infections. In: Paparella, Shumrick,
Gluckman, Meyerhoff, eds. Otolaryngology. 3 rd ed. Philadelphia: WB
Sounders Co; 1991: 2545-52.
Wahyono, Samodra E, Setiajit B. Abses parafaring studi retrospektif pada 7
penderita. Dalam: Zainudin Z, Syam A, Aminoedin I, Fadil M, Hutapea E,
ed. Kumpulan Naskah Ilmiah Tahunan PERHATI. Bukittinggi; 1993:609-
22.
Yang, S. W., Lee, M. H., See, L. C., Huang, S. H., Chen, T. M., Chen, T. A.
(2008). Deep neck abscess: an analysis of microbial etiology and
effectiveness of antibiotics. Infection and Drug Resistance, 1:1-8.
Yasan, H., Dogru, H., Ozel, F. B., Baykal, B. (2005). Difficulty in the diagnosis
and management of parapharyngeal abscess: foreign body?.KBB-forum, 4
(4):S192-4.
31

LAMPIRAN
Laporan Pendahuluan

1. Anatomi Fisiologi

Gambar 1 Bentuk Ruang Parafaring

Ruang parafaring (disebut juga ruang faring lateral, ruang

faringomaksila, ruang pterigomaksila, ruang pterigofaring), merupakan ruang

potensial yang termasuk bagian dari ruang leher dalam yang berbentuk

piramida terbalik, yang terbentuk dari multi komponen sistem fasia. Batas-

batas ruang parafaring adalah di inferior oleh kornu minor tulang hyoid, di

superior oleh dasar tengkorak, sebelah medial dibatasi divisi viseral dari

lapisan media (sepanjang otot konstriktor faring) dan fasia otot-otot tensor

dan levator veli palatini serta stiloglosus. Batas lateral dipertegas oleh lapisan

superfisial yang meliputi mandibula, pterigoideus medial, dan parotis. Batas

posterior dibentuk oleh divisi prevertebra dari lapisan profunda dan sisi

posterior selubung karotis (tepatnya batas postero lateral). Batas anterior

merupakan fasia interpterigoideus dan rafe pterigomandibula. Ruang


32

parafaring ini dapat dibagi-bagi menjadi kompartemen-kompartemen oleh

suatu garis yang ditarik dari lamina pterigoid menuju prosesus stiloid.

Gambar 2 Penampang Leher Level Tulang Hyoid

Kompartemen anterior berisi arteri maksilaris interna, nervus alveolaris

inferior, nervus lingualis, dan nervus aurikulotemporalis. Infeksi yang terjadi

pada kompartemen ini ditandai adanya trismus. Kompartemen posterior berisi

selubung karotis (arteri karotis, vena jugularis interna, dan nervus vagus),

nervus glosofaringeal, nervus hipoglosus, persyarafan simpatis, dan

pembuluh limfe. Nervus asesorius juga berada dalam kompartemen ini, tetapi

seringkali terlindungi dari proses infeksi yang terjadi dalam kompartemen

posterior.

Ruang parafaring berhubungan dengan ruang retrofaring di bagian

posteromedial, ruang submandibula di bagian inferior, dan ruang mastikator

di bagian lateral, secara umum, ruang parafaring merupakan pusat hubungan

dari semua ruang potensial leher dalam. Kejadian infeksi dalam ruang
33

parafaring seringkali menyebar ke ruang-ruang potensial lainnya, terutama

ruang retrofaring dan selubung karotis.

Gambar 3 Ruang Parafaring

Ruang parapharyngeal (Gambar 3) dibagi atas:

a) Pre styloid: Medial—fossa tonsilaris Lateral—pterygoid medial

Kandungan lemak, jaringan penghubung, kelenjar limfe

b) Post styloid: Selubung karotis Nervus IX, X, XII

2. Definisi

Abses adalah kumpulan nanah dalam suatu rongga yang terjadi akibat

adanya suatu proses infeksi bakteri piogenik yang terdapat dibawah jaringan,

organ, atau pada ruang-ruang kosong. Abses mempunyai daerah pusat yang

menonjol yang terjadi akibat penumpukan sel dan jaringan yang mati. Daerah

tersebut dilindungi oleh netrofil, sedang di sebelah luarnya terdapat pelebaran

pembuluh darah serta jaringan parenkim dan fibroblas yang berfungsi untuk

mempercepat proses penyembuhan. Abses parafaring adalah infeksi di daerah

parafaring yang dapat meluas dan menyebabkan penimbunan nanah.


