Anda di halaman 1dari 18

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1. Difficult Airway
1.1 Definisi

Difficult airway (Kesulitan Jalan Napas), menurut The American Society of


Anesthesiology (ASA) 2003 adalah adanya situasi klinis yang menyulitkan baik ventilasi
dengan masker atau intubasi yang dilakukan oleh dokter anestesi yang berpengalaman dan
terampil.

1.2 Jenis Kesulitan Jalan Napas


Menurut ASA jenis kesulitan jalan napas dibagi menjadi 4 :
 Kesulitan ventilasi dengan sungkup atau supraglottic airway (SGA)
Ketidakmampuan dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk menjaga SO2 > 90 % saat
ventilasi dengan menggunakan masker wajah dan O2 inspirasi 100%, dengan ketentuan
bahwa tingkat saturasi oksigen pra ventilasi masih dalam batas normal.
 Kesulitan dilakukan laringoskopi
Kesulitan untuk melihat bagian pita suara, setelah dicoba beberapa kali dengan
laringoskop sederhana.
 Kesulitan intubasi trakea
Dibutuhkannya lebih dari 3 kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang terakhir lebih
dari 10 menit
 Kegagalan intubasi
Penempatan ETT gagal setelah beberapa kali percobaan intubasi.
1.3 Etiologi & Faktor Resiko

Tabel 1. Sindrom yang berperan sebagai penyulit dalam tatalaksana jalan napas.

Keadaan Patologis Keadaan Klinis yang Mempengaruhi Jalan Napas

1
Kongenital

Sindroma Pierre Robin Micrognasia, makroglossia, glossoptosis, cleft soft palate

Sindroma Treacher Collins Defek telinga dan mata, hipoplasi malar dan mandibula,
(dysostosis mandibulofacial) mikrostomia, atresia choane

Sindroma Goldenhar’s Defek telinga dan matal; hipoplasia malar dan mandibula;
(okulo-aurikula-vertebral) oksipitalisasi tulang atlas

Sindroma Down Jembatan hidung tidak terbentuk dengan baik;


makroglosia;mikrosefalus;kelainan tulang servikal

Penyatuan tulang servikal, terbatasnya gerakan leher


Sindrom Klippel-Feil

Hipoplasia maksila; cleft soft palate; kelainan tulang rawan


Sindrom Alpert
di tracheobronchial
Sindrom Beckwith (infantile
Makroglossia
gigantisme)
Lesi menyerupi tumor di mandibula dan maksila di rongga
Cherubism
mulut
Cretinismus
Hilangnya jaringan thiroid; makroglossia; goiter; penekanan
pada trakhea, deviasi laryng atau trakhea

Sindrom Cri du Chat Abnormalitas kromosom 5P; mikrosepal; mikrognathia;


laryngomalacia, stridor

Sindrom Meckel
Mikorsepalus, mikrognasia, celah pada epiglotis

Von Recklinghausen disease

2
Sindrom Hurler Meningkatnya kejadian pheochromocytoma; tumor dapat
muncul di laryng dan

Kaku sendi, obstruksi saluran napas atas akibat infiltrasi


Sindrom Hunter
jaringan limfoid; abnormalitas kartilago trakeobronkial;
ISPA berulang

Sindrom Pompe Sama dengan sindrom Hurler, tetapi lebih berat; pneumonia

DIDAPAT Deposit otot, makroglossia

Infeksi

Supraglotis

Croup Edema laryng

Abses (intraoral, Edema laryng


retrofaringeal)
Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus

Infeksi virus kronis yang membentuk papiloma yang


Papilomatosis obstruktif, terutam di suprlagotis. Perlu pembedahan.

Ludwig’s Angina Dapat berpindah ke subglotis setelah trakeostomi.

