Anda di halaman 1dari 80

DIFFICULT AIRWAY

PELATIHAN KEPERAWATAN
INTENSIF
LEVEL INTERMEDIATE
DIFFICULT AIR
WAY
Penatalaksanaan jalan napas merupakan
hal yang sangat penting untuk dikuasai
oleh semua petugas kesehatan, tanpa
jalan napas yang adekuat maka pasien
akan mengalami hipoksemia yang
berujung pada tidak terpenuhi kebutuhan
oksigen jaringan dan kematian sel.
Prevalensi :
Ø1-4 /1000 will be impossible intubations (O.R.)
Ø1 / 280 obstetrical patients
Ø1 /10,000 impossible to intubate or ventilate(O.R.)
Ø1-2 % cricothyroidotomy rate in ED
v Intubasi sulit.
Membutuhkan lebih dari 3 upaya atau 10 menit.
v Intubasi Gagal.
Ketidakmampuan untuk menempatkan / memasukan
ETT.
v Laryngoscopy sulit.
Cormack dan Lehane kelas III (epiglotis saja) atau
tampilan kelas IV (langit-langit lunak saja).
v Masker ventilasi sulit.
v Gagal napas.

Tidak Bisa Ventilasi, Tidak Bisa Intubasi.


1. Bag Mask Ventilation (BMV)
2. Supraglotic Airway /SGA :
v Laryngeal Mask Airway / LMA
v Combitube
3. Glotic Airway / GA :
v Laringoscopy
v Endotratracheal intubation
4. Infraglotic airway / IGA :
v Cricothyroid membrane or
surgical techniques.
1. Penyebab kongenital
2. Penyebab yang diperoleh
 Dr. Binnion’s LEMon Law

 BonEs

 ThE 4 D’s
L ook externally.
 E valuate the 3-3-2 rule.
 M allampati.
 O bstruction?
 N eck mobility.
Obesity

Buck teeth
Short muscular neck

Receding Dentures
jaw
Macroglossia

Stridor

Facial Trauma
1. Membuka mulut 3 jari
2. Mandibula cukup besar untuk
menampung lidah - 3 jari
dari ujung dagu ke hyoid
3. Panjang leher / posisi laring
- 2 jari antara atas tiroid dan
lantai rahang.
Mouth opening Tip of mentum to hyoid bone Thyromental distance

Access to airway Can tongue be deflected Predicts location larynx to


and obtaining glottic to accomdate base of the tongue. If larynx high
view laryngoscope angles difficult
I. Langit - langit lunak, uvula,
tonsil pilar terlihat.
II. Langit - langit lunak, uvula
terlihat.
III. Langit - langit lunak, dasar
uvula.
IV. Langit - langit lunak tidak
terlihat.
v Penyumbatan.
ü Blood
ü Vomitus
ü Teeth
ü Epiglottis
ü Dentures
ü Tumors
ü Impaled Objects
Ø Ukur dari tepi atas tulang rawan tiroid ke dagu dengan
kepala penuh diperpanjang.
q Jarak thyromental pendek menyamakan dengan laring
anterior.
q Lebih dari 7 cm biasanya merupakan tanda dari intubasi
mudah.
q Kurang dari 6 cm merupakan indikator dari jalan nafas yang
sulit.
v Relatif tes tidak dapat diandalkan kecuali dikombinasikan
dengan tes lainnya.
1. Leher pendek
2. Pergerakan kepala dan leher
terbatas
3. Pergerakan rahang
4. Mandibula yang lebih maju
kedepan
5. Gigi tongos
1. Tumor, abses atau hematom
2. Luka bakar
3. Angioneurotik edema
4. Trauma
5. Artritis rematoid
6. Kelainan kongenital
7. Operasi daerah mulut/ leher
Down Large tongue, small mouth  laryngoscopy
difficult;
Small subglottic diameter possible
Laryngospasm frequent
Goldenhar (oculoauriculover-tebral anomalies ) Mandibular hypoplasia and cervical spine
abnormality.
vertebral anomalies make laryngoscopy difficult.

