Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

DISFAGIA dan Flexible Endoscopy Evaluation of


Swallowing (FEES)

Oleh:

Dian Rahayu Ningtias

03014052

Pembimbing:

dr. Budhy Parmono, Sp. THT,K.L

Departemen Ilmu THT RSUD Budhi Asih

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

November 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas


kesehatan dan kemudahan yang dilimpahkan karena berkatNya penulis dapat
menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT
di RSUD Budhi Asih yang berjudul “Disfagia dan Flexible Endoscopy
Evaluation of Swallowing (FEES)”.

Tidak sedikit hambatan yang dihadapi penulis dalam penyusunan


referat ini, namun berkat bantuan berbagai pihak karya tulis ilmiah ini dapat
diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih
sebesar-besarnya kepada dr. Budhy Pramono, Sp.THT,K.Lselaku
pembimbing atas masukan dan pengarahannya selama penulis belajar dalam
kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit THT.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri


dan para pembaca,.Penulis menyadari karya tulis ini masih perlu banyak
perbaikan oleh karena itu kritik dan saran diharapkan dari para pembaca.

Jakarta, November 2018

Dian Rahayu Ningtias

i
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul “Disfagia dan Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing


(FEES)”. Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu penyakit THT di RSUD Cilegon periode
19 Desember 2016- 20 Januari 2017

Jakarta, November 2018

Dr. Budhy Parmono Sp.THT

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv


BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 2
2.1 Anatomi faring ............................................................................................. 2
2.2 Definisi disfagia............................................................................................ 3
2.3 Etiologi .......................................................................................................... 3
2.4 Manifestasi klinis ......................................................................................... 4
2.5 Fisiologi menelan dan patogenesis disfagia ............................................... 5
2.6 Klasifikasi disfagia .................................................................................... 10
2.7 Diagnosis disfagia ...................................................................................... 10
2.8 Tatalaksana disfagia.................................................................................. 16
2.9 Komplikasi disfagia ................................................................................... 17
2.10 Prognosis .................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 19

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Fisiologi menelan .............................................................................. 13


Gambar 2. Proses menelan .................................................................................. 14
Gambar 3. Pemeriksaan FEES ............................................................................ 20

iv
BAB I
PENDAHULUAN
Keluhan sulit menelan (disfagia), merupakan salah satu kelainan atau penyakit di
orofaring dan esofagus. Disfagia dapat disertai dengan keluhan lainnya, seperti
odinofagia (rasa nyeri waktu menelan), rasa panas di dada, rasa mual, muntah,
regurgitas, hematemesis, melena, hipersalivasi, batuk dan berat badan yang cepat
berkurang. Manifestasi klinik yang sering ditemukan adalah sensasi makanan yang
tersangkut di daerah leher atau dada ketika menelan.1
Berdasarkan penyebabnya disfagi dibagi atas: disfagia mekanik, disfagia
motorik, dan disfagia oleh ganguan emosional. Disfagia mekanik disebabkan
adanya sumbatan lumen esofagus oleh massa tumor dan benda asing, disfagia
motorik disebabkan oleh kelainan neuromuskular yang berperan dalam proses
menelan dan keluhan disfagia dapat juga timbul bila terdapat ganguan emosi atau
tekanan jiwa yang berat.1,2
Evaluasi endoskopi yang fleksibel dari menelan (FEES) sekarang mungkin
merupakan alat yang paling sering digunakan untuk penilaian disfagia obyektif di
Jerman. Kelainan yang sering ditemukan yaitu aspirasi dan literatur menunjukkan
bahwa FEES memiliki sensitifitas yang baik untuk mengevaluasi kelainan aspirasi
ini. 6,9

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi faring


Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang
besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar
tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas,
faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke deoan berhubungan
dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus.
Berdasarkan letaknya, faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring;1
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah
palatum mole, ke depan adalah rongga hidung, sedangkan ke belakang adalah
vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan
erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada
dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller,
kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis
serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago
tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n.glosofaring,
n.vagus, dan n.asesorius spinal saraf kranila dan v.jugularis interna, bagian
laserum dan muara tuba Eustachius.1

2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole,
batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut,
sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapa di
rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fosa tonsil
serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual, dan foramen
sekum.1

