Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

OLEH:

ANDI NUR AISYAH

1442021080

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

2021
A. KONSEP MEDIS
1. DEFENISI

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dapat didefinisikan sebagai


pembesaran kelenjar prostat yang memanjang ke atas, ke dalam kandung
kemih, yang menghambat aliran urin, serta menutupi orifisium uretra
(Smeltzer & Bare, 2003).Secara patologis, BPH dikarakteristikkan
dengan meningkatnya jumlah sel stroma dan epitelia pada bagian
periuretra prostat.Peningkatan jumlah sel stroma dan epitelia ini
disebabkan adanya proliferasi atau gangguan pemrograman kematian sel
yang menyebabkan terjadinya akumulasi sel.Hiperplasia prostat jinak
(BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu
penyakit yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami
pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra[ CITATION Pra21 \l
1057 ].

2. ETIOLOGI
Penyebab pasti BPH belum diketahui. Namun, IAUI (2003)
menjelakan bahwa terdapat banyak faktor yang berperan dalam hiperplasia
prostat, seperti usia, adanya peradangan, diet, serta pengaruh hormonal.
Faktor tersebut selanjutnya mempengaruhi prostat untuk mensintesis protein
growth factor, yang kemudian memicu proliferasi sel prostat. Selain itu,
pembesaran prostat juga dapat disebabkan karena berkurangnya proses
apoptosis. Roehrborn (2011) menjelaskan bahwa suatu organ dapat
membesar bukan hanya karena meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga
karena berkurangnya kematian sel.
BPH jarang mengancam jiwa.Namun, keluhan yang disebabkan BPH
dapat menimbulkan ketidaknyamanan.BPH dapat menyebabkan timbulnya
gejala LUTS (lower urinary tract symptoms) pada lansia pria. LUTS terdiri
atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptom)
yang meliputi: frekuensi berkemih meningkat, urgensi, nokturia, pancaran
berkemih lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak
puas sehabis berkemih, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urin.
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara
pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan[ CITATION Nov191 \l 1057 ].

3. PATOFISIOLOGI

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang


terletak di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra
posterior.Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada
orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan
bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa
zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat
(2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada
jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa
pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron,
yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di
dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga
terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek
terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-
lahan.Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat
sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat,
tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi
detrusor.Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem
parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem
simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan
terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat.
Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan
kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat
seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat
menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil
dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase
penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung
kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan
akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat
digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala
obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama
dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan
miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa
belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan
yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang
kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh
atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi
meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria
tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel
lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi
inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal,
maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus
urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid.
Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang
dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis[ CITATION Pra21 \l 1057 ].
4. PATHWAY

PERUBAHAN USIA
LANJUT)
KETIDAKSEIMBANGAN PRODUKSI
HORMON ESTROGEN DAN PROGESTERON

KADAR KADAR ESTROGEN


TESTOTERON MENINGKAT

MEMPENGARUHI RNA HIPERPLASIA SEL


DALAM INTI SEL SLOMA PADA JARINGAN

POLIFERASI SEL
PROSTAT
POST OPERASI
BPH

TERPUTUSNYA
PASIEN KURANG KONTINUITAS
OBSTRUKSI
MEMAHAMI JARINGAN
SALURAN
KONDISINYA
KEMIH
PERTAHANAN
ANCAMAN
TUBUH MENURUN
PERUBAHAN
STATUS
KESEHATAN DIRI RETENSI URINE
RESIKO INFEKSI
KRISIS
SITUASIONAL NYERI AKUT

