Anda di halaman 1dari 15

ETIKOMEDIKOLEGAL

“PRINCIPLES OF MEDICAL ETHICS”

Oleh:

dr. Nugraheni Maraelenisa Letelay C035211001


dr. Ilham. M C035211002
dr. Rita Rahim C035211003
dr. Ardian Pratama Saputra C035211004
dr. Akhmad Arif C035211005
dr. Cristian Risky Pirade C035211006
dr. Mutmainnah C035211007
dr. Andhika Yudhi Putra C035211008

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (SP.1)


PROGRAM STUDI ILMU THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022

1
Prinsip Etik Kedokteran

Etik kedokteran merupakan ”terjemahan” dari asas-asas etika menjadi


ketentuanketentuan pragmatis yang memuat hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-
hal yang harus dihindari. Aturan-aturan etika yang disusun oleh asosiasi atau
perhimpunan keprofesian sebagai pedoman perilaku bagi anggota-anggota profesi
itu, umumnya dinamakan kode etik (Inggris: code of ethics). Istilah ”kode”
berasal dari kata latin codex yang antara lain berarti buku, atau sesuatu yang
tertulis, atau seperangkat asas-asas atau aturan-aturan. Dari pengertian seperti
inilah Kode Etik Kedokteran dapat diartikan sebagai seperangkat (tertulis) tentang
peraturan-peraturan etika yang memuat amar (apa yang dibolehkan) dan larangan
(apa yang harus dihindari) sebagai pedoman pragmatis bagi dokter dalam
menjalankan profesinya. Dapat juga dikatakan, Kode Etik Kedokteran adalah
buku yang memuat aturan-aturan etika bagi dokter
Etika kedokteran atau yang sekarang lebih banyak dikenal dengan istilah
Bioetika sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Setiap waktu diulas, dibahas
dan dikembangkan sampai kepada pengertian yang kita anut sekarang ini.
Semuanya ini dilakukan agar profesi kedokteran selalu siap untuk menjawab
tantangan jaman. Mengapa kita sekarang harus membahasnya lagi?. Karena
perkembangan ini akan terus berlanjut, sesuai dengan berkembangnya bio-
teknologi, khususnya teknologi biomedis, dan perkembangan masyarakat. Karena
itu kita harus selalu memberi makna dan pengertian yang “up-to-date” mengenai
Bioetika ini. Untuk itu kita perlu mengkaji ulang paradigma-paradigma yang
berkaitan dengan Bioetika dan mempelajari isu-isu yang berkembang, baik di
masya-rakat umum, maupun di kalangan kedokteran sendiri.
Dasar-dasar bioetika adalah etika tradisional, dimana asas etika
tradisional tersebut berupa asas beneficence (memberikan manfaat) dan non-
maleficence (mencegah mudharat). Etika umum membahas kondisi dasar
bagaimana manusia bertindak dalam mengambil keputusan etis. Penilaiannya
adalah prinsip moral, yaitu baik dan buruk. Sementara etika khusus merupakan

2
penerapan prinsip-prinsip dasar dalam bidang khusus atau disebut etika terapan,
etika kedokteran, etika kefarmasian, etika keperawatan dan lain-lain.
Prinsip-prinsip Etika
Bioetika kedokteran merupakan salah satu etika khusus dan etika sosial
dalam kedokteran yang memenuhi kaidah praksiologik (praktis) dan filsafat moral
(normatif) yang berfungsi sebagai pedoman (das sollen) maupun sikap kritis
reflektif (das sein), yang bersumber pada 4 kaidah dasar moral (kaidah dasar
bioetika-KDB) beserta kaidah turunannya. Kaidah dasar moral bersama dengan
teori etika dan sistematika etika yang memuat nilai-nilai dasar etika merupakan
landasan etika profesi luhur kedokteran. Dalam profesi kedokteran dikenal 4
prinsip moral utama, yaitu:
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien,
terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination)
2. Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan ke kebaikan pasien
3. Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere”
atau “above all do no harm”, 4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang
mementingkan fairness dan keadilan dalam mendistribusikan sumberdaya
(distributive justice).

