Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

DETEKSI DINI DAN MANAJEMEN KOLESTEATOMA

Oleh:

Argia Wirawan 03013025

Sabilla Laras Permana 03013172

Puti Alimah 03013242

Pembimbing:

dr. Djoko Prasetyo Adinugroho, Sp. THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH K.R.M.T WONGSONEGORO
PERIODE 4 JUNI 2018 – 21 JULI 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas kesehatan dan
kemudahan yang dilimpahkan karena berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan
tugas referat dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT di RSUD KRMT
WONGSONEGORO yang berjudul “Deteksi dini dan manajemen kolesteatoma”.

Tidak sedikit hambatan yang dihadapi penulis dalam penyusunan referat ini,
namun berkat bantuan berbagai pihak karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih sebesar-besarnya kepada
dr. Djoko Prasetyo Adinugroho, Sp. THT selaku pembimbing atas masukan dan
pengarahannya selama penulis belajar dalam kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit
THT.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan para
pembaca. Penulis menyadari karya tulis ini masih perlu banyak perbaikan oleh
karena itu kritik dan saran diharapkan dari para pembaca.

i
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul “Deteksi dini dan manajemen kolesteatoma.” Telah diterima
dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik ilmu penyakit THT di RSUD KRMT Wongsonegoro periode 4 Juni 2018- 21
Juli 2018.

Semarang, Juli 2018

dr. Djoko Prasetyo Adinugroho, Sp. THT

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 2


2.1 Anatomi telinga............................................................................................ 2
2.2 Fisiologi Pendengaran ................................................................................. 5
2.3 Definisi kolesteatoma .................................................................................. 6
2.4 Epidemiologi ................................................................................................. 6
2.5 Patogenesis ................................................................................................... 6
2.6 Pola pertumbuhan kolesteatoma ............................................................... 7
2.7 Klasifikasi kolesteatoma ............................................................................. 8
2.8 Manifestasi klinis ......................................................................................... 8
2.9 Diagnosis....................................................................................................... 9
2.10 Manajemen ............................................................................................... 11
2.11 Pencegahan............................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 16

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi telinga ................................................................................ 4


Gambar 2.2. Membran timpani ............................................................................. 5
Gambar 2.3. Pemeriksaan otoskopi pada kolesteatoma kongenital .................... 10
Gambar 2.4. Mastoidektomi radikal.................................................................... 13
Gambar 2.5 Timpanotomi ................................................................................... 13
Gambar 2.6 Rekonstruksi dinding posterior ....................................................... 14

iv
BAB I
PENDAHULUAN
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).
Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johanes Muller pada tahun 1838
karena disangka tumor yang ternyata bukan. Seluruh epitel kulit (keratinizing
stratified squamous epithelium) pada tubuh berada pada lokasi yang terbuka atau
terpapar ke dunia luar. Epitel kulit di liang telinga merupakan suatu daerah cul-de-
sac sehingga apabila terdapat serumen padat di liang telinga dalam waktu yang
lama, maka dari epitel kulit yang berada medial dari serumen tersebut seakan
terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma.1

Kolesteatoma berasal dari pertumbuhan abnormal epitel skuamosa yang


sedang berkeratinisasi di tulang temporal, yang umumnya disebut sebagai "kulit di
tempat yang salah". Kolesteatoma diawali dengan penumpukan deskuamasi
epidermis di liang telinga, sehingga membentuk gumpalan dan menimbulkan rasa
penuh serta kurang dengar. Pertumbuhan abnormal ini bersifat invasif dan mampu
menyebabkan kerusakan struktur di telinga tengah. Epitel skuamosa diangap invasif
apabila berada dalam lingkungan dengan infeksi kronis, sehingga meningkatkan
efek osteolitik kolesteatoma. Karena fatalnya komplikasi intrakranial, kolesteatoma
menjadi penyebab morbiditas dan kematian anak-anak bagi mereka yang tidak
memiliki akses ke fasilitas perawatan medis tingkat lanjut.2