Arthritis Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus

Rheumatoid arthritis

Spondilitis ankilosis Ankilosis sendi temporomandibula, artritis krikoarytenoid,


deviasi laryng, terbatasnya gerakan leher

Ankilosis tulang servikal, jarang terjadi di daerah


Tumor Jinak
temporomandibula, terbatasnya gerakan leher.
Kistik higroma,lipoma,
adenoma, goiter
Stenosis atau distorsi jalan napas

3
Tumor Ganas

Karsinoma lidah, laryng,


thiroid
Stenosis atau distorsi jalan napas; laryng terfiksasi oleh
Trauma jaringan fibrosis akibat radias

Trauma kepala, wajah, tulang


servikal
Rhinorrhea, edema saluran napas, perdarahan, fraktur
maksila dan mandibula, kerusakan laryng, dislokasi
vertebra servikal
Lain-lain

Obesitas
Leher pendek dan tebal, lidah yang besar
Akromegali
Makroglossia, prognatismus
Combustio
Edema saluran napas 2,3

1.4 Diagnosis

 Anamnesis

Evaluasi preoperatif harus mencakup anamnesa atau riwayat terutama yang


berhubungan dengan jalan napas atau gejala-gejala yang berhubungan dengan saluran
pernapasan atas. Bila mungkin, perlu dilakukan dokumentasi terhadap masalah-masalah
yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas. Tanda dan gejala yang berhubungan
dengan jalan napas harus dijelaskan misalnya snoring atau mengorok (misalnya pada sleep
apnea yang obstruktif), gigi terkikis, perubahan suara, disfagi, stridor, nyeri servikal atau
pergerakan leher yang terbatas, neuropathi ekstremitas atas, nyeri atau disfungsi sendi
temporo-mandibular dan nyeri tenggorokan atau rahang yang berlangsung lama setelah
pembiusan. Banyak kelainan kongenital dan gejala yang didapat , berhubungan dengan
penyulit tatalaksana jalan napas.

4
 Pemeriksaan Fisik
Penilaian Kesulitan Ventilasi: (OBESE)
 Over weight (body mass index > 26 kg/m2)
 Beard
 Elderly (> 55 tahun)
 Snoring
 Edentulous

Tanda kegagalan ventilasi:


- Tidak adekuat atau tidak adanya gerakan dinding dada
- Berkurangnya atau tidak adanya suara napas
- Pada auskultasi ditemukan tanda obstruksi
- Sianosis
- Dilatasi lambung atau meningkatnya udara lambung
- Berkurangnya atau tidak adanya saturasi oksigen
- Berkrangnya atau tidak adanya pengeluaran karbondioksida
- Berkurangnya atau tidak adanya hembusan udara pada spirometri
- Perubahan hemodinamik, hipoksia atau hiperkarbia

Penilaian Kesulitan Intubasi

Salah satu alat yang dikembangkan untuk menentukan pasien mungkin


menimbulkan kesulitan manajemen jalan nafas adalah metode LEMON. Skoring ini
dinilai dengan nilai minimum 0 (sedikit sulit intubasi) dan maksimal 10 (lebih sulit
intubasi).

5
L = Look externally

Melihat adanya hal-hal yang menyebabkan pasien membutuhkan tindakan


ventilasi atau intubasi dan evaluasi kesulitan secara fisik, misalkan leher pendek, trauma
facial, gigi yang besar, kumis atau jenggot, atau lidah yang besar.

E = Evaluate 3 – 3 – 2 rule

3 – 3 – 2 rule adalah penentuan jarak anatomis menggunakan jari sebagai alat


ukur untuk mengetahui seberapa besar bukaan mulut.

i. Jarak antar gigi seri: mulut pasien dibuka cukup untuk memungkinkan penempatan
tiga jari di antara gigi atas dan bawah
ii. Jarak hyomental: 3 jari dimensi mandibula (jarak antara mentum dan tulang hyoid)
iii. Jarak tyromental: Jarak kartilago tiroid adalah 2 jari di bawah tulang hyoid

Interincisor Gap (≥3 jari lebar = 0 poin, ≤2 jari lebar = 1 point), Jarak Hyomental
(≥ 3 jari lebar = 0 titik, ≤2 luas jari = 1 poin), jarak Thyromental (Lebar 2 jari = 0 poin, 1
lebar jari = 1 poin).

M = Mallampati score

Mallampati score digunakan sebagai alat klasifikasi untuk menilai visualisasi hipofaring,

• Pasien dalam posisi duduk dan mengekstensikan kepala

• Buka mulut, julurkan lidah, dan katakan “aah”

6
• Nilai lidah, palatum durum, palatum molle, uvula, dan pilar tonsil.