Prinsip Beneficence
Beneficence secara makna kata dapat berarti pengampunan, kebaikan,
kemurahan hati, mengutamakan kepentiang orang lain, mencintai dan
kemanusiaan. Beneficence dalam makna yang lebih luas berarti tindakan yang
dilakukan untuk kebaikan orang lain. Prinsip moral beneficence adalah kewajiban
moral untuk melakukan suatu tindakan demi kebaikan atau kemanfaatan orang
lain (pasien). Prinsip ini digambarkan sebagai alat untuk memperjelas atau
meyakinkan diri sendiri (self-evident) dan diterima secara luas sebagai tujuan
kedokteran yang tepat. Penerapan prinsip beneficence tidak bersifat mutlak.
Prinsip ini bukanlah satu-satunya prinsip yang harus dipertimbangkan, melainkan
satu diantara beberapa prinsip lain yang juga harus dipertimbangkan. Prinsip ini

3
dibatasi keseimbangan manfaat, resiko, dan biaya (sebagai hasil dari tindakan)
serta tidak menentukan pencapaian keseluruhan kewajiban.
Kritik yang sering muncul terhadap penerapan prinsip ini adalah tentang
kepentingan umum yang diletakan di atas kepentingan pribadi. Sebagai contoh,
dalam penelitian kedokteran, atas dasar kemanfaatan untuk kepentingan umum
sering prosedur penelitian yang membahayakan individu subjek penelitian
diperbolehkan. Padahal, terdapat prinsip-prinsip lain yang semestinya juga
dipertimbangkan. Prinsip beneficence harus diterapkan baik untuk kebaikan
individu seorang pasien maupun kebaikan masyarakat keseluruhan. Beberapa
bentuk penerapan prinsip beneficence merupakan komponen penting dalam
moralitas. Karena luasnya cakupan kebaikan, maka banyak ketentuan-ketentuan
dalam praktek (kedokteran) yang baik lahir dari prinsip beneficence ini.
Beberapa contoh penerapan prinsip beneficence ini adalah:
1. Melindungi dan menjaga hak orang lain.
2. Mencegah bahaya yang dapat menimpa orang lain.
3. Meniadakan kondisi yang dapat membahayakan orang lain.
4. Membantu orang dengan berbagai keterbatasan (kecacatan).
5. Menolong orang yang dalam kondisi bahaya.

Prinsip Non-maleficence
Prinsip non-maleficence yaitu melarang tindakan yang membahayakan
atau memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non
nocere” atau “do no harm”. Prinsip ini berhubungan dengan ungkapan Hipokrates
yang menyatakan “saya akan menggunakan terapi untuk membantu orang sakit
berdasarkan kemampuan dan pendapat saya, tetapi saya tidak akan pernah
menggunakannya untuk merugikan atau mencelakakan mereka”.
Prinsip non-maleficence sering menjadi pembahasan dalam bidang
kedokteran terutama kasus kontroversial terkait dengan kasus penyakit terminal,
penyakit serius dan luka serius. Prinsip ini memegang peranan penting dalam
pengambilan keputusan untuk mempertahankan atau mengakhiri kehidupan.
Penerapannya dapat dilakukan pada pasien yang kompeten maupun tidak
kompeten. Pada dasarnya, prinsip non-maleficence memberikan peluang kepada

4
pasien, walinya dan para tenaga kesehatan untuk menerima atau menolak suatu
tindakan atau terapi setelah menimbang manfaat dan hambatannya dalam situasi
atau kondisi tertentu.
Banyak filosof yang menjadikan prinsip non-maleficence sebagai satu
kesatuan dengan prinsip beneficence (mengutamakan tindakan untuk kebaikan
pasien). Namun, banyak juga yang membedakannya. Pertimbangannya antara lain
pemikiran bahwa kewajiban untuk tidak membahayakan atau mencelakakan
pasien, tentu berbeda dengan kewajiban untuk membantu pasien, walaupun
keduanya untuk kebaikan pasien.