Diagnosis kolesteatoma dilakukan oleh ahli THT menggunakan metode


yang berbeda, termasuk anamnesis dengan karakteristik yang meningkatkan
kecurigaan kolesteatoma, mencari bukti kolesteatoma selama pemeriksaan fisik
menggunakan otoskopi dan atau otomikroskopi, dan interpretasi pencitraan.
Manajemen kolesteatoma terus menjadi tantangan bagi ahli THT di seluruh dunia.
Bahkan di negara-negara dengan fasilitas kesehatan canggih, sudah melakukan
pemeriksaan fisik secara rutin dengan akses yang baik ke spesialis, dan sudah ada
upaya yang dilakukan untuk pencegahan, deteksi dini, dan pengobatan
kolesteatoma, namun tetap saja terdapat prevalensi kolesteatoma dan
komplikasinya pada anak-anak dan orang dewasa.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi telinga
2.1.1 Telinga luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani.
Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari tulang rawan yang diliputi kulit.
Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga (meatus
akustikus eksternus) berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga
bagian luar, di sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar
serumen (modifikasi kelenjar keringat = kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar
keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga.4
Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen,
dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 -
3 cm. Meatus dibatasi oleh kulit dengan sejumlah rambut, kelenjar sebasea, dan
sejenis kelenjar keringat yang telah mengalami modifikasi menjadi kelenjar
seruminosa, yaitu kelenjar apokrin tubuler yang berkelok-kelok yang menghasilkan
zat lemak setengah padat berwarna kecoklat-coklatan yang dinamakan serumen
(minyak telinga). Serumen berfungsi menangkap debu dan mencegah infeksi. 4
2.1.2 Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar yaitu membran timpani, batas
depan yaitu tuba eustachius, batas bawah vena jugularis (bulbus jugularis), batas
belakang yaitu aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis, batas atas yaitu
tegmen timpani (meningen / otak), batas dalam berturut-turut dari atas ke bawah
diawali oleh kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong
(oval window), tingkap bundar (round window) dan promontorium. 4
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut Pars
flaksida (Membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars Tensa (membrane
propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit
liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa

2
saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang
terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier
dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam. 4
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut
umbo. Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut
inilah yang menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut. Membran
timpani dibagi dalam 4 kuadran dengan menarik garis searah dengan prosesus
longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga
didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah belakang,
untuk menyatakan letak perforasi membrane timpani. 4
Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun
dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran di dalam
telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membran
timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak
pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-
tulang pendengaran merupakan persendian. 4
Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada lamina
propria yang tipis yang melekat erat pada periosteum yang berdekatan. Dalam
telinga tengah terdapat dua otot kecil yang melekat pada maleus dan stapes yang
mempunyai fungsi konduksi suara. maleus, inkus, dan stapes diliputi oleh epitel
selapis gepeng. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Ditempat ini
terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah
dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah. 4
Telinga tengah berhubungan dengan rongga faring melalui saluran
eustachius (tuba auditiva), yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan
antara kedua sisi membrane tympani. Tuba auditiva akan membuka ketika mulut
menganga atau ketika menelan makanan. Ketika terjadi suara yang sangat keras,
membuka mulut merupakan usaha yang baik untuk mencegah pecahnya membran
tympani. Karena ketika mulut terbuka, tuba auditiva membuka dan udara akan

3
masuk melalui tuba auditiva ke telinga tengah, sehingga menghasilkan tekanan
yang sama antara permukaan dalam dan permukaan luar membran tympani. 4
2.1.3 Telinga dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran
dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak
koklea disebut holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala
vestibuli. Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. 4
Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala
timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala
vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi
endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membrane vestibuli (Reissner’s
membrane) sedangkan dasar skala media adalah membrane basalis. Pada membran
ini terletak organ corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang
disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri
dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ
corti. 4

Gambar 2.1. Anatomi telinga5

4
Gambar 2.2 Membran timpani6

2.2 Fisiologi Pendengaran


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang kekoklea.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga tengah
melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui
daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani
dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke
stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule
bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membran basilaris
dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan
terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis
yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke

5
nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39 - 40) di lobus
temporalis.4
2.3 Definisi kolesteatoma
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).
Kolesteatoma terdiri dari lapisan sel epitel dengan kumpulan debris keratin yang
berdiferensiasi, ”mirip dengan epidermis kulit. Komponen pentingnya terdiri dari
jaringan ikat subepitel dan perimatriks. Seluruh epitel kulit (keratinizing stratified
squamous epithelium) pada tubuh berada pada lokasi yang terbuka atau terpapar ke
dunia luar. Epitel kulit di liang telinga merupakan suatu daerah cul-de-sac sehingga
apabila terdapat serumen padat di liang telinga dalam waktu yang lama, maka dari
epitel kulit yang berada medial dari serumen tersebut seakan terperangkap sehingga
membentuk kolesteatoma. Kolesteatoma juga disebut sebagai "proses
penyembuhan luka kronis" yang menggantikan mukosa telinga tengah.1,2,7
2.4 Epidemiologi
Kolesteatoma merupakan penyakit penting dan relatif memiliki konsekuensi yang
serius. Sebuah studi telah menunjukkan bahwa 0,5% hingga 30% populasi dengan
otitis media kronis, diperkirakan lebih dari 20 juta orang di dunia terkena
dampaknya. Dari jumlah tersebut, seperempat (sekitar 5 juta) memiliki
kolesteatoma. Tingkat keparahan penyakit ini merupakan efek komplikasinya, yaitu
kompresi dan infeksi. Seiring waktu, kolesteatoma akan merusak telinga,
mengakibatkan gangguan pendengaran atau tuli pada sebagian besar pasien.8
2.5 Patogenesis
Terdapat dua jenis kolesteatoma yaitu kongenital dan didapat. Kolesteatoma
kongenital diyakini sebagai hasil dari perkembangan abnormal dari jaringan cabang
pertama yang menyimpan jaringan ektopik dalam tulang temporal atau intrakranial
terutama pada angulus serebelopontin. Kolesteatoma yang didapat berasal dari
telinga tengah atau mastoid dan berhubungan dengan otitis media dan disfungsi
tuba eustachius. Berbagai hipotesis telah disebutkan untuk menjelaskan patogenesis
kolesteatoma. Teori utama tersebut yaitu teori metaplasia, invaginasi, epithelial rest
theory dan implantasi.9,10

6
Teori metaplasia yaitu epitel yang terdeskuamasi bertransformasi menjadi
epitel skuamosa karena disebabkan oleh proses inflamasi. Teori invaginasi pada
kolesteatoma kongenital juga disebut "teori sinyal berhenti", dapat dipahami
sebagai migrasi yang menyimpang dari epitel kanal eksternal ke telinga tengah
sebagai akibat dari kesalahan perkembangan. Hal ini disebabkan oleh kegagalan
untuk menerima sinyal stop dari cincin timpani, yang bertindak sebagai 'barier'
dalam migrasi jaringan ektodermal dari saluran pendengaran ke telinga tengah.
Teori invaginasi pada kolesteatoma akuisital menjelaskan pembentukan
kolesteatoma atik. Retraksi pars flaksida karena tekanan negatif dari telinga tengah
menyebabkan migrasi epitel dan akumulasi debris keratin yang berskuamasi. Saat
kantung retraksi menekan semakin ke dalam, keratin yang mengalami deskuamasi
berakumulasi dan tidak dapat dikeluarkan dari kantung hingga membentuk inklusi
kolesteatoma.9,10
Epithelial rest theory, teori ini dipopulerkan oleh Teed pada tahun 1936
kemudian penemuan ini dikonfirmasi oleh Michaels pada tahun 1986. Teed
mengemukakan bahwa ia menemukan adanya sisa sel epitelial pada tulang temporal
fetus yang normalya menghilang pada minggu ke-33 gestasi. Adanya sel epitelial
tersebut menjadi pencetus terjadinya kolesteatoma kongenital. Sisa sel epitelial ini
ditemukan pada dinding lateral tuba eustachius, di bagian proksimal tympanic ring,
di kuadran anterosuperior dari telinga tengah. Pada teori implantasi atau teori
iatrogenik, kolesteatoma berkembang dari kulit yang secara tidak sengaja
terimplantasi di telinga tengah sebagai hasil dari pembedahan. Proses serupa dapat
dipertimbangkan untuk kasus pasca-trauma. 10,11
2.6 Pola pertumbuhan kolesteatoma
Pola pertumbuhan kolesteatoma ditentukan oleh lokasi asalnya. Situs yang paling
umum adalah pars flasida dan kuadran superior postero dari pars tensa, yang
berhubungan dengan area yang lebih lemah dari lamina propria membran timpani.
Jalur untuk perkembangan kolesteatoma bersifat spesifik dan tergantung pada
adanya hambatan yang terletak di telinga tengah. Biasanya, kolesteatoma mulai dari
pars flasida akan menyebar secara posterior, inferior, atau anterior, menghasilkan
berbagai komplikasi. Ketika berkembang secara posterior, dimulai dari ruang