34

3. Etiologi

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:

1) Langsung, yaitu akibat tusukan jarum akibat melakukan tonsilektomi

dengan analgesia. Peradangan terjadi karena jarum suntik telah

terkontamiunasi kuman yang menembus lapisan otot tipis (muskulus

konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa

tonsilaris.

2) Proses supurasi kelenjar leher limfa bagian dalam, gigi, tonsil, faring,

hidung, sinus paranasal, mastoid dan serebra servikal dapat merupakan

sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. Selain itu proses

supurasi pada kelenjar limfe pada ruang leher dalam, mastoid, dan

vertebra servikal dapat menyebabkan abses parafaring.

3) Penjelasan infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.

pada orofaring, seperti tonsilitis, faringitis, dan infeksi gigi,

4) Kondisi sistemik yang menjadi faktor predisposisi terjadinya abses

parafaring adalah diabetes melitus, penyakit autoimun seperti sistemik

lupus erythematosus dan infeksi HIV/AIDS.

4. Patofisiologi

Abses parafaring dimulai dari infeksi jaringan lunak pada daerah kepala dan

leher. Infeksi ini dapat meluas dari salah satu ruang potensial leher dalam,

yang kemudian mengenai parafaring. Suatu infeksi bakteri di ruang

parafaring dapat terjadi melalui beberapa cara:

1) Bakteri menyebar dari suatu infeksi di bagian tubuh yang lain misalnya

melalui saluran vaskuler menyebabkan terjadinya endoplebitis atau


35

trombosis atau melalui saluran limfatik sehingga menyebabkan terjadinya

supurasi kelenjar limfe servikal profunda. Infeksi di bagian tubuh yang

lain seperti pada tonsilitis, faringitis akut, adenoiditis, perluasan

peritonsiler abses, infeksi gigi molar pada pencabutan gigi molar bawah,

tindakan endoskopi per oral yang kasar, perluasan infeksi glandula parotis

atau pada timpano-mastoiditis kronis melalui abses Bezold.

2) Bakteri masuk ke bawah kulit akibat adanya luka atau trauma tindakan

seperti esofagoskopi atau bronkoskopi; tertelan benda asing; tusukan

jarum yang tidak steril di leher pada pencandu morfin.

3) Lymphadenitis, peradangan pada kelenjar limfe itu sendiri.


36

5. WOC

Bakteri Gram Positif

Mengeluarkan enzim hyaluromidase dan enzim koagulase

Merusak jembatan antar sel

Transport nutrisi antar sel terganggu

Jaringan rusak/ mati

Media bakteri yang baik

Jaringan terinfeksi

Abses Parafaring

Jaringan berisi pus Penuh dengan pus Terjadinya pembengkakan Akumulasi pus Tirah baring lama

Hormone prostaglandin, Nyeri telan


Pus meningkat Dilakukan
Takut akan
pembedahan
tindakan dan keberhasil an dari pembedahanbradikinin meningkat Kelelahan dalam aktivitas

Anoreksia

Pus masuk ke saluran pernafasan


Adanya luka insisi Gangguan mobilitas fisi
Nyeri Akut Terpasang NGT
Wajah terlihat tegang

Kurang informasi mengenai pre medikasi


Tempat masuk organisme Menganggu kenyamanan saat tidur
Intake nutrisi kurang dari kebutuhan
Pus di paru-paru
Ansietas

Ketidak efektifan jalan nafas


Munculnya gejala inflamasi color , rubor, dolor Gangguan pola tidur
Defisit pengetahuan

Gangguan menelan
Resiko infeksi Kurang istirahat

Keletihan KU lemas Resiko jatuh


Intoleransi aktifitas
37

6. Manifestasi

Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan

di daerah sekitar angulus mandibuila, deemam tinggi dan pembengkakan

dinding lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial.

