Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Teori Hematothorax


1. Definisi
Hemotorax adalah keadaan dimana kavitas paru-paru terisi oleh darah.
Akumulasi darah dalam dada, atau hemothoraks adalah masalah yang relative
umum, paling sering akibat cedera untuk struktur intrathoracic atau dinding dada.
(Bararah, 2013)
Hematothoraks merupakan suatu keadaan di mana darah terakumulasi pada
rongga pleura yang disebabkan karena adanya trauma pada dada yang menjadi
predisposisi terpenting perembesan darah berkumpul di kantong pleura tidak bisa
diserap oleh lapisan pleura. (Muttaqin, 2012)
Hemotoraks adalah kondisi adanya darah di dalam rongga pleura. Asal darah
tersebut dapat dari dinding dada, parenkim paru, jantung, atau pembuluh darah
besar. Meskipun beberapa penulis menyatakan bahwa nilai hematokrit minimal
50% diperlukan untuk membedakan hemothorax dari perdarahan efusi pleura,
kebanyakan penulis tidak setuju pada setiap perbedaan spesifik (Mancini, 2015)

2. Epidemiologi
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) angka penderita hematothorax
selama 10 tahun terakhir ini mengalami peningkatan, dari 177 juta penduduk
dunia yang menderita Hematothorak, sekitar 76% diantaranya berada di negara
berkembang, dan 62 % disebabkan karena trauma. Pada tahun 2006 penduduk
Amerika Serikat yang menderita hematothorax sebanyak 7,8 juta orang. Di Asia,
prevalensi penduduk Cina, angka penderita hematothorax sebanyak 1,5%, di
hongkong 4,3% dan untuk Cina Singapura sebanyak 6,2%.
Pada tahun 2000 penderita hematothorax di Indonesia mencapai 1,6 juta
adapun prevalensi kejadian hematothorax ini tersebar diberbagai kota di
Indonesia. Data yang diperoleh dari rekam medik Rumah Sakit Soeradji
Tirtonegoro Klaten, diperoleh data prevalensi penderita hematothorax pada
Januari-November 2011 sebanyak 37 orang. Sedangkan penyebab dari
Hematothorax tersebut untuk masing-masing pasien berbeda. Dalam hal ini
terdapat beberapa pasien harus menjalani perawatan di Instalasi Rawat Intensive
(IRI).
3. Etiologi
Hemotorax disebabkan karena adanya trauma dada, baik trauma tumpul
maupun trauma tajam. Selain itu hemotorax dapat terjadi karena keganasan
neoplasma, rupture pembuluh darah akibat pebengkakan aorta, dan komplikasi
operasi. Trauma tumpul dapat menyebabkan hemotorax karena tulang iga yang
mengalami fraktur dapat melukai paru-paru. Ketika terjadi fraktur iga, serpihan
tulang iga maupun patahan tulang iga yang msih ada di rongga dada dapat
mencederai paru-paru. Biasanya cedera ini mengenai alveolus. Alveolus sendiri
adalah struktur yang banyak dikelilingis oleh pembuluh darah. Pembuluh darah
ini akan pecah setelah trauma. Pembuluh darah yang pecah ini akan menyababkan
perdarahan. Darah yang keluar dari pembuluh akan berkumpul di rongga pleura.
Suatu keberadaan darah dalam pleura dapat diklasifikasikan sebagai hemotorax
apabila volume darah minimal 300-500 ml (Pooler,2009).

4. Klasifikasi
Hemotorax dibagi menjadi tiga kategori menurut Pooler (2009) yaitu :
a. Hemotorax Kecil, Apabila volume kurang dari 300-500 ml, biasanya dalam
keadaan ini darah mampu diabsorbsi oleh paru-paru dari rongga plura. Proses
ini akan memakan waktu 10-14 hari sampai pleura bersih dari darah tanpa
menimbulkan komplikasi.
b. Hemotorax moderate, Apabila volume darah melebihi 500-100 ml. Darah
akan mengisi sepertiga dari rongga pleura maka akan menimbulkan gejala
penekanan paru-paru dan kehilangan darah di intravaskuler.
c. Hemotorax besar (large hemotorax), apabila volume darah dalam rongga
pleura lebih dari 1000 ml. Pada hemotorax besar, darah akan mengisi setengah
atau lebih rongga pleura. Keadaan ini terjadi apabila terjadi perdarahan pada
pembuluh darah bertekanan tinggi. Hemotorax besar membutuhkan
penanganan drainase sesegera mungkin, bahkan apabila drainasi tidak efektif
untuk mengeluarkan darah maka dibutuhkan tindakan operasi bedah
(Pooler,2009).
d. Hemotorax Masif, akumulasi darah dalam rongga pleura dengan volume lebih
dari 1500 ml (Caroline & Eling,2010). Darah yang hilang mencapai 25%-30%
dari total darah yang mengalir ke paru-paru. Sehingga pasien yang
mengalaminya akan mengalami syok berat. Paru-paru dapat menampung
darah kurang lebih 3000 ml, sehingga pada keadaan hemotorax masif rongga
dada hampir dipenuhi oleh darah (Caroline & Eling,2010).

