Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

Benign Paroxysmal Positional Vertigo

Pembimbing:

dr. Dumasari Siregar, Sp. THT-KL

Disusun oleh:

Khansa Hanifah Muthiah

030.13.107

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

PERIODE 14 JANUARI–16 FEBRUARI 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis ucapkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat sehingga penyusun dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul
“Benign Paroxysmal Positional Vertigo” yang disusun dalam rangka
memenuhi persyaratan kepaniteraan di bagian THT RSUD Budhi Asih.

Pada kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih yang


sebesar-besarnya kepada dr. Dumasari Siregar, Sp. THT-KL. Penyusun menyadari
bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, untuk itu penyusun mengharapkan kritik
serta saran. Semoga dengan adanya referat ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan bagi semua pihak.

Jakarta, Februari 2019

Khansa Hanifah Muthiah

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Referat

“Benign Paroxysmal Positional Vertigo”


Disusun oleh:

Khansa Hanifah Muthiah


(030.13.107)

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT di RSUD Budhi Asih

Jakarta, Februari 2019.

Telah diterima dan disetujui oleh Pembimbing,

Jakarta, Februari 2019

dr. Dumasari Siregar, Sp. THT-KL

iii
DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................2


2.1. Anatomi telinga ...................................................................................................2
2.2. Fisiologi pendengaran .........................................................................................4
2.3. Fisiologi keseimbangan .......................................................................................5
2.4. Definisi Benign Paroxysmal Positional Vertigo .................................................6
2.5. Epidemiologi .......................................................................................................7
2.6. Etiopatologi .........................................................................................................7
2.7. Klasifikasi ............................................................................................................9
2.8. Manifestasi klinis ..............................................................................................10
2.9. Diagnosis ...........................................................................................................11
2.10. Penatalaksanaan ..............................................................................................13

KESIMPULAN ............................................................ Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................18

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi telinga dalam ................................................... 6


Gambar 2.2. Migrasi otokonia ke kanal semisirkularis posterior ....... 9
Gambar 2.3. Manuver Dix-Hallpike (telinga kanan) ........................ 13
Gambar 2.4. Manuver Epley ............................................................. 15

v
BAB I

PENDAHULUAN
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah gangguan paling
umum pada sistem vestibular telinga dalam yang merupakan bagian vital dari
menjaga keseimbangan. BPPV bersifat benigna yang artinya tidak mengancam
jiwa atau progresif secara umum. BPPV menghasilkan sensasi berputar yang
disebut vertigo yang bersifat paroksismal dan posisional, artinya terjadi tiba-tiba
dan dengan perubahan posisi kepala. Benign Paroxysmal Positional Vertigo
(BPPV) pertama kali dijelaskan oleh Barany pada tahun 1921, dan ia
menghubungkan gangguan tersebut dengan penyakit otolith. 1,2
Diagnosis klinis gangguan ini tidak terdefinisi dengan baik sampai Dix
dan Hallpike menggambarkan posisi klasik yang menyebabkan nistagmus
berkarakteristik. Benign Paroxysmal Positional Vertigo adalah kelainan yang
ditandai dengan serangan vertigo singkat, dengan nistagmus terkait, diperberat
oleh perubahan tertentu pada posisi kepala sehubungan dengan gravitasi. Insidensi
sulit diperkirakan karena penyakit ini bersifat jinak dan terbatas sendiri. 1
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) menyebabkan 17-20%
vertigo perifer. Diperkirakan berkisar antara 10,7 per 100.000 hingga 17,3 per
100.000 populasi di Jepang dan telah dilaporkan sebagai 64 per 100.000 pada
Gaurs
studi populasi dari Minnesota. Usia rata-rata saat onset adalah 50 hingga 70
tahun dan sebagian besar pada wanita, akan tetapi BPPV juga dapat terjadi pada
anak-anak. Secara keseluruhan, insiden meningkat seiring bertambahnya usia.
Berdasarkan bagian lesi yang terkena, BPPV dibagi menjadi BPPV kanal anterior,
BPPV kanal posterior, dan BPPV kanal horizontal. Studi telah menunjukkan
bahwa kejadian BPPV kanal posterior adalah 86,36%, kejadian BPPV kanal
horizontal adalah 11,37% dan tingkat kejadian BPPV kanal anterior adalah
2,27%. 1,3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi telinga