2
3. Laringofaring
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior
ialah laring, batas inferior ialah esophagus, serta batas posterior ialah vertebra
servikal. Pada pemeriksaan laring tidak langsung dengan kaca tenggorok atau
dengan laringoskop pada pemeriksaan langsung, maka struktur pertama yang
terlihat di bawah dasar lidah adalah valekula. Valekula disebut juga sebagai
“kantong pil”.1

Fungsi faring yang terutama adalah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara, dan untuk artikulasi. Dalam fungsi menelan terdapat tiga fase yaitu
fase oral, fase faringal, dan fase esofagal.1
2.2 Definisi disfagia
Keluhan sulit menelan (disfagia), merupakan salah satu gejala kelainan atau
penyakit di orofaring dan esofagus. Keluhan ini akan timbul bila terdapat gangguan
gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari rongga mulut
ke lambung.2 Disfagia merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial yang
diakibatkan oleh kedua kondisi kelainan yaitu anatomi dan pada tahap proses
menelan.3
2.3 Etiologi
Penyebab utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen esofagus oleh massa
tumor dan benda asing. Penyebab lain adalah akibat peradangan mukosa esofagus,
serta akibat penekanan lumen esofagus dari luar, misalnya oleh pembesaran
kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelenjar getah bening di mediastinum, pembesaran
jantung, dan elongasi aorta. Letak arteri subklavia dekstra yang abnormal juga dapat
menyebabkan disfagia, yang disebut disfagia Lusoria. Disfagia mekanik timbul bila
terjadi penyempitan lumen esofagus. Pada keadaan normal, lumen esofagus orang
dewasa dapat meregang sampai 4 cm. Keluhan disfagia mulai timbul bila dilatasi
ini tidak mencapai diameter 2,5 cm.2
Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuscular yang
berperan dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak, kelainan

3
saraf otak n.V, n.VII, n.IX, n.X dan n.XII, kelumpuhan otot faring dan lidah serta
gangguan peristaltik esofagus dapat menyebabkan disfagia. Kelainan otot polos
esofagus akan menyebabkan gangguan kontraksi dinding esofagus dan relaksasi
sfingter esofagus bagian bawah, sehingga dapat timbul keluhan disfagia. Penyebab
utama dari disfagia motorik adalah akalasia, spasme difus esofagus, kelumpuhan
otot faring, dan scleroderma esofagus. Keluhan disfagia dapat juga timbul karena
terdapat gangguan emosi atau tekanan jiwa yang berat (faktor psikogenik).
Kelainan ini disebut globus histerikus.2
2.4 Manifestasi klinis
Disfagia dapat disertai dengan keluhan lainnya, seperti odinofagia (rasa nyeri waktu
menelan), rasa panas di dada, rasa mual, muntah, regurgitasi, hematemesis, melena,
anoreksia, hipersalivasi, batuk dan berat badan yang cepat berkurang. Manifestasi
klinik yang sering ditemukan ialah sensasi makanan yang tersangkut di daerah leher
atau dada ketika menelan. Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas disfagia
mekanik, disfagia motorik, disfagia oleh gangguan emosi.2
Tanda dan gejala disfagia oral atau faring yaitu;4

 Batuk atau tersedak saat menelan


 Kesulitan memulai menelan
 Makanan menempel di tenggorokan
 Sialore
 Penurunan berat badan
 Pneumonia berulang
 Perubahan suara
 Regurgitasi hidung

Tanda dan gejala disfagia esofagus yaitu;4

 Sensasi makanan menempel di dada atau tenggorokan


 Perubahan kebiasaan diet
 Pneumonia berulang

4
Gejala gastroesophageal reflux disease (GERD), termasuk sensasi panas di
dada, sendawa dan regurgitasi asam lambung. Gejala disfagia lainnya yaitu
kelemahan umum dan gangguan status mental.4