Prinsip Autonomy
Otonomi (Autonomy) berasal dari bahasa Yunani ”autos” yang berarti
sendiri dan ”nomos” yang berarti peraturan atau pemerintahan atau hukum.
Awalnya otonomi dikaitkan dengan suatu wilayah dengan peraturan sendiri atau
pemerintahan sendiri atau hukum sendiri. Namun kemudian, otonomi juga
digunakan pada suatu kondisi individu yang maknanya bermacam-macam seperti
memerintah sendiri, hak untuk bebas, pilihan pribadi, kebebasan berkeinginan dan
menjadi diri sendiri. Makna utama otonomi individu adalah aturan pribadi atau
perseorangan dari diri sendiri yang bebas, baik bebas dari campur tangan orang
lain maupun dari keterbatasan yang dapat menghalangi pilihan yang benar, seperti
karena pemahaman yang tidak cukup. Seseorang yang dibatasi otonominya adalah
seseorang yang dikendalikan oleh orang lain atau seseorang yang tidak mampu
bertindak sesuai dengan hasrat dan rencananya. Terdapat berbagai pendapat
tentang penerapan prinsip otonomi. Meskipun demikian, secara umum ada
beberapa cara menerapkan prinsip otonomi, khususnya dalam praktek kedokteran.
Cara-cara tersebut antara lain:
1. Menyampaikan kebenaran atau berita yang sesungguhnya (tell the truth)
2. Menghormati hak pribadi orang lain (respect the privacy of others)
3. Melindungi informasi yang bersifat rahasia (protect confidential information)
4. Mendapat persetujuan untuk melakukan tindakan terhadap pasien (obtain
consent for interventions with patients)

5
5. Membantu orang lain membuat keputusan yang penting (when ask, help others
make important decision)
Hal penting dalam menerapkan prinsip otonomi adalah menilai
kompetensi pasien. Para pakar meyakini belum ada satu definisi kompetensi
pasien yang dapat diterima semua pihak, sehingga begitu banyak defnisi tentang
kompetensi pasien. Salah satu definisi kompetensi pasien yang dapat diterima
adalah ”kemampuan untuk melaksanakan atau perform suatu tugas atau perintah”.

Prinsip Justice
Prinsip Justice diterjemahkan sebagai menegakan keadilan atau
kesamaan hak kepada setiap orang (pasien). Definisi lainnya adalah
memperlakukan orang lain secara adil, layak dan tepat sesuai dengan haknya.
Situasi yang adil adalah seseorang mendapatkan mendapatkan manfaat atau beban
sesuai dengan hak atau kondisinya. Situasi yang tidak adil adalah tindakan yang
salah atau lalai berupa meniadakan manfaat kepada seseorang yang memiliki hak
atau pembagian beban yang tidak sama. Prinsip justice lahir dari sebuah kesadaran
bahwa jumlah benda dan jasa (pelayanan) itu terbatas, sedangkan yang
memerlukan seringkali melabihi batasan tersebut. Prinsip justice kemudian
diperlukan dalam pengambilan keputusan tersebut. Terdapat beberapa kriteria
dalam penerapan prinsip justice, antara lain:
1. Untuk setiap orang ada pembagian yang merata (equal share)
2. Untuk setiap orang berdasarkan kebutuhan (need)
3. Untuk setiap orang berdasarkan usahanya (effort)
4. Untuk setiap orang berdasarkan kontribusinya (contribution)
5. Untuk setiap orang berdasarkan manfaat atau kegunaannya (merit)
6. Untuk setiap orang berdasarkan pertukaran pasar bebas (free-market exchange)
Sebagai tambahan untuk mempermudah pemahaman prinsip-prinsip etik
dan hukum, penulis menyajikannya dalam suatu singkatan yang mudah diingat
yaitu “Bioethics”:
Table 1. Prinsip “Bioethics”
Bahasa Inggris Bahasa Indonesia

B Balancing in attitude and medical competences Menyeimbangkan antara attitude dan

6
kompetensi
I Interesting and respecting in social behavior Memperhatikan dan menghormati
and humanity masalah-masalah sosial dan kemanusiaan
O Oriented by inner heart approach Berorientasi pada pendekatan hati nurani

E Expressed to emphatic and professional Menunjukkan empati dan tanggungjawab


responsibility professional
T Truth telling and truth doing in daily medical Berkata dan berbuat benar pada praktik
practice dokter sehari-hari
H Health Law and human right every time Menerapkan hukum kesehatan dan hak
asasi manusia setiap waktu.
I Independency in medical profession Menegakkan kemandirian profesi

C Continuing professional development Membangun professionalisme


berkelanjutan
S Standardization in profession, medical care and Melaksanakan tugas sesuai dengan standar
operating procedures profesi, standar pelayanan dan SOP

