Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PNEUMONIA

A. DEFENISI
Pneumonia, inflamasi parenkim paru, merupakan penyakit yang sering
terjadi pada kanak-kanak namun lebih sering terjadi pada masa bayi dan masa
kanak-kanak awal (Wong, 2009).
Pneumonia adalah peradangan paru dimana asinus tensi dengan cairan,
dengan atau tanpa di sertai infiltrat sel radang kedalam dinding alveoli dan
rongga intistisium (Ridha, 2014).
Pneumonia adalah peradangan paru dimana asinus paru terisi cairan
radang dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang kedalam dinding
alveoli dan rongga interstisium. (secara anatomis dapat timbul pneumonia
lobaris maupun lobularis / bronchopneumonia. pneumonia adalah proses
inflamasi, yang melibatkan parenkim paru (Jaypee, 2006).

B. KLASIFIKASI
Menurut Wong, 2009. Secara morfologik pneumonia di golongkan menjadi :
1. Pneumonia lobaris : Melibatkan semua atau segmen yang luas dari satu
lobus paru atau lebih. Jika kedua paru terkena disebut pneumonia bilateral
atau pneumonia ganda.
2. Bronkopneumonia : Dimulai pada bronkiolus terminal, yang tersumbat
dengan eksudat mukopurulen yang membentuk bidang yang terkonsolidasi
pada lobus didekatnya disebut juga pneumonia lobularis.
3. Pneumonia intertisial : Proses inflamasi dengan batas-batas yang lebih atau
kurang dalam dinding alveolus (intertisium) dan jaringan peribronkial dan
interlobaris.
4. Pneumonitis adalah inflamasi akut lokal paru tanpa toksemia yang berkaitan
dengan pneumonia lobaris.
C. ETIOLOGI
Menurut Ridha, 2014. Pneumonia bisa disebabkan karena beberapa faktor,
diantaranya adalah :
1. Bakteri (pneumokokus, streptokokus, H. Influenza, klebsiela mycoplasma
pneumonia)
2. Virus (virus adena, virus para influenza, virus influenza).
3. Jamur / fungi (kandida abicang, histoplasma, capsulatum, koksidiodes).
4. Protozoa (pneumokistis karinti)
5. Bahan kimia (aspirasi makan/susu/isi lambung, keracunan hidrokarbon
(minyak tanah, bensin, dan lain-lain)).

D. PATOFISIOLOGI
Sistem pertahanan tubuh terganggu menyebabkan virus masuk ke dalam
tubuh setelah menghirup kerosin atau inhalasi gas yang mengiritasi. Mekanisme
pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang
diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar,
dan imunitas yang diperantarai sel.
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu,
atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas
bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas
bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan
kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun.
Ketika mikroorganisme penyebab pneumonia berkembang biak,
mikroorganisme tersebut mengeluarkan toksin yang mengakibatkan
peradangan pada parenkim paru yang dapat menyebabkan kerusakan pada
membran mukus alveolus. Hal tersebut dapat memicu perkembangan edema
paru dan eksudat yang mengisi alveoli sehingga mengurangi luas permukaan
alveoli untuk pertukaran karbondioksida dan oksigen sehingga sulit bernafas.
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif
jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial.
Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran
pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan
infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi
jaringan menyebabkan penurunan compliance paru dan kapasitas vital.
Peningkatan aliran darah yang melewati paru yang terinfeksi menyebabkan
terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang
kemudian menyebabkan terjadinya hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen
menyebabkan peningkatan kerja jantung.
Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan
disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada
kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat
dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan
melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura,
supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi
pleura dapat berlangsung secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan
penebalan jaringan ikat dan pembentukan perlekatan (Bennete, 2013).

E. PATHWAY
Peningkatan set poin
menyerang alveoli dihipothalamus

Virus, bakteri mengeluarkan Menggigil


toksin
Demam
kerusakan pada membran peradangan pada parenkim
mukus alveolus paru HIPERTERMI

perkembangan edema konsolidasi eksudatif Berkeringat banyak


paru dan eksudat jaringan ikat paru

mengisi alveoli penurunan compliance paru KEKURANGAN


VOLUME CAIRAN
mengurangi luas Pengembangan paru tidak
permukaan alveoli untuk maksimal
pertukaran
karbondioksida dan sesak nafas Kelemahan
oksigen
KETIDAKEFEKTIFAN INTOLERANSI
dispnue (sulit bernafas) POLA NAFAS AKTIVITAS