Pasien abses parafaring umumnya mengeluhkan demam, kesulitan

membuka mulut, nyeri tenggorok, nyeri menelan, kesulitan menelan,

kesulitan menggerakkan leher, dan perubahan suara. Infeksi pada

kompartemen prestiloid dan poststiloid akan menunjukkan gejala yang

berbeda, yaitu infeksi pada kompartemen prestiloid memberikan gejala klasik

yang meliputi trismus, pembengkakan pada angulus mandibula, penonjolan

dinding faring ke arah medial, dan toksisitas sistemik. Infeksi pada

kompartemen poststiloid tidak akan menunjukkan trismus kecuali otot

pterigoideus terlibat, selain itu penonjolan dinding faring ke arah medial juga

tidak selalu terlihat.

7. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan kultur kuman dan test kepekaan antibiotika perlu

dilakukan sebelum penderita mendapat antibiotika. Sebelum bahan diambil

dilakukan dekontaminasi dengan antiseptik topikal. Pengambilan pus dari

abses parafaring yang paling tepat adalah dengan aspirasi memakai jarum

besar yang steril. Bahan pemeriksaan tersebut harus segera dikirimkan ke

laboratorium. Bila memungkinkan dapat ditanam terlebih dahulu pada media

transport, baru kemudian dikirimkan ke laboratorium. Pada pemeriksaan

darah didapatkan peningkatan jumlah leukosit. Pemeriksaan penunjang lain

yang diperlukan adalah pemeriksaan radiologi, berupa pemeriksaan foto leher


38

AP/lateral dalam kondisi soft tissue, foto toraks, USG leher dan pada kasus

tertentu dilakukan pemeriksaan CT-scan leher.

Diagnosa ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda

klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa

fotorontgen, jaringan lunak AP atau CT scan. Foto jaringan lunak leher

antero-posterior dan lateral merupakan prosedur diagnostik yang penting.

Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat

diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam

jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.

Keterbatasan pemerikasaan foto polos leher adalah tidak dapat

membedakan antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks

dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks,

pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar getah hilus. Pemeriksaan

tomografi komputer dapat membantu menggambarkan lokasi dan perluasan

abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan

gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak disekitar

abses. Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis

kuman dan pemberian antibiotika yang sesuai.

Gambar4. Gambaran CT-scan; A. Tampak abses parafaring (panah), B. Selulitis


pada abses parafaring dengan abses di ruang masseter.
39

8. Penatalaksanaan

Penanganan abses parafaring adalah dengan rawat inap, perbaikan

kondisi umum pasien dan diberikan antibiotika empirik berspektrum luas

sambil menunggu hasil kultur dan tes sensitivitas. Beberapa pasien mungkin

mengalami ancaman sumbatan jalan napas dan memerlukan trakeostomi atau

intubasi.

Penatalaksanaan abses parafaring harus dilakukan di rumah sakit

dengan tujuan memperbaiki keadaan umum dan untuk penatalaksanaan lebih

lanjut. Sebagai dasar penatalaksanaan dari abses parafaring yang perlu

diperhatikan adalah:

A) Preoperatif

Indikasi untuk melakukan pembedahan adalah tidak terdapat perbaikan

gejala dalam waktu 24 jam, ancaman sumbatan jalan napas, adanya

komplikasi neurovaskular yang mengancam nyawa, pus yang tampak lebih

dari 3 cm pada CT-scan, dan abses multipel. Hal yang paling penting untuk

diperhatikan sebelum dilakukan pembedahan ialah keadaan umum pasien,

tidak adanya sumbatan jalan nafas, resusitasi cairan dan keadaan metabolik,

pemberian antibiotik. Persiapan preoperatif meliputi:

1) Melindungi jalan nafas dengan cara:

a) Observasi adanya sumbatan jalan nafas. Pada kasus yang sangat sulit,

dimana ditemukan adanya sumbatan jalan nafas akibat

pembengkakan dinding faring, dan mencegah terjadinya aspirasi

abses, dapat dilakukan nasal endotracheal intubation


40

b) Pada keadaan sesak yang sangat hebat, dapat segera dilakukan

trakeostomi.