Kode Etik Kedokteran


Kode Etik Kedokteran Indonesia mengemukakan betapa luhurnya pekerjaan
profesi dokter. Meskipun dalam melaksanakan pekerjaan memperoleh imbalan,
tapi berbeda dengan usaha penjual jasa lainnya. Pekerjaan profesi dokter tidak
ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, tetapi lebih mengutamakan
kepentingan pasien didasari sikap perikemanusiaan. Dalam Kode Etik Kedokteran
Indonesia, tertulis penjelasan pasalpasal yang memberi penekanan pada kewajiban
dokter dan larangan bagi dokter yang harus dipahami dan dipergunakan sebaga
pedoman dalam melaksanakan pekerjaan keprofesiannya.
Etik profesi kedokteran merupakan seperangkat perilaku dokter dalam
hubungannya dengan pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat dan mitra kerja.
Rumusan perilaku dokter sebagai anggota profesi disusun oleh organisasi profesi
bersama pemerintah menjadi satu kode etik profesi yaitu Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKI).
Kode Etik Kedokteran Indonesi terdiri dari:
1. Kewajiban Umum

7
2. Kewajiban dokter terhadap pasien
3. Kewajiban dokter terhadap teman sejawat
4. Kewajiban dokter terhadap diri sendiri

Kewajiban Umum
 Pasal 1. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dokter.
 Pasal 2. Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan
profesional secara indipenden, dan mempertahankan perilaku profesional dalam
ukuran yang tertinggi.
 Pasal 3. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
 Pasal 4. Seorang dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri.  Pasal 5. Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan
daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/
keluarganya dan hanya diberikan untuk kebaikan pasien tersebut.
 Pasal 6. Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobata baru yang belum diuji
kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan
masyarakat.
 Pasal 7. Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat
yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.
 Pasal 8. Seorang dokterwajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan
pelayanan secara kompeten dengan kebebasan teknis dan moral spenuhnya,
disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
 Pasal 9. Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien
dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya pada saat
menangani pasiennya dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau
komoetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan.

8
 Pasal 10. Seorang dokter wajib menghormati dan hak-hak pasien, teman
sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan
pasien.
 Pasal 11. Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya
melindungi hidup makhluk insani.
 Pasal 12. Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memperhatikan
keseluruhan aspek pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif dan 21
rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial-kultural pasiennya serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi sejati masyarakat.
 Pasal 13. Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat lintas sektoral
di bidang kesehatan, bidang lainnya dan masyarakat, wajib saling menghormati.

Kewajiban Dokter Terhadap Pasien


 Pasal 14. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh
keilmuan dan keterampilannya untk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan
pasien/keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai
keahlian untuk itu.
 Pasal 15. Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennya agar
senantiasa dapat berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya, termasuk dalam
beribadat dan atau penyelesaian masalah pribadi lainnya.
 Pasal 16. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
 Pasal 17. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu
wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia
dan mampu memberikannya.

Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat


 Pasal 18. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia
sendiri ingin diperlakukan
 Pasal 19. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat,
kecuali dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang etis

9
Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri
 Pasal 20. Setiap dokter wajib memelihara kesehatanya, supaya dapat bekerja
dengan baik.
 Pasal 17. Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.

Prinsip-prinsip hukum
Hubungan dokter-pasien (HDP) merupakan pondasi dalam praktek
kedokteran dan juga etika kedokteran. Seperti disebutkan dalam Deklarasi
Jenewa, dokter menyatakan: ”Kesehatan pasien akan selalu menjadi pertimbangan
pertama saya” dan Kode Etik Kedokteran Internasional menyebutkan: ”Dokter
harus memberikan kepada pasiennya loyalitas penuh dan seluruh pengetahuan
yang dimilikinya”. Interpretasi hubungan dokterpasien secara tradisional adalah
seperti hubungan paternal dimana dokter membuat keputusan dan pasien hanya
bisa menerima saja. Namun saat ini hal itu tidak lagi dapat diterima baik secara
etik maupun hukum. Karena banyak pasien tidak bisa atau tidak bersedia
membuat keputusan perawatan kesehatan untuk mereka sendiri maka otonomi
pasien kadang sangat problematik. Secara yuridis HDP dimasukkan kedalam
golongan kontrak. Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran (meeting of minds)
dari dua orang mengenai satu hal (solis). Dokter mengikat dirinya untuk
memberikan pelayanan kesehatan sedang pasien menerima pelayanan tersebut.
Dengan demikian terjadi suatu perikatan yang disebut transaksi (kontrak)
terapeutik yang mempunyai dua ciri yaitu: Adanya suatu persetujuan (consensual,
agreement) atas dasar saling menyetujui dari pihak dokter dan pasien tentang
pemberian pelayanan pengobatan. Adanya suatu kepercayaan (fiduciary) karena
hubungan kontrak tersebut berdasarkan saling percaya mempercayai satu sama
lain.
Karena bersifat hubungan kontrak antara dokter dan pasien, maka harus
dipenuhi persyaratan:

