Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTIFIKASI
Nama

: Lia

Umur

: 23 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan


Alamat

: Sindang Kempeng

Agama

: Islam

1.2 ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Demam
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang perempuan datang ke IGD UPT Puskesmas Beber dengan
keluhan demam sejak 2 hari yang lalu. Demam dirasakan mendadak, terus
menerus, menggigil (-), keringat banyak (-).
Keluhan disertai nyeri kepala yang dirasakan pasien sejak 2 hari yang
lalu, nyeri dirasakan seperti diikat, nyeri dirasakan hilang timbul, nyeri timbul
saat aktifitas dan mereda setelah istirahat. Pasien juga mengeluh nyeri perut
sejak kemarin, nyeri di sekitar ulu hati, nyeri seperti ditonjok, nyeri perut
disertai dengan mual namun tidak sampai muntah.
BAB dan BAK (+) tidak ada keluhan, bintik merah pada kulit disangkal,
batuk (-), pilek (-), nyeri menelan (-), nyeri otot dan sendi (+), mimisan (-),
Perdarahan gusi (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama.
D. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluhan serupa di keluarga (-), riwayat typoid (-), riwayat DBD (-).
E. Riwayat Sosial
Riwayat bepergian keluar kota (-), riwayat tetangga atau teman kerja yang
mengalami keluhan yang sama tidak diketahui pasien.
Pasien mengaku sering membeli jajanan sembarangan dan pola makan yang
tidak teratur.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan Umum
Keadaan Umum : baik
Kesadaran

: composmentis

Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah

: tidak dilakukan

Frek. Nadi

: 80 kali per menit

Frek. Pernafasan : 20 kali per menit


: 36,50C

Suhu
B. Status Generalis
Kepala

: normochepal, rambut hitam

Mata

: conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Hidung

: dalam batas normal

Telinga

: dalam batas normal

Mulut

: dalam batas normal

Leher

: pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)

Thorak
Inspeksi

: bentuk normothoraks, pernapasan simetris

Palpasi

: nyeri tekan -/-, pergerakan dinding dada simetris

Perkusi

: sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi

: VBS +/+, Wheezing -/-, Rhonki -/-

Abdomen
2

Inspeksi

: bentuk normal

Auskultasi

: bising usus (+), frekuensi 13 kali per menit.

Perkusi

: timpani di seluruh regio abdomen

Palpasi

: nyeri tekan (-), pembesaran organ (-)

Ekstremitas

: akral hangat, oedem -/-

Genital

: tidak dilakukan.

1.4 DIAGNOSIS BANDING


Demam dengue
Demam thypoid
1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb

: 9,6

Leukosit : 6600
Trombosit : 77.000
Widal

: negatif

1.6 DIAGNOSIS KERJA


Demam dengue
1.7 PENATALAKSANAAN
- Infus RL 20 tetes/menit
- Inj. Ranitidin
- Parasetamol 3x1
- Dionicol 4x1

- Metilprednisolon 2x1
- Trolit
1.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad functionam: ad bonam


Quo ad sanationam: ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus Dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. DBD
4

adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue. Manifestasi
simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (Hadinegoro, 1998) :

Gambar 1. Manifestasi klinis infeksi virus dengue menurut WHO 2011.

1. Demam tidak terdiferensiasi. Adalah infeksi dengue primer (yaitu infeksi


dengue pertama kalinya), gejala yang timbul adalah demam sederhana yang
tidak dapat dibedakan dengan infeksi virus lainnya. Ruam makulopapular dapat
menyertai demam atau mungkin muncul selama penurunan suhu badan sampai
normal. Umumnya disertai gangguan pencernaan dan pernapasan bagian atas.
2. Demam dengue (DD) paling sering terjadi pada anak-anak, remaja dan orang
dewasa. Hal ini umumnya merupakan penyakit demam akut dan kadang-kadang
demam biphasic dengan sakit kepala parah, mialgia, arthralgia, ruam,
leukopenia dan trombositopenia. Pada DD bisa menjadi penyakit melumpuhkan
dengan sakit kepala parah, nyeri otot, sendi dan tulang, terutama pada orang
dewasa. Kadang-kadang terjadi perdarahan yang tidak biasa seperti pendarahan
gastrointestinal, hypermenorrhea dan epistaksis masif.
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan). Demam berdarah dengue (DBD) lebih
sering terjadi pada anak kurang dari 15 tahun di daerah hiperendemik, berkaitan
dengan infeksi dengue berulang. DBD ditandai dengan onset akut dari demam
tinggi dan berhubungan dengan tanda-tanda dan gejala yang mirip dengan DD
5