ANSIETAS
GANGGUAN
POLA TIDUR
5. MANIFESTASI KLINIS
a. Gejala iritatif meliputi  :
1) Peningkatan frekuensi berkemih
2) Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
3) Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda
(urgensi)
4) Nyeri pada saat miksi (disuria)
b. Gejala obstruktif meliputi :
1) Pancaran urin melemah
2)    Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong
dengan baik
3) Kalau mau miksi harus menunggu lama
4)  Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
5) Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
6)    Urin terus menetes setelah berkemih
7)  Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan
inkontinensia karena penumpukan berlebih.
8)   Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia
(akumulasi produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan
retensi urin kronis dan volume residu yang besar[ CITATION
Nov191 \l 1057 ].
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya
sel leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat
hematuri harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti
keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih,
walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi
dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai
dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini
keganasan.Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi.Sedangkan
bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen
density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat.
Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian
pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
b) Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif
maka semua defek pembekuan harus diatasi.Komplikasi jantung
dan pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena usianya
yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus
dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis
leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin
serum.
c) Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena,
USG, dan sitoskopi.Tujuan pencitraan untuk memperkirakan
volume BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin.Dari
foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius,
pembesaran ginjal atau buli-buli.Dapat juga dilihat lesi
osteoblastik sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta
osteoporosis akibat kegagalan ginjal.Dari Pielografi intravena
dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan
hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria,
residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat,
memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan batu
ginjal[ CITATION Pra21 \l 1057 ].

7. PENATALAKSANAAN
a) MEDIS
Dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada
stadium-stadium dari gambaran klinis
a) Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan
bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya
menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan
terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses
hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini
tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b) Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan
pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui
uretra (trans uretra)
c) Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan
apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga
reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan
pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan
melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d) Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah
membebaskan penderita dari retensi urin total dengan
memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis,
kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan
terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak
memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan
pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif
adalah dengan memberikan obat anti androgen yang
menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2018) dan Purnomo (2017),
penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan:
a) Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat
dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan
kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b) Medikamentosa
1) Mengharnbat adrenoreseptor α
2) Obat anti androgen
3) Penghambat enzim α -2 reduktase
4) Fisioterapi
c) Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang,
hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran
kemih berulang, divertikel batu saluran kemih,
hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
1) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau
keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi
atau resektoskop yang dimasukkan malalui
uretra.
2) Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui
insisi yang dibuat pada kandung kemih.
3) Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui
insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa
prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
4) Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal
melalui sebuah insisi diantara skrotum dan
rektum.
5) Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat
termasuk kapsula, vesikula seminalis dan
jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi
pada abdomen bagian bawah, uretra
dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada
kanker prostat.
d) Terapi Invasif Minimal
1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang
mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui
antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
2) Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced
Prostatectomy (TULIP)
3) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)[ CITATION
Nov191 \l 1057 ]
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN

Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan


proses keperawatan. Menurut Doenges (2016) fokus pengkajian pasien
dengan BPH adalah sebagai berikut :
a) Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu
integritas egonya karena memikirkan bagaimana akan
menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda
seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
b) Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi;
pada kasus preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan
tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek pembesaran
ginjal.Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering
dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena
kekurangan volume cairan.
c) Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang
seringkali dialami oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji
keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin berkurang,
pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih,
nokturia, disuria dan hematuria.Sedangkan pada postoperasi
BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur
pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter
untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi
warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan
bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan
viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi
gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya
konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena
protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi
BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.
d) Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu
karena efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi),
maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga
terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan,
tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan
pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
e) Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah
kebutuhan dasar yang utama.Karena menghindari nyeri
merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.Pada pasien
postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik,
pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
f) Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH
faktor keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena
hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis tuntutan
akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan
adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan
seperti adanya demam (pada preoperasi), sedang pada
postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-
tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran
perkemihannya.
g) Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi
terkadang mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada
kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama
hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi,
dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
h) Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi
maupun postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara
lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin, BUN/kreatinin, asam
fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada
postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit
karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk
mengetahui ada tidaknya infeksi.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien
dengan kasus Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)adalah sebagai
berikut :
1) Nyeri akut b.d agen cedera fisiologi d.d adanya luka
operasi
2) Ansietas b.d penurunan fungsi fisiologis
3) Resiko infeksi b.d ketidakadekuatan pertahanan tubuh
primer[ CITATION PPN161 \l 1057 ]
N Diagnosa Intervensi Keperawatan Rasional
o. Keperawatan
1. Nyeri akut b.d Observasi 1. Rasional : menentukan intervensi yang sesuai
agen cedera 1. Identifikasi lokasi , skala, dan keefektifan dari terapi yang diberikan.
fisiologis karakteristik, durasi, frekuensi, 2. Rasional: meningkatkan relaksasi dan membantu
kualitas dan intensitas nyeri untuk memfokuskan perhatian sehingga dapat
Terapeutik meningkatkan sumber coping
2. Berikan tekhnik non 3. Rasional: meningkatkan kenyamanan
farmakologis 4. Rasional: membantu mengurangi rasa nyeri
3. Kontrol lingkungan yang pasien.
memperberat nyeri 5. Rasional: menambah pengetahuan pasien
4. Fasilitasi istrahat dan tidur tentang sumber nyeri
Edukasi 6. Rasional : obat analgetik berfungsi meringankan
5. Jelaskan penyebab , periode, dan nyeri pada pasien.
pemicu nyeri
Kolaborasi
6. Kolaborasi pemberian analgetik
jika perlu.
2. Ansietas b.d Observasi 1. Rasional: menghindari kejadian/tindakan yang
penurunan fungsi 1. Identifikasi saat tingkat ansietas bisa membuat anak stress dan takut.