10
1. harus ada persetujuan (consent) dari pihak-pihak yang berkontrak. Persetujuan
ini berwujud dalam pertemuan dari penawaran dan penerimaan pemberi pelayanan
tersebut yang merupakan penyebab terjadinya suatu kontrak. Persetujuannya
adalah antara dokter dan pasien tentang sifat pemberi layanan pengobatan yang
ditawarkan oleh sang dokter dan yang telah diterima baik oleh pasiennya. Dengan
demikian maka persetujuan antara masing-masing pihak haruslah sukarela.
2. harus ada suatu objek yang merupakan substansi dari kontrak (contract). Objek
atau substansi kontrak dari hubungan dokter pasien adalah pemberian pelayanan
pengobatan yang dikehendaki pasien dan diberikan kepadanya oleh sang dokter.
Objek dari kontrak harus dapat dipasikan, legal dan tidak diluar profesinya.
3. harus ada suatu sebab (cause) atau pertimbangan (consideration). Sebab atau
pertimbangan ini adalah faktor yang menggerakkan sang dokter untuk
memberikan pelayanan pengobatan kepada pasiennya. Bisa dengan pemberian
imbalan atau bisa saja sekedar untuk menolong ata atas dasar kemurah-hatian si
dokter. Pembayaran untuk pemberian pelayanan pengobatan sudah dianggap
tersirat dan diketahui oleh pasien, kecuali diwajibkan oleh hukum atau diannggap
untuk amal dan menolong sesamanya. Apabila sang pasien ternyata tak mampu
untuk membayar, tidak akan mempengaruhi adanya kontrak atau mengurangi
tanggungjawab sang dokter terhadap tuntutan kelalaian.
Dalam hubungan terapetik, semua azas yang berlaku dalam berkontrak
juga berlaku di sini, antara lain:
1. Azas Konsensual: Berdasarkan azas ini maka para pihak, yaitu dokter/RS &
pasien, harus saling bersetuju untuk menjalin hubungan terapetik. Persetujuan
pasien tersebut ditandai dengan datangnya pasien ke tempat praktik dokter atau
RS sedangkan persetujuan dokter atau RS dapat dinyatakan secara eksplisit
ataupun implisit; baik oleh dokter itu sendiri atau lewat pegawainya. Diterimanya
pendaftaran pasien oleh pembantu dokter atau dilayaninya pasien membeli karcis
oleh petugas RS merupakan bukti bahwa dokter atau RS yang bersangkutan telah
bersetuju untuk menangani pasien. Maka sejak saat itulah hubungan kontraktual
mulai terjalin. Dalam pandangan hukum perdata, setiap persetujuan dianggap sah
jika diberikan tanpa keraguan (unequivocal), tanpa ada paksaan (voluntary),
sesuai kelaziman (naturally) & dalam keadaan sadar (concious) oleh orang- orang

11
yang menurut hukum dapat melakukan perbuatan hukum. Maka dalam hal pasien
anak-anak atau tidak sehat akalnya, hubungan hukum yang terjadi adalah antara
health care provider dengan orang tua atau walinya.
2. Azas Iktikad Baik: Iktikad baik (utmost of good faith) merupakan azas yang
paling utama dalam hubungan kontraktual, termasuk hubungan terapetik. Oleh
sebab itu baik pasien, dokter atau RS harus sama-sama beriktikat baik sebab tanpa
dilandasi azas ini, hubungan terapetik tidak syah demi hukum. Dengan iktikat
baik tersebut maka masing-masing pihak tidak dibenarkan untuk memperdayai
ataupun memanfaatkan kelemahan (ketidaktahuan) pihak lainnya, utamanya pihak
dokter yang kedudukannya lebih superior dibandingkan pasien disebabkan ilmu
pengetahuan & ketrampilan yang dikuasainya.
3. Azas Bebas: Azas ini mengisyaratkan bahwa para pihak bebas menentukan apa
saja yang hendak diperjanjikan. Hanya saja masing-masing pihak perlu menyadari
bahwa upaya medik itu penuh dengan ketidakpastian (uncertainty) & hasilnyapun
tidak dapat diperhitungkan secara matematik. Oleh sebab itu tidaklah realistis jika
pasien menuntut jaminan kesembuhan & tidak pula lazim jika dokter menjanjikan
atau memberikan garansi keberhasilan.
4. Azas Tidak Melanggar Hukum: Meskipun para pihak bebas menentukan isi
kesepakatan, namun hukum perdata membatasi syahnya hubungan kontraktual
hanya pada hal-hal yang halal. Jika misalnya pasien meminta dokter melakukan
aborsi tanpa alasan medis (aborsi kriminalis) & dokter juga menyatakan
kesanggupannya maka hubungan seperti ini tidak boleh dianggap sebagai
hubungan kontraktual, melainkan merupakan persekongkolan untuk melakukan
tindak pidana pengguguran kandungan. Oleh karenanya jika seandainya dokter
melakukan kekeliruan dalam melakukan aborsi kriminalis sehingga wanita yang
diaborsi menderita kerugian maka ia tidak dapat digugat membayar ganti rugi.
5. Azas Kepatutan & Kebiasaan: Dalam hukum perdata, para pihak yang
mengadakan perikatan tidak hanya tunduk pada hal-hal yang telah disepakati saja
tetapi juga pada halhal yang sudah menjadi kepatutan & kebiasaan. Azas ini
benar-benar membedakan hubungan terapetik dengan hubungan kontraktual di
bidang lainnya. Jika misalnya dalam hubungan kontraktual di bidang lain tidak
dibenarkan memutuskan hubungan secara sepihak (tanpa kesepakatan kedua belah