pada fase awal. Ada diatesis hemoragik umum seperti uji tourniquet positif,
petechiae, hematom dan perdarahan gastrointestinal sering terjadi pada kasus
berat. Pada akhir dari fase demam, ada kecenderungan untuk berkembang
menjadi syok hipovolemik (dengue shock syndrome) akibat kebocoran plasma.
Kehadiran tanda-tanda awal sebelumnya seperti muntah terus-menerus, sakit
perut, lesu atau gelisah, atau lekas marah dan oliguria gejala khas untuk
intervensi mencegah syok. Trombositopenia dan meningkatnya hematokrit /
hemokonsentrasi adalah gejala sebelum syok.
4. Expanded dengue syndrome. Manifestasi yang tidak lazim dengan keterlibatan
organ vital seperti hati, otak, ginjal dan atau jantung yang terkait dengan infeksi
dengue yang dapat pula terjadi dengan tidak adanya bukti kebocoran plasma.
Kebanyakan pasien DBD yang memiliki manifestasi tidak lazim adalah hasil
dari komplikasi syok yang berkepanjangan dengan gagal organ atau pasien
dengan penyakit penyerta (co-infection).
Para pakar mengemukakan beberapa alasan mengapa klasifikasi WHO
1997 harus direvisi. Pertama, saat ini infeksi telah menyebar ke banyak negara.
Kedua

infeksi dengue mempunyai spektrum manifestasi klinis yang luas,

kadangkala sulit diramalkan baik secara klinis maupun prognosisnya. Walaupun


infeksi sembuh dengan sendirinya, adanya perembesan plasma dan perdarahan
dapat mengakibatkan akibat berat dan fatal. Para pakar kesulitan untuk
membedakan dengue ringan dan berat. Ketiga diperlukan triase klasifikasi yang
lebih luas dan longgar untuk penegakan diagnosis sedini mungkin dan
tatalaksana saat terjadi KLB. Keempat kesulitan untuk pengelompokan apabila
ditemukan dengue berat karena tidak terdapat dalam klasifikasi WHO 1997.
Akhirnya terbentuklah klasifikasi WHO 2009 (WHO, 2009).

Namun pada klasifikasi spektrum klinis infeksi dengue tidak dibedakan


antara kelompok DBD/DSS dengan kelompok DD. Lalu klasifikasi ini terlalu
luas sehingga menyebabkan overdiagnose, namun diakui perlu dibuat spektrum
klinis terpisah dari DBD, yaitu expanded dengue syndrome yang terdiri dari
isolated organopathy dan unusual manifestations. Berdasarkan hal tersebut maka
dibuat revisi dengan klasifikasi hampir sama klasifikasi WHO1997, namun
kelompok infeksi dengue simtomatik ditambah dengan expanded syndrome
dengue (Aru, 2006).
2.2 Etiologi
Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga Flaviridae. Terdapat 4
serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempatnya ditemukan
di Indonesia dengan DEN-3 serotipe terbanyak. Infeksi salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi
yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat
memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut (Kurane,
1992). Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3
atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan
di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang
dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa

keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3


merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan menunjukkan manifestasi
klinik yang berat. Kerentanan manusia tergantung pada sistem imun dan genetik
predisposition (Harikushartono, 2002).
2.3 Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan
kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes
albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga
menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk
Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum
dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus
dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan
transmission). Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh
nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya
(infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari
(intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari
manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari
setelah demam timbul (Aru, 2006).

2.4 Patofisiologi
2.4.1 Demam Dengue
Walaupun Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue
(DBD) disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya
yang berbeda yang menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama
8

adalah pada peristiwa renjatan yang khas pada DBD. Renjatan itu disebabkan
karena kebocoran plasma yang diduga karena proses imunologi. Pada demam
dengue hal ini tidak terjadi (Kurane, 1992).
Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap
masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan
ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul
gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan
segera bereaksi dengan menangkap virus dan memrosesnya sehingga
makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di
makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk
memfagosit lebih banyak virus. T-Helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik
yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan
sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali
yaitu

antibodi

netralisasi,

antibodi

hemagglutinasi,

antibodi

fiksasi

komplemen (Kurane, 1992).


Proses di atas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang
merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot,
malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi
aggregasi

trombosit

yang

menyebabkan

trombositopenia,

tetapi

trombositopenia ini bersifat ringan (WHO, 2009).


2.4.2 DBD
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk
Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ
RES meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus,
sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan
bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi
ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit
perifer. Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di
dalam sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus

genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom


virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen perantara
maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus
dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembanganbiakan virus DEN terjadi di
sitoplasma sel. Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung
protein yang menimbulkan cross reaction atau reaksi silang pada uji
serologis, hal ini menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit
ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi diantara keempat serotipe virus DEN.
Infeksi oleh satu serotipe virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap
serotipe virus tersebut, tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe
virus yang lain. Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4
fungsi biologis: netralisasi virus; sitolisis komplemen; Antibody Dependent
Cell-mediated Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent Enhancement
(Aru, 2006).
Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri atas protein C (capsid), M
(membran) dan E (envelope), sedang virus intraseluler mempunyai protein
pre-membran atau pre-M. Glikoprotein E merupakan epitop penting karena :
mampu membangkitkan antibodi spesifik untuk proses netralisasi, mempunyai
aktifitas hemaglutinin, berperan dalam proses absorbsi pada permukaan sel,
(binding receptor), mempunyai fungsi biologis antara lain untuk fusi
membran dan perakitan virion. Antibodi memiliki aktifitas netralisasi dan
mengenali protein E yang berperan sebagai epitop yang memiliki serotipe
spesifik, serotipe-cross reaktif atau flavivirus-cross reaktif. Antibodi
netralisasi ini memberikan proteksi terhadap infeksi virus DEN. Antibodi
monoclonal terhadap NS1 dari komplemen virus DEN dan antibodi poliklonal
yang ditimbulkan dari imunisasi dengan NS1 mengakibatkan lisis sel yang
terinfeksi virus DEN. Antibodi terhadap virus DEN secara in vivo dapat
berperan pada dua hal yang berbeda (Oppenheim, 1995):
a. Antibodi netralisasi atau neutralizing antibodies memiliki serotipe
spesifik yang dapat mencegah infeksi virus.