5. Patofisiologi
Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat
tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi
yang ringan berupa jejas pada dinding toraks, fraktur kosta simpel. Sedangkan
kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multiple dengan
komplikasi, pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio paru. Trauma yang lebih
berat menyebabkan perobekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada
jantung.
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat
menganggu fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat
tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa
gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik/alat
pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan
faal jantung dan pembuluh darah.
Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua
gangguan dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur intrathoracic.
Respon fisiologis terhadap perkembangan hemothorax diwujudkan dalam 2 area
utama: hemodinamik dan pernafasan. Tingkat respon hemodinamik ditentukan
oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah. Perubahan hemodinamik bervariasi,
tergantung pada jumlah perdarahan dan kecepatan kehilangan darah. Kehilangan
darah hingga 750 mL pada seorang pria 70 kg seharusnya tidak menyebabkan
perubahan hemodinamik yang signifikan. Hilangnya 750-1500 mL pada individu
yang sama akan menyebabkan gejala awal syok yaitu, takikardia, takipnea, dan
penurunan tekanan darah.

Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-tanda perfusi yang buruk


terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau lebih (1500-2000 mL). Karena
rongga pleura seorang pria 70 kg dapat menampung 4 atau lebih liter darah,
perdarahan exsanguinating dapat terjadi tanpa bukti eksternal dari kehilangan
darah. Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura dapat
menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan ventilasi
dan oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka pada dinding
dada. Sebuah kumpulan darah yang cukup besar menyebabkan pasien mengalami
dyspnea dan dapat menghasilkan temuan klinis takipnea. Volume darah yang
diperlukan untuk memproduksi gejala pada individu tertentu bervariasi tergantung
pada sejumlah faktor, termasuk organ cedera, tingkat keparahan cedera, dan
cadangan paru dan jantung yang mendasari.

Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana hemothorax


berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang sekunder untuk
penyakit metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut tidak akut untuk
menghasilkan respon hemodinamik terlihat, dan dispnea sering menjadi keluhan
utama. Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-paru,
dan struktur intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa derajat
defibrination darah sehingga pembekuan tidak lengkap terjadi. Dalam beberapa
jam penghentian perdarahan, lisis bekuan yang sudah ada dengan enzim pleura
dimulai.

Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan konsentrasi protein cairan


pleura dan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga pleura. Tekanan osmotik
tinggi intrapleural menghasilkan gradien osmotik antara ruang pleura dan jaringan
sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga pleura. Dengan
cara ini, sebuah hemothorax kecil dan tanpa gejala dapat berkembang menjadi
besar dan gejala efusi pleura berdarah. Dua keadaan patologis yang berhubungan
dengan tahap selanjutnya dari hemothorax: empiema dan fibrothorax. Empiema
hasil dari kontaminasi bakteri pada hemothorax. Jika tidak terdeteksi atau tidak
ditangani dengan benar, hal ini dapat mengakibatkan syok bakteremia dan sepsis.
(Mancini, 2015)

6. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang muncul pada pasien dengan hemotoraks adalah nyeri dada,
pasien menunjukkan distres pernapasan berat, napas pendek, takikardi, hipotensi,
pucat, dingin, dan takipneu. Pasien juga dapat mengalami anemia sampai syok
(Boston Medical Centre, 2014)
a. Respon Hemodinamik
Ketika terjadi perdarahan dan volume darah masuk ke rongga pleura, maka
volume darah dalam pebuluh darah akan berkurang, sehingga terjadi syok
hipovolemik. Syok hipovolemik akan menyebabkan berbagai macam manifestasi
klinis. Syok hipovolemik akan menyebabkan berkurangnya tekanan nadi, karena
darah yang di pompa oleh jantung sedikit. Selain itu syok hipovolemik akan
menyebabkan darah sebagai pembawa oksigen akan berkurang. Sehingga, tubuh
akan kekurangan oksigen, untuk kompensasi hal ini jantung akan memompa darah
dengan cepat (trakikardi) dan mempercepat pernafasan (trakipnea).
Akumulasi darah dalam rongga pleura pada akhirnya akan menyebabkan
tekanan pada jantung. Apabila jantung tertekan maka darah akan sulit memasuki
ruangan atrium jantung. Sehingga akan terjadi pengumpulan darah di area vena
kava. Selain darah kesulitan untuk memasuki rongga jantung, jantung juga akan
kesulitan dalam memompa darah ke seluruh tubuh. Akibatnya kardiak output
jantung akan menurun. Keadaan ini dapat mengakibatkan tubuh kekurangan
oksigen karena ada gangguan dalam proses distribusi oksigen ke seluruh tubuh.

b. Respon Respirasi
Akumulasi darah dalam rongga pleura akan menekan paru-paru sehingga
dapat menyebabkan paru-paru kolaps. Kolapsnya paru-paru dapat menyebabkan
gangguan oksigenasi. Paru-paru gagal mengembang dan kolap sehingga
menyebabkan udara tidak bisa masuk ke dalam paru-paru. Nafas penderita akan
mengalami dyspnea di mana nafas lambat dan dangkal. Respon lain adalah ketika
darah yang memenuhi rongga pleura biasanya berasal dari jaringan parenkim paru
(alveolus). Apabila kapiler darah alveolus megeluarkan darahnya ke rongga pleura
maka akan terjadi gangguan pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh kapiler
paru. Akibatnya fungsi perfusi paru akan terganggu karena alveolus tidak bisa
melakukan pertukaran gas dengan kapiler.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto rontgen: menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleura. Pada kasus
trauma tumpul dapat terlihat pada foto toraks, seperti fraktur kosta atau
pneumotoraks.