GANGGUAN suplai O2 ke jaringan


PERTUKARAN GAS menurun

Metabolisme tubuh
Peningkatan sekresi menurun
mukus
ATP menurun

KETIDAKEFEKTIFAN
BERSIHAN JALAN
NAFAS

Sistem pertahanan tubuh


terganggu
Melepaskan toksin
Virus, bakteri, protozoa, lipoproteisakarida (zat
bahan kimia pirogen)

masuk ke saluran nafas


F. MANIFESTASI KLINIS
1. Secara khas diawali dengan awitan menggigil, demam yang timbul dengan cepat (39,5 ºC
sampai 40,5 ºC).
2. Nyeri dada yang ditusuk-tusuk yang dicetuskan oleh bernafas
3. batuk.
4. Produksi sputum
5. Takipnea (25 – 45 kali/menit) disertai dengan pernafasan mendengur, pernafasan cuping
hidung,
6. Mual, muntah
7. Nadi cepat.
8. Sesak nafas
(Betz & Sowden, 2004)

G. KOMPLIKASI
1. Sianosis: warna kulit dan membran mukosa kebiruan atau pucat karena kandungan oksigen
yang rendah dalam darah.
2. Hipoksemia: penurunan tekanan parsial oksigen dalam darah, kadang-kadang khusus
sebagai kurang dari yang, tanpa spesifikasi lebih lanjut, akan mencakup baik konsentrasi
oksigen terlarut dan oksigen yang terikat pada hemoglobin
3. Bronkaltasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri dari pelebaran bronkus yang
abnormal dan menetap disebabkan kerusakan komponen elastis dan muskular dinding
bronkus.
4. Atelektasis (pengembangan paru yang tidak sempurna/bagian paru-paru yang diserang
tidak mengandung udara dan kolaps). Terjadi akibat penumpukan secret.
5. Meningitis: terjadi karena adanya infeksi dari cairan yang mengelilingi otak dan sumsum
tulang belakang.
(Elizabeth, 2009)
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Sinar X: mengidentifikasikan distribusi struktural (misal: lobar, bronchial); dapat juga
menyatakan abses)
2. Pemeriksaan gram/kultur, sputum dan darah: untuk dapat mengidentifikasi semua
organisme yang ada.
3. Pemeriksaan serologi: membantu dalam membedakan diagnosis organisme khusus.
4. Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru, menetapkan luas berat penyakit dan
membantu diagnosis keadaan.
5. Biopsi paru: untuk menetapkan diagnosis
6. Spirometrik static: untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi
7. Bronkostopi: untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda asing
(Elizabeth, 2009)

I. PENATALAKSANAAN
Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tapi karena hal itu perlu
waktu dan pasien pneumonia diberikan terapi secepatnya:
1. Penicillin G: untuk infeksi pneumonia staphylococcus.
2. Amantadine, rimantadine: untuk infeksi pneumonia virus
3. Eritromisin, tetrasiklin, derivat tetrasiklin: untuk infeksi pneumonia mikroplasma.
4. Menganjurkan untuk tirah baring sampai infeksi menunjukkan tanda-tanda
5. Pemberian oksigen jika terjadi hipoksemia.
6. Bila terjadi gagal nafas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup.
(Roudelph, 2007).
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien:
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia
Tanda : letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
b. Sirkulasi
Gejala : riwayat adanya
Tanda : takikardia, penampilan kemerahan, atau pucat
c. Makanan/cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan, mual, muntah, riwayat diabetes mellitus
Tanda : sistensi abdomen, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan kakeksia
(malnutrisi)
d. Neurosensori
Gejala : sakit kepala daerah frontal (influenza)
Tanda : perusakan mental (bingung)
e. Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala, nyeri dada (meningkat oleh batuk), imralgia, artralgia.
Tanda : melindungi area yang sakit (tidur pada sisi yang sakit untuk membatasi
gerakan)
f. Pernafasan
Gejala : adanya riwayat ISK kronis, takipnea (sesak nafas), dispnea.
Tanda : - sputum: merah muda, berkarat
perpusi: pekak datar area yang konsolidasi
premikus: taksil dan vocal bertahap meningkat dengan konsolidasi
Bunyi nafas menurun
Warna: pucat/sianosis bibir dan kuku

g. Keamanan
Gejala : riwayat gangguan sistem imun misal: AIDS, penggunaan steroid, demam.
Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar
h. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis
Tanda : DRG menunjukkan rerata lama dirawat 6 – 8 hari
Pengkajian Keperawatan menurut Betz & Sowden, 2004 yaitu:
a. Kaji kepatenan jalan napas
b. Kaji adanya tanda-tanda gawat pernapasan dan respons terhadap terapi oksigen.
Pantau nilai saturasi oksigen
c. Kaji tanda-tanda dehidrasi.
d. Kaji respons anak terhadap pengobatan
e. Kaji kemampuan keluarga untuk mengelola program pengobatan di rumah.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan inflamasi trachea
bronchial, pembentukan edema, peningkatan produksi sputum.
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan compliance paru menurun
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan kapasitas pembawa oksigen
darah.
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan,
penurunan masukan oral.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
f. Hipertermi berhubungan dengan isolasi respiratory
(NANDA, 2012)