10

b. Antibodi non netralising serotipe memiliki peran cross-reaktif dan dapat


meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS.

Imunopatogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang


kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis
pada DBD dan SSD yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous
infection) (Oppenheim, 1995).
Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan
infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi
terhadap jenis virus tersebut untuk jangka waktu yang lama. Pengertian ini akan lebih
jelas bila dikemukakan sebagai berikut: Seseorang yang pernah mendapat infeksi
primer virus dengue, akan mempunyai antibody yang dapat menetralisasi yang sama
(homologous).
Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe
virus yang lain, maka terjadi infeksi yang berat. Hal ini dapat dijelaskan dengan
urAIan berikut: Pada infeksi selanjutnya, antibody heterologous yang telah terbentuk
dari infeksi primer akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue baru dari

11

serotipe berbeda; namun tidak dapat dinetralisasi virus baru bahkan membentuk
kompleks yang infeksius.
Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan
serotipe lain atau virus lain) karena adanya non neutralising antibodi maka partikel
virus DEN dan molekul antibodi IgG membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan
antara kompleks tersebut dengan reseptor Fc gama pada sel melalui bagian Fc dari
IgG menimbulkan peningkatan (enhancement) infeksi virus DEN. Kompleks virus
antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat
opsonisasi, internalisasi sehingga makrofag mudah terinfeksi sehingga akan
teraktivasi dan akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF alpha dan juga Platelet
Activating Faktor (PAF). Karena antibodi bersifat heterolog, maka virus tidak dapat
di neutralisasi tetapi bebas bereplikasi di dalam makrofag; informasi ini akan lebih
jelas bila diurAIkan dalam betuk gambar berikut:
TNF alpha baik yang terangsang INF gama maupun dari makrofag teraktivasi
antigen antibody kompleks, dan selanjutnya akan menyebabkan kebocoran dinding
pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan
kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas,
dimana hal tersebut akan mengakibatkan syok. Virus-Ab kompleks (kompleks imun)
yang terbentuk akan merangsang komplemen, yang farmakologis cepat dan pendek.
Bahan ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran
plasma (syok hipovolemik) dan perdarahan.

12

Pada anak umur dibawah 2 tahun, yang lahir dari ibu dengan riwayat pernah
terinfeksi virus DEN, dimana terjadi infeksi virus dari ibu ke anak maka dalam tubuh
anak tersebut telah terjadi Non Neutralizing Antibodies akibat adanya infeksi yang
persisten, sehingga infeksi baru pertama kali sudah terjadi proses Enhancing yang
akan memacu makrofag sehingga mudah terinfeksi dan teraktivasi dan akan
mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF. Dimana bahan-bahan mediator
tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan system
hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan (Wang,
1995).

13

2.5 Gejala Klinis


2.5.1 Demam Berdarah Dengue
Setelah masa inkubasi rata-rata 4-6 hari (kisaran 3-14 hari), berbagai
gejala non-spesifik konstitusional dari sakit kepala, sakit punggung dan
malAIse umum dapat ditemukan. Biasanya, awal DD adalah kenaikan suhu
tiba-tiba dan sering dikAItkan dengan wajah memerah dan sakit kepala.
Sesekali, menggigil menyertai kenaikan suhu yang mendadak. selanjutnya,
mungkin ada nyeri retro-orbital

pada gerakan mata atau tekanan mata,

fotofobia, sakit punggung, dan nyeri pada otot dan sendi/tulang. Gejala umum
lainnya termasuk anoreksia dan perubahan sensasi rasa, sembelit, nyeri kolik
dan nyeri perut, nyeri di daerah inguinal, sakit tenggorokan (Aru, 2006).
a. Demam
Suhu tubuh biasanya antara 39 C dan 40 C, dan demam mungkin
biphasic, 5-7 hari.
b. Ruam
Kemerahan difus atau erupsi sekilas dapat diamati pada wajah, leher dan
dada selama dua sampai tiga hari pertama, dan ruam mencolok yang
mungkin makulopapular atau rubelliform muncul pada sekitar hari ketiga
atau keempat. Menjelang akhir masa demam atau segera setelah penurunan
suhu badan sampai yg normal, ruam umum memudar dan kelompok lokal
petechiae mungkin muncul pada dorsum kaki, di kaki, dan di tangan dan
lengan. petechiae konfluen ditandai dengan kulit terasa gatal.
c. Manifestasi perdarahan
Perdarahan kulit dapat hadir dengan uji tourniquet positif dan / atau
petechiae. Pendarahan lain seperti epistaksis masif, hypermenorrhea,
perdarahan ginggiva dan perdarahan gastrointestinal jarang terjadi di DD,
komplikasi dengan trombositopenia.