2.5 Fisiologi menelan dan patogenesis disfagia


Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur yang berperan
dalam proses menelan harus bekerja secara terintegrasi dan berkesinambungan.
Keberhasilan mekanisme menelan ini tergantung dari beberapa faktor yaitu ukuran
bolus makanan, diameter lumen esofagus yang dilalui bolus, kontraksi peristaltik
esofagus, fungsi sfingter esofagus bagian atas dan bagian bawah, dan kerja otot-
otot rongga mulut dan lidah.2
Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem neuromuscular
mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan sensorik dinding faring dan
uvula, persarafan ekstrinsik esofagus serta persarafan intrinsik otot-otot esofagus
bekerja dengan baik sehingga aktivitas motorik berjalan lancar. Kerusakan pada
pusat menelan dapat menyebabkan kegagalan aktivitas komponen orofaring, otot
lurik esofagus, dan sfingter esofagus bagian atas. Oleh karena otot lurik esofagus
dan sfingter esofagus bagian atas juga mendapat persarafan dari inti motor n.vagus,
aktivitas peristaltik esofagus masih tampak pada kelainan otak. Relaksasi sfingter
esofagus bagian bawah terjadi akibat peregangan langsung dinding esofagus.2
Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal seperti berikut : (1) pembentukan
bolus makanan dengan bentuk dan konsistensi yang baik, (2) usaha sfingter
mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan, (3) kerja sama yang
baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus makanan ke arah
lambung, (4) mencegah masuknya bolus makanan dan minuman ke dalam
nasofaring dan laring, (5) mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring
pada saat respirasi, (6) usaha untuk membersihkan kembali esofagus. Proses
menelan dapat dibagi dalam tiga fase yaitu:2
Proses menelan dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase oral, fase faringeal
dan fase esofageal. Fase oral terjadi secara sadar, makanan yang telah dikunyah dan
bercampur dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini akan bergerak

5
dari rongga mulut melalui dorsum lidah ke orofaring akibat kontraksi otot intrinsik
lidah. Kontraksi m.levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan
dorsum lidah diperluas, palatum molle terangkat dan bagian atas dinding posterior
faring akan terangkat pula. Bolus kemudian akan terdorong ke posterior karena
lidah yang terangkat ke atas. Bersamaan dengan ini terjadi penutupan nasofaring
sebagai akibat kontraksi m. levator palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m.
palatoglossus yang menyebabkan ismus fausium tertutup, diikuti oleh konraksi m.
palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut.2
Aktivitas fase oral adalah persiapan untuk memulai proses menelan. Saliva
merupakan stimulus proses menelan. Bila didapat mulut kering (xerostomia),
makan menelan akan lebih sukar. Pada fase persiapan oral yang merupakan fase
pertama, makanan akan dikunyah dan dimanupulasi menjadi bolus kohesif
bercampur dengan saliva dan dilanjutkan dengan fase transfortasi oral berupa
pendorongan bolus yang telah terbentuk ke belakang (hipofaring). Saat melewati
pilar anterior, refleks menelan akan timbul dan makanan masuk ke faring.5
Dampak yang timbul akibat ketidaknormalan fase oral antara lain;5
1. Keluar air liur (drooling = sialorrhea) yang di sebabkan gangguan
sensori dan motorik pada lidah, bibir dan wajah.
2. Ketidaksanggupan membersihkan residu makanan di mulut dapat di
sebabkan oleh defisiensi sensori pada rongga mulut dan atau gangguan
motorik lidah.
3. Karies gigi yang mengakibatkan gangguan distribusi saliva dan
meningkatkan sensitivitas gigi terhadap panas, dingin dan rasa manis.
4. Hilangnya rasa pengecapan dan penciuman akibat keterlibatan langsung
dari saraf kranial.
5. Gangguan proses mengunyah dan ketidasanggupan memanipulasi
bolus.
6. Gangguan mendorong bolus ke faring
7. Aspirasi cairan sebelum proses menelan di mulai yang terjadi karena
ganggaun motorik dari fungsi lidah sehingga cairan akan masuk ke
faring sebelum refleks menelan muncul

6
8. Rasa tersedak (choking) oleh batuk (coughing) pada saat fase faring
Fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu
perpindahan bolus makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring
bergerak ke atas oleh kontraksi m. stilofaring, m. salfingofaring,
m.tirohioid dan m. palatofaring. Aditus laring tertutup oleh epiglotis,
sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika,
plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi m.
ariepiglotika dan m. aritenoid obliqus. Bersamaan dengan itu terjadi
penghentian aliran udara ke laring karena refleks yang menghambat
pernapasan sehingga bolus makanan tidak akan masuk ke saluran napas.
Selanjutnya bolus makanan akan meluncur ke arah esofagus, karena
valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus.5
Dua keadaan yang penting dalam menjaga keamanan fase faring adalah; 5
1. Proteksi saluran napas yang adekuat selama proses menelan sehingga
makanan tidak masuk ke jalan napas
2. Penyelesaian satuseri proses menelan berlangsung cepat sehingga
pernapasan dapat segera dimulai.
Fase faringeal dapat dibagi menjadi tiga tahap;5
a. Tahap pertama
Tahap pertama dimulai segera setelah timbul refleks menelan berupa
kontraksi pilar, elevasi palatum molle dan kontraksi otot kontriktor faring
superior yang menimbulkan penonjolan pada dinding faring atas.
Fungsi dari tahap pertama adalah untuk membentuk bolus masuk ke
faring dan mencegah masuknya bolus ke nasofaring atau kembali ke
mulut.
b. Tahap kedua
Pada tahap kedua terjadi proses fisiologi berupa kontraksi otot faring
dengan peregangan ke arah atas, penarikan pangkal lidah ke arah depan
untuk mempermudah pasase bolus, elevasi laring karena kontraksi otot
hioid tepat di bawah penonjolan pangkal lidah, adduksi pita suara asli
dan palsu, dan penutupan epiglotis ke arah pita suara.