3. Intervensi (NANDA, 2012)


a. Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan inflamasi trachea bronchial,
peningkatan produksi sputum ditandai dengan:
 Perubahan frekuensi, kedalaman pernafasan
 Bunyi nafas tak normal
 Dispnea, sianosis
 Batuk efektif atau tidak efektif dengan/tanpa produksi sputum.
1) Tujuan: Jalan nafas efektif dengan kriteria:
 Batuk efektif
 Nafas normal
 Bunyi nafas bersih
 Sianosis
2) Intervensi:
a) Kaji frekuensi/kedalaman pernafasan dan gerakan dada
Rasional : takipnea, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris sering
terjadi karena ketidaknyamanan.
b) Auskultasi area paru, catat area penurunan 1 kali ada aliran udara dan bunyi
nafas
Rasional: penurunan aliran darah terjadi pada area konsolidasi dengan cairan.
c) Berikan teknik batuk efektif
Rasional : batuk adalah mekanisme pembersihan jalan nafas alami untuk
mempertahankan jalan nafas paten.
d) lakukan suction sesuai indikasi
Rasional: merangsang batuk atau pembersihan jalan nafas suara mekanik pada
faktor yang tidak mampu melakukan karena batuk efektif atau penurunan
tingkat kesadaran.
e) Berikan air hangat
Rasional: cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan
secret
f) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat sesuai indikasi: mukolitik,
eks.
Rasional: alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi sekret,
analgetik diberikan untuk memperbaiki batuk dengan menurunkan
ketidaknyamanan tetapi harus digunakan secara hati-hati, karena dapat
menurunkan upaya batuk/menekan pernafasan.
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan compliance paru menurun ditandai
dengan :
 Perubahan kedalaman pernafasan
 Penurunan tekanan ekspirasi
 Pernapasan cuping hidung
 Takipneau
1) Tujuan : Ketidakefektifan pola nafas tidak terjadi dengan KH::
- Pola nafas efektif,
- bunyi nafas normal atau bersih,
- TTV dalam batas normal,
- ekspansi paru mengembang.
2) Intervensi :
- Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dan ekspansi dada. Catat upaya
pernafasan termasuk penggunaan otot bantu pernafasan / pelebaran nasal.
Rasional : kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernafasan bervariasi
tergantung derajat gagal nafas. Expansi dada terbatas yang berhubungan
dengan atelektasis dan atau nyeri dada
- Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas seperti krekels, wheezing.
Rasional : ronki dan wheezing menyertai obstruksi jalan nafas / kegagalan
pernafasan.
- Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi.
Rasional : duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan
pernafasan.
- Observasi pola batuk dan karakter sekret.
Rasional : Kongesti alveolar mengakibatkan batuk sering/iritasi.
- Dorong/bantu pasien dalam nafas dan latihan batuk.
Rasional : dapat meningkatkan/banyaknya sputum dimana gangguan ventilasi
dan ditambah ketidak nyaman upaya bernafas.

c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan pembawa oksigen darah,


gangguan pengiriman oksigen ditandai dengan:
 Dispnea, sianosis
 Takikardia
 Gelisah/perubahan mental
 Hipoksia
1) Tujuan: Gangguan gas teratasi dengan KH:
 Sianosis
 Nafas normal
 Sesak
 Hipoksia
 Gelisah
2) Intervensi:
a) Kaji frekuensi/kedalaman dan kemudahan bernafas
Rasional: manifestasi distress pernafasan tergantung pada indikasi derajat
keterlibatan paru dan status kesehatan umum.
b) Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku. Catat adanya sianosis
perifer (kuku) atau sianosis sentral.
Rasional: sianosis kuku menunjukkan vasokontriksi respon tubuh terhadap
demam/menggigil namun sianosis pada daun telinga, membran mukosa dan
kulit sekitar mulut menunjukkan hipoksemia sistemik.
c) Kaji status mental.
Rasional: gelisah mudah terangsang, bingung dan somnolen dapat
menunjukkan hipoksia atau penurunan oksigen serebral.
d) Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, nafas dalam dan batuk
efektif.
Rasional: tindakan ini meningkat inspirasi maksimal, meningkat pengeluaran
secret untuk memperbaiki ventilasi tak efektif.
e) Kolaborasi
Berikan terapi oksigen dengan benar misal dengan nasal plong master, master
venturi.
Rasional: mempertahankan PaO2 di atas 60 mmHg. O2 diberikan dengan
metode yang memberikan pengiriman tepat dalam toleransi.
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan,
penurunan masukan oral. Ditandai dengan :
 Penurunan status mental
 Membran mukosa kering
 Penurunan turgor kulit
 Penurunan turgor lidah
1) Tujuan : Kekurangan volume cairan teratasi dengan KH :
- Mempertahankan urin output sesuai dengan usia dan BB, BJ, urine normal,
HT normal
- Tekanan darah, nadi, suhu dalam batas normal
- Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastis turgor kulit baik, membrane mukosa
lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan.
2) Intervensi
- Kaji perubahan tanda vital, contoh : peningkatan suhu/demam memanjang,
takikardia, hipotensi ortostatik.
Rasional : Peningkatan suhu/memanjangnya demam meningkatkan laju
metabolik dan kehilangan cairan melalui evaporasi. TD ortostatik berubah
dan peningkatan takikardia menunjukkan kekurangan cairan sistemik.
- Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa (bibir, lidah).
Rasional : Indikator langsung keadekuatan volume cairan, meskipun
membran mukosa mulut mungkin kering karena nafas mulut dan oksigen
tambahan
- Pantau masukan dan haluaran, catat warna, karakter urine. Hitung
keseimbangan cairan. Waspadai kehilangan yang tampak. Ukur berat badan
setiap hari.
Rasional : Memberikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan
kebutuhan penggantian.
- Kolaborasi dengan tim medis pemberian anti piretik, anti emetic.
Rasional : Berguna menurunkan kehilangan cairan.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen ditandai dengan:
 Dispnea
 Takikardia
 Sianosis
a. Tujuan: Intoleransi aktivitas teratasi dengan:
 Nafas normal
 Sianosis
 Irama jantung
b. Intervensi
1) Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas
Rasional: merupakan kemampuan, kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan
interan.
2) Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi
Rasional: menurunkan stress dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat.
3) Jelaskan perlunya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan
aktivitas dan istirahat.
4) Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat atau tidur.
Rasional: pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di kursi.
5) Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan
Rasional: meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen.

f. Hipertermi berhubungan dengan isolasi respiratory ditandai dengan :


 Konvulsi
 Kulit Kemerahan
 Peningkatan suhu tubuh di atas kisaran normal
 Takikardi
 Takipnea
 Kulit terasa hangat
1) Tujuan : Hipertermi teratasi dengan KH :
- Suhu tubuh dalam rentang normal
- Nadi dan RR dalam rentang normal
- Tidak ada perubahan wana kulit dan tidak ada pusing.
2) Intervensi :
- Pantau suhu klien (derajat dan polanya) perhatikan menggigil atau diaforesis.
Rasional : Suhu 38,9ºC – 41,1ºC menunjukkan proses penyakit infeksi akut.
Pola demam dapat membantu dalam diagnosis, misalnyakurva demam lanjut
berakhir lebih dari 24 jam menunjukkan pneumonia pneumokokal, demam
skarlet atau tifoid, demam remiten (bervariasi hanya beberapa derajat pada arah
tertentu)
- Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen tempat tidur, sesuai indikasi .
Rasional : Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan
suhu mendekati normal
- Berikan kompres hangat, hindari, hindarkan penggunaan alkohol.
Rasional : Dapat membantu mengurangi demam, penggunaan air es/alkohol
mungkin menyebabkan kedinginan, peningkatan suhu secara aktual. Selain itu,
alkohol dapat mengeringkan kulit.
- Kolaborasi dengan tim medis pemberian antipiretik.
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipothalamus, meskipun demam mungkin dapat berguna dalam membatasi
pertumbuhan organisme, dan meningkatkan autodestruksi dari sel-sel yang
terinfeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. http://emedicine.medscape.com/article/967822-


overview. (22 Mei 2014).

Betz & Sowden. 2004. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.

Elizabeth J. Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi: Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC.

Jaypee Brothers. 2006. IAP Textbook of Pediatrics: Third Edition. India: Medical Publhishers.

Lippincott Williams & Wilkins. 2006. Oski’s Pediatrics: Principles & Practice: 4th Edition.
Philadelphia.

NANDA 2012, Nursing diagnoses : Definition and classification 2012-2014, NANDA


International, Philadelphia

Ridha, Nabiel. 2014. Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Roudelph. 2007. Buku Peditria Rubolph. Edisi , 20. Volume Jakarta : EGC
Wong, Donna L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 6. Volume 6. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai