LAPORAN KASUS
3.2. Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis pada 11 Maret 2019
a. Keluhan Utama:
Pasien datang dengan keluhan keluar darah lewat jalan lahir sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit diluar siklus haid.
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poliklinik kebidanan dengan keluhan keluar darah dari jalan
lahir terus menerus sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Darah yang keluar seperti
darah haid yaitu hitam kemerahan. Pasien mengatakan bahwa ia dapat menghabiskan ±
5 pembalut per hari. Pasien mengeluhkan hal ini karena 3 hari yang lalu pasien baru
saja selesai haid.
Sebelum mengalami perdarahan yang terus-menerus saat ini, pasien telah
mengalami masalah pada siklus menstruasinya sejak 1 tahun belakangan ini.
Menstruasi menjadi tidak teratur. Lama dalam sekali haid ± 10 hari. Pasien dapat
menghabiskan ± 4 pembalut setiap harinya. Pasien juga selalu merasakan nyeri setiap
haid.
Keluar darah dari jalan lahir disertai nyeri dan rasa penuh pada perut pada bagian
bawah. Nyeri tidak menjalar. Gangguan BAK berupa BAK sering dan sedikit-sedikit
sejak 1 tahun ini. Nyeri saat, sebelum, dan sesudah BAK tidak ada. Sulit buang air besar
disangkal. Teraba benjolan di perut disangkal.
1
c. Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi (-), diabetes mellitus (-), asthma (-),
maupun penyakit berat lainnya.
d. Riwayat Penyakit Keluarga:
Pasien menyangkal adanya keluarga pasien yang pernah mengalami gejala
serupa. Riwayat hipertensi (-), diabetes mellitus (-), asthma (-), maupun penyakit berat
lainnya di keluarganya.
e. Riwayat Obstetri:
Pasien menarche usia 12 tahun. Sebelum pasien mengalami gangguan haid,
siklus haid selama ± 28-30 hari, lama haid ± 4-6 hari yang disertai nyeri selama haid.
Pasien telah menikah 1 kali selama 20 tahun dan pasien belum pernah hamil. Pasien
belum pernah menggunakan alat atau metode kontrasepsi apapun sebelumnya.
2
Pemeriksaan Inspekulo: Porsio ukuran normal, warna kemerahan, permukaan erosi
(-), fluksus (+) merembes, livide (-),Ø (-), fluor albus (-), dinding vagina normal,
massa (-),peradangan (-).
Pemeriksaan Dalam (VT): Dinding vagina normal, massa (-); portio licin, kenyal,
Ø (-), nyeri goyang (-); corpus uteri antefleksi.
HEMATOLOGI
Ht 32 (L) % 37-43
KIMIA KLINIK
IMMUNOLOGI
3
HbsAg (Penyaring) NON NON 2-4
REAKTIF REKATIFF
b. Pemeriksaan USG:
11 Maret 2019
Uterus membesar dengan gambaran miomatik, ukuran 10 X 10 cm
Kesan: Mioma uteri
3.5. Diagnosis
Menometrorrhagia e.c mioma uteri
3.6. Perencanaan
a. Perencanaan Diagnostik
USG transabdominal/transvaginal
Pemeriksaan darah lengkap
b. Perencanaan Terapi
Non Medikamentosa
Observasi keadaan umum
Observasi TTV
Observasi perdarahan.
Medikamentosa
Infus RL 20 tpm
As. Traneksamat 3 x 500 mg
Amoxicilin 3 x 500 mg
Hemobion 1 x 1 tab
Operatif
Miomektomi
Histerektomi
c. Perencanaan Edukasi
Menjelaskan kepada pasien bahwa gejala yang dirsakan pasien diakibatkan oleh
adanya tumor di rahim.
Tumor tersebut harus diangkat melalui jalan operasi agar tidak menimbulkan
komplikasi lebih lanjut.
4
1.7 Prognosis
Ad vitam: Ad bonam
Ad functionam: Ad malam
Ad sanationam: Ad bonam
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Mioma adalah tumor jinak otot polos uterus (miometrium) dan jaringan ikat yang
menumpangnya. Sehingga dalam kepustakaan dikenal juga istilah fibromioma, leiomioma,
ataupun fibroid[3].
2.2 Klasifikasi
Sarang mioma di uterus yang berasal dari serviks uterus hanya 1-3%, sisanya berasal
dari korpus uterus. Menurut letaknya, mioma dikenal sebagai[3]:
a) Mioma submukosum: mioma berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga
uterus.
b) Mioma intramural: mioma terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium.
c) Mioma subserosum: mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada
permukaan uterus, diliputi oleh serosa.
6
Mioma submukosum dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian dilahirkan
melalui saluran serviks (myom geburt). Mioma subserosum dapat tumbuh di antara kedua
lapisan ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter. Mioma subserosum dapat pula
tumbuh menempel pada jaringan lain misalnya ke ligamentum atau omentum dan kemudian
membebaskan diri dari uterus, sehingga disebut wandering/parasitic fibroid. Jarang sekali
ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus.