fisiologis berubah 2. Rasional : perubahan tanda tanda vital dapat


2. Monitor tanda tanda ansietas dignakan sebagai indikator terjadinya ansietas
Terapeutik pada klien.
3. Ciptakan suasana terapeutik 3. Rasional: memberikan dukungan emosi untuk
untuk menumbuhkan menenangkan klien dan menciptakan
kepercayaan penerimaan serta bantuan dukungan selama
4. Gunakan pendekatan yang tenang masa stress.
dan meyakinkan 4. Rasional: membantu memudahkan penyediaan
5. Tempatkan barang pribadi yang layanan untuk menganaisis kondisi yang
memberikan kenyamanan dialami klien.
Edukasi 5. Rasional : membantu mengalihkan rasa cemas
6. Anjurkan keluarga untuk tetap atau takut anak.
bersama klien, jika perlu 6. Rasional: memberikan rasa aman dan nyaman
pada pasien.
Observasi 1. Rasional: membantu penyembuhan dan
1. Monitor tanda dan gejala infeksi perawatan luka
lokal dan sistemik 2. Rasional: mencegah terjadinya infeksi dan
2. Cuci tangan sebelum dan sesudah terkontaminasi dengan bakteri.
kontak dengan pasien dan 3. Rasional: menambah pengetahuan pasien.
lingkungan pasien. 4. Rasional: meningkatkan daya tahan tubuh
Edukasi
3. Jelaskan cara mencuci tangan yang
baik dan benar
4. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
dan cairan.
3. IMPLEMENTASI

Implementasi atau pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana


tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi ini
dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada rencana
strategi untuk membantu perawat mencapai tujuan yang di
harapkan[ CITATION Irm20 \l 1057 ].

4. EVALUASI
1) Nyeri akut
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan maka
didapatkan kriteria hasil :
 Kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat
 Keluhan nyeri,meringis,gelisah dan kesulitan tidur klien
menurun.
 Frekuensi nadi dan tekanan darah membaik.
2) Ansietas
 Setelah dilakukan tindakan keperawatan maka tigkat
ansietas membaik.
[ CITATION PPN171 \l 1057 ]
3) Resiko infeksi
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan
maka didapatkan kriteria hasil :
 Kebersihan tangan dan badan meningkat
 Kemerahan nyeri dan bengkak pada luka klien
meningkat
 Kultur area luka membaik[ CITATION PPN19 \l 1057 ]
DAFTAR PUSTAKA

Irman Ode, N. Y. (2020). Buku Ajar Keperawatan Pada Pasien Sinrom Koroner
Akut. Jawa Timur: CV.Penerbit Qiara Media.

Noviestarie, E. (2019). Dasar Dasar Keperawatan. Jakarta: Elsevier Singapore .

PPNI. (2017). Standar diagnosis Keperawatan Indonesia; Defenisi dan Indikator


Diagnostik. Jakarta : Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).

PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus


Pusat Persatuan Perawat Nasioanl Indonesia.

PPNI, T. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan. Jakarta: Persatuan Perawat


Nasional Indonesia.

Prawirowidjojo, M. (2021). Pengobatan Kanker Prostat. Jakarta: Elex Media


Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai