LAPORAN KASUS
1.1 IDENTIFIKASI
Nama
: Lia
Umur
: 23 tahun
: Sindang Kempeng
Agama
: Islam
1.2 ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Demam
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang perempuan datang ke IGD UPT Puskesmas Beber dengan
keluhan demam sejak 2 hari yang lalu. Demam dirasakan mendadak, terus
menerus, menggigil (-), keringat banyak (-).
Keluhan disertai nyeri kepala yang dirasakan pasien sejak 2 hari yang
lalu, nyeri dirasakan seperti diikat, nyeri dirasakan hilang timbul, nyeri timbul
saat aktifitas dan mereda setelah istirahat. Pasien juga mengeluh nyeri perut
sejak kemarin, nyeri di sekitar ulu hati, nyeri seperti ditonjok, nyeri perut
disertai dengan mual namun tidak sampai muntah.
BAB dan BAK (+) tidak ada keluhan, bintik merah pada kulit disangkal,
batuk (-), pilek (-), nyeri menelan (-), nyeri otot dan sendi (+), mimisan (-),
Perdarahan gusi (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa di keluarga (-), riwayat typoid (-), riwayat DBD (-).
E. Riwayat Sosial
Riwayat bepergian keluar kota (-), riwayat tetangga atau teman kerja yang
mengalami keluhan yang sama tidak diketahui pasien.
Pasien mengaku sering membeli jajanan sembarangan dan pola makan yang
tidak teratur.
: composmentis
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah
: tidak dilakukan
Frek. Nadi
Suhu
B. Status Generalis
Kepala
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Leher
Thorak
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
2
Inspeksi
: bentuk normal
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
Ekstremitas
Genital
: tidak dilakukan.
: 9,6
Leukosit : 6600
Trombosit : 77.000
Widal
: negatif
- Metilprednisolon 2x1
- Trolit
1.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam
: ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus Dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. DBD
4
adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue. Manifestasi
simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (Hadinegoro, 1998) :
pada fase awal. Ada diatesis hemoragik umum seperti uji tourniquet positif,
petechiae, hematom dan perdarahan gastrointestinal sering terjadi pada kasus
berat. Pada akhir dari fase demam, ada kecenderungan untuk berkembang
menjadi syok hipovolemik (dengue shock syndrome) akibat kebocoran plasma.
Kehadiran tanda-tanda awal sebelumnya seperti muntah terus-menerus, sakit
perut, lesu atau gelisah, atau lekas marah dan oliguria gejala khas untuk
intervensi mencegah syok. Trombositopenia dan meningkatnya hematokrit /
hemokonsentrasi adalah gejala sebelum syok.
4. Expanded dengue syndrome. Manifestasi yang tidak lazim dengan keterlibatan
organ vital seperti hati, otak, ginjal dan atau jantung yang terkait dengan infeksi
dengue yang dapat pula terjadi dengan tidak adanya bukti kebocoran plasma.
Kebanyakan pasien DBD yang memiliki manifestasi tidak lazim adalah hasil
dari komplikasi syok yang berkepanjangan dengan gagal organ atau pasien
dengan penyakit penyerta (co-infection).
Para pakar mengemukakan beberapa alasan mengapa klasifikasi WHO
1997 harus direvisi. Pertama, saat ini infeksi telah menyebar ke banyak negara.
Kedua
2.4 Patofisiologi
2.4.1 Demam Dengue
Walaupun Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue
(DBD) disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya
yang berbeda yang menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama
8
adalah pada peristiwa renjatan yang khas pada DBD. Renjatan itu disebabkan
karena kebocoran plasma yang diduga karena proses imunologi. Pada demam
dengue hal ini tidak terjadi (Kurane, 1992).
Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap
masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan
ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul
gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan
segera bereaksi dengan menangkap virus dan memrosesnya sehingga
makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di
makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk
memfagosit lebih banyak virus. T-Helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik
yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan
sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali
yaitu
antibodi
netralisasi,
antibodi
hemagglutinasi,
antibodi
fiksasi
trombosit
yang
menyebabkan
trombositopenia,
tetapi
10
11
serotipe berbeda; namun tidak dapat dinetralisasi virus baru bahkan membentuk
kompleks yang infeksius.
Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan
serotipe lain atau virus lain) karena adanya non neutralising antibodi maka partikel
virus DEN dan molekul antibodi IgG membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan
antara kompleks tersebut dengan reseptor Fc gama pada sel melalui bagian Fc dari
IgG menimbulkan peningkatan (enhancement) infeksi virus DEN. Kompleks virus
antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat
opsonisasi, internalisasi sehingga makrofag mudah terinfeksi sehingga akan
teraktivasi dan akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF alpha dan juga Platelet
Activating Faktor (PAF). Karena antibodi bersifat heterolog, maka virus tidak dapat
di neutralisasi tetapi bebas bereplikasi di dalam makrofag; informasi ini akan lebih
jelas bila diurAIkan dalam betuk gambar berikut:
TNF alpha baik yang terangsang INF gama maupun dari makrofag teraktivasi
antigen antibody kompleks, dan selanjutnya akan menyebabkan kebocoran dinding
pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan
kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas,
dimana hal tersebut akan mengakibatkan syok. Virus-Ab kompleks (kompleks imun)
yang terbentuk akan merangsang komplemen, yang farmakologis cepat dan pendek.
Bahan ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran
plasma (syok hipovolemik) dan perdarahan.
12
Pada anak umur dibawah 2 tahun, yang lahir dari ibu dengan riwayat pernah
terinfeksi virus DEN, dimana terjadi infeksi virus dari ibu ke anak maka dalam tubuh
anak tersebut telah terjadi Non Neutralizing Antibodies akibat adanya infeksi yang
persisten, sehingga infeksi baru pertama kali sudah terjadi proses Enhancing yang
akan memacu makrofag sehingga mudah terinfeksi dan teraktivasi dan akan
mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF. Dimana bahan-bahan mediator
tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan system
hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan (Wang,
1995).
13
fotofobia, sakit punggung, dan nyeri pada otot dan sendi/tulang. Gejala umum
lainnya termasuk anoreksia dan perubahan sensasi rasa, sembelit, nyeri kolik
dan nyeri perut, nyeri di daerah inguinal, sakit tenggorokan (Aru, 2006).
a. Demam
Suhu tubuh biasanya antara 39 C dan 40 C, dan demam mungkin
biphasic, 5-7 hari.
b. Ruam
Kemerahan difus atau erupsi sekilas dapat diamati pada wajah, leher dan
dada selama dua sampai tiga hari pertama, dan ruam mencolok yang
mungkin makulopapular atau rubelliform muncul pada sekitar hari ketiga
atau keempat. Menjelang akhir masa demam atau segera setelah penurunan
suhu badan sampai yg normal, ruam umum memudar dan kelompok lokal
petechiae mungkin muncul pada dorsum kaki, di kaki, dan di tangan dan
lengan. petechiae konfluen ditandai dengan kulit terasa gatal.
c. Manifestasi perdarahan
Perdarahan kulit dapat hadir dengan uji tourniquet positif dan / atau
petechiae. Pendarahan lain seperti epistaksis masif, hypermenorrhea,
perdarahan ginggiva dan perdarahan gastrointestinal jarang terjadi di DD,
komplikasi dengan trombositopenia.
14
d. Laboratorium
1. Di daerah endemik demam berdarah, tes turniket positif dan
leukopenia (WBC 5000 sel/mm3) membantu dalam membuat
diagnosis awal infeksi dengue dengan nilai prediksi positif 70% -80%.
2. Jumlah WBC biasanya normal pada awal demam, kemudian
berkembang menjadi leukopenia dengan penurunan neutrofil dan
berlangsung selama periode demam.