7
Fungsi dari tahap ini adalah menarik bolus ke arah faring sehingga
dapat menyebar masuk ke valekula yang terletak di atas epiglotis
sebelum di dorong oleh gerakan peristaltik. Bolus akan melewati dan
mengelilingi epiglotis turun dan masuk ke sfingter krikofaring
dilanjutkan dengan gerakan os hioid dan elevasi laring ke arah atas dari
lekukan tiroid.
c. Tahap ketiga
Bolus akan terdorong melewati sfingter krikofaring dalam keadaan
relaksasi dan masuk ke esofagus. Proses fisiologi yang terjadi berupa
peristaltik faring dan relaksasi sfingter krikofaring.
Dampak kelainan pada fase faringeal adalah choking, coughing dan aspirasi.
Hal ini dapat terjadi bila refleks menelan gagal teraktivitasi sehingga fase faring
tidak berlangsung terjadi, refleks menelan terlambat, sehingga dapat terjadi aspirasi
sebelum proses menelan dimulai, proteksi laring tidak adekuat akibat recurrent
laryngeal palsy, efek operasi pada struktur orofaring, adanya pipa trakeostomi yang
membatasi elevasi laring. 5
Fase esofageal adalah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke
lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup. Dengan adanya
rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi relaksasi
m.krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus makanan masuk ke
dalam esofagus. Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi
lebih kuat, melebihi tonus introitus esofagus pada waktu istirahat, sehingga
makanan tidak akan kembali ke faring. Dengan demikian refluks dapat dihindari. 5
Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh
kontraksi m. konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus
makanan akan didorong ke distal oleh gerakan peristaltik esofagus. Dalam keadaan
istrirahat sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup dengan tekanan rata-rata 8
mmHg lebih dari tekanan di dalam lambung, sehingga tidak akan terjadi regurgitasi
isi lambung. Pada akhir fase esofageal sfingter ini akan terbuka secara refleks ketika
dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke distal.
Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan menutup kembali.5

8
Gambar 1. Fisiologi menelan2

9
Gambar 2. Proses menelan12

2.6 Klasifikasi disfagia


Disfagia adalah adanya gangguan pada salah satu atau lebih dari fase menelan.
Disfagia dapat dibagi menjadi 3 tipe berdasarkan lokasi fase menelan yang
terganggu, yaitu disfagia fase oral, disfagia fase faring, dan disfagia fase esofagus.
Disfagia dapat pula dibagi menjadi 2 tipe berdasarkan penyebab, yaitu disfagia
neurogenik dan disfagia mekanik.2

2.7 Diagnosis disfagia


Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan anamnesis yang cermat untuk
menentukan diagnosis kelainan atau penyakit yang menyembabkan timbulnya
disfagia. Jenis makanan yang menyebabkan disfagia dapat memberikan informasi
kelainan yang terjadi. Pada disfagia mekanik mula-mula kesulitan menelan hanya
terjadi pada waktu menelan makanan padat. Bolus makanan tersebut kadang-
kadang perlu didorong dengan air dan pada sumbatan yang lebih lanjut, cairan pun
akan sulit ditelan. Bila sumbatan ini terjadi secara progresif dalam beberapa bulan,
maka harus dicurigai kemungkinan adanya proses keganasan di esophagus.
Sebaliknya pada disfagia motorik, yaitu pasien akalasia dan spasme difus
esophagus, keluan sulit menelan makanan padat dan cairan terjadi dalam waktu
yang bersamaan.2