2) Melakukan kultur pus dan darah untuk mengetahui jenis kuman, dan

menentukan jenis antibiotik yang sesuai.

3) Memantau keadaan elektrolit dan metabolik dari tubuh.

4) Pemberian antibiotik parenteral dalam dosis tinggi perlu segera

diberikan, sambil menunggu hasil kultur kuman penyebab. Pemilihan

jenis antibiotik biasanya yang dapat membunuh semua jenis kuman baik

gram negatif atau gram positif, ataupun kuman aerob maupun anaerob.

Penggunaan injeksi Penicillin Procain dan Metronidazole sering menjadi

pilihan. Bila penderita alergi terhadap golongan Penicilin dapat diberikan

Eritromicin, Clindamycin atau Cephalosporin. Kombinasi salah satu obat

tersebut dengan Amynoglikosida dapat memberikan perlawanan terhadap

kuman gram negatif Enterobacilli dan Pseudomonas aeroginosa dengan

baik. Para ahli mengatakan pemberian antibiotik parenteral dengan

spektrum luas diberikan sebagai terapi pilihan, bila pada saat 48 jam post

drainase pus tidak didapatkan perubahan. Pemberian antibiotik parenteral

dapat diberikan sampai dengan 48 jam bebas panas, kemudian

dilanjutkan dengan pemberian antibiotik per oral. Pada kasus abses

parafaring yang ringan, dimana pus hanya sedikit dan tidak disertai

dengan gangguan sistem pernafasan, pemberian antibiotik dapat

diberikan tanpa dilakukan pembedahan kultur kuman penyebab.

Pemilihan jenis antibiotik biasanya yang dapat membunuh semua jenis

kuman baik gram negatif atau gram positif, ataupun kuman aerob
41

maupun anaerob. Penggunaan injeksi Penicillin Procain dan

Metronidazole sering menjadi pilihan. Bila penderita alergi terhadap

golongan Penicilin dapat diberikan Eritromicin, Clindamycin atau

Cephalosporin. Kombinasi salah satu obat tersebut dengan

Amynoglikosida dapat memberikan perlawanan terhadap kuman gram

negatif Enterobacilli dan Pseudomonas aeroginosa dengan baik. Para

ahli mengatakan pemberian antibiotik parenteral dengan spektrum luas

diberikan sebagai terapi pilihan, bila pada saat 48 jam post drainase pus

tidak didapatkan perubahan. Pemberian antibiotik parenteral dapat

diberikan sampai dengan 48 jam bebas panas, kemudian dilanjutkan

dengan pemberian antibiotik per oral. Pada kasus abses parafaring yang

ringan, dimana pus hanya sedikit dan tidak disertai dengan gangguan

sistem pernafasan, pemberian antibiotik dapat diberikan tanpa dilakukan

pembedahan.

B) Operatif

Selama pembedahan perlu diperhatikan ukuran abses, banyaknya pus,

lokasi abses, dan struktur anatomi dari leher.

1) Insisi abses dapat melalui intraoral maupun ekstraoral. Insisi

ekstraoral (Gambar 5) dilakukan dengan meletakkan 2 jari di bawah

dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari

batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas belakang

menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna

mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila

nanah terdapat dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari


42

pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan

m.sternokleidomastoideus (cara Mosher). Insisi abses yang kecil,

terbatas, atau uniloculated dapat dibantu dengan menggunakan

image.

Gambar 5 insisi abses parafaring

a) Standar insisi pada saat eksplorasi di daerah parafaring

b) Pendekatan yang dilakukan di daerah parafaring bagian posterior

Gambar 6 abses parafaring

Insisi intraoral (Gambar 6) dilakukan pada dinding parafaring.