3. Jumlah platelet biasanya normal, seperti juga komponen lain dari
mekanisme pembekuan darah. Trombositopenia ringan (100. 000-150.
000 sel/mm3) sering ditemukan, dari rata-rata semua pasien DD
memiliki jumlah trombosit di bawah 100.000 sel/mm3, tetapi
trombositopenia berat (<50 000 sel/mm3) jarang terjadi.
4. Hematokrit meningkat ringan ( 10%) dapat ditemukan sebagai
konsekuensi dari dehidrasi yang terkait dengan muntah, demam,
anoreksia dan asupan oral yang buruk.
5. Biokimia
darah
biasanya
normal
tapi
enzim
hati
alanine
mungkin meningkat.
2.5.2 Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue.
Kasus DBD khas ditandai dengan demam tinggi, fenomena perdarahan,
hepatomegali, dan sering dengan gangguan peredaran darah dan syok.
Trombositopenia sedang yang ditandai bersamaan dengan hemokonsentrasi
/peningkatan hematokrit adalah temuan laboratorium yang khas terlihat.
Perubahan patofisiologi utama yang menentukan tingkat keparahan DBD dan
membedakannya dari demam dengue adalah hemostasis abnormal dan
kebocoran plasma selektif dalam rongga pleura dan perut. Perjalanan klinis
DBD dimulai dengan kenaikan suhu yang mendadak disertai wajah kemerahan
dan gejala yang menyerupai demam berdarah, seperti anoreksia, muntah, sakit
kepala dan nyeri otot atau sendi (Harikushartono, 2002).
15
Tes tourniquet positif (~ 10 titik / inci 2), bisa diamati pada fase demam
awal. Petechiae halus tersebar pada ekstremitas, aksila, wajah dan langit-langit
mulut dapat dilihat selama fase demam awal. Ruam peteki konfluen dengan
daerah seputaran kulit normal terlihat dalam masa pemulihan, seperti pada
demam berdarah. Epistaksis dan perdarahan gusi kurang umum. Perdarahan
gastrointestinal ringan kadang-kadang dapat tampak, keadaan ini bisa menjadi
lebih parah pada pasien yang sudah ada penyakit ulkus peptikum sebelumnya.
Hematuria jarang terjadi. Hepar biasanya teraba di awal fase demam, hanya
teraba 2-4 cm di bawah batas kosta kanan. Ukuran hepar tidak berkorelasi
dengan keparahan penyakit, tetapi hepatomegali lebih sering pada kasus syok
(Aru, 2006).
Fase kritis DBD, yaitu periode kebocoran plasma, dimulai sekitar transisi
dari demam ke fase afebris. Bukti kebocoran plasma, efusi pleura dan ascites
mungkin, Namun tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik pada fase
awal kebocoran plasma atau kasus-kasus ringan DBD. Hematokrit meningkat,
misalnya 10% sampai 15% di atas normal, adalah bukti paling awal kebocoran
plasma. Komplikasi yang signifikan dari kebocoran plasma menyebabkan syok
hipovolemik. Bahkan dalam kasus-kasus syok, sebelum terapi cairan intravena,
efusi pleura dan ascites mungkin tidak terdeteksi secara klinis. USG atau foto
thorax untuk membuktikan kebocoran plasma dapat mendahului deteksi klinis.
Rontgen dada kanan dekubitus lateral yang meningkatkan sensitivitas untuk
mendeteksi efusi pleura. Dinding kandung empedu edema dikAItkan dengan
kebocoran plasma dan mungkin mendahului deteksi klinis. Penurunan albumin
serum secara signifikan yaitu > 0,5 gram/dl dari awal adalah bukti tidak
langsung plasma leakage. Dalam kasus-kasus ringan DBD, semua tanda dan
gejala mereda setelah demam reda. Penurunan demam bisa disertai dengan
keringat dan perubahan ringan pada denyut nadi dan tekanan darah. Perubahan
ini mencerminkan gangguan peredaran darah ringan dan sementara sebagai
akibat dari kebocoran plasma derajat ringan. Pasien biasanya pulih baik secara
spontan atau setelah terapi cairan dan elektrolit. Dalam kasus sedang sampai
16
parah, kondisi pasien memburuk beberapa hari setelah timbulnya demam. Ada
warning sign seperti muntah terus-menerus, sakit perut, penolakan asupan oral,
lesu atau gelisah atau lekas marah, oliguria. Mendekati akhir fase demam, pada
saat atau segera setelah suhu turun atau antara 3-7 hari setelah timbulnya
demam, ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi: kulit menjadi dingin, perioral
sianosis sering diamati, dan denyut nadi menjadi lemah dan cepat. Meskipun
beberapa pasien mungkin tampak lesu, biasanya mereka menjadi gelisah dan
kemudian dengan cepat masuk ke tahap kritis dari syok. Sakit perut akut adalah
keluhan sering sebelum timbulnya syok. Shock ditandai dengan nadi cepat dan
lemah dengan penyempitan tekanan nadi < 20 mmHg dengan tekanan diastolik
yang meningkat, misalnya 100/90 mmHg, atau hipotensi. Tanda-tanda perfusi
jaringan berkurang adalah: waktu pengisian kapiler (> 3 detik), kulit teraba
dingin dan gelisah. Pasien shock berada dalam bahaya kematian jika tidak ada
pengobatan yang cepat dan tepat diberikan. Pasien mungkin masuk ke dalam
tahap syok mendalam dengan tekanan darah dan / atau pulsasi nadi menjadi tak
teraba (DBD derajat 4). Perlu dicatat bahwa sebagian besar pasien tetap sadar
hampir ke tahap terminal (Hadinegoro, 1998).
a. Manifestasi Klinis
Demam: onset akut, tinggi dan terus menerus, berlangsung dua sampai
tujuh hari dalam banyak kasus.
17
b. Temuan Laboratorium
Trombositopenia (100.000 sel/mm3 atau kurang).
Haemoconcentration; hematokrit meningkat 20% dari baseline pasien.
Dua
kriteria
klinis
pertama,
ditambah
trombositopenia
dan
18
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Pemantauan Di Rumah Sakit
Parameter berikut harus dipantau:
Kondisi Umum, nafsu makan, muntah, perdarahan dan tanda-tanda dan gejala.
Tanda-tanda vital seperti suhu, denyut nadi, frekuensi pernapasan dan tekanan
darah harus diperiksa setidaknya setiap 2-4 jam untuk penderita non syok dan
1-2 jam pada pasien syok.
Serial hematokrit harus dilakukan minimal setiap empat sampai enam jam
dalam kasus yang stabil dan harus lebih sering pada pasien yang tidak stabil
atau mereka yang dicurigai dengan perdarahan. Perlu dicatat bahwa
hematokrit harus dilakukan sebelum resusitasi cairan. Jika hal ini tidak
mungkin, maka harus dilakukan setelah bolus cairan tetapi tidak selama infus
bolus tersebut.
Urine output (jumlah urin) harus dicatat setidaknya setiap 8 sampai 12 jam
pada kasus tanpa komplikasi dan pada setiap jam pada pasien dengan
mendalam / berkepanjangan atau mereka dengan overload cairan. Selama
periode ini jumlah output urin harus sekitar 0,5 ml / kg / jam (ini harus
didasarkan pada berat badan ideal) (Aru, 2006).
2.6.2 Terapi intravena
Prinsip-prinsip umum dari terapi cairan pada DBD antara lain (Harikushartono,
2002):
Isotonik kristaloid solusi harus digunakan selama periode kritis kecuali bayi
usia <6 bulan natrium klorida 0,45% dapat digunakan.
Hyper-onkotik koloid solusi (osmolaritas> 300 mOsm / l) seperti dekstran 40
dapat digunakan pada pasien dengan kebocoran plasma besar, dan mereka
tidak menanggapi dengan volume kristaloid. Iso-onkotik koloid solusi seperti
plasma dan hemaccel mungkin tidak efektif.