1) Persiapan
1) Jelaskan kepada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan
2) Beritahu pasien melepaskan pakaian ketika petugas radiologi sedang
mempersiapkan pesawat rontgen
2) Pelaksanaan
Memberikan instruksi kepada pasien dengan posisi pemeriksaan:
- Posisi PA (Postero Anterior)
Pada posisi ini film diletakkan di depan dada, siku ditarik kedepan
supaya scapula tidak menutupi parenkim paru.

- Posisi AP (Antero Posterior)


Dilakukan pada anak-anak atau pada pasien yang tidak kooperatif. Film
diletakkan dibawah punggung, biasanya scapula menutupi parenkim
paru. Jantung juga terlihat lebih besar dari posisi PA.
- Posisi Lateral Dextra & Sinistra
Posisi ini hendaknya dibuat setelah posisi PA diperiksa. Buatlah
proyeksi lateral kiri kecuali semua tanda dan gejala klinis terdapat di
sebelah kanan, maka dibuat proyeksi lateral kanan,berarti sebelah kanan
terletak pada film. Foto juga dibuat dalam posisi berdiri.

3) Pasca
Beritahu pasien untuk menggunakan kembali pakaian (Misri, 2013)

b. AGD
Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi, gangguan
mekanik pernapasan dan kemampuan mengompensasi. PCO2 kadang-kadang
meningkat > 45. PO2 mungkin normal atau menurun < 80, saturasi oksigen
biasanya menurun, berikut prosedur AGD.
1) Persiapan
a) Jelaskan prosedur dan tujuan dari tindakan yang dilakukan.
b) Jelaskan bahwa dalam prosedur pengambilan akan menimbulkan rasa
sakit.
c) Jelaskan komplikasi yang mungkin timbul.
d) Jelaskan tentang allen’s test.
Caranya :
Minta klien untuk mengepalkan tangan dengan kuat, berikan tekanan
langsung pada arteri radialis dan ulnaris, minta klien untuk membuka
tangannya, lepaskan tekanan pada arteri, observasi warna jari-jari, ibu
jari, dan tangan. Jari-jari dan tangan harus memerah dalam 15 detik,
warna merah menunjukkan test allen’s positif. Apabila tekanan dilepas,
tangan tetap pucat, menunjukkan test allen’s negatif. Jika pemeriksaan
negatif, hindarkan tangan tersebut dan periksa tangan yang lain.

2) Pelaksanaan
1) Menyiapkan posisi pasien :
a) Arteri Radialisi :
- Pasien tidur semi fowler dan tangan diluruskan.
- Meraba arteri kalau perlu tangan boleh diganjal atau ditinggikan.
- Arteri harus benar-benar teraba untuk memastikan lokalisasinya.
b) Arteri Dorsalis Pedis.
- Pasien boleh flat/fowler.
c) Arteri Brachialis
- Posisi pasien semi fowler, tangan di hyperekstensikan / diganjal
dengan siku.
d) Arteri Femoralis.
- Posisi pasien flat.
2) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
3) Raba kembali arteri untuk memastikan adanya pulsasi daerah yang akan
ditusuk sesudah dibersihkan dengan kapas bethadine secara sirkuler.
Setelah 30 detik kita ulangi dengan kapas alkohol dan tunggu hingga
kering.
4) Bila perlu obat anethesi lokal gunakan spuit 1 cc yang sudah diisi
dengan obat (adrenalin 1 %), kemudian suntikan 0,2-0,3 cc intracutan
dan sebelum obat dimasukkan terlebih dahulu aspirasi untuk mencegah
masuknya obat ke dalam pembuluh darah.
5) Lokalisasi arteri yang sudah dibersihkan difiksasi oleh tangan kiri
dengan cara kulit diregangkan dengan kedua jari telunjuk dan jari
tengah sehingga arteri yang akan ditusuk berada di antara 2 jari
tersebut.
6) Spuit yang sudah di heparinisasi pegang seperti memegang pensil
dengan tangan kanan, jarum ditusukkan ke dalam arteri yang sudah di
fiksasi tadi.
- Pada arteri radialis posisi jarum 45 derajat.
- Pada arteri brachialis posisi jarum 60 derajat.
- Pada arteri femoralis posisi jarum 90 derajat.
7) Sehingga arteri ditusuk, tekanan arteri akan mendorong penghisap spuit
sehingga darah dengan mudah akan mengisi spuit, tetapi kadang-
kadang darah tidak langsung keluar. Kalau terpaksa dapat
menghisapnya secara perlahan-lahan untuk mencegah hemolisis. Bila
tusukan tidak berhasil jarum jangan langsung dicabut, tarik perlahan-
lahan sampai ada dibawah kulit kemudian tusukan boleh diulangi lagi
kearah denyutan.
8) Sesudah darah diperoleh sebanyak 2 cc jarum kita cabut dan usahakan
posisi pemompa spuit tetap untuk mencegah terhisapnya udara kedalam
spuit dan segera gelembung udara dikeluarkan dari spuit.
9) Ujung jarum segera ditutup dengan gabus / karet.
10) Bekas tusukan pungsi arteri tekan dengan kapas alkohol campur dengan
bethadine.
- Pada arteri radialis dan dorsalis pedis selama 5 menit.
- Pada arteri brachialis selama 7 – 10 menit.
- Pada arteri femoralis selama 10 menit.
- Jika pasien mendapat antikoagulan tekan selama 15 menit.
11) Lokalisasi tusukan tutup dengan kassa + bethadine steril.
12) Memberi etiket laboratorium dan mencantumkan nama pasien, ruangan,
tanggal, dan jam pengambilan, suhu, dan jenis pemeriksaan.
13) Bila pengiriman/pemeriksaannya jauh, darah dimasukkan kantong
plastik yang diisi es supaya pemeriksaan tidak berpengaruh oleh suhu
udara luar.
14) Kembali mencuci tangan setelah selesai melakukan tindakan.
3) Pasca
Rapikan pasien (Gallo, 2010)