2.1.1. Telinga luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari tulang rawan yang
diliputi kulit. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Meatus
akustikus eksternus berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada
sepertiga bagian luar, di sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak
kelenjar serumen dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang
telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen,
dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 -
3 cm. Meatus dibatasi oleh kulit dengan sejumlah rambut, kelenjar sebasea, dan
sejenis kelenjar keringat yang telah mengalami modifikasi menjadi kelenjar
seruminosa, yaitu kelenjar apokrin tubuler yang berkelok-kelok yang
menghasilkan zat lemak setengah padat berwarna kecoklat-coklatan yang
dinamakan serumen (minyak telinga). Serumen berfungsi menangkap debu dan
mencegah infeksi.4
2.1.2. Telinga tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas-batas; (1) luar yaitu
membran timpani, (2) depan yaitu tuba eustachius, (3) bawah yaitu vena jugularis
(bulbus jugularis), (4) belakang yaitu aditus ad antrum, kanalis fasialis pars
vertikalis, (5) atas yaitu tegmen timpani (meningen/otak), (6) dalam yaitu
berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis,
tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan
promontorium. Membrana timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari
arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas
disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa

2
(membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah
lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia,
seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di
tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang
berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam. Membran
timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan prosesus
longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga
didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah-
belakang.4
Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus
longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan
inkus melekat pada stapes. Stapes melekat pada tingkap lonjong yang
berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang merupakan persendian. Pada
pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad
antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dan antrum mastoid.
Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah
nasofaring dengan telinga tengah. 4
2.1.3. Telinga dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semi sirkularis. Pada
irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di
sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) di antaranya. Skala vestibuli
dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion
dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Dasar skala
vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (membran Reissner) sedangkan dasar
skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak membran corti.4
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari
sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ corti.
Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala
timpani dengan skala vestibuli. Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh

3
sakulus, utrikulus, dan kanalis semisirkularis. Utrikulus berhubungan dengan
sakulus melalui suatu duktus sempit yang juga merupakan saluran menuju sakus
endolimfatikus. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi oleh sel-
sel rambut. Menutupi sel rambut ini adalah suatu lapisan gelatinosa yang ditembus
silia, yang disebut kupula, dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang berat
jenisnya lebih berat daripada endolimfe. Kanalis semisirkularis saling
berhubungan dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Masing-masing
kanalis mempunyai suatu ujung yang melebar membentuk ampula dan
mengandung sel-sel rambut krista.4

Alat vestibuler (alat keseimbangan) terletak di telinga dalam (labirin),


terlindung oleh tulang yang paling keras yang dimiliki oleh tubuh. Labirin secara
umum adalah telinga dalam, tetapi secara khusus dapat diartikan sebagai alat
keseimbangan. Labirin terdiri atas labirin tulang dan labirin membran. Labirin
membran terletak dalam labirin tulang dan bentuknya hampir menurut bentuk
labirin tulang. Antara labirin membran dan labirin tulang terdapat perilimfa,
sedang endolimfa terdapat di dalam labirin membran. Berat jenis cairan endolimfa
lebih tinggi daripada cairan perilimfa. Ujung saraf vestibuler berada dalam labirin
membran yang terapung dalam perilimfa, yang berada dalam labirin tulang. Setiap
labirin terdiri dari 3 kanalis semi-sirkularis (kss), yaitu kss horizontal (lateral), kss
anterior (superior) dan kss posterior (inferior). Selain 3 kanalis ini terdapat pula
utrikulus dan sakulus.5

2.2. Fisiologi pendengaran


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang
kekoklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengimplikasi getaran
melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini
akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa
pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner

4
yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara
membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik
yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal
ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan
ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada
saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks
pendengaran (area 39 - 40) di lobus temporalis.4
2.3. Fisiologi keseimbangan
Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan
sekitarnya tergantung dari input sensorik dari reseptor vestibuler di labirin, organ
penglihatan, dan organ proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik
tersebut akan diolah di sistem saraf pusat sehingga akan menimbulkan gambaran
mengenai keadaan posisi tubuh pada suatu saat dan bagaimana mengatur posisi
tubuh seperti yang dikehendaki. 5
Labirin terdiri dari labirin statis yaitu utrikulus dan sakulus yang
merupakan pelebaran labirin membran yang terdapat dalam vestibulum labirin
tulang. Pada tiap pelebarannya terdapat makula utrikulus yang di dalamnya
terdapat sel-sel reseptor keseimbangan. Labirin kinetik terdiri dari tiga kanalis
semisirkularis dimana pada tiap kanalis terdapat pelebaran yang berhubungan
dengan utrikulus, disebut ampula. Di dalamnya terdapat krista ampularis yang
terdiri dari sel-sel reseptor keseimbangan dan seluruhnya tertutup oleh suatu
substansi gelatin yang disebut kupula. 5
Gerakan atau perubahan kepala dan tubuh akan menimbulkan perpindahan
cairan endolimfa di labirin dan selanjutnya silia sel rambut akan menekuk.
Tekukan silia menyebabkan permeabilitas membran sel berubah, sehingga ion
kalsium akan masuk ke dalam sel yang menyebabkan terjadinya proses depolari-
sasi dan akan merangsang pelepasan neurotransmiter eksitator yang selanjutnya
akan meneruskan impuls sensoris melalui saraf aferen ke pusat keseimbangan di
otak. Sewaktu berkas silia terdorong ke arah berlawanan, maka terjadi
hiperpolarisasi. Organ vestibuler berfungsi sebagai transduser yang mengubah