19
20
Pemeriksaan
Analisis gas darah
Keterangan
Indikasi prolonged shock, keterlibatan
BBleeding
Hematokrit
CCalcium
Elektrolit, Ca++
transfuse darah
Hipokalsemia dapat terjadi tanpa gejala,
diberikan pada DBD berat. Dosis 1
mg/kgBB,encerkan 2x, iv perlahan,
dapat di ulang tiap 6 jam, maksimal 10
SBlood sugar
Gula darah
cc ca glukonas
Terjadi pada kasus yang disertai muntah
21
Tingkat cairan IV dikurangi karena perfusi perifer membaik, tetapi itu harus
dilanjutkan untuk jangka waktu minimal 24 jam dan dihentikan 36 sampai 48
jam. Cairan yang berlebihan akan menyebabkan efusi besar karena
permeabilitas kapiler meningkat. Penggantian volume aliran untuk pasien
dengan DSS digambarkan di bawah ini.
2.6.4 Pengelolaan Perdarahan Berat
a. Jika sumber perdarahan diidentifikasi, upaya harus dilakukan untuk
menghentikan perdarahan jika memungkinkan. Epistaksis yang berat,
misalnya, dapat dikendalikan oleh packing hidung. Transfusi darah urgent
yang menyelamatkan jiwa dan jangan ditunda sampai HCT turun ke tingkat
rendah. Jika kehilangan darah bisa diukur, ini harus diganti. Namun, jika
ini tidak bisa diukur, aliquots dari 10 ml / kg fresh whole blood atau 5 ml /
kg freshly packed red harus ditransfusi dan respon dievaluasi. Pasien
mungkin memerlukan satu atau beberapa alikuot.
b. Pada perdarahan gastrointestinal, H-2 antagonis dan inhibitor pompa
proton telah digunakan, tetapi belum ada studi yang tepat untuk
menunjukkan kemanjurannya. Tidak ada bukti untuk mendukung
penggunaan komponen darah seperti trombosit konsentrat, fresh frozen
plasma atau kriopresipitat. Penggunaannya dapat memberikan kontribusi
untuk overload cairan. Faktor rekombinan 7 mungkin bisa membantu pada
beberapa pasien tanpa gagal organ, tetapi sangat mahal dan umumnya tidak
tersedia.
22
edema paru,
furosemid dapat diberikan jika pasien memiliki tanda-tanda vital stabil. Jika
mereka berada pada shock bersama dengan overload, cairan 10 ml / kg / jam
koloid (dekstran) harus diberikan. Ketika tekanan darah stabil, biasanya dalam
waktu 10 sampai 30 menit infus, mengelola IV 1 mg / kg / dosis furosemid dan
lanjutkan dengan infus dekstran sampai selesai. Cairan intravena harus
dikurangi ke level 1 ml / kg / jam sampai penghentian ketika hematokrit turun
23
menjadi dasar atau bawah (dengan perbaikan klinis). Hal-hal berikut harus
diperhatikan:
Pasien harus memiliki kateter kandung kemih untuk memantau pengeluaran
urin per jam.
Furosemide harus diberikan selama infus dekstran karena sifat hyperoncotic
dari dekstran akan mempertahankan volume intravaskuler sementara
furosemid menghabiskannya di kompartemen intravaskuler.
Setelah pemberian furosemid, tanda-tanda vital harus dipantau setiap 15 menit
selama satu jam untuk dicatat dampaknya.
Jika tidak ada output urin dalam menanggapi furosemide, periksa status
volume intravaskular (CVP (central vena preasure atau laktat). Jika cukup,
menyiratkan bahwa pasien dalam keadaan gagal ginjal akut. Pasien-pasien
mungkin memerlukan bantuan ventilator segera. Jika volume intravaskular
tidak memadai atau tekanan darah tidak stabil, periksa ABCS dan
ketidakseimbangan elektrolit lainnya.