7
Prussak dan kemudian tumbuh menuju ruang incudal superior, di atas dan lateral
terhadap kepala malleus dan corpus incus dan kemudian menuju aditus ad antrum
untuk memasuki sistem sel udara mastoid. Kolesteatoma kuadran postero superior
pars tensa langsung memasuki rongga timpani ke arah hipotimpanum atau sinus
timpani, dapat tumbuh ke depan menuju protimpanum, atau menyerang
epitimpanum dan mastoid.12
2.7 Klasifikasi kolesteatoma
Ada dua jenis kolesteatoma berdasarkan patogenesis penyakit: (1) kongenital, yang
spesifik untuk masa kanak-kanak, dan (2) akuisital atau didapat, yang dapat terjadi
pada masa anak-anak dan juga orang dewasa. Kolesteatoma kongenital terjadi
sebagai konsekuensi dari epitel skuamosa yang terjebak dalam tulang temporal
selama embriogenesis. Lokasi kolesteatoma biasanya di mesotimpanum anterior,
daerah petrosus mastoid atau di cerebellopontin angle. 1,2
Kolesteatoma akuisital primer merupakan kolesteatoma yang terbentuk
tanpa didahului oleh perforasi membran timpani. Kolesteatoma timbul akibat
proses invaginasi dari membran timpani pars flaksida karena adanya tekanan
negatif di telinga tengah akibat gangguan tuba. Kolesteatoma akuisital sekunder
merupakan kolesteatoma yang terbentuk setelah adanya perforasi membran
timpani. Kolesteatom terbentuk sebagai akibat masuknya epitel kulit dari liang
telinga atau dari pinggir perforasi membran timpani ke telinga tengah atau terjadi
akibat metaplasi mukosa kavum tymphani karena iritasi infeksi yang berlangsung
lama.1
2.8 Manifestasi klinis
Gejala khas dari kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa nyeri, yang terus-menerus
atau sering berulang. Ketika kolesteatoma terinfeksi, kemungkinan besar infeksi
tersebut sulit dihilangkan. Karena kolesteatoma tidak memiliki suplai darah
(vaskularisasi), maka antibiotik sistemik tidak dapat sampai ke pusat infeksi pada
kolesteatoma. Antibiotik topikal biasanya dapat diletakkan mengelilingi
kolesteatoma sehingga menekan infeksi dan menembus beberapa milimeter menuju
pusatnya, akan tetapi, pada kolestatoma terinfeksi yang besar biasanya resisten

8
terhadap semua jenis terapi antimikroba. Akibatnya, otorrhea akan tetap timbul
ataupun berulang meskipun dengan pengobatan antibiotik yang agresif. 13
Gangguan pendengaran juga merupakan gejala yang umum pada
kolesteatoma. Kolesteatoma yang besar akan mengisi ruang telinga tengah dengan
epitel deskuamasi dengan atau tanpa sekret mukopurulen sehingga menyebabkan
kerusakan osikular yang akhirnya menyebabkan terjadinya tuli konduktif yang
berat. Pusing adalah gejala umum relatif pada kolesteatoma, tetapi tidak akan terjadi
apabila tidak ada fistula labirin akibat erosi tulang atau jika kolesteatoma mendesak
langsung pada stapes footplate. Pusing adalah gejala yang mengkhawatirkan karena
merupakan pertanda dari perkembangan komplikasi yang lebih serius.13
2.9 Diagnosis
Diagnosis kolesteatoma pada dasarnya adalah klinis dengan pemeriksaan
mikroskop dan penilaian audiometri memainkan peran penting yang saat ini dapat
ditunjang oleh pencitraan CT scan. Namun dalam kasus kolesteatoma kongenital,
HRCT (high resolution CT) tulang temporal atau MRI tulang temporal diperlukan
untuk penegakkan diagnosis.12
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda yang paling umum dari
kolesteatoma yaitu drainase dan jaringan granulasi di liang telinga dan telinga
tengah yang tidak responsif terhadap terapi antimikroba. Suatu perforasi membran
timpani ditemukan pada lebih dari 90% kasus. Kolesteatoma kongenital merupakan
pengecualian, karena seringkali gendang telinga tetap utuh sampai komponen
telinga tengah cukup besar. Kolesteatoma yang berasal dari implantasi epitel
skuamosa kadangkala bermanifestasi sebelum adanya gangguan pada membran
tympani. Akan tetapi, pada kasus-kasus seperti ini, (kolesteatoma kongenital,
kolesteatoma implantasi) pada akhirnya kolesteatoma tetap saja akan menyebabkan
perforasi pada membran timpani.13
Seringkali satu-satunya temuan pada pemeriksaan fisik adalah sebuah
kanalis akustikus eksternus yang penuh terisi pus mukopurulen dan jaringan
granulasi. Kadangkala menghilangkan infeksi dan perbaikan jaringan granulasi
baik dengan antibiotik sistemik maupun tetes antibiotik ototopikal sangat sulit