10
Waktu dan perjalanan keluhan disfagia dapat memberikan gambaran yang
lebih jelas untuk diagnostik. Disfagia yang hilang dalam beberapa hari dapat
disebabkan oleh peradangan. Disfagia yang terjadi dalam beberapa bulan dengan
penurunan berat badan yang cepat dicurigai adanya keganasan di esophagus. Bila
disfagia ini berlangsung bertahun-tahun untuk makanan padat perlu dipikirkan
adanya kelainan yang bersifat jinak atau di esophagus bagian distal (lower
esophageal muscular ring).2
Lokasi rasa sumbatan di daerah dada dapat menunjukkan kelainan
esophagus bagian torakal, tetapi bila sumbatan terasa di leher, maka kelainannya
dapat di faring atau esophagus bagian servikal. Gejala lain yang menyertai disfagia,
seperti masuknya cairan ke dalam hidung waktu minum menandakan adanya
kelumpuhan otot-otot faring.2
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan daerah leher dilakukan
untuk melihat dan meraba adanya massa tumor atau pembesaran kelenjar limfe
yang dapat menekan esophagus. Daerah rongga mulut perlu diteliti, apakah ada
tanda-tanda peradangan orofaring dan tonsil selain adanya massa tumor yang dapat
mengganggu proses menelan. Selain itu diteliti adanya kelumpuhan otot lidah dan
arkus faring yang disebabkan oleh gangguan pusat menelan maupun pada saraf otak
n. V, n.VII, n.IX, n.X dan n.XII. pembesaran jantung sebelah kiri, elongasi aorta,
tumor bronkus kiri dan pembesaran kelenjar limfe mediastinum juga dapat
menyebabkan keluhan disfagia.2
Pada pemeriksaan penunjang beberapa modalitas yang dilakukan ialah;2
1. Radiologi
Pemeriksaan penunjang foto polos esophagus dan yang memakai zat
kontras, dapat membantu menegakkan diagnosis kelainan esophagus.
Pemeriksaan ini tidak invasif. Dengan pemeriksaan fluoroskopi, dapat
dilihat kelenturan dinding esophagus, adanya gangguan peristaltic,
penekanan lumen esophagus dari luar, isi lumen esophagus dan kadang-
kadang kelainan mukosa esophagus.
Pemeriksaan kontras ganda dapat memperlihatkan karsinoma
stadium dini. Untuk memperlihatkan adanya gangguan motilitas esophagus

11
dibuat cine-film atau video tapenya. Tomogram dan CT scan dapat
mngevaluasi bentuk esophagus dan jaringan di sekitarnya.
MRI dapat membantu melihat kelainan di otak yang menyebabkan disfagia
motorik
2. Esofagoskopi
Tujuan tindakan esofagoskopi adalah untuk melihat langsung isi
lumen esophagus dan keadaan mukosanya. Diperlukan alat esofagoskop
yang kaku (rigid esophagoscope) dam esofagoskop yang lentur (flexible
fiberoptic esophagoscope). Karena pemeriksaan ini bersifat invasif maka
perlu persiapan yang baik. Dapat dilakukan anestesi local atau umum.
3. Pemeriksaan Manometrik
Pemeriksaan manometrik bertujuan untuk menilai fungsi motorik
esophagus. Dengan mengukur tekanan dalam lumen esophagus dan tekanan
sfingter esophagus dapat dinilai gerakan peristaltik secara kualitatif dan
kuantitatif.

Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis kelainan disfagia faase oral dan


fase faring, yaitu;5

1. Videofluoroskopi Swallow Assessment (VFSS)


Pemeriksaan ini dikenal sebagai Modified Barium Swallow (MBS) adalah
pemeriksaan yang sering dilakukan dalam mengevaluasi disfagia dan aspirasi.
Pemeriksaan ini menggambarkan struktur dan fisiologi menelan pada rongga mulut,
faring, laring dan esofagus bagian atas. Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan bolus kecil de-ngan berbagai konsistensi yang dicampur dengan
barium. VFSS dapat untuk panduan dalam terapi menelan dengan memberikan
bermacam bentuk makanan pada berbagai posisi kepala dan melakukan beberapa
maneuver untuk mencegah aspirasi untuk memperoleh kondisi optima) dalam
proses menelan.
2. FEES (Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing)
Pemeriksaan evaluasi fungsi menelan dengan menggunakan nasofaringoskop serat
optik lentur. Pasien diberikan berbagai jenis konsistensi makanan dari jenis

12
makanan cair sampai padat dan dinilai kemampuan pasien dalam proses menelan.
Tahap pemeriksaan dibagi dalam 3 tahap :
1. Pemeriksaan sebelum pasien menelan (preswa/lowing assessment)
untuk menilai fungsi muskular dari oromotor dan mengetahui kelainan
fase oral.
2. Pemeriksaan langsung dengan memberikan berbagai konsistensi
makanan, dinilai kemampuan pasien dan diketahui konsistensi apa yang
paling aman untuk pasien
3. Pemeriksaan terapi dengan meng-aplikasikan berbagai maneuver dan
posisi kepala untuk menilai apakah terdapat peningkatan kemampuan
menelan.
Dengan pemeriksaan FEES dinilai 5 proses fisiologi dasar seperti :5
1. Sensitivitas pada daerah orofaring dan hipofaring yang sangat berperan
dalam terjadinya aspirasi.
2. Spillage (preswallowing leakage): masuknya makanan ke dalam
hipofaring sebelum refleks menelan dimulai sehingga mudah terjadi
aspirasi.
3. Residu: menumpuknya sisa makanan pada daerah valekula, sinus
piriformis kanan dan kiri, poskrikoid dan dinding faring posterior
sehingga makanan tersebut akan mudah masuk ke jalan napas pada saat
proses menelan terjadi ataupun sesudah proses menelan.
4. Penetrasi: masuknya makanan ke vestibulum laring tetapi belum
melewati pita suara. Sehingga menyebabkan mudah masuknya makanan
ke jalan napas saat inhalasi
5. Aspirasi : masuknya makanan ke jalan napas melewati pita suara yang
sangat berperan dalam terjadi komplikasi paru
Pemeriksaan Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing menggunakan
nasofaringolaringoskopi serat optik lentur untuk melihat laring dan faring saat
menelan dan sekarang merupakan metode pilihan pertama untuk mempelajari
gangguan menelan karena berbagai keuntungan yang ditawarkan yaitu mudah
digunakan, ditoleransi dengan sangat baik, memungkinkan pemeriksaan bedside

13
dan ekonomis. Namun, prosedur diagnostik ini juga disertai risiko, konsekuensi
yang paling mungkin termasuk ketidaknyamanan, tersedak dan muntah, sinkop
vasovagal, epistaksis, perforasi mukosa, efek samping dari anestesi topikal dan
spasme laring. Terdapatnya risiko FEES menekankan pentingnya untuk
menginformasikan pasien mengenai risiko ini sehingga diperlukan "informed
consent" untuk pasien.3,6,8
Tujuan dari pemeriksaan FEES adalah memberikan penilaian fungsional
yang komprehensif terutama pada fase faringeal sehingga dapat mengarah pada
rekomendasi mengenai kemampuan menelan, dan kemampuan makan secara oral
serta intervensi yang tepat untuk membantu proses menelan lebih aman dan efisien.
Pemeriksaan ini memberikan data visualisasi langsung daerah faring dan laring
sesaat.10
Pemeriksaan FEES tidak membutuhkan barium dan paparan radiasi dan alat
endoskopi fiberoptik fleksibel dimasukkan secara transnasal ke hipofaring pasien
dimana akan terlihat jelas struktur laring dan faring. Pasien kemudian diberi
instruksi dan pemeriksa dapat mengevaluasi status sensorik dan motorik dari faring
dan laring. Makanan dan cairan kemudian diberikan kepada pasien sehingga dapat
melihat kemampuan menelan dari faring. Beberapa hal yang dapat dinilai dari
pemeriksaan FEES yaitu kemampuan untuk melindungi saluran napas, kemampuan
untuk mempertahankan perlindungan saluran napas selama beberapa detik,
kemampuan untuk memulai menelan segera tanpa aspirasi ke dalam hipofaring,
waktu dan arah gerakan bolus makanan melalui hipofaring, kemampuan untuk
membersihkan bolus selama menelan, adanya pengumpulan dan residu bolus di
hipofaring, waktu aliran bolus dan perlindungan saluran napas, kepekaan struktur
faring atau laring saat menelan.6,7,8
Tindakan lanjutan setelah kita melakukan pemeriksaan FEES adalah
mengevaluasi efek dari postur tubuh, manuver, modifikasi bolus, teknik
kompensasi dan peningkatan sensoris yang dapat meningkatkan efisiensi dan
keamanan proses menelan. Evaluasi tersebut dikenal dengan nama theraupetic
assessment atau biofeedback. Theraupetic assessement diberikan kepada pasien
dengan pertimbangan tujuan, usia, kooperatif, dan status kognitif pasien, dan