5
energi mekanik akibat rangsangan otolit dan gerakan endolimfa di dalam kanalis
semisirkularis menjadi energi biolistrik, sehingga dapat memberi informasi
mengenai perubahan posisi tubuh akibat percepatan linier atau percepatan sudut.
Dengan demikian dapat memberi informasi mengenai semua gerak tubuh yang
sedang berlangsung. Sistem vestibuler berhubungan dengan sistem tubuh yang
lain, sehingga kelainannya dapat menimbulkan gejala pada sistem tubuh
bersangkutan. Gejala yang timbul dapat berupa vertigo, rasa mual dan muntah.
Pada jantung berupa bradikardi atau takikardi dan pada kulit reaksinya berkeringat
dingin. 5

Gambar 2.1. Anatomi telinga bagian dalam.6

2.4. Definisi Benign Paroxysmal Positional Vertigo

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) pertama kali dijelaskan


oleh Barany pada tahun 1921, dan ia menghubungkan gangguan tersebut dengan
penyakit otolith. Benign Paroxysmal Positional Vertigo adalah kelainan pada
telinga bagian dalam yang ditandai dengan serangan vertigo singkat, dengan

6
nistagmus terkait, diperberat oleh perubahan tertentu pada posisi kepala
sehubungan dengan gravitasi secara berulang. 1,7
2.5. Epidemiologi
Terdapat beberapa studi epidemiologi pada prevalensi BPPV. Pada sebuah
klinik vertigo di London, Inggris ditemukan sebanyak 17% kasus BPPV dari
semua keluhan vertigo. Keterlibatan kanalis semisirkularis horizontal hanya
sekitar 10-30% dari semua BPPV. Hain T dan Escher8 dalam penelitian masing -
masing memperkirakan angka kejadian BPPV kanalis horizontal hanya sebanyak
3 – 12% per tahunnya dengan kasus terbanyak tipe kanalolithiasis (75%). Cakir et
al8 melaporkan angka kejadian BPPV kanalis horizontal sebanyak 13.6% dari
seluruh kasus BPPV yang ditelitinya dari bulan November 2001 sampai Desember
2004, dimana nistagmus geotropik terlihat pada 73.9% kasus, dan nistagmus
apogeotropik terlihat pada 26.1% kasus. Hal senada juga dilaporkan oleh Chiau
Wen-Yaw et al8 dalam penelitiannya di Taiwan pada tahun 2005. Chung et al8
dalam penelitiannya di Seoul Korea Selatan melaporkan insidensi BPPV kanalis
horizontal lebih tinggi (40.5%) pada penderita yang berobat dalam waktu 24 jam
sejak timbulnya serangan pertama kali, 30.3% pada pasien dengan onset antara 24
jam sampai tujuh hari setelah serangan pertama dan 26.4% pada pasien yang
dievaluasi setelah tujuh hari dari onset serangan vertigo pertamanya. Nistagmus
geotropik ditemukan pada 130 kasus, dan nistagmus apogeotropik ditemukan
sebanyak 78 kasus. 8
2.6. Etiopatologi
Sekitar 50%, penyebab BPPV adalah idiopatik, selain idiopatik, penyebab
terbanyak adalah trauma kepala (17%) diikuti dengan neuritis vestibularis (15%),
migraine, implantasi gigi dan operasi telinga, dapat juga sebagai akibat dari posisi
tidur yang lama pada pasien post operasi atau bed rest total lama. Ada dua teori
yang diterima yang mendukung patologi BPPV, yang dikenal sebagai
canalolithiasis dan cupulolithiasis. Canalolithiaisis mengacu pada adanya
akumulasi dari sisa otolith yang bebas ke dalam kanal. Sedangkan mereka
bergerak sesuai dengan gerakan kepala, arus endolimfatik yang menstimulasi
cupula secara abnormal dihasilkan, yang menyebabkan manifestasi klinis.