9
dilakukan. Apabila terapi ototopikal berhasil, maka akan tampak retraksi pada
membran tympani pada pars flaksida atau kuadran posterior. 13
Pada kasus yang amat jarang, kolesteatoma diidentifikasi berdasarkan salah
satu komplikasinya, hal ini kadangkala ditemukan pada anak-anak. Infeksi yang
terkait dengan kolesteatoma dapat menembus korteks mastoid inferior dan
bermanifestasi sebagai abses di leher. Kadangkala, kolesteatoma bermanifestasi
pertama kali dengan tanda-tanda dan gejala komplikasi pada susunan saraf pusat,
yaitu; trombosis sinus sigmoid, abses epidural, atau meningitis.13

Gambar 2.3. Pemeriksaan otoskopi membran timpani pada kolesteatoma


kongenital.10

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto rontgen mastoid, CT scan,


atau MRI. CT scan direkomendasikan sebagai bagian dari pemeriksaan awal pada
kolesteatoma telinga tengah. CT scan resolusi tinggi (HRCT) dilakukan dengan
akuisisi heliks dan tanpa injeksi kontras. Gambar aksial dan koronal harus bilateral,
untuk memungkinkan analisis komparatif. Diagnosis kolesteatoma biasanya
didasarkan pada otoskopi dibandingkan pencitraan, yang, bagaimanapun, dapat
memberikan konfirmasi dalam presentasi atipikal dan sangat penting untuk
mendiagnosis kolesteatoma yang berkembang di belakang membran timpani yang
intak. Dua tanda kardinal pada CT adalah massa jaringan lunak nodular dan

10
biasanya terkait dengan daerah osteolisis yang berdekatan (yang menjadi tempat
komplikasi).14

Sebagian besar laporan terbaru merekomendasikan CT scan sebagai bagian


dari pemeriksaan pra-operasi pada kolesteatoma telinga tengah. Para ahli telah
menganggap bahwa CT tulang temporal tanpa kontras harus menjadi bagian dari
prosedur pra-operasi sistematis pada kolesteatoma telinga tengah. Penilaian
pencitraan pra-operasi secara sistematis direkomendasikan untuk menentukan
ekstensi kolesteatoma, skrining untuk komplikasi, menilai anatomi rongga
timpanomastoid dan mengkonfirmasi diagnosis pada kasus-kasus langka di mana
otoskopi terbukti tidak meyakinkan.14

Teknik MRI optimal tergantung pada situasi klinis dan usia pasien.
Pencitraan kontras bidang-kekuatan-tinggi, peningkatan kontras pada bidang aksial
dan koronal telah dianggap sebagai standar kriteria untuk evaluasi kanal auditori
internal dan struktur telinga bagian dalam. Audiometri sedapat mungkin harus
dilakukan sebelum operasi. Konduksi udara dan tulang, ambang penerimaan suara,
dan skor diskriminasi bicara semua harus ditentukan dalam beberapa minggu
sebelum prosedur operasi yang diusulkan.13,15

2.10 Manajemen
Hampir semua kolesteatoma ditatalaksana dengan operasi. Manajemen konservatif
diikuti selama durasi yang pendek dalam kasus-kasus tertentu. Dalam kasus di
mana pasien datang dengan mastoiditis akut dengan abses post-aural, abses harus
diinsisi dan diirigasi. Pembedahan mastoid tidak boleh dilakukan selama tahap akut
ini karena pada sebagian besar kasus pasien sedang terinfeksi. Setelah sayatan dan
drainase abses pasien harus tetap menggunakan antibiotik selama 2 minggu, kondisi
umum membaik dan kemudian menjalankan operasi mastoidektomi radikal klasik.
Pada mastoditis kronis dengan fistula post-aural, prosedur bedah yang dilakukan
adalah sama, namun antibiotik spektrum luas harus disiapkan untuk waktu yang
lama. Kolesteatoma sekunder yang didapat merupakan kolesteatoma yang paling
umum dan diagnosis ditegakkan selalu secara klinis.12

11
Tujuan manajemen bedah otitis media kolesteatomatosa kronis yaitu untuk
mengeradikasi penyakit, mengisolasi telinga tengah dari luar (secara anatomis) atau
mendapatkan rongga di telinga tengah yang dikeringkan dan dilapisi oleh
mucoperiosteum yang layak dengan stabil dan gendang telinga dalam posisi yang
baik serta peningkatan fungsi pendengaran dengan merekonstruksi membran
timpani. Manajemen bedah kolesteatoma masih menjadi kontroversial. Konsep
klasik didasarkan pada manajemen bedah mikroskopis, seperti klasifikasi
tradisional timpanoplasti terbuka canal wall down (CWD) dan timpanoplasti
tertutup canal wall up (CWU), tergantung pada kualitas dinding saluran telinga
posterior.16

Ahli THT dapat memilih teknik tertutup dengan rekonstruksi telinga tengah
atau teknik terbuka dengan meatokonkoplasti. Saat ini, tidak pasti teknik mana yang
digunakan, karena teknik tertutup (canal wall up, CWU) dengan rekonstruksi
mempertahankan dinding posterior kanalis auditorius eksternal dan pada operasi
yang sama mencapai pemulihan anatomi tetapi memiliki efektivitas yang terbatas
dalam mengatasi kolesteatoma. Teknik terbuka disertai meatokonkoplasti, di mana
dinding posterior kanalis auditorius eksternal dihilangkan, dapat sepenuhnya
memberantas infeksi karena adanya paparan struktur telinga ke luar. Namun, gagal
mengembalikan struktur anatomi dan fungsi pendengaran. Untuk menyelesaikan
masalah ini, telah dikembangkan teknik bedah yang dimodifikasi yaitu teknik
terbuka (canal wall down, CWD) dengan rekonstruksi, yang menghilangkan
dinding posterior kanalis auditorius eksternal dan kemudian merekonstruksinya
bersama dengan telinga tengah.16,17

Teknik bedah untuk operasi kolesteatoma terdiri dari (1) Pendekatan antero-
posterior; (2) Posterior timpanotomi; (3) Pendekatan kombinasi; (4) Rekonstruksi
dinding posterior.12

12
2.4. Mastoidektomi radikal dengan pendekatan postero anterior12

2.5. Timpanotomi posterior12

13
2.6. Rekronstruksi dinding posterior kanalis auditorius eksternal.12

2.11 Pencegahan
Kolesteatoma kongenital, didefinisikan sebagai lesi massa warna putih yang berada
di telinga tengah dan berada di belakang membran timpani yang intak pada awal
kehidupan, jenis ini merupakan penyakit yang relatif jarang. Istilah bawaan telah
digunakan secara konvensional karena patogenesis kolesteatoma kongenital tetap
tidak jelas dan hipotesis berkisar dari pembentukan selama masa embrio sampai
kondisi yang didapat pada bayi. Lesi ini mungkin telah dikaitkan dengan riwayat
otitis media akut, otitis media dengan efusi, otorrhea singkat, atau myringotomi. 18