14
pemeriksa harus memastikan intervensi tersebut dapat membantu masalah
penderita. Disfagia neurogenik adalah salah satu defisit neurologis yang paling
sering dan memiliki hubungan prognostik dalam berbagai gangguan, seperti stroke,
parkinsonisme dan penyakit neuromuskular lanjut. Evaluasi endoskopi yang
fleksibel dari menelan (FEES) sekarang mungkin merupakan alat yang paling
sering digunakan untuk penilaian disfagia obyektif di Jerman. Kelainan yang sering
ditemukan yaitu aspirasi dan literatur menunjukkan bahwa FEES memiliki
sensitifitas yang baik untuk mengevaluasi kelainan aspirasi ini. 6,9,10
Penatalaksanaan disfagia orofaring bertujuan untuk menghilangkan aspirasi
atau memperbaiki proses menelan yang tidak efisien. Modalitas terapi yang dipilih
antara lain modifikasi diet, pengalihan rute pemberian makanan dengan asogastric
Tube (NGT), infus, penggunaan prostetik dalam rongga mulut, atau intervensi
operatif. Pemeriksaan FEES harus didokumentasi dengan baik dan diakhir
pemeriksaan seorang klinisi akan memberikan rekomendasi bagi pasien dalam hal
metode pemberian nutrisi (oral, non oral atau kombinasi), konsistensi dan volume
makanan yang diberikan, posisi, manuver dan teknik lain untuk memperbaiki
proses menelan, perencanaan untuk re-evaluasi dan perencanaan untuk rujukan ke
subspesialis lain.10,13

15
Gambar 3. Pemeriksaan FEES14

2.8 Tatalaksana disfagia


Terdapat beberapa cara penanganan rehabilitasi penderita disfagia, yaitu: teknik
postural, modifikasi volume dan kecepatan pemberian makanan, modifikasi diet,
com- pensatory swallowing maneuver, teknik untuk memperbaiki oral sensory
aware- ness, stimulasi elektrik, terapi latihan, dan penyesuaian peralatan yang
digunakan.11
Teknik postural
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perubahan postur kepala dan tubuh
dapat mengeliminasi terjadinya aspirasi pada penderita disfagia. Sebaiknya terapis
harus mengetahui secara tepat gangguan anatomi dan fisiologik yang dialami
penderita sebelum menentukan postur yang tepat. Beberapa teknik postural yang
di- gunakan yaitu: chin down atau chin tuck, chin up, head rotation, head tilt, dan
lying down. 11

Modifikasi volume dan kecepatan pemberian makanan


Pada penderita dengan keterlambatan dalam pemicuan fase faringeal, bolus yang
besar akan membantu terjadinya triggering. Pada penderita yang mengalami
gangguan fase faringeal sendiri membutuhkan 2-3 kali menelan untuk setiap bolus.
Pemberian makanan dalam jumlah terlalu banyak dan terlalu cepat akan
menyebabkan terkum- pulnya bolus di dalam laring dan menye- babkan aspirasi
sedangkan pemberian makanan dalam jumlah sedikit dan secara lambat akan
mengurangi terjadinya aspirasi. 11

16
Modifikasi diet
Modifikasi tekstur bolus sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya aspirasi.
Makanan dengan konsistensi cair lebih sulit dikontrol dan lebih mudah
menyebabkan aspirasi karena dapat mengalir langsung ke dalam faring sebelum
terjadinya refleks menelan. Bolus yang lebih kental atau makanan padat lunak lebih
aman karena kemungkinan untuk masuk dalam pintu laring lebih kecil. Selain itu,
bolus yang lebih kental meningkatkan pergerakan lidah dan membantu
mempercepat terjadinya inisiasi fase faringeal. 11
Rekomendasi lain yaitu makanan dalam jumlah sedikit dengan frekuensi
pemberian lebih sering dan mengandung tinggi kalori dan tinggi protein. Makanan
diberikan dalam jumlah sedikit, 1⁄2 sampai 1 sendok teh setiap kali menelan.
Penderita juga diminta untuk tidak makan sambil berbicara. Bila menggunakan
makanan kental, makanan dengan kekentalan seperti madu yang dapat dijadikan
pilihan. 11
Terapi latihan
Terapi latihan digunakan untuk menguatkan otot-otot, meningkatkan lingkup gerak
sendi (LGS) dan koordinasi dari mulut, rahang, bibir, lidah, palatum, dan pita suara.
Terapi latihan yang biasanya digunakan antara lain: latihan LGS rahang, latihan
penguatan otot lidah, latihan adduksi pita suara, dan latihan metode Shaker.11
2.9 Komplikasi disfagia
Komplikasi disfagia mencakup aspirasi pneumonia, malnutrisi, dehidrasi, obstruksi
jalan napas bila bolus berukuran cukup besar yang memasuki jalan napas, dan
kematian. 11
2.10 Prognosis
Gangguan menelan yang diakibatkan oleh stroke atau traumatic brain injury
memiliki potensi untuk pulih. Mann et al. mendapatkan bahwa sekitar 87%
penderita stroke kembali ke diet semula setelah 6 bulan, tetapi hasil videofluroskopi
menun- jukkan terdapat 51% penderita yang tetap menunjukkan adanya gangguan
pada proses menelan. Penderita dengan kondisi yang statis atau progresif seperti
amyo- thropic lateral sclerosis, multipel sklerosis, muskular distrofik, dan
Parkinsonisme harus dievaluasi secara periodik, dengan mempertimbangkann

