FLOUR ALBUS
DISUSUN OLEH :
Amelina Ratih Listyaningrum
1102014018
PEMBIMBING:
dr.Yenni, Sp.KK, M.Kes
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 44 Tahun
Alamat : Kertasemaya
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Tanggal pemeriksaan : 26 November 2018
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan tanggal 26 November 2018 pukul 11.00 WIB di Poliklinik
Kulit RSUD Arjawinangun.
Keluhan Utama : Gatal pada kelamin sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit
Keluhan Tambahan : Gatal disertai keputihan sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit
Status Ginekologi
Inspekulo: Flour albus (+) putih, encer, berbau busuk pada vagina
Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
Resume
Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Arjawinangun diantar oleh keluarga pada
tanggal 26 November 2018 dengan keluhan gatal pada kelamin sejak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit.
Gatal disertai kemerahan pada bibir vagina dan keputihan.
Keputihan berwarna putih, encer, dan berbau busuk.
Pasien memiliki riwayat konsumsi kontrasepsi hormonal.
Riwayat kebiasaan berganti-ganti pasangan disangkal.
Pemeriksaan inspekulo didapatkan flour albus putih, encer, berbau busuk pada vagina,
kemerahan pada labium minor.
Diagnosis Banding
Trikominiasis
Kandidiasis
Diagnosis Kerja
Flour Albus e.c Vaginosis Bakterial
Pemeriksaan Penunjang
•Whiff test
•Pemeriksaan mikroskopik
•Pemeriksaan pH vagina
Penatalaksanaan
Metronidazole 2 x 500 mg, 7- 10 hari
Prognosis
Quo Ad vitam : ad bonam
Quo Ad functionam : ad bonam
Quo Ad sanationam : ad bonam
BAB II
Tinjauan Pustaka
2. Flour Albus
2.1 Definisi
Keputihan atau fluor albus atau leukorea atau vaginal discharge merupakan istilah yang
menggambarkan keluarnya cairan dari organ genitalia atau vagina yang berlebihan dan bukan
darah (Sibagariang, 2010). Menurut Kusmiran (2011), keputihan adalah cairan bukan darah yang
keluar di luar biasanya dari liang vagina baik berbau atau tidak, serta disertai adanya rasa gatal
setempat. Menurut Monalisa et al., (2012).
2.2 Klasifikasi
a. Keputihan Fisiologis
Keputihan fisiologis merupakan cairan yang terkadang berupa lendir atau mukus dan mengandung
banyak epitel dengan leukosit yang jarang, sedangkan keputihan patologis banyak mengandung
leukosit. Keputihan fisiologis terjadi pada perubahan hormon saat masa menjelang dan sesudah
menstruasi, sekitar fase sekresi antara hari ke 10-16 siklus menstruasi, pada saat terangsang, hamil,
kelelahan, stres, dan sedang mengkonsumsi obat-obat hormonal seperti pil KB, serta atrofi
vulvovagina (hipoestrogenisme) pada menopause.
b. Keputihan Patologis
Merupakan cairan eksudat dan mengandung banyak leukosit. Cairan ini terjadi akibat reaksi tubuh
terhadap luka (jejas). Luka (jejas) ini dapat diakibatkan oleh infeksi mikroorganisme seperti jamur
(Candida albicans), parasit (Trichomonas), bakteri (E.coli, Staphylococcus, Treponema pallidum).
Keputihan patologis juga dapat terjadi akibat benda asing yang tidak sengaja atau sengaja masuk
ke dalam vagina, neoplasma jinak, lesi, prakanker, dan neoplasma ganas.
2.3 Epidemiologi
Sekret vagina sering tampak sebagai suatu gejala genital. Proporsi perempuan yang mengalami
flour albus bervariasi antara 1 -15% dan hampir seluruhnya memiliki aktifitas seksual yang aktif,
tetapi jika merupakan suatu gejala penyakit dapat terjadi pada semua umur. Seringkali fluor albus
merupakan indikasi suatu vaginitis, lebih jarang merupakan indikasi dari servisitis tetapi kadang
kedua-duanya muncul bersamaan. Infeksi yang sering menyebabkan vaginitis adalah
Trikomoniasis, Vaginosis bacterial, dan Kandidiasis. Sering penyebab noninfeksi dari vaginitis
meliputi atrofi vagina, alergi atau iritasi bahan kimia. Servisitis sendiri disebabkan oleh Gonore
dan Klamidia. Prevalensi dan penyebab vaginitis masih belum pasti karena sering didiagnosis dan
diobati sendiri. Selain itu vaginitis seringkali asimptomatis dan dapat disebabkan lebih dari satu
penyebab.(2)
2.4 Etiologi
Keputihan atau fluor albus yang fisiologis dapat ditemukan pada :
1. Bayi baru lahir sampai umur kira-kira sepuluh hari. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh sisa
estrogen dari plasenta terhadap uterus dan vagina janin.
2. Saat menarche karena pengaruh estrogen yang meningkat.
3. Rangsangan saat koitus terjadi pengeluaran transudasi dari dinding vagina (Spence et al., 2007).
4. Saat masa ovulasi adanya peningkatan produksi kelenjar-kelenjar pada mulut rahim.
5. Kehamilan menyebabkan peningkatan mukus servik yang padat sehingga menutup lumen
serviks yang berfungsi mencegah kuman masuk ke rongga uterus.
6. Penggunaan kontrasepsi hormonal atau mengubah metode kontrasepsi (Monalisa et al., 2012).
3. Parasit
Parasit yang sering menyebabkan keputihan adalah Trichomonas vaginalis. Trikomonas berbentuk
seperti buah pir, terdapat flagella uniseluler dapat diamati bergerak di sekitar daerah yang berisi
banyak leukosit pada sediaan basah. T. Vaginalis hampir selalu merupakan infeksi yang ditularkan
secara seksual. Sumber kuman seringkali berasal dari pria dan terdapat di bawah preputium atau
dalam uretra atau uretra bagian prostat. Tetapi penularan trikomonas dapat juga melalui pakaian,
handuk, atau karena berenang. Gejala yang ditimbulkan ialah fluor albus yang encer sampai kental,
bewarna kuning kehijauan, dan kadang-kadang berbusa disertai bau busuk, serta terasa gatal dan
panas.
4. Virus
Keputihan akibat infeksi virus juga sering ditimbulkan penyakit kelamin, seperti kondiloma,
herpes, HIV/AIDS. Kondiloma ditandai tumbuhnya kutil-kutil yang sangat banyak dan sangat
berbau. Sedangkan infeksi virus herpes bentuknya seperti luka melepuh, terdapat di sekeliling
liang vagina, mengeluarkan cairan gatal, dan terasa panas. Infeksi virus dapat memicu terjadinya
kanker mulut rahim.
3. Benda asing
Misalnya tertinggalnya kondom, pesarium pada penderita hernia atau prolaps uteri dapat
merangsang sekret vagina berlebihan.
5. Menopause
Kadar hormon estrogen pada saat menopause menurun sehingga vagina kering dan mengalami
penipisan, ini mengakibatkan mudah luka dan disertai infeksi.
6. Fisik
Akibat penggunaan alat kontrasepsi IUD (intra uterine device), trauma pada genitalia, dan pada
pemakaian tampon.
7. Iritasi
a. Sperma, pelicin, kondom
b. Sabun cuci dan pelembut pakaian
c. Deodorant dan sabun
d. Cairan antiseptik untuk mandi
e. Pembersih vagina
f. Kertas tisu toilet yang tidak bewarna
g. Celana yang ketat dan tidak menyerap keringat
2.4 Patogenesis
Meskipun banyak variasi warna, konsistensi, dan jumlah dari sekret vagina bisa dikatakan suatu
yang normal, tetapi perubahan itu selalu diinterpretasikan penderita sebagai suatu infeksi,
khususnya disebabkan oleh jamur. Beberapa perempuan pun mempunyai sekret vagina yang
banyak sekali. Dalam kondisi normal, cairan yang keluar dari vagina mengandung sekret vagina,
sel-sel vagina yang terlepas dan mucus serviks, yang akan bervariasi karena umur, siklus
menstruasi, kehamilan, penggunaan pil KB.(2)5
Lingkungan vagina yang normal ditandai adanya suatu hubungan yang dinamis antara
Lactobacillus acidophilus dengan flora endogen lain, estrogen, glikogen, pH vagina dan hasil
metabolit lain. Lactobacillus acidophilus menghasilkan endogen peroksida yang toksik terhadap
bakteri pathogen. Karena aksi dari estrogen pada epitel vagina, produksi glikogen, lactobacillus
(Doderlein) dan produksi asam laktat yang menghasilkan pH vagina yang rendah sampai 3,8-4,5
dan pada level ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain.(2)
Kandidiasis vaginalis merupakan infeksi vagina yang disebabkan oleh Candida sp. terutama C.
albicans. Infeksi Candida terjadi karena perubahan kondisi vagina. Sel ragi akan berkompetisi
dengan flora normal sehingga terjadi kandidiasis. Hal-hal yang mempermudah pertumbuhan ragi
adalah penggunaan antibiotik yang berspektrum luas, penggunaan kontrasepsi, kadar estrogen
yang tinggi, kehamilan, diabetes yang tidak terkontrol, pemakaian pakaian ketat, pasangan seksual
baru dan frekuensi seksual yang tinggi. Perubahan lingkungan vagina seperti peningkatan produksi
glikogen saat kehamilan atau peningkatan hormon esterogen dan progesterone karena kontrasepsi
oral menyebabkan perlekatan Candida albicans pada sel epitel vagina dan merupakan media bagi
pertumbuhan jamur. Candida albicans berkembang dengan baik pada lingkungan pH 5-6,5.
Perubahan ini bisa asimtomatis atau sampai sampai menimbulkan gejala infeksi. Penggunaan obat
immunosupresan juga menajdi faktor predisposisi kandidiasis vaginalis.(4,5)
Pada penderita dengan Trikomoniasis, perubahan kadar estrogen dan progesterone menyebabkan
peningkatan pH vagina dan kadar glikogen sehingga berpotensi bagi pertumbuhan dan virulensi
dari Trichomonas vaginalis.(2)
Vaginitis sering disebabkan karena flora normal vagina berubah karena pengaruh bakteri patogen
atau adanya perubahan dari lingkungan vagina sehingga bakteri patogen itu mengalami proliferasi.
Antibiotik kontrasepsi, hubungan seksual, stres dan hormon dapat merubah lingkungan vagina
tersebut dan memacu pertumbuhan bakteri patogen. Pada vaginosis bacterial, diyakini bahwa
faktor-faktor itu dapat menurunkan jumlah hidrogen peroksida yang dihasilkan oleh Lactobacillus
acidophilus sehingga terjadi perubahan pH dan memacu pertumbuhan Gardnerella vaginalis,
Mycoplasma hominis dan Mobiluncus yang normalnya dapat dihambat. Organisme ini
menghasilkan produk metabolit misalnya amin, yang menaikkan pH vagina dan menyebabkan
pelepasan sel-sel vagina. Amin juga merupakan penyebab timbulnya bau pada flour albus pada
vaginosis bacterial.(2)
Flour albus mungkin juga didapati pada perempuan yang menderita tuberculosis, anemia,
menstruasi, infestasi cacing yang berulang, juga pada perempuan dengan keadaan umum yang
jelek , higiene yang buruk dan pada perempuan yang sering menggunakan pembersih vagina,
disinfektan yang kuat.(2)
2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanan keputihan tergantung dari penyebab infeksi seperti jamur, bakteri atau
parasit. Umumnya diberikan obat-obatan untuk mengatasi keluhan dan menghentikan proses
infeksi sesuai dengan penyebabnya. Obat-obatan yang digunakan dalam mengatasi keputihan
biasanya berasal dari golongan flukonazol untuk mengatasi infeksi candida dan golongan
metronidazol untuk mengatasi infeksi bakteri dan parasit.
Sediaan obat dapat berupa sediaan oral (tablet, kapsul), topikal seperti krem yang dioleskan
dan uvula yang dimasukkan langsung ke dalam liang vagina. Untuk keputihan yang ditularkan
melalui hubungan seksual, terapi juga diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan untuk
tidak berhubungan seksual selama masih dalam pengobatan. Selain itu, dianjurkan untuk selalu
menjaga kebersihan daerah intim sebagai tindakan pencegahan sekaligus mencegah berulangnya
keputihan yaitu dengan :
1. Pola hidup sehat yaitu diet yang seimbang, olah raga rutin, istirahat cukup, hindari rokok dan
alkohol serta hindari stres berkepanjangan.
2. Setia kepada pasangan. Hindari promiskuitas atau gunakan kondom untuk mencegah penularan
penyakit menular seksual.
3. Selalu menjaga kebersihan daerah pribadi dengan menjaganya agar tetap kering dan tidak
lembab misalnya dengan menggunakan celana dengan bahan yang menyerap keringat, hindari
pemakaian celana terlalu ketat. Biasakan untuk mengganti pembalut, pantyliner pada waktunya
untuk mencegah bakteri berkembang biak.
4. Biasakan membasuh dengan cara yang benar tiap kali buang air yaitu dari arah depan ke
belakang.
5. Penggunaan cairan pembersih vagina sebaiknya tidak berlebihan karena dapat mematikan flora
normal vagina. Jika perlu, lakukan konsultasi medis dahulu sebelum menggunakan cairan
pembersih vagina.
6. Hindari penggunaan bedak talkum, tissue atau sabun dengan pewangi pada daerah vagina karena
dapat menyebabkan iritasi.
7. Hindari pemakaian barang-barang yang memudahkan penularan seperti meminjam
perlengkapan mandi dsb. Sedapat mungkin tidak duduk di atas kloset di WC umum atau biasakan
mengelap dudukan kloset sebelum menggunakannya.(8)
Ringkasan Terapi Uretritis Gonokokkus dan Uretritis Non-Gonokokkus Dikutip dari
Pedoman Nasional Penanganan IMS Depkes Tahun 2011
Pengobatan Uretritisn Gonokokkus Pengobatan Uretritis Non Gonokokkus
Ceflxime 400 mg oral, dosis tunggal Azithromisin 1 gr, oral, dosis tunggal,
ATAU ATAU
Levofloxacin* 500 mg oral, dosis tunggal Doksisiklin* 2x100 mg oral selama 7 hari
Pilihan Pengobatan Lain
Kanamisin 2gr, IM, dosis tunggal, ATAU
Tiamfenikol 3,5 gr, oral, dosis tunggal,
Eritromisin 4x500 mg, oral, selama 7 hari
ATAU
Ceftriaxon 250 mg, IM, dosis tunggal
*Tidak boleh diberikan pada usia < 12 tahun
IM = Intramuskular
3. Bakterial Vaginosis
3.1 Definisi
Sindroma atau kumpulan gejala klinis akibat pergeseran lactobacilli yang merupakan flora normal
vagina yang dominan oleh bakteri lain, seperti Gardnerella vaginalis, Prevotella spp, Mobilancus
spp, Mycoplasma spp dan Bacteroides spp.
3.2 Patogenesis
G. vaginalis merupakan bakteri anaerob batang variabel gram yang mengalami hiperpopulasi
sehingga menggantikan flora normal vagina dari yang tadinya bersifat asam menjadi bersifat basa.
Perubahan ini terjadi akibat berkurangnya jumlah Lactobacillus yang membantu menjaga
keasaman vagina dan menghambat mikroorganisme anaerob lain untuk tumbuh di vagina.
3.3 Diagnosis
Asimtomatik pada sebagian penderita. Keluhan umumnya berupa cairan yang berbau amis seperti
ikan terutama setelah melakukan hubungan seksual. Pada pemeriksaan didapatkan jumlah duh
tubuh vagina tidak banyak, berwarna putih, keabu-abuan, homogen, cair, dan biasanya melekat
pada dinding vagina. Pada vulva atau vagina jarang atau tidak ditemukan inflamasi.
Pemeriksaan penunjang
•Whiff test
Penambahan KOH 10% pada duh tubuh vagina tercium bau amis
•Pemeriksaan mikroskopik
Sediaan apus vagina yang diwarnai dengan pewarnaan gram ditemukan sel epitel vagina yang
ditutupi bakteri batang sehingga batas sel menjadi kabur (clue cells)
•Pemeriksaan pH vagina
3.4 Tatalaksana
Metronidazol 500 mg per oral 2x/hari selama 7 hari
Metronidazole 2 gr dosis tunggal
Klindamisin 2x300 mg per oral sehari selama 7 hari
Tinidazol 2x500 mg setiap hari selama 5 hari
Ampisilin atau amoksisilin dengan dosis 4x500 mg per oral selama 5 hari
3.5 Prognosis
Bakterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita walaupun tidak menunjukkan
gejala. Prognosis bakterial vaginosis sangat baik, karena infeksinya dapat disembuhkan.
Daftar Pustaka
Berek, J.S. Berek & Novak’s Gynecology, ed. 14. Lippincott Williams & Wilkins; United States :
2007
Wiknjosastro, H, Saifuddin, B, Rachimhadi, Trijatmo. Radang dan Beberapa penyakit lain pada
alat genital wanita in Ilmu Kandungan. 1999. Edisi kedua , Cetakan Ketiga.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo : Jakarta
Amiruddin, D. Fluor Albus in Penyakit Menular Seksual. 2003.LKiS : Jogjakarta
Manoe, I.. M.S. M, Rauf, S, Usmany,H. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi.
1999. Bagian/SMF Obstetri dn Ginekologi Fakultas Kedokteran Unhas
RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo : Ujung pandang
Anindita, Wiki. Santi Martini. 2006. Faktor Resiko Kejadian Kandidiasis vaginalis pada akseptor
KB. Fakultas Kesehatan Masyarakat. UNAIR. Surabaya.
Jarvis G.J. The management of gynaecological infections in Obstetric and Gynaecology A Critical
Approach to the Clinical Problems. 1994. Oxford University Press : Oxford
Mansjoer A, Triyanti K, Savitri, R, Wardhani,W.I, Setiowulan, W. Keputihan In. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi ke-3. 2001. Media Aesculapius : Jakarta