Diagnosis dini dan intervensi secara dini telah ditekankan karena deteksi
yang terlambat memungkinkan terkait dengan penyakit yang luas. Penyakit
komplikasi telah diamati pada anak yang lebih dewasa; dan kekambuhan telah
dikaitkan dengan penyakit komplikasi, menunjukkan bahwa pertumbuhan lesi dan
perkembangan penyakit dikaitkan dengan usia. Berlalunya waktu tidak hanya
mempengaruhi pasien akan tetapi pemahaman tentang sifat penyakit. Luasnya lesi
dan infiltrasi pada pasien dengan komplikasi dapat menyebabkan ketidaktahuan
asal kolesteatoma tersebut sehingga deteksi dini mengenai kolesteatoma harus

14
dilakukan sebelum bermanifestasi menjadi penyakit komplikasi dari
kolesteatoma.18

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Zainul AD, Helmi, Ratna DR. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed VI. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. Hlm 64-75.
2. Kuo CL, Shiao AS, Yung M, Sakagami M, Sudhoff H, Wang CH, et al.
Updates and Knowledge Gaps in Cholesteatoma Research. Biomed Res Int.
2015; 2015: 1-17
3. Rutkowska J, Özgirgin N, Olszewska E. Cholesteatoma De nition and Classi
cation: A Literature Review. J Int Adv Otol. 2017; 13(2): 266-71.
4. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran (Tuli).
Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R.D. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed VI. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. Hlm 10-6.
5. Richard MR, Jennifer JS, Seth RS, Robyn C, Lisa G, Jesse MH, et al. Clinical
Practice Guideline: Otitis Media with Effusion (Update). Otolaryngol Head
Neck Surg. 2016; 154(1S): S1–S41
6. Netter. Right tymoanic membrane. [online]. Accessed on July 2018. Available
at: https://www.netterimages.com/right-tympanic-membrane-labeled-florin-
61357.html
7. Hamed MA, Nakata S, Sayed RH, Ueda H, Badawy BS, Nishimura Y, et al.
Pathogenesis and Bone Resorption in Acquired Cholesteatoma: Current
Knowledge and Future Prospectives. Clin Exp Otorhinolaryngol. 2016; 9(4):
298-308.
8. Aquino J, Filho N, Aquino JN. Epidemiology of middle ear and mastoid
cholesteatomas. Study of 1146 cases. Braz J Otorhinolaryngol.
2011;77(3):341-47.
9. Waidyasekara P, Dowthwaite S, Stephenson E, Bhuta S, McMonagle B.
Massive Temporal Lobe Cholesteatoma. Case Rep Otolaryngol. 2015; 2015:
1-4.
10. Hong SM, Lee JH, Park CH, Kim HJ. Congenital Cholesteatoma Localized
to the Tip of the Mastoid Bone: A Case Report and Possible Etiology. Korean
J Audiol. 2014;18(2):85-8.
11. Karnik P, Matta I, Chhapola S. Etiopathology of acquired cholesteatoma.
Indian J Otology. 2011; 17(2): 54-7.
12. Pusalkar AG. Cholesteatoma and Its Management. Indian J Otolaryngol Head
Neck Surg.2015; 67(3):201–4.
13. Roland PS. Cholesteatoma Clinical Presentation. [online]. Accessed on 2018.
Available at: https://emedicine.medscape.com/article/860080-clinical
14. Ayachea D, Darrouzetb V, Dubrullec F, Vincentd C, Bobine S, Williamsf M,
et al. C. Imaging of non-operated cholesteatoma: Clinical practice guidelines.
Eur Ann Otorhinolary, Head Neck dis. 2012; 129: 148—152.
15. Waizel HS. Acquired Temporal-Bone Cholesteatoma Imaging. [online].
Accessed on 2018. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/384879-overview#a4

16
16. Presutti L, Gioacchini FM, ALicandri M, Villari D, Marchioni D. Results of
endoscopic middle ear surgery for cholesteatoma treatment: a systematic
review. ACTA Otorhinolary Italica 2014;34: 153-7.
17. Blanco P, González F, Holguín J, Guerra C. Surgical management of middle
ear cholesteatoma and reconstruction at the same time. Colombia Médica.
2014; 45(3): 127-131.
18. Lim HW, Yoon TH, Kang WS. Congenital cholesteatoma: clinical features
and growth patterns. Am J Otolaryngol. 2012; 33(5): 538–42.

17

Anda mungkin juga menyukai