Klippel-Feil Neck rigidity because of cervical vertebral fusion


Pierre Robin Small mouth, large tongue, mandibular anomaly;
awake intubation essential in neonate.

Treacher Collins (Mandibulofacial dysostosis Laryngoscopy difficult.

Turner High likelihood of difficult intubation.


Pierre Robin
Goldenhar (oculoauriculovertebral anomalies)
Can’t ventilate
Defined by “BONES”
• Beard
• Obesity
i l a te
• No teeth
vent
• Elderly
• Snoring Ca n’t
“4D“
1.Distorsi ( edema, darah, muntah, tumor
dan infeksi )
2.Dismobiliti ( atlanto oksipital, C-spine )
3.Disproporsi ( tyomental, Mallampati )
4.Dentis ( Gigi tongos )
Distortion

te
Burns contracture

a
Neurofibromatosis

u b
n t
t i Cystic hygroma

n’
a
TM joint Ankylosis

a te
t u b
’t i n Klippel Fiel

a n
a te
t u b
n
Pierre robin

i
sequence
Achondroplasia

n’t
C a Acromegaly

at
hism
n
rog
P
a t e
t u b Dentition
i n
n ’t
C a
Edentulous

Buck teeth
1. Informed consent
2. Siapkan satu set alat pengelolaan jalan napas
( satu set alat intubasi, ET, nasofaringeal tube,
LMA )
3. Siapkan asisten
4. Preoksigenasi dengan masker oksigen
5. Traditional “ preoksigenasi ( 3 menit atau lebih
ventilasi tidal volume )
6. Fastrack “ preoksigenasi ( napas dalam maksimal
selama 30 detik )
v Harus dipikirkan kemungkinan terdapat
kesulitan dalam satu atau secara bersama-
sama adanya :
a. Kesulitan ventilasi.
b. Kesulitan intubasi.
c. Kesulitan trakheostomi.
d. Pasien tidak kooperatif.
v Harus dipertimbangkan dengan cermat faktor
untung rugi terhadap beberapa pilihan :
1. Intubasi sadar atau intubasi dengan induksi.
2. Teknik non invasif atau invasif ( trakheostomi atau
krikotirotomi ).
3. Spontan atau dilumpuhkan.
Kesulitan Intubasi :
1.Alternatif pemilihan blade laringoskop yang lebih sesuai
2.“ Sniffing “  tidak ada masalah vertebra cervical
3.Intubasi sadar
4.Blind intubasi ( oral atau nasal )
5.Fiberoptic
6.Stilet
7.LMA
8.Retrograde intubasi
9.Invasiv ( surgical atau percutaneous tracheostomy &
cricothyrotomy )
Kesulitan Ventilasi :
1.Oral atau nasofaringeal tube
2.“ Sniffing “  tidak ada masalah vertebra cervical
3.Asisten
4.Esofageal-trakheal combitube ventilasi
5.LMA
6.Invasiv
1 1
Manipulation of airway
alternative different blade, bugie