Klasifikasi Mallampati: kelas 1 atau 2 = 0 poin, kelas 3 atau 4 = 1 poin

Kelas Pilar faring Uvula Palatum Molle


1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -

O = Obstruction/Obesity

Menilai adanya keadaan yang dapat menyebabkan obstruksi misalkan abses


peritonsil, trauma, stridor, foreign body, dan bentuk lain dari penghalang sub dan
supraglottic termasuk tumor, abses, epiglotis yang meradang, atau hematoma. Obesitas
dapat menyebabkan sulitnya intubasi karena memperberat ketika melakukan laringoskop
dan mengurangi visualisasi laring.

7
Obstruksi ke leher: Absen = 0 poin, Sekarang = 1 poin

N = Neck deformity

Menilai apakah ada deformitas leher yang dapat menyebabkan berkurangnya


range of movement dari leher sehingga intubasi menjadi sulit. Leher yang baik dapat
fleksi dan ekstensi dengan bebas ketika laringoskopi atau intubasi, Ektensi leher "normal"
adalah 35° (The atlanto-oksipital/ A-O joint). Neck mobility: Baik = 0 points, Tidak
baik= 1 point.

 Pemeriksaan Penunjang
Radiografi , CT-scan , fluoroskopi dapat mengidentifikasi berbagai keadaan yang
didapat atau bawaan pada pasien dengan kesulitan jalan napas.

2. Penanganan Jalan Napas Sulit


2.1 Evaluasi Jalan Napas
 Memperoleh riwayat kesulitan jalan napas
- Riwayat penyakit (kesulitan jalan napas) dapat membantu dalam cara menghadapi
kesulitan jalan nafas, riwayat operasi atau riwayat anestesi, jika ada kemudian tanyakan
waktu pelaksanaan. 8
 Pemeriksaan fisik
- Ciri-ciri anatomi tertentu (ciri-ciri fisik dari kepala dan leher) dan kemungkinan dari
kesulitan jalan nafas.8
 Evaluasi tambahan
- Tes diagnostik tertentu (Radiografi , CT-scan , fluoroskopi ) dapat mengidentifikasi
berbagai keadaan yang didapat atau bawaan pada pasien dengan kesulitan jalan napas
8

2.2 Persiapan Standar pada Managemen Kesulitan Jalan Napas


(1) Tersedianya peralatan untuk pengelolaan kesulitan jalan napas
- Laryngoscope dengan beberapa alternatif desain dan ukuran yang sesuai
- Endotrakea tube berbagai macam ukuran.

8
- Pemandu endotrakeal tube. Contohnya stylets semirigid dengan atau tanpa lubang
tengah untuk jet ventilasi, senter panjang, dan mangil tang dirancang khusus untuk
dapat memanipulasi bagian distal endotrakeal tube.
- Peralatan Intubasi fiberoptik.
- Peralatan Intubasi retrograd.
- Perangkat ventilasi jalan nafas darurat nonsurgical. Contohnya sebuah jet
transtracheal ventilator, sebuah jet ventilasi dengan stylet ventilasi, LMA, dan
combitube.
- Peralatan yang sesuai untuk akses pembedahan napas darurat (misalnya,
cricothyrotomy).
- Sebuah detektor CO2 nafas (kapnograf). 10
(2) Menginformasikan kepada pasien atau keluarga tentang adanya atau dugaan kesulitan
jalan nafas, prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan kesulitan jalan nafas, dan risiko
khusus yang kemungkinan dapat terjadi
(3) Memastikan bahwa setidaknya ada satu orang tambahan sebagai asisten dalam
manajemen kesulitan jalan nafas,
(4) Melakukan preoksigenasi dengan sungkup wajah sebelum memulai manajemen kesulitan
jalan nafas,
(5) Secara aktif memberikan oksigen tambahan di seluruh proses manajemen kesulitan jalan
nafas. Dapat menggunakan nasal cannule, facemask, LMA. 8

2.3 Strategi Intubasi pada Kesulitan Jalan Napas

1. Intubasi sadar.

Intubasi endotraea dalam keadaan pasien sadar dengan anestesi topikal, pilhan
teknik untuk mencegah bahaya aspirasi pada kasus trauma berat pada muka, leher,
perdaraha, usus, serta kesulitan jalan napas. Intubasi sadar dilakukan dengan pertolongan
obat penenang seperti diazepam, fentanyl atau petidin untuk mempermudah kooperasi
pasien tanpa harus menghilangkan refleks jalan napas atas (yang harus mencegah apirasi).
Boleh spray lidokain 2% pada lidah dan farings, tetapi jangan kena plika vocalis. Diazepam

9
0,1- 0,2 mg/kg iv dapat diberikan untuk mengurangi stres penderita dan
memudahkanintubasi. 10

Pada beberapa penelitian membuktikan bahwa intubasi sadar pada pasien yang
menderita kesulitan jalan napas memberikan hasil yang memuaskan 88-100%. 10

2. Laringoskopi dengan bantuan video.

3. Intubasi stylets atau tube-changer.

4. SGA untuk ventilasi (LMA, laringeal tube)

Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan TT


selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT pada pasien
dengan jalan nafas yang sulit, dan untuk membantu ventilasi selama bronchoscopy
fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki kelebihan istimewa dalam
menentukan penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA
yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai
ulang, ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan dapat
digunakan ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi
bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit. 3

10
LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian proksimal
dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm, dan dibagian distal
terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan
dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara membuta ke hipofaring, sekali telah
dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara laring. Pemasangannya
memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk memasukan oral airway.
Walaupun pemasangannya relatif mudah, perhatian yang detil akan memperbaiki
keberhasilan. Posisi ideal dari balon adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme
dilateral, dan spincter oesopagus bagian atas di inferior. Jika esophagus terletak di rim
balon, distensi lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi anatomi mencegah
fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak berfungsi
semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih tidak baik, kebanyakan klinisi
mencoba dengan LMA lain yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan
oleh epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab kegagalan terbanyak, maka

11
memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung dengan laringoskop atau
bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga,
sebagian balon digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester
seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap
regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya sampai reflek
jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk atau membuka mulut
sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet
silikon (bebas latek) dan tersedia dalam berbagai ukuran. 3

LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT.
Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses),
sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau komplians
paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan tekanan inspirasi
puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan
bronkhospasme aatau resistensi jalan nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru
menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam trakea, penggunaan LMA
dihubungkan dengan kejadian bronkospasme lebih kurang dari pada dengan TT.

12
Walaupun hal ini nyata tidak sebagai penganti untuk trakeal intubasi, LMA membuktikan
sangat membantu terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat
diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka
keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah digunakan sebagai pipa untuk jalur
stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0
mm). 3

Tersedia LMA yang telah dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan TT yang


lebih besar dengan atau tanpa menggunakan FOB. Pemasukannya dapat dilakukan
dibawah anestesi topikal dan blok saraf laringeal bilateral jika jalan nafas harus bebas
seraya pasiennya sadar. 3

5. SGA untuk intubasi (ILMA),

6. Laryngoscopic bilah rigid dari berbagai desain dan ukuran,

Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas intubasi trakea.
Handle biasanya berisi baterai untuk cahaya bola lampu pada ujung blade, atau untuk energi

13
fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung
dan tidak tersebar.

Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang MRI. Blade
Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan dari blade tergantung dari
kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena tidak ada blade yang cocok untuk
semua situasi, klinisi harus familier dan ahli dengan bentuk blade yang beragam.

7. Intubasi dengan bantuan fiberoptik

Dalam beberapa situasi, misalnya pasien dengan tulang servikal yang tidak stabil,
pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular joint, atau dengan kelainan kongenital atau
kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi langsung dengan penggunakan rigid
laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan atau tidak dimungkinkan. Suatu FOB yang feksibel

14
mungkin visualisasi tidak langsung dari laring dalam beberapa kasus atau untuk beberapa situasi
dimana direncanakan intubasi sadar (awake intubation). FOB yang dibuat dari fiberglass ini
mengalirkan cahaya dan gambar oleh refleksi internal-contohnya sorotan cahaya akan terjebak
dalam fiber dan terlihat tidak berubah pada sisi yang berlawanan. Pemasangan pipa berisi 2 bundel
dari fiber, masing-masing berisi 10.000 – 15.000 fiber. Satu bundel menyalurkan cahaya dari
sumber cahaya ( sumber cahaya bundel) yang terdapat diluar alat atau berada dalam handle yang
memberikan gambaran resolusi tinggi. 3

Manipulasi langsung untuk memasangkan pipa dilakukan dengan kawat yang kaku.
Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari sekresi, insuflasi O2 atau penyemprotan
anestesi lokal. Saluran aspirasi sulit untuk dibersihkan, akan tetapi, sebagai sumber infeksi
sehingga memerlukan kehati-hatian pada pembersihan dan sterilisasi telah digunakan.

8. Stylets menyala atau Ligth Wand. 8

2.4 Akibat dari kesulitan jalan napas

Akibat dari kesultan jalan napas adalah:


Akibat yang dapat terjadi dari kesulitan jalan napas, adalah:
a. kematian,
b. kerusakan otak,
c. cardiac arrest,
d. trauma jalan napas,
e. kerusakan gigi.8

15
2.5 Algoritma Kesulitan Jalan Napas

1. Menilai kemungkinan dan dampak klinis dari masalah pada penanganan dasar:
• Kesulitan dengan kerjasama atau persetujuan pasien
• Kesulitan ventilasi sungkup
• Kesulitan penempatan Supraglottic Airway
• Kesulitan laringoskopi
• Kesulitan intubasi
• Kesulitan akses bedah jalan napas 8

2. Aktif memberikan oksigen tambahan selama proses manajemen kesulitan jalan napas

3. Mempertimbangkan manfaat relatif dan kelayakan dari penanganan dasar :


• Awake intubation vs intubasi setelah induksi anestesi umum
• Teknik non-invasif vs teknik invasif untuk pendekatan awal untuk intubasi
• Video laringoskopi sebagai pendekatan awal untuk intubasi
• Menjaga Ventilasi spontan vs ablasi ventilasi spontan 8

4. Mengembangkan strategi primer dan strategi alternative

Kotak A dipilih bila kesulitan jalan nafas diantisipasi, sedangkan kotak B untuk situasi
dimana kesulitan jalan nafas tidak diantisipasi. AAA tidak pada retardasi mental, intoksikasi,
kecemasan, penurunan derajat kesadaran, atau usia. Pasien ini mungkin masih memasuki kotak A,
tetapi intubasi “awake” mungkin membutuhkan modifikasi teknik yang mempertahankan ventilasi
spontan (cth, induksi inhalasi) 8

16
a) Pilihan lain termasuk: operasi menggunakan masker wajah atau supraglottic airway (SGA) (Misalnya,
LMA, ILMA, laringeal tube), infiltrasi anestesi lokal atau blokade saraf regional.

b) Akses jalan napas invasif meliputi bedah atau jalan napas percutaneous, jet ventilation, dan intubasi
retrograde.

c) Pendekatan alternatif : laringoskopi dengan video, bilah laringoskop alternatif, SGA (LMA atau
ILMA) sebagai saluran intubasi (dengan atau tanpa bimbingan serat optik), intubasi dengan serat optik
, intubasi dengan stylet atau tabung changer, light wand, dan blind oral or nasal intubation.

d) Pertimbangkan kembali persiapan pasien untuk intubasi sadar atau membatalkan operasi.

e) Ventilasi jalan nafas non-invasif darurat terdiri dari SGA.

Pemasangan face mask, jika “facemask” adekuat, masuk jalur nonemergensi ASA-DAA. Jika
face mask gagal, lanjutkan dengan ventilasi supraglotis dengan LMA. Jika berhasil, dilanjutkan jalur
nonemergensi ASA-DAA dan dilakukan intubasi trakea.

Bila ventilasi LMA gagal, dilanjutkan dengan jalur emergency. ASA-DAA menyarankan
penggunaan Esophageal-Tracheal Combitube, rigid bronkoskopi, oksigenasi transtrakeal, atau jalan
nafas bedah.

Kegagalan penggunaan LMA, karena; sudut oral-faring sempit, sumbatan pada level hipofaring

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical Book. 2006
2. Mangku G, Senapathi T. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Indeks, Jakarta, 2009.
3. ASA. 2013. Practice Guidelines for Management of the Difficult Airway. The American Society of
Anesthesiology. V 118. No. 2. P. 1-20

18

Anda mungkin juga menyukai