Mioma pada serviks dapat menonjol ke dalam saluran serviks sehingga ostium uteri
eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa mioma terdiri
atas berkas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti konde/pusaran air (whorl like
pattern), dengan pseudocapsule yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak karena
pertumbuhan sarang mioma ini. Pernah ditemukan 200 sarang mioma dalam satu uterus, namun
biasanya hanya 5-20 sarang saja. Dengan pertumbuhan mioma dapat mencapai berat lebih dari
5 kg[3].
2.2. Etiologi
Etiologi pasti belum diketahui, tetapi terdapat korelasi antara pertumbuhan tumor
dengan peningkatan reseptor esterogen dan progesteron pada jaringan mioma uteri, serta
7
adanya faktor predisposisi yang bersifat herediter dan faktor hormon pertumbuhan dan
Human Placental Lactogen.
Ada beberapa faktor yang diduga kuat sebagai faktor predisposisi terjadinya mioma
uteri, yaitu :
a. Umur
Frekuensi kejadian mioma uteri paling tinggi antara 35-50 tahun yaitu mendekati
angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia dibawah 20 tahun. Sedangkan pada usia
menopause hampir tidak pernah ditemukan.
b. Paritas
Wanita dengan paritas yang tinggi dan telah menyusui akan lebih akan menurunkan
insiden mioma.
c. Faktor ras dan genetik :
Pada wanita ras tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka kejadiaan mioma
uteri tinggi. Terlepas dari factor ras, kejadian tumor ini tinggi pada wanita dengan
riwayat keluarga yang menderita mioma.
d. Obesitas
Hal ini berkaitan dengan konversi hormon androgen menjadi esterogen oleh enzim
aromatase di jaringan adiposa. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah esterogen tubuh.
2.3. Patogenesis
Awal mula terbentuknya tumor adalah terjadinya mutasi somatik sel neoplastik tunggal
dari sel-sel miometrium. Mutasi ini mencakup rentetan perubahan kromosom baik secara
parsial maupun keseluruhan. Defek pada kromosom 6, 7, 12, dan 14 berkorelasi dengan
pertumbuhan tumor. Mutasi gen MED 12 dan HMGA 2 juga terlibat dalam pertumbuhan
leiomioma.
Leiomioma adala tumor yang sensitif terhadapa esterogen dan progesteron. Leiomioma
akan membentuk dirinya dalam keadaan hiperesterogen untuk mempertahankan
pertumbuhannya.
1. Dibandingkan dengan miometrium normal, leiomioma banyak mengandung receptor
esterogen yang memungkinkan peningkatan estradiol binding.
2. Leiomioma tidak mengubah estradiol ke estrone (esterogen lemah)
3. Leiomioma akan meningkatan level enzim aromatase yang akan menkoversi androgen
menjadi esterogen.
8
Seperti halnya esterogen, leiomioma meningkatkan densitas reseptor progesteron yang lebih
tinggi dibandingkan dengan miometrium di sekitarnya. Progesteron dianggap sebagai mitogen
penting untuk pertumbuhan dan perkembangan leiomioma uterus, dan fungsi esterogen untuk
mengatur dan mempertahankan reseptor progesteron.
Rasa nyeri. Rasa nyeri bukanlah gejala yang khas. Nyeri dapat disebabkan oleh karena
degenerasi akibat oklusi vaskuler, infeksi, torsi dari mioma yang bertangkai maupun akibat
kontraksi miometrium yang disebabkan mioma subserosum. Pada pengeluaran mioma
submukosum yang akan dilahirkan, pertumbuhannya yang menyempitkan kanalis servikalis
dapat menyebabkan dismenore. Tumor yang besar dapat mengisi rongga pelvik dan
menekan bagian tulang pelvik yang dapat menekan saraf sehingga menyebabkan rasa nyeri
yang menyebar ke bagian punggung dan ekstremitas inferior.
Gejala dan tanda penekanan. Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri.
Penekanan pada kandung kemih akan menyebabkan poliuri, pada uretra dapat menyebabkan
retensio urine, pada ureter dapat menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis, pada rektum
dapat menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh darah dan pembuluh limfe di
panggul dapat menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul.
9
Disfungsi reproduksi. Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab infertilitas masih
belum jelas. Dilaporkan sebesar 27 - 40% wanita dengan mioma uteri mengalami infertilitas.
Mioma yang terletak didaerah kornu dapat menyebabkan sumbatan dan gangguan
transportasi gamet dan embrio akibat terjadinya oklusi tuba bilateral.
Mioma uteri dapat menyebabkan gangguan kontraksi ritmik uterus yang sebenarnya
diperlukan untuk motilitas sperma didalam uterus.
Gangguan implantasi embrio dapat terjadi pada keberadaan mioma akibat perubahan
histologi endometrium dimana terjadi atrofi karena kompresi massa tumor
10
menghasilkan gambaran ultrasonografi yang mendemonstrasikan irregularitas
kontur maupun pembesran uterus.
Histeroskopi digunakan untuk melihat adanya mioma uteri submukosa, jika mioma
kecil serta bertangkai. Mioma tersebut sekaligus dapat diangkat.
11
MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas,
termasuk mioma.
12
Gambar 5. Jenis-jenis histerektomi
3. Embolisasi arteri uterus (Uterin Artery Embolization / UAE), adalah injeksi arteri
uterina dengan butiran polyvinyl alkohol melalui kateter yang nantinya akan menghambat
aliran darah ke mioma dan menyebabkan nekrosis. Nyeri setelah UAE lebih ringan
daripada setelah pembedahan mioma dan pada UAE tidak dilakukan insisi serta waktu
penyembuhannya yang cepat.
13
d. Radiasi dengan radioterapi
Radioterapi dilakukan untuk menghentikan perdarahan yang terjadi pada beberapa kasus.
14
2.10 Prognosis Mioma Uteri
Histerektomi dengan mengangkat seluruh mioma adalah kuratif. Myomectomi yang
extensif dan secara significant melibatkan miometrium atau menembus endometrium,
maka diharusken SC (Sectio caesaria) pada persalinan berikutnya. Myoma yang kambuh
kembali (rekurens) setelah myomectomi terjadi pada 15-40% pasien dan 2/3nya
memerlukan tindakan
lebih lanjut.
15
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada laporan kasus ini terdapat seorang pasien wanita berusia 45 tahun dengan
diagnosis mioma uteri. Sampai saat ini penyebab sebenarnya dari mioma uteri masih belum
jelas. Faktor predisposisi pada pasien ini adalah usia pasien, 45 tahun. Pada usia reproduktif,
terdapat peningkatan insidensi terjadinya mioma uteri seiring bertambahnya usia. Usia
reproduktif menjadi faktor resiko terjadinya mioma karena kadar hormon ovarium yang
dicurigai sebagai penyebab mioma masih tinggi. Kejadian mioma uteri paling banyak ditemui
pada umur 35-45 tahun, kurang lebih sebesar 25%. Selain itu, yang menjadi fraktor predisposisi
timbulnya mioma uteri pada pasien ini adalah status gizi pasien yaitu berat badan berlebih.
Diagnosa mioma uteri ditegakan berdasarkan gejala yang timbul, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang ada[2]. Gejala-gejala yang ditemui pada pasien adalah gangguan
pada siklus menstruasinya yaitu metroragia, menoragia, dan dismenorea. Pasien juga
mengeluhkan tidak bisa hamil dalam 20 tahun ini. Gejala ini merupaka tanda infertilitas yang
berarti terdapat difungsi reproduksi. Terdapat juga gejala penekanan terhadap kandung kemih
yang membuat pasien menjadi poliuri.
Pada pemeriksaan fisik sulit untuk menentukan posisi mioma karena letak mioma yang
sulit dipalpasi. Namun tidak ditemukannya nyeri tekan pada bagian suprapubis mendukung ke
arah mioma uteri. Pada USG dapat dikonfirmasi dengan lebih tepat bahwa terdapat massa
miomatik berukuran 10 x 10 cm sehingga diagnosis dapat ditegakkan. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa diagnosis pasien adalah mioma uteri.
Pentalaksanaan yang akan diberikan pada pasien adalah terapi operatif berupa
laparotomi untuk melakukan histerektomi. Histerektomi dipilih karena usia pasien yang sudah
mendekati usia menopause dan untuk mencegah kenungkinan timbulnya keganasan pada
daerah di sekitar pelvis.
16
BAB V
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland WAN. Kamus kedokteran Dorland edisi 29. Jakarta: EGC; 2002.
2. Hadibroto BR. Mioma uteri. Majalah Kedokteran Nusantara. 2005 Sept; 38(3): 254-9.
3. Wiknjosastro H. Ilmu kandungan, ed 2. Jakarta: YBPSP; 2007.
4. Monga A. Gynaecology by ten teachers, 18thed. New York: Edward Arnold: 2006.
5. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham FG.
Williams gynecology. New York: McGraw-Hill; 2008.
6. DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Current diagnosis
&treatment:obstetrics &gynecology, 10thed. New York: McGraw-Hill; 2007.
7. Hamilton-Fairley D. Lecture notes: obstetrics and gynaecology, 2nd ed. Massachusetts:
Blackwell Publishing; 2004.
8. Berek JS. Berek & Novak’s gynecology, 14th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007.
9. Fortner KB, Szymanski LM, Fox HE, Wallach EE. Johns Hopkins manual of gynecology
and obstetrics, 3rd ed. Maryland: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
10. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygaard I. Danforth’s obstetrics and gynecology, 10 th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
11. Norwitz ER, Arulkumaran S, Symonds IM, Fowlie A. Oxford American handbook of
obstetrics and gynecology, 1st ed. New York: Oxford University Press; 2007.
18