17
pemberian nonoral feeding. Pneumonia aspirasi meningkatkan angka mortalitas
dan morbiditas pada pasien disfagia.11,15

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Hermani B, Rusmarjono. Odinofagia. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,


Bashiruddin J, Restuti R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Ed VI. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. Hlm 212-5.
2. Soepardi EA. Disfagia. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Ed VI. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2010. Hlm 276-80.
3. Nacci A, Ursino F, Vela RL, Matteucci F, Mallardi V, Fattori B. Fiberoptic
endoscopic evaluation of swallowing (FEES): proposal for informed
consent. Acta Otorhinolaryngol Ital. 2008; 28(4): 206–11
4. Paik N, Moberg EA. Dysphagia. [online]. 2018. [accessed on November
2018]. Available at: https://emedicine.medscape.com/article/2212409-
overview
5. Tamin S. Disfagia Orofaring. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin
J, Restuti R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Ed VI. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2010. Hlm 281-84.
6. Aetna Inc. Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing
(FEES)/Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing with Sensory
Testing (FEESST). [online]. 2018.[accessed on November 2018]. Available
at: http://www.aetna.com/cpb/medical/data/200_299/0248.html
7. Johns Hopkins Medicine. Fiberoptic Evaluation of Swallowing. [online].
[accessed on November 2018]. Availabale at:
https://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/other/fiber
optic_evaluation_of_swallowing_135,335
8. Tamin S. Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) Pada
Anak. [online]. [accessed on November 2018]. Available
at:http://staff.ui.ac.id/system/files/users/susyana.tamin/publication/makala
h-fees_pada_anak_1.pdf
9. Dziewas R, Glahn J, Helfer C, Ickenstein G, Keller J, Ledl C, et al. Flexible
endoscopic evaluation of swallowing (FEES) for neurogenic dysphagia:
training curriculum of the German Society of Neurology and the German
stroke society. BMC Med Educ. 2016;16: 70.

10. Nayoan CR. Gambaran penderita disfagia yang menjalani pemeriksaan
fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing di RSUP dr. Kariadi
Semarang Periode 2015-2016. Jurnal Kesehatan Tadulako. 2017; 3(2):1-75
11. Pandaleke JJ. Sengkey LS. Angliadi E. Rehabilitasi medik pada penderita
disfagia. Jurnal Biomedik (JBM). 2014;6(3): 157-164
12. Cassata C. Bite, Chew, Swallow: How to Deal With Dysphagia When You
Have MS. [online]. [accessed on November 2018]. Available at:
https://www.everydayhealth.com/multiple-sclerosis/symptoms/deal-with-
dysphagia-when-you-have-ms/

19
13. Iqbal M, Akil A, Djamin R. Evaluasi proses menelan disfagia orofaring
dengan Fiberoptic Endoscopic Examination of Swallowing (FEES). ORLI.
2014; 44(2): 137-145
14. ASHA Continuing Education. FEES 2018: Instrumental Dysphagia
Assessment. [online]. 2018. [accessed on November 2018]. Available at:
https://www.sasspllc.com/courses/fees-2018-instrumental-dysphagia-
assessment/
15. Braun T, Juenemann M, Viard M, Meyer M, Fuest S, Reuter I, et al. What
is the value of bre-endoscopic evaluation of swallowing (FEES) in
neurological patients? A cross-sectional hospital-based registry study. BMJ
Open. 2018; 8:e019016.

20

Anda mungkin juga menyukai