c. Hemoglobin : Kadar Hb menurun < 10 gr %, menunjukkan kehilangan darah


d. Volume tidal menurun < 500 ml, kapasitas vital paru menurun (Bararah, 2013)
e. Torakosentesis dan WSD
a. Persiapkan kulit dengan antiseptik
b. Lakukan infiltratif kulit, otot  dan pleura dengan lidokain 1 % diruang sela
iga yang sesuai, biasanya di sela iga ke 5 atau ke 6 pada garis mid axillaris.
c. Perhatikan bahwa ujung jarum harus mencapai rongga pleura
d. Hisap cairan dari rongga dada untuk memastikan diagnosis
e. Buat incisi kecil dengan arah transversal tepat diatas iga, untuk menghindari
melukai pembuluh darah di bagian bawah iga
f. Dengan menggunan forceps arteri bengkok panjang, lakukan penetrasi
pleura dan perlebar lubangnya
g. Gunakan forceps yang sama untuk menjepit ujung selang dan dimasukkan
ke dalam kulit
h. Tutup kulit luka dengan jahitan terputus, dan selang tersebut di fiksasi
dengan satu jahitan.
i. Tinggalkan 1 jahitan tambahan berdekatan dengan selang tersebut tanpa
dijahit, yang berguna untuk menutup luka setelah selang dicabut nanti.
Tutup dengan selembar kasa hubungkan selang tersebut dengan sistem
drainage tertutup air
j. Tandai tinggi awal cairan dalam botol drainage. (Muttaqin, 2012)

f. Analisis Cairan Pleura


Pada analisis cairan pleura, setelah dilakukan aspirasi, cairan tersebut diperiksa
kadar hemoglobin atau hematokrit. Dikatakan hemotoraks jika kadar hemoglobin
atau hematokrit cairan pleura separuh atau lebih dari kadar hemoglobin atau
hematokrit darah perifer
g. CT scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang cukup akurat untuk mengetahui cairan
pleura atau darah, dan dapat membantu untuk mengetahui lokasi bekuan darah.
Selain itu, CT scan juga dapat menentukan jumlah bekuan darah di rongga pleura
(Mancini, 2015)