2 2
LMA, ILMA, Combitube
alternative
3
3 Trantracheal Jet Ventilation

alternative
4
4 Cricothireotomy, Tracheostomy

alternative
1. Dua orang mask ventilasi / Bagging.
2. Saluran udara Supraglottic.
3. Oral nasofaring saluran udara
4. Trakea esofagus combitube
5. Laring masker saluran napas
6. Saluran udara invasif subglottic.
7. Akses jalan napas invasif
8. Jet ventilasi transtracheal
v Laring eksternal yang optimal manipulasi
v Blade laringoskop alternatif
v Intubasi stilet atau tabung changer.
v Laring masker saluran napas sebagai
q intubasi -Awake
- Intubasi Blind (oral atau nasal)
- Intubasi fiberoptik
- Intubasi mundur.
1. Informed consent
2. Siapkan satu set alat pengelolaan jalan napas
( satu set alat intubasi, ET, Nasofaringeal
tube, LMA, Combitube )
3. Siapkan asisten
4. Preoksigenasi dengan masker oksigen
1. BAG VALVE MANUAL. ( BVM / BMV )
2. LARYNGEAL MASK AIRWAY / LMA
3. COMBITUBE
4. FIBREOPTIK LARYNGOSCOPE
5. GLIDESCOPE
6. RETROGRADE LARYNGOSCOPE.
Konsep Mask dikembangkan pada tahun 1953 oleh
insinyur Jerman Holger Hesse dan rekannya, ahli
anestesi Denmark Henning Ruben.
Ventilasi BVM adalah komponen penting dari
manajemen jalan napas. Ini memberikan oksigenasi
dan ventilasi sebelum penempatan jalan napas
definitif dan dapat digunakan sebagai manuver
penyelamatan.
q Indeks massa tubuh 30 kg / meter persegi atau
lebih
q Kehadiran jenggot
q Skor Mallampati dari tiga atau empat
q Usia 57 atau lebih tua
q Sangat terbatas rahang tonjolan, dan
q Riwayat Mendengkur.
1. Kondisikan pasien pasien dengan posisi telentang,
telinga sejajar dengan tulang sternum.
2. Apabila pasien tidak dicurigai adanya fraktur
cervical maka lakukan teknhik Head tilt atau chin
lift.
3. Gunakan alat bantuan tambahan ( OPA / NPA ).
4. Posisikan Seal dengan rapat.
5. Lakukan manual bag dengan frekuensi 10 – 12 kali
/ mnt.
6. Perhatikan jumlah Volume yang diberikan.
Penemuan dan pengembangan “Laryngeal Mask
Airway” (LMA) oleh seorang ahli anastesi
berkebangsaan inggris dr. Archie Brain .
1. LMA Klasik
2. LMA Unique
3. LMA Flexible
4. LMA Proseal
5. LMA Fast track
6. LMA C-Track
Ukuran Masker Berat Badan (Kg) Volume Balon (mL)

1 <5 4

1,5 5 - 10 7

2 10 – 20 10

2½ 20 – 30 14

3 30 - 50 20

4 50 - 70 30

5 > 70 40
vAlternatif face mask dan intubasi
endotrakheal untuk penanganan
jalan nafas
vPenanganan airway selama anastesi
umum pada
vSituasi jalan nafas sulit.
q Resiko meningkatnya regurgitasi isi lambung (tidak puasa)
q Terbatasnya kemampuan membuka mulut atau ekstensi leher
(misalnya artitis rematoid yang berat atau ankilosing
spondilitis), menyebabkan memasukkan LMA lebih jauh ke
hipopharynx sulit.
q Compliance paru yang rendah atau tahanan jalan nafas yang
besar.
q Obstruksi jalan nafas setinggi level larynx atau dibawahnya.
q Kelainan pada oropharynx (misalnya hematoma, dan
kerusakan jaringan).
q Ventilasi paru tunggal.
ü Balon harus dalam keadaan kempes dan ada lipatan pada ujung LMA.
ü Insersi awal LMA dengan melihat langsung, ujung masker ditekan terhadap
palatum durum.
ü Jari tengah dapat digunakan untuk menekan dagu kebawah. Masker ditekan
kearah depan terus meju ke dalam pharynx untuk memastikan bahwa
ujungnya tetap datar dan menolak lidah. Dagu tidak perlu dijaga agar tetap
terbuka bila masker telah masuk kedalam mulut. Tangan operator yang tidak
terlibat proses intubasi dapat menstabilisasi occiput.
ü Dengan menarik jari sebelahnya dan dengan sedikit pronasi dari lengan
bawah, biasanya dengan mudah akan dapat mendorong masker. Posisi leher
tetap flexi dan kepala tetap extensi.
ü LMA ditahan dengan tangan sebelah dan jari telunjuk kemudian diangkat.
Tangan menekan LMA ke bawah dengan lembut sampai terasa tahanan.
1. Pilih ukuran yang sesuai dengan pasien dan teliti apakah ada kebocoran pada balon
LMA
2. Pinggir depan dari balon LMA harus bebas dari kerutan dan menghadap keluar
berlawanan arah dengan lubang LMA
3. Lubrikasi hanya pada sisi belakang dari balon LMA.
4. Pastikan anastesi telah adekuat (baik general ataupun blok saraf regional) sebelum
mencoba untuk insersi. Propofol dan opiat lebih memberikan kondisi yang lebih baik
daripada thiopental.
5. Posisikan kepala pasien dengan posisi sniffing
6. Gunakan jari telunjuk untuk menuntun balon LMA sepanjang palatum durum terus
turun sampai ke hipofarynx sampai terasa tahanan yang meningkat. Garis hitam
longitudinal seharusnya selalu menghadap ke cephalad (menghadap ke bibir atas
pasien).
7. Kembangkan balon dengan jumlah udara yang sesuai.
8. Pastikan pasien dalam anastesi yang dalam selama memposisikan pasien.
9. Obstruksi jalan nafas setelah insersi biasanya disebabkan oleh Epiglotis yang terlipat
kebawah atau laryngospame sementara.
10. hindari suction pharyngeal, mengempeskan balon, atau mencabut LMA sampai
penderita betul-betul bangun (misalnya membuka mulut sesuai perintah).
1. LMA lebih mudah dimasukkan dan mengurangi
rangsangan pada jalan nafas dibandingkan ETT
(sehingga dapat mengurangi batuk, rangsang
muntah, rangsang menelan, bronchospame, dan
respon kardiovaskuler)
2. Trauma pada pita suara dapat dihindari karena
LMA tidak masuk sampai ke lokasi pita suara.
1. Sebagai jalur untuk memasukkan intubasi endotracheal fiberoptik pada
pasien sadar.
2. Sebagai jalan nafas pada pasien dalam anastesi yang tidak dapat
diintubasi endotrakheal.
3. Sebagai jalur untuk intubasi endotrakheal fiberoptik pada pasien dalam
anastesi yang tidak dapat diintubasi tetapi paru-paru dapat diventilasi.
4. Sebagai jalan nafas darurat pada pasien dengan gawat darurat yang
tidak dapat diintubasi atau diventilasi.
5. Sebagai jalur untuk intubasi endotrakheal pada pasien yang tidak dapat
diventilasi ataupun diintubasi.
Combitube adalah perangkat lu m en kem bar
dirancang untuk digunakan dalam situasi darurat
dan saluran udara sulit. Hal ini dapat dimasukkan
tanpa perlu visualisasi ke orofaring, dan biasanya
memasuki kerongkongan. Volume manset / balon
bagian distal lebih rendah dan manset proksimal
yang jauh lebih besar yang dirancang untuk
menutup jalan oro- dan nasofaring.
Esophageal - tracheal
COMBITUBE
„Pharyngeal“
lumen No. 1
Perforations
Distal
„Esophago- cuff
tracheal“ Oropharyngeal
lumen No. 2 balloon
qKondisi klinis bervariasi
qtidak tolerate thd penundaan
qPenanganan harus cepat dan tepat
Laki-laki 58 th
Trauma tertabrak Truk
Waktu persiapan Kenaikan Tekanan
sempit Tidak kooperatif Intrakranial

Kelainan anatomis
(trauma wajah)

Hipoksemia
Syok (Unstable)
Penyakit (trauma thorak)
Penyerta
32 tahun Hamil 35 minggu
Sesak Napas Berat

Edema Pulmo
Obese
Sianosis
AGD :
FiO2 0,7
pH 7.26
pO2 49.
pCO2 43,
HCO3 18,3,
AaDO2 485,
SaO2 81%
Gagal napas tipe I (tipe hipoksemik) ec edema pulmo akut pada pasien
sekundigravida dengan preeklamsia berat dan IUFD