Dalam kasus dengan tidak ada respon terhadap furosemid (urin tidak
diperoleh), dosis furosemide diulang dan dua kali lipat dari dosis yang
dianjurkan. Jika gagal ginjal oliguria ditegakan, terapi penggantian ginjal
harus dilakukan sesegera mungkin. Kasus-kasus ini memiliki prognosis buruk.
Pungsi asites dan pleura dapat diindikasikan dan dapat menyelamatkan jiwa
dalam kasus-kasus dengan gangguan pernapasan parah dan kegagalan
manajemen di atas. Ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena
perdarahan traumatik adalah komplikasi yang paling serius dan menyebabkan
kematian. Inform consent tentang komplikasi dan prognosis dengan keluarga
wajib sebelum melakukan prosedur ini.
24
yang
dirawat
di
rumah
25
pohon atau bambu dengan tanah, membubuhi garam dapur pada perangkap
semut, dan pendidikan kesehatan masyarakat.
Pengasapan masal dilaksanakan 2 siklus di semua rumah terutama di
kelurahan endemis tinggi, dan tempat umum di seluruh wilayah kota.
Pengasapan dilakukan di dalam dan di sekitar rumah dengan menggunakan
larutan malathion 4% (atau fenitrotion) dalam solar dengan dosis 438 ml/Ha.
3. Penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi
Penyuluhan perorangan dilakukan di rumah pada waktu pemeriksaan
jentik berkala oleh petugas kesehatan atau petugas pemeriksa jentik dan di
rumah sakit/puskesmas/praktik dokter oleh dokter/perawat. Media yang
digunakan adalah leaflet, flip chart, slides, dll.
Penyuluhan kelompok dilakukan kepada warga di lokasi sekitar rumah
penderita, pengunjung rumah sakit/puskesmas/ posyandu, guru, pengelola
tempat umum, dan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya.
Evaluasi operasional dilaksanakan dengan membandingkan
pencapaian target masing-masing kegiatan dengan direncanakan berdasarkan
pelaporan untuk kegiatan pemberantasan sebelum musim penularan.
Peninjauan di lapangan dilakukan untuk mengetahui kebenaran pelaksanaan
kegiatan program.
Kegiatan penunjang
Kegiatan penunjang yang dilakukan adalah peningkatan keterampilan
tenaga melalui pelatihan, penataran, bimbingan teknis dan penyebarluasan
buku petunjuk, publikasi dll.
Pelatihan diberikan kepada teknisi alat semprot, petugas pemeriksa
jentik, kader, dan tenaga lapangan lainnya sedangkan pentaran diberikan
kepada petugas sanitasi puskesmas, dokter/kepala puskesmas, para medis,
petugas pelaksana pemberantasan DBD Dinas Kesehatan. Selain itu
diadakan pertemuan/rapat kerja di berbagai tingkat mulai dari puskesmas
sampai tingkat pusat.
Penelitian dilaksanakan dalam rangka mengembangkan teknologi
pemberantasan meliputi aspek entomologi, epidemiologi, sosioantropologi,
26
DAFTAR PUSTAKA
27
Aru W Sudoyo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta :
Penerbitan IPD FKUI. h. 1709-1713
Hadinegoro SR. 1998. Demam berdarah dengue. Naskah lengkap pelatihan bagi
pelatih dokter spesialis anak dan spesialis penyakit dalam, dalam tatalaksana
kasus DBD. Ed ke-1, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Harikushartono. 2002, Demam Berdarah Dengue: Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan
Penatalaksanaan, Jakarta, Penerbit Salemba Medika.
Kurane I. 1992. Immunity and immunopathologi in dengue virus infections. Seminars
in Imunology., vol.4;121-127.
Oppenheim J. 1995. Cytokines Basic and Clinical Immunology. Seven edition. 78-98.
Wang S. 1995. Antibody-Enhanced Binding of Dengue Virus to Human Platelets.
J.Virology. October 213: page:1254-1257.
World Health Organization. Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention
and control.Geneva: WHO, 2009.
28