8. Kemungkinan Komplikasi
Hemotorax yang tidak segera ditangani akan menimbulkan berbagai dampak
yang berbahaya bagi pasien. Darah yang berkumpul dalam rongga pleura apabila
tidak dikeluarkan akan menjadi zat iritan. Menurut Gourlay (2002) dalam Jones
et.all (2005) darah yang terakumulasi akan menyebabkan peningkatan efusi serum
yang meningkatkan volume rongga pleura. Darah yang dibiarkan akan mengalami
penggumpalan dalam rongga pleura (Jones et.all,2005). Pada klien dengan posisi
rekumben maka gumpalan akan terbentuk dan menebal di area dasar posterior,
apeks dan sedikit di bagian anterior pleura. Setelah terjadi penggumpalan maka
akanterbentuk hemotorax terorganisasi. Hemotorax terorganisasi terdiri dari tiga
lapisan. Lapisan paling dalam berisi darah yang masih sedikit cair, lapisan tengah
berisi deposit jaringan fibrin yang sudah terorganisasi, sedangkan lapisan paling
luar berisi fibroblas yang menghasilkan matrix fibrin. Dalam matrix fibrin akan
terbentuk pertunasan
pembuluh darah baru. Kumpulan fibroblas ini akan menghasilkan jaringan
kolagen yang menyebabkan fibrosis pada paru-paru. Jaringan skar yang terbentuk
akan menyebabkan paru-paru sulit melakukan ekspansi, karena jaringan skar akan
menekan paru-paru dan menyebabkan paru-paru menjadi kaku atau mungkin
mengalami contract. Kondisi ini disebut fibrinothorax.
Selain fibrinothorax, komplikasi lain adalah terjadinya infeksi. Darah yang
terakumulasi merupakan media yang sangat subur untuk perkembangan bakteri
ataupun pagen infeksi lain. Apabila hemothorax tidak ditangani segera maka akan
berkembangn infeksi pada thorax.
9. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi
a. Penatalaksanaan Farmakologi
1) Pemberian Oksigen
Mengatasi gangguan ventilasi yang diakibatkan oleh kompresi.
2) Resusitasi cairan
Terapi awal hemotoraks adalah dengan penggantian volume darah yang
dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan
infus cairan kristaloid (cairan RL) secara cepat dengan jarum besar dan
kemudian pemnberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Cairan
RL:
a) Merupakan larutan isotoni Natrium Klorida, Kalium Klorida, Kalsium
Klorida, dan Natrium Laktat yang komposisinya mirip dengan cairan
ekstraseluler.
b) Merupakan cairan pengganti pada kasus-kasus kehilangan cairan
ekstraselular.
c) Merupakan larutan non-koloid, mengandung ion-ion yang terdistribusi
kedalam cairan intravaskuler dan interststel (ekstravaskuler)
3) Tramadol
Komposisi: Tiap tablet mengandung: Tramadol HCl 50 mg
Cara kerja obat:
Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat. Tramadol
mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga
mengeblok sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. Di samping itu tramadol
menghambat pelepasan neurotransmitter dari saraf aferen yang sensitif
terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri terhambat.
Indikasi:
Efektif untuk pengobatan nyeri akut dan kronik yang berat, nyeri pasca
pembedahan.
Dosis umum:
Dosis tunggal 50 mg. Dosis tersebut biasanya cukup untuk meredakan nyeri,
apabila masih terasa nyeri dapat ditambahkan 50 mg setelah selang waktu 30-
60 menit.
Dosis maksimum:
400 mg sehari. Dosis sangat tergantung pada intensitas rasa nyeri yang
diderita.
Penderita gangguan hati dan ginjal dengan "creatinine clearances" <30
ml/menit:
50-100 mg setiap 12 jam, maksimum 200 mg sehari.
Peringatan dan perhatian:
a) Pada penggunaan jangka panjang dapat terjadi ketergantungan, sehingga
dokter harus menentukan lama pengobatan.
b) Tramadol tidak boleh diberikan pada penderita ketergantungan obat.
c) Hati-hati penggunaan pada penderita trauma kepala, meningkatnya
tekanan intrakranial, gangguan fungsi ginjal dan hati yang berat atau
hipersekresi bronkus, karena dapat mengakibatkan meningkatnya resiko
kejang atau syok.
d) Penggunaan bersama dengan obat-obat penekanan SSP lain atau
penggunaan dengan dosis berlebihan dapat menyebabkan menurunnya
fungsi paru.
e) Penggunaan selama kehamilan harus mempertimbangkan manfaat dan
resikonya baik terhadap janin maupun ibu.
f) Hati-hati penggunaan pada ibu menyusui, karena tramadol diekskresikan
melalui ASI.
g) Tramadol dapat mengurangi kecepatan reaksi penderita, seperti
kemampuan mengemudikan kendaraan ataupun mengoperasikan mesin.
h) Depresi pernapasan akibat dosis yang berlebihan dapat dinetralisir dengan
nalokson, sedangkan kejang dapat diatasi dengan pemberian
benzodiazepin.
i) Meskipun termasuk antagonis opiat, tramadol tidak dapat menekan gejala
"withdrawal" akibat pemberian morfin.
Efek samping:
Efek samping yang umum terjadi seperti pusing, sedasi, lelah, sakit kepala,
pruritus, berkeringat, kulit kemerahan, mulut kering, mual, muntah. Dispepsia
dan obstipasi. Efek samping yang berupa ketergantungan sangat jarang terjadi.
4) Asam tranexamat
a) Kegunaan dari asam traneksamat adalah untuk mencegah, menghentikan
ataupun menghentikan pendarahan masif. Biasanya zat ini diberikan pada
prosedur pembedahan, epistaksis atau mimisan, pendarahan berat saat
menstruasi atau angioedema herediter (masalah sistem kekebalan tubuh).
b) Secara sederhana, asam traneksamat berfungsi untuk mencegah,
mengurangi, bahkan menghentikan pendarahan yang tak diinginkan.
c) Obat ini memiliki kontraindikasi pada wanita yang mengonsumsi obat
kontrasepsi hormonal kombinasi, pasien wanita yang sedang dalam masa
prepubertas, pasien dengan penyakit tromboemboli yang aktif, memilki
risiko mengalami trombosis atau tromboemboli, atau pendarahan
subaraknoid.
d) Pasien-pasien dengan riwayat gangguan fungsi ginjal, kelainan pembuluh
darah, pendarahan saluran kemih, menderita diseminata intravascular
coagulation (DIC), menggunakan anti-inhibtor coagulant complex, serta
sedang hamil dan menyusui disarankan untuk tidak mengonsumsi obat ini
atau setidaknya perlu berada di bawah pengawasan ketat dalam
penggunaannya.
e) Ada beragam efek samping asam traneksamat yang menyebabkan
meninggalnya 2 pasien RS Siloam, antara lain sakit kepala, sakit
punggung, sakit perut, nyeri sendi, keram otot, anemia, lelah, gangguan
penglihatan, mual-muntah, diare, atau penurunan takanan darah saat
dilakuan penyuntikan obat secara cepat.
5) Ranitidin
Ranitidin digunakan untuk menangani gejala dan penyakit akibat produksi
asam lambung yang berlebihan. Kelebihan asam lambung dapat membuat
dinding sistem pencernaan mengalami iritasi dan peradangan. Inflamasi ini
kemudian dapat berujung pada beberapa penyakit, seperti tukak lambung, tukak
duodenum, sakit maag, nyeri ulu hati, serta gangguan pencernaan. (Adam, 2012).