Plan emergensi: Support ventilasi dan oksigenasi


1. Nasal Kanul
2. Masker Sederhana
3. Rebreathing mask
4. Non Rebreathing Mask
5. Bag Valve Mask dengan reservoir
6. NIV: non invasif ventilation
7. Mapleson
8. LMA
9. Intubasi
1. Fully Awake
2. Sedasi dengan napas spontan
3. Induksi tanpa relaksan otot
4. Induksi dengan relaksan otot
apneu
5. Teknik lain.....
Difficult Airway
Predicition:
1. Hipoksemia/hipoksia
2. Edema pulmo
3. Obese BMI 38
4. Pregnant
5. Full Stomach
6. Hipertensi
7. Unstable
8. Tidak kooperatif
9. Akut
1.  Oedema Pulmonal
2.  Hipoksemia Berat
3.  hantaran Oksigen ke
Jaringan menjadi sangat
berkurang
4.  Support Oksigenasi dan
Ventilasi
1.  Oedema Pulmonal 
Hipoksemia Berat  hantaran
Oksigen ke Jaringan menjadi
sangat berkurang  Support
Oksigenasi dan Ventilasi
Ø Akut: hipoksemia berat  memerlukan
penatalaksanaan jalan napas dan ventilasi
sesegera mungkin sehingga waktu dan
persiapan yang dilakukan sangatlah sempit.
Ø Prediksi kesulitan ventilasi dan intubasi :
obese ( B M I 3 5 ) dan ke h am i l an s e r i n g
dihubungkan dengan edema pada jalan
napas.
Ø Edema pulmo sendiri menyebabkan
meningkatnya resistensi jalan napas dan
menurunnya komplian paru menyebabkan
ventilasi menjadi sulit atau tidak efektif.
v Preoksigenasi tidak efektif  sedikit
functional resi dual capaci t y (FR C ),
kegagalan ventilasi atau intubasi akan
menyebabkan desaturasi
oxyhemoglobin terjadi dengan cepat.
v Pasien gelisah, tidak kooperatif dan
dengan posisi setengah duduk
menyulitkan dalam penatalaksanaan
jalan napas.
Pasien emergency,  kondisi lambung
penuh yang meningkatkan resiko
terjadinya aspirasi pnemonia
Kondisi hemodinamik yang tidak stabil,
pasien dengan hipertensi, hipoksemia,
takikardia, sangat rentan terhadap
manipulasi jalan napas dan terapi
farmakologi yang diberikan.
Intubasi dilakukan dengan prosedur sadar
“awake” dengan sedasi ringan midazolam 2
mg, fentanyl 150 mcg dan lokal anestesi
dengan lidocain spray 50 mg untuk
menumpulkan respon hemodinamik terhadap
laringoskopi dan intubasi.

Paska intubasi pasien di support dengan


mekanikal ventilator dan resusitasi lanjutan
dilakukan di ICU
Preoksigenasi  face mask dg breathing
system (Mapleson D) untuk meningkatkan
FiO2 hingga 100%.
Support Ventilasi untuk mencegah Fatique
dan memberikan tekanan positif

Masker non rebreathing  maksimum


presentase oksigen yang aktualnya hanya 70-
75% (kerapatan yg tidak maksimal dan
volume reservoir yang terlalu kecil) al, 2001).
sedasi dengan dosis
Pemberian
minimal juga diharapkan lebih dapat
mempertahankan kestabilan hemodinamik
dibandingkan dosis penuh sedasi/hipnotik
pada teknik RSI.
Sedasi low dose dilakukan secara titrasi
mengingat sedasi yang terlalu dalam dapat
menyebabkan pasien kehilangan proteksi
jalan napas, hipoventilasi bahkan apneu.
“AWAKE INTUBATION”

Oksigenasi dan ventilasi tetap terjaga dgn spontan napas pasien,


reflek proteksi airway utk mencegah aspirasi, dan menghindari
komplikasi Can’t ventilation & can’t intubation apabila diinduksi
/relaksasi otot.
80

Anda mungkin juga menyukai