14

d. Laboratorium
1. Di daerah endemik demam berdarah, tes turniket positif dan
leukopenia (WBC 5000 sel/mm3) membantu dalam membuat
diagnosis awal infeksi dengue dengan nilai prediksi positif 70% -80%.
2. Jumlah WBC biasanya normal pada awal demam, kemudian
berkembang menjadi leukopenia dengan penurunan neutrofil dan
berlangsung selama periode demam.
3. Jumlah platelet biasanya normal, seperti juga komponen lain dari
mekanisme pembekuan darah. Trombositopenia ringan (100. 000-150.
000 sel/mm3) sering ditemukan, dari rata-rata semua pasien DD
memiliki jumlah trombosit di bawah 100.000 sel/mm3, tetapi
trombositopenia berat (<50 000 sel/mm3) jarang terjadi.
4. Hematokrit meningkat ringan ( 10%) dapat ditemukan sebagai
konsekuensi dari dehidrasi yang terkait dengan muntah, demam,
anoreksia dan asupan oral yang buruk.
5. Biokimia

darah

biasanya

aminotransferase (ALT) dan

normal

tapi

enzim

hati

alanine

aspartate amino transferase (AST)

mungkin meningkat.
2.5.2 Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue.
Kasus DBD khas ditandai dengan demam tinggi, fenomena perdarahan,
hepatomegali, dan sering dengan gangguan peredaran darah dan syok.
Trombositopenia sedang yang ditandai bersamaan dengan hemokonsentrasi
/peningkatan hematokrit adalah temuan laboratorium yang khas terlihat.
Perubahan patofisiologi utama yang menentukan tingkat keparahan DBD dan
membedakannya dari demam dengue adalah hemostasis abnormal dan
kebocoran plasma selektif dalam rongga pleura dan perut. Perjalanan klinis
DBD dimulai dengan kenaikan suhu yang mendadak disertai wajah kemerahan
dan gejala yang menyerupai demam berdarah, seperti anoreksia, muntah, sakit
kepala dan nyeri otot atau sendi (Harikushartono, 2002).

15

Tes tourniquet positif (~ 10 titik / inci 2), bisa diamati pada fase demam
awal. Petechiae halus tersebar pada ekstremitas, aksila, wajah dan langit-langit
mulut dapat dilihat selama fase demam awal. Ruam peteki konfluen dengan
daerah seputaran kulit normal terlihat dalam masa pemulihan, seperti pada
demam berdarah. Epistaksis dan perdarahan gusi kurang umum. Perdarahan
gastrointestinal ringan kadang-kadang dapat tampak, keadaan ini bisa menjadi
lebih parah pada pasien yang sudah ada penyakit ulkus peptikum sebelumnya.
Hematuria jarang terjadi. Hepar biasanya teraba di awal fase demam, hanya
teraba 2-4 cm di bawah batas kosta kanan. Ukuran hepar tidak berkorelasi
dengan keparahan penyakit, tetapi hepatomegali lebih sering pada kasus syok
(Aru, 2006).
Fase kritis DBD, yaitu periode kebocoran plasma, dimulai sekitar transisi
dari demam ke fase afebris. Bukti kebocoran plasma, efusi pleura dan ascites
mungkin, Namun tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik pada fase
awal kebocoran plasma atau kasus-kasus ringan DBD. Hematokrit meningkat,
misalnya 10% sampai 15% di atas normal, adalah bukti paling awal kebocoran
plasma. Komplikasi yang signifikan dari kebocoran plasma menyebabkan syok
hipovolemik. Bahkan dalam kasus-kasus syok, sebelum terapi cairan intravena,
efusi pleura dan ascites mungkin tidak terdeteksi secara klinis. USG atau foto
thorax untuk membuktikan kebocoran plasma dapat mendahului deteksi klinis.
Rontgen dada kanan dekubitus lateral yang meningkatkan sensitivitas untuk
mendeteksi efusi pleura. Dinding kandung empedu edema dikAItkan dengan
kebocoran plasma dan mungkin mendahului deteksi klinis. Penurunan albumin
serum secara signifikan yaitu > 0,5 gram/dl dari awal adalah bukti tidak
langsung plasma leakage. Dalam kasus-kasus ringan DBD, semua tanda dan
gejala mereda setelah demam reda. Penurunan demam bisa disertai dengan
keringat dan perubahan ringan pada denyut nadi dan tekanan darah. Perubahan
ini mencerminkan gangguan peredaran darah ringan dan sementara sebagai
akibat dari kebocoran plasma derajat ringan. Pasien biasanya pulih baik secara
spontan atau setelah terapi cairan dan elektrolit. Dalam kasus sedang sampai

16

parah, kondisi pasien memburuk beberapa hari setelah timbulnya demam. Ada
warning sign seperti muntah terus-menerus, sakit perut, penolakan asupan oral,
lesu atau gelisah atau lekas marah, oliguria. Mendekati akhir fase demam, pada
saat atau segera setelah suhu turun atau antara 3-7 hari setelah timbulnya
demam, ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi: kulit menjadi dingin, perioral
sianosis sering diamati, dan denyut nadi menjadi lemah dan cepat. Meskipun
beberapa pasien mungkin tampak lesu, biasanya mereka menjadi gelisah dan
kemudian dengan cepat masuk ke tahap kritis dari syok. Sakit perut akut adalah
keluhan sering sebelum timbulnya syok. Shock ditandai dengan nadi cepat dan
lemah dengan penyempitan tekanan nadi < 20 mmHg dengan tekanan diastolik
yang meningkat, misalnya 100/90 mmHg, atau hipotensi. Tanda-tanda perfusi
jaringan berkurang adalah: waktu pengisian kapiler (> 3 detik), kulit teraba
dingin dan gelisah. Pasien shock berada dalam bahaya kematian jika tidak ada
pengobatan yang cepat dan tepat diberikan. Pasien mungkin masuk ke dalam
tahap syok mendalam dengan tekanan darah dan / atau pulsasi nadi menjadi tak
teraba (DBD derajat 4). Perlu dicatat bahwa sebagian besar pasien tetap sadar
hampir ke tahap terminal (Hadinegoro, 1998).
a. Manifestasi Klinis

Demam: onset akut, tinggi dan terus menerus, berlangsung dua sampai
tujuh hari dalam banyak kasus.

Salah satu manifestasi perdarahan berikut termasuk tes tourniquet


positif, petechiae, purpura (pada situs venepuncture), epistaksis,
perdarahan gusi, dan hematemesis dengan atau tanpa melena.

Pembesaran hati (hepatomegali) diamati pada beberapa tahapan


penyakit pada 90% -98% anak. Frekuensi bervariasi dengan waktu dan /
atau pengamat.

Syok, dimanifestasikan dengan takikardia, perfusi jaringan yang buruk


dengan denyut nadi lemah dan tekanan nadi menyempit (< 20 mmHg)
atau hipotensi dengan akral dingin, kulit lembab dan / atau gelisah.

17

b. Temuan Laboratorium
Trombositopenia (100.000 sel/mm3 atau kurang).
Haemoconcentration; hematokrit meningkat 20% dari baseline pasien.
Dua

kriteria

klinis

pertama,

ditambah

trombositopenia

dan

haemoconcentration atau hematokrit meningkat, cukup untuk membuat diagnosis


klinis DBD. Kehadiran pembesaran hati sebagai tambahan dari dua kriteria klinis
pertama dapat menandakan DBD sebelum timbulnya kebocoran plasma.
Dalam kasus dengan syok, hematokrit tinggi dan trombositopenia
mendukung diagnosis DSS. LED rendah (<10 mm / jam) selama syok
membedakan DSS dari syok septik. LED yang rendah terjadi karena rendahnya
tingkat albumin dan fibrinogen.
Warning sign :
Tidak ada perbaikan klinis atau memburuknya situasi sebelum atau selama
masa transisi ke fase afebris atau sebagai kemajuan penyakit.

Muntah persistent, tidak minum.

Nyeri perut yang parah


Letargi dan / atau gelisah, perubahan perilaku mendadak.
Perdarahan: Epistaksis, hematemesis, perdarahan menstruasi yang berlebihan,
urin berwarna gelap (haemoglobinuria) atau hematuria.
Pusing.
Pucat, tangan dan kaki dingin dan basah.
Kurang / tidak ada output urin selama 4-6 jam.

18

2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Pemantauan Di Rumah Sakit
Parameter berikut harus dipantau:
Kondisi Umum, nafsu makan, muntah, perdarahan dan tanda-tanda dan gejala.
Tanda-tanda vital seperti suhu, denyut nadi, frekuensi pernapasan dan tekanan
darah harus diperiksa setidaknya setiap 2-4 jam untuk penderita non syok dan
1-2 jam pada pasien syok.
Serial hematokrit harus dilakukan minimal setiap empat sampai enam jam
dalam kasus yang stabil dan harus lebih sering pada pasien yang tidak stabil
atau mereka yang dicurigai dengan perdarahan. Perlu dicatat bahwa
hematokrit harus dilakukan sebelum resusitasi cairan. Jika hal ini tidak
mungkin, maka harus dilakukan setelah bolus cairan tetapi tidak selama infus
bolus tersebut.
Urine output (jumlah urin) harus dicatat setidaknya setiap 8 sampai 12 jam
pada kasus tanpa komplikasi dan pada setiap jam pada pasien dengan
mendalam / berkepanjangan atau mereka dengan overload cairan. Selama
periode ini jumlah output urin harus sekitar 0,5 ml / kg / jam (ini harus
didasarkan pada berat badan ideal) (Aru, 2006).
2.6.2 Terapi intravena
Prinsip-prinsip umum dari terapi cairan pada DBD antara lain (Harikushartono,
2002):
Isotonik kristaloid solusi harus digunakan selama periode kritis kecuali bayi
usia <6 bulan natrium klorida 0,45% dapat digunakan.
Hyper-onkotik koloid solusi (osmolaritas> 300 mOsm / l) seperti dekstran 40
dapat digunakan pada pasien dengan kebocoran plasma besar, dan mereka
tidak menanggapi dengan volume kristaloid. Iso-onkotik koloid solusi seperti
plasma dan hemaccel mungkin tidak efektif.

19

Volume maintenance +5% harus diberikan untuk mempertahankan kecukupan


volume intravaskular dan sirkulasi.
Lamanya terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24 hingga 48 jam bagi
mereka dengan shock. Namun, bagi pasien yang tidak memiliki shock, durasi
terapi cairan intravena mungkin harus lebih lama tetapi tidak lebih dari 60
sampai 72 jam. Hal ini karena kelompok terakhir pasien baru saja memasuki
periode kebocoran plasma sedangkan pasien syok mengalami durasi yang
lebih lama dari kebocoran plasma sebelum terapi intravena dimulai.
Pada pasien obesitas, berat badan ideal harus digunakan sebagai panduan
untuk menghitung volume cairan.
Tingkat cairan intravena harus disesuaikan dengan situasi klinis. Tingkat
cairan IV berbeda pada orang dewasa dan anak-anak. Tabel 3. menunjukkan
tingkat infus IV pada anak-anak dan orang dewasa yang berkaitan dengan
maintenance.
Tabel 3.Cairan Intravena Dewasa Dan Anak-Anak
Note
Half the maintenance M/2
Maintenance (M)
M + 5% deficit
M + 7% deficit
M + 10% deficit

Childre rate (ml/kg/hour)


1.5
3
5
7
10

Adult rate (ml/hour)


4050
80100
100120
120150
300500

Transfusi trombosit tidak dianjurkan untuk trombositopenia (tidak ada transfusi


trombosit profilaksis). Ini dapat dipertimbangkan pada trombositopenia sangat
parah (kurang dari 10 000 sel/mm3).
Secara umum, tunjangan cairan (oral + IV) adalah maintenance (satu hari) + defisit
5% (oral dan cairan IV bersama-sama), yang akan diberikan selama 48 jam.

20

Tingkat penggantian IV harus disesuaikan menurut laju kehilangan plasma,


dipandu oleh kondisi klinis, tanda-tanda vital, produksi urin dan kadar hematokrit.
2.6.3 Manajemen Syok
DSS adalah syok hipovolemik akibat kebocoran plasma dan ditandai oleh
peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik, yang diwujudkan oleh tekanan
nadi menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan tekanan diastolik yang
meningkat, misalnya 100/90 mmHg). Bila hipotensi hadir, kita harus menduga
bahwa perdarahan parah, dan perdarahan gastrointestinal sering tersembunyi,
mungkin telah terjadi di samping kebocoran plasma (Aru, 2006).
Perlu dicatat bahwa resusitasi cairan DSS berbeda dari jenis syok yang lain
seperti syok septik. Sebagian besar kasus DSS akan merespon 10 ml / kg pada
anak-anak atau 300-500 ml pada orang dewasa lebih dari satu jam atau dengan
bolus, jika perlu. Selanjutnya, pemberian cairan harus mengikuti grafik seperti
pada Gambar 7. Namun, sebelum mengurangi tingkat penggantian IV, kondisi
klinis, tanda-tanda vital, produksi urin dan kadar hematokrit harus diperiksa untuk
memastikan perbaikan klinis (WHO, 2009).
Pemeriksaan laboratorium (ABC) harus dilakukan baik kasus shock dan
non-shock ketika tidak ada perbaikan meskipun penggantian volume yang
memadai. Jika ada kelainan harus dikoreksi.
Singkatan
AAcidosis

Pemeriksaan
Analisis gas darah

Keterangan
Indikasi prolonged shock, keterlibatan

BBleeding

Hematokrit

organ, fungsi ginjal dan hati


Apabila menurun di bandingkan
sebelumnya, lakukan crossmatch untuk

CCalcium

Elektrolit, Ca++

transfuse darah
Hipokalsemia dapat terjadi tanpa gejala,
diberikan pada DBD berat. Dosis 1
mg/kgBB,encerkan 2x, iv perlahan,
dapat di ulang tiap 6 jam, maksimal 10

SBlood sugar

Gula darah

cc ca glukonas
Terjadi pada kasus yang disertai muntah

21

dan intake inadekuate.

Tingkat cairan IV dikurangi karena perfusi perifer membaik, tetapi itu harus
dilanjutkan untuk jangka waktu minimal 24 jam dan dihentikan 36 sampai 48
jam. Cairan yang berlebihan akan menyebabkan efusi besar karena
permeabilitas kapiler meningkat. Penggantian volume aliran untuk pasien
dengan DSS digambarkan di bawah ini.
2.6.4 Pengelolaan Perdarahan Berat
a. Jika sumber perdarahan diidentifikasi, upaya harus dilakukan untuk
menghentikan perdarahan jika memungkinkan. Epistaksis yang berat,
misalnya, dapat dikendalikan oleh packing hidung. Transfusi darah urgent
yang menyelamatkan jiwa dan jangan ditunda sampai HCT turun ke tingkat
rendah. Jika kehilangan darah bisa diukur, ini harus diganti. Namun, jika
ini tidak bisa diukur, aliquots dari 10 ml / kg fresh whole blood atau 5 ml /
kg freshly packed red harus ditransfusi dan respon dievaluasi. Pasien
mungkin memerlukan satu atau beberapa alikuot.
b. Pada perdarahan gastrointestinal, H-2 antagonis dan inhibitor pompa
proton telah digunakan, tetapi belum ada studi yang tepat untuk
menunjukkan kemanjurannya. Tidak ada bukti untuk mendukung
penggunaan komponen darah seperti trombosit konsentrat, fresh frozen
plasma atau kriopresipitat. Penggunaannya dapat memberikan kontribusi
untuk overload cairan. Faktor rekombinan 7 mungkin bisa membantu pada
beberapa pasien tanpa gagal organ, tetapi sangat mahal dan umumnya tidak
tersedia.

2.6.5 Kriteria Untuk Pasien Pulang

22

a. Tidak adanya demam selama paling sedikit 24 jam tanpa menggunakan


anti-demam terapi.
b. Kembali nafsu makan.
c. Perbaikan klinis
d. Output urin Memuaskan.
e. Minimal 2-3 hari telah berlalu setelah sembuh dari shock.
f. Tidak ada gangguan pernapasan dari efusi pleura dan tidak ada ascites.
g. Hitungan trombosit lebih dari 50 000/mm3. Jika tidak, pasien dapat
dianjurkan untuk menghindari kegiatan traumatis setidaknya selama 1-2
minggu untuk jumlah trombosit menjadi normal. Pada kasus tanpa
komplikasi, kenaikan trombosit normal dalam waktu 3-5 hari.
2.6.6 Pengelolaan Overload Cairan
Tinjau terapi cairan intravena dan jumlah perjalanan klinis, dan
memeriksa dan mengoreksi ABC (Kotak 14). Semua larutan hipotonik harus
dihentikan. Dekstran 40 efektif 10 ml/kg infus bolus, tetapi dosis dibatasi
sampai 30 ml/kg/ hari karena efek ginjalnya. Dekstran 40 diekskresikan dalam
urin dan akan mempengaruhi osmolaritas urin. Pasien mungkin mengalami urin
sticky karena sifat hyperoncotic dari dekstran 40 (osmolaritas sekitar dua kali
lipat dari plasma) (Aru, 2006).
Pada tahap akhir overload cairan atau mereka dengan

edema paru,

furosemid dapat diberikan jika pasien memiliki tanda-tanda vital stabil. Jika
mereka berada pada shock bersama dengan overload, cairan 10 ml / kg / jam
koloid (dekstran) harus diberikan. Ketika tekanan darah stabil, biasanya dalam
waktu 10 sampai 30 menit infus, mengelola IV 1 mg / kg / dosis furosemid dan
lanjutkan dengan infus dekstran sampai selesai. Cairan intravena harus
dikurangi ke level 1 ml / kg / jam sampai penghentian ketika hematokrit turun

23

menjadi dasar atau bawah (dengan perbaikan klinis). Hal-hal berikut harus
diperhatikan:
Pasien harus memiliki kateter kandung kemih untuk memantau pengeluaran
urin per jam.
Furosemide harus diberikan selama infus dekstran karena sifat hyperoncotic
dari dekstran akan mempertahankan volume intravaskuler sementara
furosemid menghabiskannya di kompartemen intravaskuler.
Setelah pemberian furosemid, tanda-tanda vital harus dipantau setiap 15 menit
selama satu jam untuk dicatat dampaknya.
Jika tidak ada output urin dalam menanggapi furosemide, periksa status
volume intravaskular (CVP (central vena preasure atau laktat). Jika cukup,
menyiratkan bahwa pasien dalam keadaan gagal ginjal akut. Pasien-pasien
mungkin memerlukan bantuan ventilator segera. Jika volume intravaskular
tidak memadai atau tekanan darah tidak stabil, periksa ABCS dan
ketidakseimbangan elektrolit lainnya.
Dalam kasus dengan tidak ada respon terhadap furosemid (urin tidak
diperoleh), dosis furosemide diulang dan dua kali lipat dari dosis yang
dianjurkan. Jika gagal ginjal oliguria ditegakan, terapi penggantian ginjal
harus dilakukan sesegera mungkin. Kasus-kasus ini memiliki prognosis buruk.
Pungsi asites dan pleura dapat diindikasikan dan dapat menyelamatkan jiwa
dalam kasus-kasus dengan gangguan pernapasan parah dan kegagalan
manajemen di atas. Ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena
perdarahan traumatik adalah komplikasi yang paling serius dan menyebabkan
kematian. Inform consent tentang komplikasi dan prognosis dengan keluarga
wajib sebelum melakukan prosedur ini.

2.7 Pemberantasan Demam Berdarah Dengue

24

Kegiatan pemberantasan DBD terdiri atas kegiatan pokok dan kegiatan


penunjang. Kegiatan pokok meliputi pengamatan dan penatalaksaan penderita,
pemberantasan vektor, penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi.
Kegiatan pokok
1. Pengamatan dan penatalaksanaan penderita
Setiap penderita/tersangka DBD

yang

dirawat

di

rumah

sakit/puskesmas dilaporkan secepatnya ke Dinas Kesehatan Daerah Tingkat


II. Penatalaksanaan penderita dilakukan dengan cara rawat jalan dan rawat
inap sesuai dengan prosedur diagnosis, pengobatan dan sistem rujukan yang
berlaku.
2. Pemberantasan vektor
Pemberantasan sebelum musim penularan meliputi perlindungan
perorangan, pemberantasan sarang nyamuk, dan pengasapan. Perlindungan
perorangan untuk mencegah gigitan nyamuk bisa dilakukan dengan
meniadakan sarang nyamuk di dalam rumah dan memakai kelambu pada
waktu tidur siang, memasang kasa di lubang ventilasi dan memakai penolak
nyamuk. Juga bisa dilakukan penyemperotan dengan obat yang dibeli di toko
seperti mortein, baygon, raid, hit dll.
Pergerakan pemberantasan sarang nyamuk adalah kunjungan ke
rumah/tempat umum secara teratur sekurang-kurangnya setiap 3 bulan untuk
melakukan penyuluhan dan pemeriksaan jentik. Kegiatan ini bertujuan untuk
menyuluh dan memotivasi keluarga dan pengelola tempat umum untuk
melakukan PSN secara terus menerus sehingga rumah dan tempat umum
bebas dari jentik nyamuk Ae. aegypti. Kegiatan PSN meliputi menguras bak
mandi/wc dan tempat penampungan air lainnya secara teratur sekurangkurangnya seminggu sekali, menutup rapat TPA, membersihkan halaman
dari kaleng, botol, ban bekas, tempurung, dll sehingga tidak menjadi sarang
nyamuk, mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung,
mencegah/mengeringkan air tergenang di atap atau talang, menutup lubang

25

pohon atau bambu dengan tanah, membubuhi garam dapur pada perangkap
semut, dan pendidikan kesehatan masyarakat.
Pengasapan masal dilaksanakan 2 siklus di semua rumah terutama di
kelurahan endemis tinggi, dan tempat umum di seluruh wilayah kota.
Pengasapan dilakukan di dalam dan di sekitar rumah dengan menggunakan
larutan malathion 4% (atau fenitrotion) dalam solar dengan dosis 438 ml/Ha.
3. Penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi
Penyuluhan perorangan dilakukan di rumah pada waktu pemeriksaan
jentik berkala oleh petugas kesehatan atau petugas pemeriksa jentik dan di
rumah sakit/puskesmas/praktik dokter oleh dokter/perawat. Media yang
digunakan adalah leaflet, flip chart, slides, dll.
Penyuluhan kelompok dilakukan kepada warga di lokasi sekitar rumah
penderita, pengunjung rumah sakit/puskesmas/ posyandu, guru, pengelola
tempat umum, dan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya.
Evaluasi operasional dilaksanakan dengan membandingkan
pencapaian target masing-masing kegiatan dengan direncanakan berdasarkan
pelaporan untuk kegiatan pemberantasan sebelum musim penularan.
Peninjauan di lapangan dilakukan untuk mengetahui kebenaran pelaksanaan
kegiatan program.
Kegiatan penunjang
Kegiatan penunjang yang dilakukan adalah peningkatan keterampilan
tenaga melalui pelatihan, penataran, bimbingan teknis dan penyebarluasan
buku petunjuk, publikasi dll.
Pelatihan diberikan kepada teknisi alat semprot, petugas pemeriksa
jentik, kader, dan tenaga lapangan lainnya sedangkan pentaran diberikan
kepada petugas sanitasi puskesmas, dokter/kepala puskesmas, para medis,
petugas pelaksana pemberantasan DBD Dinas Kesehatan. Selain itu
diadakan pertemuan/rapat kerja di berbagai tingkat mulai dari puskesmas
sampai tingkat pusat.
Penelitian dilaksanakan dalam rangka mengembangkan teknologi
pemberantasan meliputi aspek entomologi, epidemiologi, sosioantropologi,

26

dan klinik. Penelitian diselenggarakan oleh Depkes, perguruan tinggi, atau


lembaga penelitian lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

27

Aru W Sudoyo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta :
Penerbitan IPD FKUI. h. 1709-1713
Hadinegoro SR. 1998. Demam berdarah dengue. Naskah lengkap pelatihan bagi
pelatih dokter spesialis anak dan spesialis penyakit dalam, dalam tatalaksana
kasus DBD. Ed ke-1, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Harikushartono. 2002, Demam Berdarah Dengue: Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan
Penatalaksanaan, Jakarta, Penerbit Salemba Medika.
Kurane I. 1992. Immunity and immunopathologi in dengue virus infections. Seminars
in Imunology., vol.4;121-127.
Oppenheim J. 1995. Cytokines Basic and Clinical Immunology. Seven edition. 78-98.
Wang S. 1995. Antibody-Enhanced Binding of Dengue Virus to Human Platelets.
J.Virology. October 213: page:1254-1257.
World Health Organization. Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention
and control.Geneva: WHO, 2009.

28

Anda mungkin juga menyukai