6) WSD (Water Seal Drainage)


a. Definisi
WSD (Water Seal Drainage) merupakan suatu sistem drainage yang
menggunakan water seal (perendaman air) untuk mengalirkan udara dan atau
cairan dari cavum pleura (rongga pleura). Tujuan WSD yaitu membuat
pengembangan paru kembali normal sehingga klien dapat menunjukkan pola
napas yang adekuat dengan menggunakan prinsip steril, sistem tertutup, dan
adanya perbedaan tekanan antara botol dan rongga pleura. WSD digunakan dalam
menangani klien hemotoraks, pneumotoraks, dan hemopneumotoraks.
b. Jenis-jenis WSD
WSD memiliki 3 jenis yang digunakan sesuai dengan keperluan klien yang
memiliki indikasi hemotoraks, pneumotoraks, dan hemopneumotoraks
diantaranya system satu botol, system dua botol, dan system tiga botol.
1) Sistem satu botol
Ujung akhir pipa drainase dari dada klien dihubungkan kedalam satu botol
yang memungkinkan udara dan cairan mengalir dari rongga pleura tetapi tidak
mengizinkan udara maupun cairan kembali ke dalam rongga dada. Secara
fungsional, drainase tergantung pada gaya gravitasi dan mekanisme pernapasan,
oleh karena itu botol harus diletakkan lebih rendah. Sistem satu botol digunakan
pada kasus pnemothoraks sederhana sehingga hanya membutuhkan gaya gravitasi
saja untuk mengeluarkan isi pleura. Di setiap botol ada batas cairan yakni 2/3
penuh, dan ketika sudah 2/3 penuh maka botol harus segera diganti. Hal ini
dikarenakan kalau melebihi garis 2/3 maka cairan atau udara pada pleura tidak
dapat dikeluarkan.
2) Sistem dua botol
Sistem dua botol ini menggunakan dua botol dimana botol 1 untuk menerima
cairan atau udara dari klien dan botol 2 untuk membuat segel air. Udara atau
cairan dari rongga pleura diterima oleh botol 1. Udara dari botol 1 disalurkan ke
botol 2, udara keluar dari akan membentuk gelembung dan akhirnya disalurkan
ke mesin untuk diperiksa. Botol ini juga memiliki batas cairan yakni 2/3 guna
cairan pleura dapat dikeluarkan.
3) Sistem tiga botol
Pada sistem tiga botol ini ada penambahan botol ketiga yaitu untuk
mengontrol jumlah cairan suction yang digunakan. Sistem tiga botol
menggunakan 3 botol yang masing-masing berfungsi sebagai penampung, water
seal, dan pengatur yang mengatur tekanan penghisap. Botol ketiga merupakan
pengatur hisapan yang merupakan botol tertutup yang mempunyai katup
atmosferik atau tabung manometer yang berfungsi untuk mengatur dan
mengendalikan mesin penghisap yang digunakan.
c. Teknik Pemasangan WSD
1) Klien berbaring dengan sedikit miring menghadap sisi yang tidak mengalami
fraktur
2) Tentukan tempat pemasangan WSD. misalnya, klien mengalami faktur iga 5-
8, maka dipasang di sela iga VII atau VIII dan tentukan tebal dinding toraks
3) Secara steril diberi tanda pada slang WSD dari lobang terakhir slang WSD
tebal dinding toraks (misalnya dengan ikatan benang)
4) Cuci tempat yang akan dipasang WSD dan sekitarnya dengan cairan
antiseptik
5) Daerah tempat masuk slang WSD dan sekitarnya dibius setempat secara
infiltrate dan block
6) Insisi kulit subkutis dan otot dada di tengah sela iga. Dan diteruskan secara
tajam menembus pleura
7) Dengan klem arteri lurus lobang diperlebar secara tumpul
8) Slang WSD diklem dengan arteri klem didorong masuk ke rongga pleura
(dengan sedikit tekanan)
9) Fiksasi slang WSD sesuai dengan tanda pada slang WSD
10) Daerah luka dibersihkan dan diberi zalf steril agar kedap udara dan
dihubungkan pada botol 2 dan 3 sesuai dengan kebutuhan.
d. Cara Perawatan WSD
1) Perawatan WSD
Perawatan WSD ini terdiri atas perawatan luka dan perawatan slang dan botol
WSD. Untuk perawatan luka, verband diganti 3 hari sekali dan diberi zalf steril
untuk mengurangi bahaya infeksi. Sedangkan untuk perawatan slang dan botol
adalah dengan cara cairan dalam botol merupakan cairan antiseptik dan diganti
setiap hari, botol harus diganti ketika sudah penuh 2/3 dan harus steril. Dalam
masa pemasangan WSD, perlu mencatat ada atau tidaknya pertambahan cairan
dan gelembung udara.
2) Perawatan klien yang terpasang WSD
a) Awal pemasangan WSD
(1) Klien harus terinformasikan dengan jelas prosedur yang dilakukan dan
mendapatkan persetujuan dari klien.
(2) Alat yang diperlukan siap untuk pelaksanaan prosedur yang aman.
(3) Pertahankan teknik aseptic.
(4) Posisikan pasien nyaman dan tepat.
(5) Analgesic telah diberikan.
(6) Memasang vena akses untuk kondisi emergensi pemberian cairan/medikasi
bila diperlukan.
- Selama pemasangan WSD:
(1) Menemani pasien.
(2) Monitor tanda nyeri dan distress.
(3) Monitor tanda vital dan saturasi oksigen tiap 15 menit pada jam pertama.
(4) Beri oksigen.
(5) Monitor area insersi WSD jika ada tanda emfisema subkutan.
(6) Monitor drainase yang perlu didokumentasikan pada form observasi.
(7) Pastikan tube/selang paten, cek undulasi selama pasien bernafas.
(8) Cek bubling (menunjukkan udara dalam rongga pleura).
(9) Jika undulasi dan/atau bubling tidak tampak anjurkan pasien untuk batuk;
jika tidak berhasil informasikan medis.
e. Kriteria Pencabutan WSD
Pencabutan WSD dapat dilakukan ketika paru-paru klien sudah mengembung
secara normal pada pemeriksaan fisik atau radiologic. Selain itu pencabutan juga
dapat dilakukan apabila darah atau cairan tidak keluar lagi ke botol WSD dan
tidak adanya pus dari selang WSD (tidak ada komplikasi empyema).

b. Terapi Non-Farmakologis
Pemberian diet untuk pasien dengan hemotorak yaitu diet TKTP (Tinggi Kalori
Tinggi Protein)
Diet TKTP adalah pengaturan jumlah protein dan kalori serta jenis zat
makanan yang dimakan disetiap hari agar tubuh tetap sehat.
1) Tujuan Diet
a) Memberikan makanan secukupnya atau lebih dari pada biasa untuk
memenuhi kebutuhan protein dan kalori.
b) Menambah berat badan hingga mencapai normal.
Penambahan berat badan hingga mencapai normal menunjukkan
kecukupan energi. Bagi orang dewasa digunakan Indek MasaTtubuh
(IMT).
c) Mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan.
Dengan terpenuhinya kebutuhan energi / kalori dan protein di dalam
tubuh, sehingga menjamin terbentuknya sel-sel baru di dalam jaringan
tubuh.
2) Syarat Diet
a) Tinggi Energi
b) Tinggi Protein
c) Cukup mineral dan Vitamin
d) Mudah dicerna
e) Diberikan secara bertahap bila penyakit dalam keadaan darurat
f) Makanan yang dapat mengurangi nafsu makan dihindari.

3) Indikasi
a) Malnutrisi, defisiensi kalori, protein, anemia, kwashiorkor.
b) Sebelum dan sesudah operasi.
c) Baru sembuh dari penyakit dengan panas tinggi atau penyakit berlangsung
lama.
d) Trauma perdarahan.
e) Infeksi saluran pernafasan
4) Macam Diet TKTP
a) TKTP I
Kalori : 2600 kal/kg BB
Protein : 100 g (2 g/kgBB)
b) TKTP II
Kalori : 3000 kal / kg BB
Protein : 125 g (2½ g / kg BB)
5) Bahan Makanan TKTP
a) Bahan makanan sumber protein
(1) Sumber protein hewani : ayam, daging, hati, ikan, telur, susu, keju.
(2) Sumber protein nabati : kacang-kacangan.
b) Bahan makanan sumber kalori.
(1) Sumber hidrat arang : beras, jagung, ubi singkong, roti, kentang, mie,
tepung.
(2) Sumber lemak : minyak goreng, mentega. (Almatsier, 2011)
B. Clinical Pathway

Trauma pada Thorax

Perdarahan jaringan Cidera jaringan lunak,


interstitium, perdarahan intra cidera/hilangnya
alveolar, kolaps arteri dan kontinuitas struktur tulang
arteri-arteri kecil, hingga
tahanan perifer pembuluh
darah paru meningkat Adanya luka pasca trauma,
pergerakan fragmen tulang

Reabsorbsi darah oleh pleura


tidak memadai/tidak optimal MK: Nyeri Port de entry
Akut Mikroorganisme

Akumulasi darah di pleura


MK: MK: Risiko
Kerusakan Infeksi
Gangguan ventilasi: Integritas Kulit
Pengembangan paru tidak
optimal, gangguan difusi,
distribusi, dan transportasi Edema
oksigen trakheal/faringeal

Peningkatan produksi
MK: Ketidakefektifan Terpasang bullow
sekret dan penurunan
Pola Nafas drainase/WSD
kemampua batuk efektif

Risiko tinggi trauma MK: Ketidakefektifan


Aktivitas Port de Bersihan Jalan Nafas
terbatas entry
MK: Nyeri Akut kuman MK: Risiko
Infeksi
MK: Hambatan
Mobilitas Fisik
C. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Sistem Pernapasan :
1) Sesak napas
2) Nyeri, batuk-batuk.
3) Terdapat retraksi klavikula/dada.
4) Pengambangan paru tidak simetris.
5) Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
6) Pada perkusi ditemukan adanya suara sonor/hipersonor/timpani
7) Pada asukultasi suara nafas menurun, bising napas yang
berkurang/menghilang.
8) Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas.
9) Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
10) Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.

b. Sistem Kardiovaskuler
1) Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk.
2) Takhikardia, lemah, pucat,
3) Hb turun /normal.
4) Hipotensi.

c. Sistem Persyarafan : Tidak ada kelainan.