7
Cupulolithiasis melibatkan endapan otolith yang melekat pada cupula kanal,
mengubah gravitasi spesifiknya. Dengan demikian, cupula bergerak sesuai
percepatan linear, seperti percepatan gravitasi. Hall et alimai kemudian berhipotesis
bahwa puing-puing otokonial mengapung bebas di dalam endolimfe dari kanalis
semisirkularis (canalolithiasis). Baru-baru ini teori canalolithiasis telah menarik
banyak perhatian terkait dengan prosedur reposisi canalith (CRP) untuk
pengobatan BPPV. 8-10

Organ vestibular di setiap telinga terdiri dari utrikulus, sakula, dan tiga
kanalis semisirkularis. Kanalis semisirkularis mendeteksi gerakan rotasi. Mereka
terletak di sudut kanan satu sama lain dan diisi dengan cairan yang disebut
endolimfe. Ketika kepala berputar, cairan endolimfe tertinggal karena inersia dan
memberikan tekanan terhadap cupula, reseptor sensorik di dasar kanal. Reseptor
kemudian mengirimkan impuls ke otak tentang gerakan kepala tersebut. BPPV
terjadi sebagai akibat dari otokonia, kristal kecil kalsium karbonat yang
merupakan bagian normal dari anatomi telinga bagian dalam yang terlepas dari
membran otolitik di utrikulus dan terkumpul di salah satu kanalis semisirkularis.
Ketika kepala diam, gravitasi menyebabkan otokonia menggumpal dan
mengendap (Gambar 2.2). Ketika kepala bergerak, otokonia bergeser dan hal ini
merangsang cupula untuk mengirimkan sinyal palsu ke otak sehingga
menghasilkan vertigo dan memicu nistagmus (gerakan mata involunter). 2

8
Gambar 2.2. Migrasi otokonia ke kanal semisirkularis posterior.2

2.7. Klasifikasi

BPPV merupakan penyebab vertigo yang paling umum. Pada kebanyakan


pasien, BPPV ditandai dengan serangan singkat vertigo dengan posisi nistagmus
torsional, yang ditimbulkan oleh perubahan posisi kepala relatif terhadap
gravitasi. Subtipe BPPV dibedakan oleh kanalis semisirkularis tertentu yang
terlibat dan apakah otokonia terpisah bebas mengambang di dalam kanal yang
terkena (canalithiasis) atau melekat pada cupula (cupulothiasis). BPPV biasanya
unilateral, artinya terjadi di telinga kanan atau kiri, walaupun dalam beberapa
kasus bersifat bilateral, artinya kedua telinga terpengaruh. Berdasarkan bagian lesi
yang terkena, BPPV dibagi menjadi BPPV kanal anterior, BPPV kanal posterior,
dan BPPV kanal horizontal. 3

Bentuk yang paling umum, terhitung 81% hingga 90% dari semua kasus,
adalah canalithiasis di kanalis semisirkularis posterior. Karena kanalis
semisirkularis posteriornya terkena maka tipe BPPV kanal-posterior didiagnosis.
BPPV kanalis lateral atau disebut juga kanalis horizontal adalah suatu bentuk
varian dari BPPV yang pertama kali diperkenalkan oleh McClure tahun 1985
dengan karakteristik vertigo posisional yang diikuti nistagmus horizontal berubah

9
arah. Arah nistagmus horizontal yang terjadi dapat berupa geotropik (arah gerakan
fase cepat ke arah telinga di posisi bawah) atau apogeotropik (arah gerakan fase
cepat ke arah telinga di posisi atas) selama kepala dipalingkan ke salah satu sisi
dalam posisi telentang. Nistagmus geotropik terjadi karena adanya otokonia yang
terlepas dari utrikulus dan masuk ke dalam lumen posterior kanalis horizontal
(kanalolithiasis), sedangkan nistagmus apogeotropik terjadi karena otokonia yang
terlepas dari utrikulus menempel pada kupula kanalis horizontal (kupulolithiasis)
atau karena adanya fragmen otokonia di dalam lumen anterior kanalis horizontal
(kanalolithiasis apogeotropik). 2,8,9

2.8. Manifestasi klinis


Selain vertigo, gejala BPPV termasuk pusing (pusing),
ketidakseimbangan, kesulitan berkonsentrasi, dan mual. Kegiatan yang
menimbulkan gejala dapat bervariasi pada setiap orang, tetapi gejalanya dipicu
oleh perubahan posisi kepala sehubungan dengan gravitasi. Dengan keterlibatan
kanal semisirkularis posterior pada BPPV klasik, gerakan kepala yang sering
bermasalah meliputi melihat ke atas atau berguling dan bangun dari tempat tidur.
BPPV dapat dialami untuk durasi yang sangat singkat atau dapat berlangsung
seumur hidup, dengan gejala yang terjadi dalam pola intermiten yang bervariasi
berdasarkan durasi, frekuensi, dan intensitas. Secara intrinsik tidak dianggap
mengancam jiwa. Namun, bisa sangat mengganggu pekerjaan dan kehidupan
sosial seseorang, serta menimbulkan bahaya kesehatan karena peningkatan risiko
jatuh terkait dengan pusing dan ketidakseimbangan. 2

Pada BPPV tipe kanal-posterior maupun tipe kanal-lateral didapatkan


gejala klinis berupa serangan vertigo atau pusing yang dicetuskan oleh perubahan
posisi kepala relatif terhadap gravitasi. Vertigo muncul dengan latensi yang
pendek, berlangsung kurang dari satu menit dan ditandai dengan peningkatan
intensitas lalu diikuti oleh penurunan intensitasnya. Intensitas vertigo berkurang
atau menghilang setelah posisi kepala dirubah secara berulang. Vertigonya tidak
berhubungan dengan gejala koklea seperti gangguan pendengaran, tinitus, atau
rasa telinga yang penuh. Tidak terdapat gejala neurologis selain vertigo. 9

10
2.9. Diagnosis
Penegakkan diagnosis BPPV, anamnesis mengenai riwayat klinis secara
rinci merupakan hal yang sangat penting. Sebagian besar etiologi BPPV adalah
idiopatik, kemungkinan penyebab sekunder meliputi trauma kepala, neuronitis
vestibular, migrain, penyakit Meniere. Dokter harus berhati-hati untuk
membedakan keluhan utama dari bentuk lain "pusing." Pasien dengan BPPV
sering merasakan lingkungan sekitar berputar. Vertigo ini biasanya berlangsung
kurang dari 20 detik (lebih lama untuk kanal horizontal) tetapi dapat disertai
dengan ketidakseimbangan yang tidak spesifik, sehingga pasien sering melebih-
lebihkan lama serangan. Selain itu, timbulnya gejala vertigo pada BPPV tiba-tiba
dan dipicu oleh gerakan kepala tertentu seperti mengekstensikan leher,
membungkuk ke depan, atau berguling di tempat tidur. Ada sebagian pasien yang
menggambarkan anamnesis tidak jelas sehingga perlu dilakukan pemeriksaan fisik
seperti manuver Dix-Hallpike.11

Berdasarkan pemeriksaan fisik berupa manuver provokasi, terdapat


perbedaan tanda klinis pada kedua tipe BPPV. Manuver Dix-Hallpike adalah tes
definitif untuk BPPV kanal posterior. Manuver dimulai dengan pasien duduk dan
kepala diputar 45 derajat ke sisi yang sedang diuji untuk mengisolasi dan
mengarahkan secara vertikal kanal posterior sisi tersebut. Pasien kemudian
diletakkan kembali dalam posisi terlentang dengan telinga yang diuji menghadap
ke bawah. Pada BPPV tipe kanal-posterior terdapat nistagmus torsional, di mana
kutub atas mata berputar ke arah telinga yang terkena. Apabila manuver Dix-
Hallpike terbalik di mana pasien dibawa dari posisi terlentang ke posisi tegak
maka muncul nistagmus torsi berupa kutub atas mata berputar ke arah telinga
kontralateral. Diagnosis BPPV kanalis posterior dibuat jika manuver Dix-Hallpike
memprovokasi nistagmus dengan karakteristik onset latensi antara manuver
dengan vertigo yang muncul adalah sekitar 2-5 detik, durasi terbatas, torsional dan
upbeat ke arah telinga yang bermasalah, reversibilitas, dan kelelahan. 9,11

Sedangkan pada BPPV tipe kanal-lateral harus dipertimbangkan ketika


pasien dengan riwayat klinis yang kompatibel mengalami nistagmus horizontal

11
atau tidak ada gerakan mata selama tes Dix-Hallpike. BPPV horizontal
didiagnosis dengan tes supine roll, juga disebut sebagai manuver Pagnini-
McClure. Tes supine roll dilakukan dengan terlebih dahulu memposisikan pasien
terlentang dalam posisi kepala netral dengan wajah diarahkan ke atas. Kepala
kemudian diputar dengan cepat 90 derajat ke satu sisi, dan mata diamati untuk
melihat munculnya nistagmus. Setelah nistagmus yang timbul telah mereda,
kepala dikembalikan ke posisi netral, dan arah kontralateral dapat diuji dengan
cara yang sama. Nistagmus posisi geotropik dicetuskan oleh tes supine-roll.
Nistagmus horizontal ke kanan diinduksi oleh posisi kepala dengan telinga kanan
di bawah dan nistagmus horizontal ke kiri diinduksi oleh posisi kepala dengan
telinga kiri di bawah pada saat pasien terlentang. Secara umum, vertigo yang
diprovokasi pada BPPV kanal horizontal lebih intens, memiliki latensi yang lebih
pendek, berlangsung lebih lama dan kurang rentan terhadap kelelahan. 9,11

American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery tidak


merekomendasikan maneuver supine roll test pada pasien dengan kemampuan
fisik terbatas, seperti stenosis servikal, kyposcoliosis berat, ruang gerak servikal
yang terbatas, down syndrome, rheumatoid arthritis berat, cervical
radiculopathies, Paget’s disease, morbid obesity, ankylosing spondylitis, low back
dysfunction dan trauma medulla spinalis. Sampai saat ini, belum ditemukan
adanya laporan tentang bahaya atau trauma yang disebabkan oleh manuver head
roll test. Pemeriksaan audiometri tidak mempengaruhi diagnosis BPPV. Hearing
loss dapat muncul pada pasien dengan BPPV, namun tidak mempengaruhi
diagnosis dan terapi BPPV. Pemeriksaan elektronistagmografi (ENG) dapat
membantu membedakan vertigo oleh karena kelainan di sentral atau perifer. 8

12
Gambar 2.3. Manuver Dix-Hallpike (telinga kanan). 11

Pemeriksaan nistagmus pada BPPV dapat dilakukan dengan kacamata


Frenzel atau kacamata yang dilengkapi dengan kamera CCD inframerah. Posisi
nistagmus harus diamati dan karakteristik nistagmus yang ditimbulkan, yaitu arah,
amplitudo, frekuensi, dan komponen torsional atau vertikal atau horizontal dari
nistagmus diperiksa. Latensi yang berlalu sebelum munculnya nistagmus dan
perubahan intensitas nistagmus sesudahnya juga diperiksa. Pada pasien yang
menderita penyakit vertebra servikal, tes posisi nistagmus dikontraindikasikan.9

2.10. Penatalaksanaan
Modalitas pengobatan BPPV saat ini termasuk berbagai latihan rehabilitasi
vestibular, obat-obatan farmakologis dan operasi dalam kasus-kasus yang resisten.
Penatalaksanaan BPPV dapat dilakukan dengan prosedur reposisi kanal (CRP)
dan latihan non-spesifik. Pasien dengan BPPV memiliki patofisiologi akibat
kanalolitiasis sehingga diobati dengan CRP. Latihan non-spesifik digunakan
terlepas dari patofisiologi dan kanal yang terkena. 9,12

2.10.1. Prosedur reposisi kanal (CRP)

Tatalaksana BPPV terdiri dari prosedur reposisi canalith seperti manuver


Epley yang memposisikan canalith dari kanalis semisirkularis ke vestibule. Epley
pertama kali melaporkan CRP pada tahun 1992. Setelah itu, metodenya disebut

13
manuver Epley untuk tatalaksana BPPV tipe kanal-posterior. Telah banyak
dibuktikan bahwa manuver Epley dan Semont keduanya cocok untuk mengobati
BPPV kanalis posterior. Hasilnya diukur sebagai jumlah manuver yang diperlukan
untuk mengurangi gejala dan nistagmus. Gerakan kepala berurutan dari manuver
Epley menyebabkan puing-puing otokonial bergerak dari kanal semisirkular ke
utrikel. Manuver Epley dikontraindikasikan pada pasien yang menderita penyakit
vertebra servikal. Manuver harus dibatalkan ketika pasien merasakan nyeri leher,
gangguan sensorik dan gangguan kesadaran. 9,10,13

Berikut langkah-langkah metode manuver Epley (gambar 2.4) dengan


pergerakan debris otokonial pada setiap posisi kepala pasien dengan tipe BPPV
kanal-posterior kiri; (1) Kepala pasien diputar 45 terhadap telinga yang terkena
pada posisi duduk; (2) Kepala dipindahkan ke posisi di mana kepala diputar 45
ke kiri dan leher sedikit diekstensi dengan pasien telentang dan dipertahankan
sampai nistagmus yang ditimbulkan menghilang; (3) Kepala dipindahkan ke
posisi di mana kepala diputar 45 ke kanan dan leher sedikit diekstensi dengan
pasien terlentang dan dipertahankan sampai nistagmus yang ditimbulkan
menghilang atau selama 2 menit; (4) Kepala dipindahkan ke posisi di mana tubuh
pasien diputar 90 ke kanan sambil menjaga posisi kepala terhadap tubuh dengan
pasien terlentang. Kemudian kepala akhirnya diputar 135 ke kanan dengan
pasien telentang. Posisi kepala dipertahankan sampai nistagmus yang ditimbulkan
menghilang atau selama 2 menit; (5) Kepala dipindahkan ke posisi dengan pasien
duduk; (6) Kepala tertunduk 45 ke depan dalam posisi duduk segera setelah
posisi (5) dan dipertahankan selama 2 menit. 9
Latihan Brandt-Daroff tidak dapat dianggap sebagai pengobatan pilihan
pertama karena telah terbukti secara signifikan kurang efektif daripada Epley.
Latihan Brandt-Daroff dirancang untuk menyebarkan canalith dan meningkatkan
toleransi pasien terhadap gejala BPPV dengan demikian, latihan ini tidak dapat
diklasifikasikan sebagai prosedur reposisi. Namun latihan Brandt-Daroff mungkin
berguna pada kasus-kasus tertentu yang dikombinasikan dengan manuver Epley
atau Semont. 10

14
Gambar 2.4. Manuver Epley pada pasien BPPV kanal posterior kiri. 9

Prosedur reposisi kanal (CRP) lainnya yang dapat dilakukan selain


manuver Epley, manuver Semont, CRP lain, juga digunakan untuk tatalaksana
BPPV tipe kanal-posterior. Manuver Lempert digunakan untuk tatalaksana tipe
kanal-lateral. Latihan non-spesifik untuk pengobatan BPPV seperti latihan
Brandt-Daroff telah dilaporkan. Latihan ini merupakan tatalaksana yang dapat
dilakukan sendiri. 9
2.10.2. Medikamentosa
Sebelum penerapan reposisi manual, obat yang memperbaiki
mikrosirkulasi dan menghambat vestibulum telah digunakan sebagai obat lini

15
pertama untuk BPPV dan telah terbukti meningkatkan efikasi. Tatalaksana
medikamentosa yang dapat diberikan ialah obat anti-vertigo, anti-ansietas, dan
anti-emetik. Tatalaksana medikamentosa tersebut memiliki beberapa efek dalam
menghilangkan gejala pusing dan atau vertigo yang disebabkan oleh CRP. 3,9
Betahistine adalah modulator histamin yang berdasarkan pengalaman
klinis, digunakan pada orang dewasa untuk pengobatan penyakit Ménière dan
BPPV. Betahistine telah digunakan dalam pengobatan vertigo perifer selama lebih
dari 40 tahun dan hanya tersedia dalam bentuk oral, biasanya diminum dalam
dosis dari 24 mg hingga 48 mg per hari. Obat ini diekskresikan melalui sistem
kemih. Betahistin juga dikenal sebagai betahistin dihidrokloid. Obat ini telah
digunakan di beberapa negara selama bertahun-tahun sebagai pengobatan untuk
penyakit atau sindrom Ménière, di mana telah dianggap sangat efektif untuk
gejala vertigo vestibular. 14
Kerja utama betahistin adalah memodulasi sistem histaminergik dan
memiliki aktivitas yang kuat sebagai antagonis untuk reseptor histamin H3 dan
aktivitas yang lemah sebagai agonis untuk reseptor histamin H1, dengan hampir
tidak ada aktivitas pada reseptor H2. Di telinga bagian dalam, betahistin memiliki
efek antagonis yang kuat pada reseptor H3, dan meningkatkan kadar
neurotransmitter yang dilepaskan dari ujung saraf. Ini juga memiliki efek
agonistik langsung pada reseptor H1 yang terletak di pembuluh darah di telinga
bagian dalam. Peningkatan jumlah histamin yang dilepaskan dari ujung saraf
histaminergik menstimulasi reseptor H1, sehingga menambah efek agonis
langsung betahistin pada reseptor ini. Ini menjelaskan efek vasodilator yang kuat
dari betahistine di telinga bagian dalam dan keefektifitasan betahistine dalam
pengobatan vertigo. Betahistin dapat meningkatkan aliran darah di daerah koklea,
mungkin melalui relaksasi sfingter pra-kapiler mikrosirkulasi di telinga bagian
dalam. Tampaknya bertindak pada sfingter pra-kapiler di stria vascularis telinga
bagian dalam dapat mengurangi tekanan dalam ruang endolimfatik. 15

2.10.3. Pembedahan
Harus ditekankan bahwa BPPV merupakan penyakit jinak. Intervensi
operasi harus direncanakan pada kasus-kasus sulit atau pasien dengan

16
kekambuhan yang parah dan secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup.
Terlebih dahulu, ahli bedah harus secara tepat mengkonfirmasi saluran yang
terkena dan sisinya. Praktisi juga harus mengesampingkan penyebab sekunder
BPPV. Tes pra-operasi harus mencakup audiometri mengingat kemungkinan
komplikasi gangguan pendengaran dari operasi telinga bagian dalam. Pengujian
objektif didorong untuk menetapkan fungsi dasar di telinga operatif dan
memastikan fungsi normal di sisi kontralateral. Pencitraan dengan CT dan MRI
juga harus diatur untuk perencanaan bedah dan menyingkirkan lesi sentral yang
mungkin menyerupai BPPV. 11
Untuk pasien BPPV yang sulit disembuhkan, reposisi manual saja tidak
dapat mencapai efikasi yang baik, sehingga dua operasi dapat dipertimbangkan:
(1) neurektomi tunggal dapat meningkatkan gejala klinis pasien BPPV. Bahkan,
operasi ini dapat mencapai kemanjuran yang baik, namun beberapa pasien
mungkin mengalami risiko tinggi gangguan pendengaran dan (2) Oklusi kanalis
semisirkularis dapat digunakan untuk menutup ruang di kepala dengan bahan
khusus untuk mengurangi stimulasi reseptor sensorik sel rambut di ampula.
Prosedur ini memiliki risiko rendah. Secara keseluruhan, kurang dari 1% kasus
BPPV memerlukan intervensi bedah dan mayoritas melibatkan BPPV kanal
posterior yang sulit diobatin. Pilihan bedah utama adalah neurektomi singular dan
oklusi kanalis semisirkularis posterior. 3,11

17
DAFTAR PUSTAKA
1. Gaur S, Awasthi SK, Bhadouriya SK, Saxena R, Pathak VK, Bisht M.
Efficacy of Epley’s Maneuver in Treating BPPV Patients: A Prospective
Observational Study. Int J Otolaryngol. 2015; 2015: 1–5.
2. Hain TC. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV). [online].
Accessed on 2019. Available at: https://vestibular.org/understanding-
vestibular-disorders/types-vestibular-disorders/benign-paroxysmal-
positional-vertigo
3. Tang H, Li W. Advances in the diagnosis and treatment of benign
paroxysmal positional vertigo. Experimental and Therapeutic Medicine.
2017;14(3): 2424-30.
4. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran (Tuli).
Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R.D. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed VI.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.
Hlm 10-6.
5. Bashiruddin J, Hadjar E, Alviandi W. Gangguan Keseimbangan. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R.D. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed VI. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. Hlm 94-
102.
6. Lee SC. Vestibular System Anatomy. [online]. Accessed on 2019.
Available at: https://emedicine.medscape.com/article/883956-overview
7. Bhattacharyya N, Gubbels SP, Schwartz SR, Edlow JA, Kashlan HE, Fife
T, et al. Clinical Practice Guideline: Benign Paroxysmal Positional
Vertigo (Update). Otolaryngol Head Neck Surgery. 2017; 156(S3): 1–47.
8. Edward Y, Roza Y. Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxysmal
Positional Vertigo (BPPV) Horizontal Berdasarkan Head Roll Test. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2014; 3(1): 77-82.

18
9. Imai T, Takeda N, Ikezono T, Shigeno K, Asai M, Watanabe Y, et al.
Classification, diagnostic criteria and management of benign paroxysmal
positional vertigo. Auris Nasus Larynx. 2017; 44(1): 1–6.
10. Pérez-Vázquez P, Franco-Gutiérrez V. Treatment of benign paroxysmal
positional vertigo. A clinical review. J Otol. 2017;12(4):165-173.
11. You P, Instrum R, Parnes L. Benign paroxysmal positional vertigo.
Laryngoscope Investigative Otolaryngol. 2018: 160-123.
12. Kaur J, Shamanna K. Management of Benign Paroxysmal Positional
Vertigo: A Comparative Study between Epleys Manouvre and Betahistine.
Int Tinnitus J. 2017; 21(1): 30-4.
13. Muncie HL, Sirmans SM, James E. Dizziness: Approach to Evaluation
and Management. Am Fam Physician. 2017; 95(3):154-162.
14. Murdin L, Hussain K, Schilder A. Betahistine for symptoms of vertigo.
Cochrane Database of Systematic Reviews. 2016; 6: 1-63.
15. Ramos AR, Ledezma RJ, Navas RA, Cardenas NJ, Rodríguez MV,
Deschamps J, et al. Use of betahistine in the treatment of peripheral
vertigo. Acta Oto-Laryngologica. 2015; 135(12): 1205-11.

19

Anda mungkin juga menyukai