Dengan memakai klem arteri eksplorasi dilakukan menembus

m.konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior.


43

Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan

terhadap insisi ekstraoral.

2) Aspirasi dengan jarum besar

Aspirasi dengan jarum dapat dilakukan pada keadaan ukuran

abses yang kecil dan letak abses parafaring yang mudah untuk

dicapai atau bila keadaan umum pasien tidak mendukung untuk

dilakukan anestesi umum. Dalam melakukan aspirasi dengan jarum

besar dapat dipakai CT-scan ataupun USG sebagai penuntun.

Aspirasi dengan jarum juga dipakai sebagai langkah awal sebelum

dilakukan tindakan pembedahan, terutama untuk pengambilan kultur

kuman.

C) Post Operatif

Sesudah operasi yang perlu dimonitor adalah tanda-tanda respon

terhadap terapi, kultur dan sensitifitas kuman terhadap antibiotik, ada

tidaknya tanda-tanda sumbatan jalan nafas, dan ada tidaknya komplikasi

dari abses parafaring.

9. Komplikasi

Komplikasi seperti mediastinitis, angina ludovisi, trombosis vena intra

jugularis, perdarahan, udim laring, osteomielitis vertebra servikal dan

mandibula, pneumonia, erisipelas, gangguan nervus vagus, meningitis, abses

dan septikemia, menyebabkan abses parafaring memerlukan penatalaksanaan

yang cepat dan tepat.

Banyak hal yang dapat menjadi penyebab komplikasi dari abses

parafaring, diantaranya adalah terapi yang tidak tepat, dan tidak adekuat,
44

keterlambatan diagnosis dan penatalaksanaan terapi abses parafaring.

Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah sumbatan jalan nafas akibat

dari pendesakan trakea, aspirasi dari pus, bisa secara spontan maupun pada

saat memasukkan pipa endotrakea, komplikasi pembuluh darah misalnya

trombosis vena intra jularis, ruptur arteri karotis, mediastinitis, defisit

neurologi, sepsis, fasiitis nekrotik leher, dan osteomyelitis.

10. Prognosis

Pasien yang mendapat penanganan yang cepat dan tepat akan

memperoleh kesembuhan yang lebih cepat dan berhasil baik, sedang pasien

yang terlambat mendapat penanganan dapat mengalami komplikasi yang

lebih berat dan waktu penyembuhan yang lebih lama.

11. Asuhan Keperawatan Umum

A) Pengkajian

Pengkajian pada klien dilakukan mulai dari pengumpulan data

yang meliputi:

1) Identitas

a) Nama

b) Usia: terjadi pada semua usia, kejadian tertinggi pada usia remaja

dan dewasa muda.

c) Jenis Kelamin: terjadi pada laki-laki dan perempuan.

d) Pekerjaan

e) Alamat
45

2) Riwayat Penyakit dahulu

Pernah menderita sakit gigi, pernah dilakukan insisi di daerah

muskulus konstriktor faring superior

3) Riwayat Penyakit Sekarang

Klien mengeluh nyeri menelan

4) Riwayat Penyakit Keluarga

Adakah keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan pasien

5) Riwayat Alergi

Riwayat alergi terhadap obat-obatan dan makanan tertentu.

B) Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum: Keadaan umum klien biasanya lemah

2) Tanda-tanda vital: Terjadi peningkatan suhu (hipertermi)

C) Body sistem

1) B1: Breathing

Terjadi obstuksi saluran napas seperti mengorok dan dispnea,

suara klien menjadi sengau.

2) B2: Blood

Terdapat edema pada laring, edema di daerah submandibula

dan di uvula.

3) B3:Brain

Kesadaran biasanya komposmentis. Adanya nyeri pada leher,

leher terasa kaku.

4) B4: Bladder

Umumnya tidak ada gangguan pada sistem perkemihan.


46

5) B5: Bowel

Terdapat nyeri telan, anoreksia, konstipasi dapat terjadi karena

terlalu lama bedrest.

6) B6: Bone

Terjadi kekakuan otot leher (neck stiffnes) disertai nyeri pada

pergerakan, terjadi trismus.

D) Pemeriksaan Diagnostik

1) CT Scan: Pemeriksaan CT-scan leher dengan kontras biasanya

didapatkan lesi hipodens berbatas tidak tegas pada ruang

parafaring.

2) Hasil laboratorium: Pada pemeriksaan darah didapatkan peningkatan

jumlah leukosit.

3) Foto polos: Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua

posisi tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di

daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak dan pembengkakan

daerah jaringan lunak leher

E) Diagnosa Keperawatan

1) Nyeri Akut b.d agen injuri biologi

2) Hipertermi b.d reaksi peradangan

3) Kerusakan integritas kulit b.d pembedahan

4) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d mucus dalam jumlah

berlebih

5) Resiko infeksi b.d prosedur invasive

6) Defsit pengetahuan b.d tidak familiar dengan sumber informasi


47

7) Ansietas b.d stress ancaman kematian

8) Gangguan pola tidur b.d nyeri

9) Intoleransi aktivitas b.d tirah baring/imobilisasi

10) Gangguan menelan b.d nyeri telan

F) Intervensi Keperawatan

Nyeri akut b.d agen injuri biologis


NOC NIC
1) Mampu mengontrol nyeri 1) Lakukan pengkajian nyeri
(tahu penyebab nyeri, mampu secara komprehensif termasuk
menggunakan tehnik lokasi, karakteristik, durasi
nonfarmakologi untuk frekuensi, kualitas dan faktor
mengurangi nyeri, mencari presipitasi
bantuan) 2) Observasi reaksi nonverbal
2) Melaporkan bahwa nyeri dan ketidaknyamanan
berkurang dengan 3) Gunakan teknik komunikasi
menggunakan manajemen terapeutik untuk mengetahui
nyeri pengalaman nyeri pasien
3) Mampu mengenali nyeri 4) Kaji kultur yang
(skala, intensitas, frekuensi mempengaruhi respon nyeri
dan tanda nyeri) 5) Kurangi faktor presipitasi
4) Menyatakan rasa nyaman nyeri
setelah nyeri berkurang 6) Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologi, non
farmakologi dan inter
personal)
7) Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan intervensi
8) Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
9) Berikan anaIgetik untuk
mengurangi nyeri
10) Tentukan pilihan analgesik
tergantung tipe dan beratnya
nyeri
11) Tentukan analgesik pilihan,
rute pemberian, dan dosis
optimal
12) Pilih rute pemberian secara IV,
IM untuk pengobatan nyeri
secara teratur
13) Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali
48

Hipertermi b.d reaksi peradangan


NOC NIC
1) Suhu tubuh dalam rentang 1) Monitor suhu sesering
normal mungkin
2) Nadi dan RR dalam rentang 2) Monitor IWL
normal 3) Monitor warna dan suhu kulit
3) Tidak ada perubahan warna 4) Monitor tekanan darah, nadi
kulit dan tidak ada pusing dan RR
5) Monitor penurunan tingkat
kesadaran
6) Monitor WBC, Hb, dan Hct
7) Monitor intake dan output
8) Monitor suhu minimal tiap 2
jam
9) Rencanakan monitoring suhu
secara kontinyu
10) Monitor warna dan suhu kulit
11) Monitor tanda-tanda
hipertermi dan hipotermi
12) Tingkatkan intake cairan dan
nutrisi

Kerusakan integritas kulit b.d pembedahan


NOC NIC
1) Integritas kulit yang baik bisa 1) Anjurkan pasien untuk
dipertahankan (sensasi, menggunakan pakaian yang
elastisitas, temperatur, hidrasi, longgar
pigmentasi) 2) Hindari kerutan pada tempat
2) Tidak ada luka/lesi pada kulit tidur
3) Perfusi jaringan baik 3) Jaga kebersihan kulit agar
4) Menunjukkan pemahaman tetap bersih dan kering
dalam proses perbaikan kulit 4) Mobilisasi pasien (ubah posisi
dan mencegah terjadinya pasien) setiap dua jam sekali
cedera berulang 5) Monitor kulit akan adanya
5) Mampu melindungi kulit dan kemerahan
mempertahankan kelembaban 6) Oleskan lotion atau
kulit dan perawatan alami minyak/baby oil pada daerah
yang tertekan
7) Monitor aktivitas dan
mobilisasi pasien
8) Monitor status nutrisi pasien
9) Memandikan pasien dengan
sabun dan air hangat

Resiko infeksi b.d prosedur invasive


NOC NIC
1) Klien bebas dari tanda dan 1) Bersihkan lingkungan setelah
49

gejala infeksi dipakai pasien lain


2) Mendeskripsikan proses 2) Pertahankan lingkungan
penularan penyakit, faktor aseptik selama pemasangan
yang mempengaruhi penularan alat
serta penatalaksanaannya 3) Ganti letak IV perifer dan line
3) Menunjukkan kemampuan central dan dressing sesuai
untuk mencegah timbulnya dengan petunjuk umum
infeksi 4) Gunakan kateter intermiten
4) Jumlah leukosit dalam batas untuk menurunkan infeksi
normal kandung kencing
5) Menunjukkan perilaku hidup 5) Tingktkan intake nutrisi
sehat 6) Berikan terapi antibiotik bila
perlu
7) Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan local
8) Monitor hitung granulosit,
WBC
9) Monitor kerentangan terhadap
infeks

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d mucus dalam jumlah berlebih


NOC NIC
1) Menunjukkan jalan nafas yang 1) Pastikan kebutuhan oral /
paten (klien tidak merasa tracheal suctioning
tercekik, irama nafas, 2) Auskultasi suara nafas
frekuensi pernafasan dalam sebelum dan sesudah
rentang normal, tidak ada suctioning.
suara nafas abnormal) 3) Informasikan pada klien dan
2) Mampu mengidentifikasikan keluarga tentang suctioning
dan mencegah factor yang 4) Minta klien nafas dalam
dapat menghambat jalan nafas sebelum suction dilakukan.
5) Berikan O2 dengan
menggunakan nasal untuk
memfasilitasi suksion
nasotrakeal
6) Gunakan alat yang steril sitiap
melakukan tindakan
7) Anjurkan pasien untuk
istirahat dan napas dalam
setelah kateter dikeluarkan dari
nasotrakeal
8) Monitor status oksigen pasien
9) Ajarkan keluarga bagaimana
cara melakukan suksion
50

Defsit pengetahuan b.d tidak familiar dengan sumber informasi


NOC NIC
1) Pasien dan keluarga 1) Berikan penilaian tentang
menyatakan pemahaman tingkat pengetahuan pasien
tentang penyakit, kondisi, tentang proses penyakit yang
prognosis dan program spesifik
pengobatan 2) Jelaskan patofisiologi dari
2) Pasien dan keluarga mampu penyakit dan bagaimana hal ini
melaksanakan prosedur yang berhubungan dengan anatomi
dijelaskan secara benar dan fisiologi, dengan cara yang
3) Pasien dan keluarga mampu tepat.
menjelaskan kembali apa yang 3) Gambarkan tanda dan gejala
dijelaskan perawat/tim yang biasa muncul pada
kesehatan lainnya penyakit, dengan cara yang
tepat
4) Gambarkan proses penyakit,
dengan cara yang tepat
5) Identifikasi kemungkinan
penyebab, dengna cara yang
tepat
6) Sediakan informasi pada
pasien tentang kondisi, dengan
cara yang tepat
7) Hindari harapan yang kosong
8) Sediakan bagi keluarga
informasi tentang kemajuan
pasien dengan cara yang tepat

Ansietas b.d stress ancaman kematian


NOC NIC
1) Klien mampu mengidentifikasi 1) Gunakan pendekatan yang
dan mengungkapkan gejala menenangkan
cemas. 2) Nyatakan dengan jelas harapan
2) Mengidentifikasi, terhadap pelaku pasien
mengungkapkan dan 3) Jelaskan semua prosedur dan
menunjukkan tehnik untuk apa yang dirasakan selama
mengontol cemas. prosedur
3) Vital sign dalam batas normal. 4) Pahami prespektif pasien
4) Postur tubuh, ekspresi wajah, terhadap situasi stress
bahasa tubuh dan tingkat 5) Temani pasien untuk
aktivfitas menunjukkan memberikan keamanan dan
berkurangnya kecemasan. mengurangi takut
6) Dorong keluarga untuk
menemani anak
51

Gangguan pola tidur b.d nyeri


NOC NIC
1) Jumlah jam tidur dalam batas 1) Determinasi efek-efek
normal 6-8 jam/hari medikasi terhadap pola tidur
2) Pola tidur, kualitas dalam batas 2) Jelaskan pentingnya tidur yang
normal adekuat
3) Perasaan segar sesudah tidur 3) Fasilitas untuk
atau istirahat mempertahankan aktivitas
4) Mampu mengidentifikasikan sebelum tidur
hal-hal yang meningkatkan 4) Ciptakan lingkungan yang
tidur nyaman
5) Kolaborasikan pemberian obat
tidur
6) Diskusikan dengan pasien dan
keluarga tentang teknik tidur
pasien
7) Instruksikan untuk memonitor
tidur pasien
8) Monitor/catat kebutuhan tidur
pasien setiap hari dan jam

Intoleransi aktivitas b.d tirah baring/imobilisasi


NOC NIC
1) Mampu melakukan aktivitas 1) Kolaborasikan dengan tenaga
sehari-hari (ADLs) secara rehabilitasi medik dalam
mandiri merencanakan program terapi
2) Tanda-tanda vital normal yang tepat
3) Mampu berpindah: dengan 2) Bantu klien untuk
atau tanpa bantuan alat mengidentifikasi aktivitas
4) Status kardiopulmunari yang mampu dilakukan
adekuat 3) Bantu untuk memilih aktivitas
5) Sirkulasi status baik konsisten yang sesuai dengan
6) Status respirasi : pertukaran kemampuan fisik, psikologi
gas dan ventilasi adekuat dan social
4) Bantu untuk mengidentifikasi
dan mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas
yang diinginkan
5) Bantu untuk mendapatkan alat
bantuan aktivitas seperti kursi
roda, krek
6) Bantu untuk mengidentifikasi
aktivitas yang disukai
7) Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan diwaktu luang
8) Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas
52

9) Sediakan penguatan positif


bagi yang aktif beraktivitas

Gangguan menelan b.d nyeri telan


NOC NIC
1) Dapat mempertahankan 1) Memantau tingkat kesadaran,
makanan dalam mulut refleks batuk, refleks muntah,
2) Kemampuan menelan adekuat dan kemampuan menelan
Mampu mengontrol mual & 2) Memonitor status paru
muntah menjaga/Mempertahankan
3) Imobilitas konsekuensi : jalan napas
fisiologi 3) Posisi tegak 90 derajat atau
4) Pengetahuan tentang prosedur sejauh mungkin
pengobatan 4) Jauhkan manset trakea
5) Tidak ada kerusakan otot meningkat
tenggorong atau otot wajah, 5) Jauhkan pengaturan hisap yang
menelan, menggerakkan lidah, tersedia
atau refleks muntah 6) Menyuapkan makanan dalam
6) Pemulihan pasca prosedur jumlah kecil
pengobatan 7) Periksa penempatan tabung
7) Kondisi pernapasan, ventilasi NG atau gastrostomy sebelum
adekuat menyusui
8) Periksa tabung NG atau
gastrostomy sisa sebelum
makan
9) Hindari makan, jika residu
tinggi tempat "pewarna" dalam
tabung pengisi NGT
53

Anda mungkin juga menyukai