d. Sistem Perkemihan: Tidak ada kelainan.
e. Sistem Pencernaan : Tidak ada kelainan.
f. Sistem Muskuloskeletal - Integumen.
1) Kemampuan sendi terbatas.
2) Ada luka bekas tusukan benda tajam.
3) Terdapat kelemahan.
4) Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.
g. Sistem Endokrine :
1) Terjadi peningkatan metabolisme.
2) Kelemahan.
h. Sistem Sosial / Interaksi: Tidak ada hambatan.
i. Spiritual : Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.
j. Pemeriksaan Diagnostik
1) AGD; menentukan kadar oksigen dan karbondioksida dalam darah;
hipoksia atau hiperkapnia
2) Hemoglobin/hemotokrit; jika hasil menurun menunjukan kehilangan darah
3) X-ray dada; mengevaluasi organ atau struktur dada; merupakan pilihan
utama ketika klien mengalami trauma dada oleh benda tumpul.
4) CT toraks; lebih sensitif dibandingkan x-ray dalam mendeteksi cedera
dada, memar di paru-paru, hemotoraks, dan pneumotoraks.
5) Toraks ultrasound; membantu menentukan kelainan pada dada.
6) Toraksentesi; dilakukan untuk meringankan tekanan intratoraks karena
akumulasi cairan dalam rongga pleura, adanya darah atau cairan serosa
menunjukan hemotoraks.

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


Berikut diagnosa keperawatan yang mungkin muncul.
a. Ketidakefektifan pola napas b.d penurunan ekspansi paru karena penumpukan
cairan
b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d peningkatan sekresi sekret dan
penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
c. Nyeri akut b.d trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
d. Hambatan mobilitas fisik b.d ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk
ambulasi dengan alat eksternal.
e. Kerusakan integritas kulit b.d trauma mekanik terpasang WSD.
f. Resiko infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder
terhadap trauma.
3. Intervensi Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak
maksimal karena trauma
Tujuan:
1) Pola pernapasan efektif.
2) Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif.
3) Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.

Intervensi:
1) Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur.
Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
2) Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau
perubahan tanda-tanda vital.
3) Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin
keamanan.
4) Jelaskan pada klien tentang etiologi atau faktor pencetus adanya sesak atau
kolaps paru-paru.
5) Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dengan
menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
6) Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 – 2 jam :
7) Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.
8) Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang
ditentukan.
9) Observasi gelembung udara botol penempung.
10) Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak
terlipat, atau menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat drainage.
Alirkan akumulasi dranase bela perlu.
11) Catat karakter/jumlah drainage selang dada.
12) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : dengan dokter, radiologi dan
fisioterapi.Pemberian antibiotika.Pemberian analgetika.Fisioterapi
dada.Konsul photo toraks.

b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan


sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Jalan napas lancar atau normal
Intervensi :
1) Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat
penumpukan sekret di sal. pernapasan.
2) Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
3) Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
4) Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi :
mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000
sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi
5) Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
6) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :Dengan dokter, radiologi dan
fisioterapi. Pemberian expectoran. Pemberian antibiotika. Fisioterapi
dada.Konsul photo toraks.

c. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot
sekunder.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Intervensi :
1) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan
non invasif.
2) Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka,
yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.
3) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang
nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
4) Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan
berapa lama nyeri akan berlangsung.

d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan


ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Intervensi :
1) Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.  
2) Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
3) Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.Ó
4) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
5) Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.Ó

e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang


bullow drainage atau WSD.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Intervensi :
1) Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
2) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
3) Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering
dan steril, gunakan plester kertas.
4) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.

f. Resiko infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder


terhadap trauma.
Tujuan : infeksi tidak terjadi atau terkontrol.
Intervensi :
1) Pantau tanda-tanda vital.
2) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
3) Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, dll.
4) Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA

Albanese, C.T., dan J.T Anderson et al., 2006. Current Surgery Diagnosis and
Treatment. Mc Graww Hill Companies.

Alizadeh, A. H. M.. 2017. Cholangitis: Diagnosis, Treatment and Prognosis


Journal of Clinical and Translational Hepatology. Vol. 5 | 404–413.

Black, J.m., Hawks, J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah; Manajemen Klinis
untuk Hasil yang Diharapkan. Singapore: Elsevier

Brunicardi, F.C., dan D.K Andersen. 2007. Schwartz Principle’s of Surgery. 8th
Ed. Mc Graww Hill Companies.

Bulechek, Gloria M. et al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). 6th ed.
Elsevier Mosby.

Caroline, Nancy, Eling, Bob. (2011). Caroline’s Emergency Care in the Street.
London: Jones and Barlett Publisher

Herdman, T.H. dan Kamitsuru, S. 2018. NANDA International Nursing


Diagnoses: Definitions & Classification, 2018–2020. 10nd ed. Oxford:
Wiley Blackwell.

Jones, Riyad Karmy, et.all.(2005).Thoracic Trauma and Critical Care.


Massacushet: Kluwer Academic Publisher.

Moorhead, Sue et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th ed.
Elsevier Mosby.

Pooler, Charlotte. (2009). Porth Pathophysiology: Concept of Altered Healt State.


Philladhelphia: Lippincott Willian & Wilkins

Townsend, C.M., dan R.D Beauchamp. 2004. Sabiston Textbook of Surgery,


Biological Basis of Modern Surgical Practice. 17th Ed. Elsevier-
Saunders

Anda mungkin juga menyukai