Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

Sinusitis Jamur

Pembimbing :

--- Sp.THT-KL

Penyusun :

-, S.Ked

030.--.---

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ---

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ----

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ------------

PERIODE -----

KATA PENGANTAR

1
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Sinusitis Jamur” tepat pada
waktunya. Penyusunan referat ini ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan
dalam menempuh kepaniteraan klinik di bagian Ilmu -----. Penulis mengucapkan terima kasih
sebesar besarnya kepada:

1. Dr.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, hal tersebut tidak lepas dari
segala keterbatasan kemampuan yang peneliti miliki. Oleh karena itu bimbingan dan kritik yang
membangun dari semua pihak sangatlah diharapkan

Jakarta, November 2018

Penulis

LEMBAR PENGESAHAN

2
REFERAT DENGAN JUDUL

“Sinusitis jamur”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ---

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ----

Jakarta, November 2018

Koorpanit

DAFTAR ISI
BAB I 5

3
PENDAHULUAN 5
1.1 Latar belakang 5
BAB II 6
TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Anatomi6
2.2 Definisi 7
2.3 Etiologi 7
2.4 Faktor Predisposisi 7
2.5 Gejala Klinis 8
2.6 Diagnosis 10
2.6.1 Anamnesis.....................................................................................................................10
2.6.2 Pemeriksaan fisik..........................................................................................................10
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang................................................................................................11
2.7 Diagnosis Banding 15
2.8 Penatalaksanaan 18
2.8.1 Medikamentosa.............................................................................................................18
2.8.2 Manajemen Pembedahan..............................................................................................18
BAB III 20
KESIMPULAN 20
3.1 Kesimpulan 20
DAFTAR PUSTAKA 21

4
BAB I

PENDAHULUAN

Sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus. Beberapa penyebab dapat menjadi
pencetus terjadinya sinusitis, salah satunya adalah jamur, selain ada pula penyebab lain seperti
bakteri, ataupun virus.1

Jamur adalah suatu organisme yang mirip seperti tumbuhan namun tidak memiliki klorofil yang
cukup oleh karena mereka tidak memiliki klorofil, jamur harus menyerap makanan dari bahan-
bahan organik yang telah mati. Infeksi jamur pada sinus paranasal jarang terjadi dan biasanya
terjadi pada individu dengan system imun tubuh yang kurang. Namun, baru-baru ini, terjadinya
sinusitis jamur telah meningkat pada populasi imunokompeten.1, 2, 3

Prevalensi tinggi rinosinusitis jamur dalam sebuah penelitian sekitar sebanyak 30%
disebabkan oleh tingginya prevalensi diabetes melitus tipe 2. (prevalence)

Insiden penyakit tidak diketahui dan tampaknya mencapai hingga 10% kasus pembedahan, [3]
namun, infeksi campuran bakteri dan jamur mewakili 13% - 28,5% dari semua kasus sinusitis
maksila. (investigation)

Insidensi sinusitis jamur mempunyai angka yang beragam diseluruh dunia, di Eropa Grigoriu et
al mendapatkan 81 kasus infeksi disebabkan jamur diantara 600 kasus rinosinosinositis maksila
kronis, sedangkan di Asia, Chakrabarti et al mendapatkan 50 kasus ( 42 % ) kasus rinosinositis
disebabkan infeksi jamur diantaranya 199 pasien. Sedangkan See Goh et al di Malaysia
mendapatkan 16 kasus infeksi jamur pada 30 pasien sinusitis maksilaris kronis.2

Infeksi sinus oleh jamur jarang terdiagnosis karena sering luput dari perhatian. Penyakit ini
mempunyai gejala yang mirip dengan sinusitis kronik yang disebabkan oleh bakteri, adakalanya
gejala yang timbul non-spesifik, bahkan tanpa gejala, oleh karenanya pemahaman lebih
mendalam terhadap infeksi ini akan sangat membantu dalam menegakan diagnosis dan
penentuan penatalaksanaan yang akan dilakukan.1, 3
5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi sinus paranasal

Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga
di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid,
dan sinus sfenoid kanan dan kiri.1

Sinus paranasal terbagi menjadi sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus
sfenoid. Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus
ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,
dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke
hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.1

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah 1) dasar sinus
maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu (P1 dan P2), molar (M1 dan M2),
kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat
menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas dan menyebabkan
sinusitis; 2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita; 3) Ostium sinus maksila
terletak lebih tinggi dari dasar sinus sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula
drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus

6
etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi
drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.1

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal
dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal
mulai berkembang pada usia 6-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan
dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalisnya tidak berkembang.1

Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus
frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-
septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus.
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase
melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum
etmoid.1

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan dianggap paling
penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa
bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari
anterior ke posterior 4-5 cm, tingginya 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm
di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka
media dan dinding medial orbita. 1

Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di
meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan
sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan
sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum,
tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal
dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan
sinusitis maksila.1
7
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa.
Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari
rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus
etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.1

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid
dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya,
dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Batas-
batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisis, sebelah
inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a. karotis
interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa
serebri posterior di daerah pons.1

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara- muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit,
dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM) terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di
belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila. 1

Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir
di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium
alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung
terdapat 2 aliran transpor mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior
yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis,
dialirkan ke nasofaring di postero- superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati
sekret pasca-nasal (post nasal drpi), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.1

2.2 Fisiologi sinus paranasal

Secara fisiologis sinus paranasalis memiliki peran yang sangat penting bagi manusia. Beberapa
fungsi sinus paranasal, antara lain (1) sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning). Sinus
berfungsi sebagai ruang tambahan untuk mamanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi.

8
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali
bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus; (2)
Sebagai panahan suhu (thermal insulators), sinus paranasal berfungsi sebagai (buffer) panas,
melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah; (3) Membantu
keseimbangan kepala. Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini tidak dianggap bermakana;
(4) Membantu resonansi udara. Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi udara
dan mempengaruhi kualitas udara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya
tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif; (5) Sebagai peredam
perubahan tekanan udara. Fungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin dan beringus; (6) Membantu produksi mukus. Mukus
yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari
rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dalam udara.1

2.3 Definisi sinusitis jamur


Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang tidak jarang
ditemukan. Angka kejadiannya meningkat dengan meningkatnya pemakaian antibiotik,
kortikosteroid, obat imunosupresan dan radioterapi. Kondisi yang merupakan predisposisi
antara lain diabetes melitus, neutropenia, penyakit AIDS dan perawatan lama di rumah
sakit. (buku ajar)
2.4 Epidemiologi
2.5 Etiologi
Aspergilus merupakan jamur yang paling sering menyebabkan sinusitis jamur. Jamur lainnya
yang sering yaitu Rhizopus, Mucor, Cladosporium dan Candida.(indian)
2.6 Klasifikasi (eytan)
Sinusitis jamur secara luas diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar; bentuk invasif dan
noninvasif. Meskipun sinusitis jamur dapat disebabkan oleh semua jenis jamur, sebagian
besar etiologi sinusitis jamur ialah Aspergillus. Bentuk invasif dibedakan dari noninvasif
berdasarkan pada unsur jamur yang berada di luar sinus paranasal. Meskipun perbedaan

9
antara bentuk invasif dan noninvasif dianjurkan berdasarkan presentasi klinis, modalitas
radiologi dan konfirmasi histopatologi juga diperlukan.
Pasien dengan sinusitis jamur noninvasif biasanya disebabkan oleh sinusitis kronis yang
gagal merespon dengan antibiotik berulang dan pembedahan. Sinusitis jamur invasif biasanya
terjadi dengan onset akut ditandai dengan demam, batuk, dan kadang-kadang ulserasi mukosa
hidung. Biasanya bentuk invasif ini terlihat pada pasien imunokompromais. Terdapat sinusitis
jamur invasif yang kronis penyakit invasif yang dapat memiliki presentasi klinis yang tidak
berbahaya, tetapi biasanya menunjukkan perburukan gejala secara progresif dengan kecurigaan
terlibatnya struktur anatomi sekitar, seperti gangguan penglihatan yang menunjukkan adanya
invasi orbital.
2.6.1 Sinusitis jamur non-invasif
Sinusitis jamur alergik merupakan bentuk sinusitis jamur yang paling umum dan sering terjadi
pada iklim yang lembap. Insiden sinusitis jamur alergik secara keseluruhan diperkirakan
sebesar 5% hingga 10% dari semua kasus penyakit sinus hipertrofi yang akan melalui
tahap pembedahan. Sinusitis jenis ini pertama kali dilaporkan sebagai aspergilosis alergi
oleh Millar dan rekan pada tahun 1981 yang menemukan persamaan karakteristik eksudat
sinus yang mengandung jamur pada sinusitis jamur dengan yang ditemukan pada bronkus
pasien yang terkena aspergillosis bronkopulmonal alergika.
Sinusitis jamur alergik mengacu pada proses patologi non-invasif seperti mukus dan
debris yang dihasilkan dari respon alergi terhadap kolonisasi jamur di dalam rongga sinus. Perlu
dicatat bahwa jumlah elemen jamur dalam sinus yang terinfeksi bervariasi, seringkali hanya
sedikit. Proses inflamasi sekunder yang dihasilkan tidak bergantung pada jumlah jamur yang ada.
Oleh karena itu, peran jamur dalam awal mula patogenesis penyakit ini kontroversial dan oleh
beberapa orang dianggap tidak langsung mempengaruhi patogenesisnya.
Aspergiloma atau yang disebut sebagai bola jamur, dilaporkan memiliki kumpulan gejala
klinis dan bentuk yang berbeda dari penyakit jamur noninvasif lainnya. Aspergiloma mengacu
pada pertumbuhan hifa jamur yang menghambat di rongga sinus sampai massa terbentuk. Pasien
yang terkena aspergiloma merupakan pasien imunokompeten, nonatopik, dan sehat. Beberapa
penelitian telah melaporkan bahwa penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita yang lebih tua.

10
Namun dapat mempengaruhi pasien dari semua usia. Sinus maksila merupakan lokasi yang
paling umum. Proses patofisiologi yang berperan ialah mekanisme pembersihan mukosiliar.
2.6.2 Sinusitis jamur invasif
Sinusitis jamur invasif terdiri dari sinusitis jamur invasif akut, kronis dan sinusitis jamur invasif
granuloma. Sinusitis jamur invasif akut merupakan infeksi jamur pada rongga hidung dan
sinus paranasal dengan onset yang cepat yaitu kurang dari 4 minggu. Terdapat hubungan
invasif antara unsur jamur dengan pembuluh darah dan jaringan lunak sekitarnya. Pasien
yang terinfeksi akan mengeluh sakit berat dan menunjukkan gejala imunokompromais.
Pasien dengan sinusitis jenis ini biasanya memiliki imunitas yang rendah, terutama
gangguan fungsi netrofil, keganasan darah, anemia aplastik, hemokromatosis, diabetes
yang tidak terkontrol, tranplantasi organ, dan pasien yang sedang mengkonsumsi obat
imunosupresan seperti steroid sistemik. Namun, pasien dengan sistem imun yang baik juga
dapat mengalami sinusitis jenis ini.
Sinusitis jamur invasif kronis merupakan infeksi jamur pada rongga hidung dan sinus
paranasal dengan onset lebih dari 4 minggu hingga 12 minggu. Memiliki persamaan dengan
Sinusitis jamur invasif akut, sinusitis jamur invasif kronis sering terjadi pada pasien dengan
status imunokompromais seperti pada diabetes melitus yang tidak terkontrol atau yang sedang
mengkonsumsi obat imunosupresan seperti steroid sistemik.
Granuloma sinusitis jamur invasif sama seperti sinusitis jamur invasif kronis yang
memiliki onset progresif. Pasien dengan sinusitis ini biasanya imunokompeten dan disertai
sinusitis kronik. Sinusitis jenis ini memiliki prevalensi tinggi di Afrika dan Asia Tenggara.
Etiologi dari sinusitis ini ialah genus Aspergillus.

2.7 Patogenesis
Spora dari berbagai jamur ditemukan di seluruh lingkungan dan paparan jamur adalah umum.
Barang-barang seperti buah yang membusuk, sayuran, tanaman, tanah, roti tua, dan pupuk
kandang semua bisa membawa spora jamur. Namun, infeksi sering dihindari ketika pasien
immunocompentent. Infeksi jamur yang agresif dan mempengaruhi pasien yang terjangkit
imunokompromasi adalah spesies dari genus Aspergillus dan ordo Mucorales, yang
meliputi Absidia, Mucor, Rhizomucor, dan Rhizopus. Mucor telah sangat terkait dengan

11
menginfeksi pasien ketoasidosis diabetik.6 Mucor dan Aspergillus menyebar dengan
menyerang pembuluh darah arteri. Nekrosis jaringan sekunder akibat aliran darah
terhalang menyebabkan jaringan infark yang pucat, abu-abu, atau hitam. Infeksi juga dapat
menyebabkan invasi perineural dan menyebar ke seluruh jaringan jaringan. Tanpa sistem
kekebalan yang berfungsi dengan baik, infeksi dibiarkan tanpa hambatan dan dapat terus
berlanjut ke struktur yang lebih vital. (invasive)

2.8 Gejala Klinis

Alergi sinusitis jamur (AFS) adalah reaksi hipersensitivitas terhadap alergen jamur termasuk
antigen permukaan dan metabolit jamur di mukosa saluran sinonasal pada individu atopik.
Manifestasi klinis hadir dengan tanda-tanda yang berbeda yang mengandung hidung
tersumbat, deformitas wajah, diplopia, kerusakan osteolitik, dan belitan dasar tengkorak.
[2] Insiden penyakit tidak diketahui dan tampaknya mencapai hingga 10% kasus
pembedahan, [3] namun, infeksi campuran bakteri dan jamur mewakili 13% - 28,5% dari
semua kasus sinusitis maksila. [4] Diagnosis AFS didukung oleh adanya mucin alergi
menebal yang secara kasar terbukti pada operasi dan pewarnaan histopatologi positif untuk
hifa jamur. [5] Jamur bola adalah jenis sinusitis jamur kronis noninvasif tanpa menebal
musin alergi. Ini terdiri dari hifa jamur, fibrin, sel inflamasi, puing tak berbentuk, dan
lendir di rongga paru. Biasanya muncul pada sinus maksilaris dan sphenoid. (investigation)

2.9 Diagnosis

12
Riwayat yang baik bersama dengan gejala penyakit sistemik apa pun harus diperoleh. Seorang
pasien sinusitis yang tidak menanggapi antibiotik konvensional harus membangkitkan
penahanan. Endoskopi nasal diagnostik harus dilakukan dan seseorang harus mencari
mucin alergi, kotoran berwarna kehitaman / kecoklatan, erosi palatum, mukosa hidung
pucat / gelap dll. Biakan jamur dan biopsi adalah andalan dalam diagnosis. Budaya yang
digunakan adalah media sabauraud. CT scan non kontras pada tahap awal menyerupai
sinusitis rhino kronis yang menunjukkan penebalan mukosa yang hipo dilemahkan. Pada
kasus kronis, penumpukan jaringan lunak yang hiper dapat dilihat pada satu atau lebih
sinus. Sering memberikan massa seperti penampilan menyerupai keganasan dengan
kehancuran dan erosi dinding tulang sinus dan ekstensi ke jaringan sekitarnya. (indian)

Semua pasien menjalani endoskopi nasal diagnostik untuk menyingkirkan variasi anatomis dari
kompleks osteomeatal, adanya polip, dan cairan hidung. Spesimen untuk kultur jamur
dan pemeriksaan patologis diperoleh dengan diagnostik endoskopi hidung dan selama
operasi. Penyeka hidung dari meatus tengah dikenakan kalium hidroksida gunung, dan,
jika elemen jamur diidentifikasi, maka budaya jamur dilakukan. (prevalence)

Pencitraan radiografi dan computed tomography hidung dan sinus paranasal dilakukan di semua
kasus rinosinusitis jamur untuk menilai patensi kompleks osteomeatal, keterlibatan sinus, dan
erosi tepi tulang atau ekspansi rongga sinus. (prevalence)

Kriteria diagnostik yang diusulkan untuk IFRS termasuk (1) penebalan mukosa atau tingkat
cairan udara yang konsisten dengan sinusitis pada pencitraan dan (2) bukti histopatologi dari hifa
jamur dalam mukosa sinus, submukosa, pembuluh darah, atau tulang.3 Pemeriksaan fisik dan
endoskopi hidung adalah penting untuk mencari tanda-tanda edema yang signifikan, pucat,
iskemia, atau nekrosis mukosa sinus hidung dan paranasal. Membayangkan, bersama dengan
pemeriksaan fisik dan endoskopi dengan biopsi, sangat penting dalam penyusunan IFRS.
(invasive)

2.7 Diagnosis Banding

2.8 Penatalaksanaan

13
Dalam kasus bola jamur (fungus ball), tatalaksana pilihannya ialah pembedahan dengan bantuan
endoskopi. Untuk kasus rinosinusitis jamur invasif, pengobatan termasuk kombinasi
debridemen dengan endoskopi, diikuti oleh terapi anti jamur. Terapi anti jamur termasuk
penggunaan amfoterisin B dan itrakonazol intravena. Amfoterisin-B parenteral adalah obat
pilihan untuk rinosinusitis jamur invasif; dosis dititrasi berdasarkan pemantauan
berdasarkan parameter fungsi ginjal dan elektrolit. (prevalence, eytan)

Pengobatan IFRS terdiri dari (1) membalikkan imomosupresi yang mendasarinya, (2) terapi
antijamur, dan (3) debridemen bedah agresif. Meningkatkan jumlah neutrofil mutlak pada
mereka dengan neutropenia kuantitatif merupakan langkah penting dalam pengobatan penyakit
jamur invasif. Peningkatan manajemen diabetes dan kontrol gula darah yang berfluktuasi sangat
penting untuk membantu pasien yang menderita IFRS sekunder akibat ketoasidosis diabetik
mereka. Prognosis sangat buruk jika respon imun pejamu tidak membaik.(invasive)

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,


Bashiruddin J, Restuti R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Ed VI. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2010. Hlm 145-153.
2.

14

Anda mungkin juga menyukai