12
pihak) maka dalam hubungan terapetik pemutusan sepihak oleh pasien dapat
dibenarkan, sedangkan oleh dokter hanya dibenarkan berdasarkan alasan yang
sangat khusus (with notice). Alasan bahwa pasien boleh memutuskan secara
sepihak kapan saja didasarkan pada pertimbangan bahwa hubungan terapetik
merupakan hubungan yang dijalin atas dasar kepercayaan. Bila pasien sudah tidak
lagi percaya akan kemampuan dokter dalam mengatasi gangguan kesehatannya
maka sudah pasti pasien tidak lagi bersikap kooperatif. Oleh sebab itu tidaklah
bijaksana jika hokum tetap memaksa pasien untuk menyelesaikan hubungan
tersebut karena akan menjadi kontraproduktif.

13
Daftar Pustaka

1. Akhmad SA. Pendidikan Bioetika Islam di Universitas Islam Indonesia.


Yogyakarta. Tanpa tahun.
2. Bertens K. Etika. Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2005
3. Dahlan S. Hukum Kesehatan-Rambu-rambu bagi Profesi Dokter. Edisi 3.
Penerbit Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang; 2005.
4. Darmadipura MS (ed). Kajian Bioetik 2005. Unit Bioetik Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Surabaya; 2005.
5. Departemen Kesehatan RI (2008) Penyelenggaraan Praktik kedokteran yang
Baik di Indonesia, Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan Kerjasama dengan Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI).
6. Guwandi, J. (2005) Medical Error dan Hukum Medis, Jakarta: FK-UI.
7. Hanafiah MJ, Amir A. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.Penerbit buku
EGC. Jakarta; 1999.
8. IDI (2007) Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran, Jakarta: IDI
9. Jacobalis S. Pengantar tentang perkembangan ilmu kedokteran, etika medis
dan bioetika.
Penerbit Sagung Seto. Cetakan I. Jakarta; 2005.
10. Judson, K. and Harrison, C. (2012) Law & Ethics for the Health Professions,
New York: McGraw-Hill Science.
11. MKEK-IDI (2012) Kode Etik Kedokteran Indonesia, Jakarta: IDI.
12. Pemerintah Republik Indonesia (2004) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Jakarta: Pemerintah RI
13. Pemerintah Republik Indonesia (2009) Undang-Undang No.36 tahun 2009
tentang Kesehatan, Jakarta: Pemerintah RI.

14
14. Purwadianto A. Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Dilemma Etik
dan Penyelesaian Kasus Konkrit Etik. Program Non Gelar Bioetika, Hukum
Kedokteran dan HAM 2007.
15. Purwadianto A. Kaidah Dasar Moral dan Teori Etika Dalam Membingkai
Tanggungjawab Profesionalisme Dokter. Program Non Gelar Bioetika, Hukum
Kedokteran dan HAM 2007.
16. Samil RS. Etika Kedokteran Indonesia. Penerbit Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta; 2001.
17. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Informed consent. Dalam Bioetik dan
Hukum Kedokteran. Pengantar untuk mahasiswa kedokteran dan hukum.cetakan
pertama; Oktober 2005.

15

Anda mungkin juga menyukai