FRAKRUR FEMUR
OLEH
VIVIAN YESSICA (1601460015)
KELOMPOK 7
KEMENTRIAN KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN MALANG
Januari 2020
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan ini telah diperiksa dan dilakukan responsi dengan pembimbing institusi dan pembimbing
klinik.
Hari, tanggal :
Tempat :
Judul :
(_____________________) (_____________________)
KONSEP DASAR FRAKTUR FEMUR
A. PENGERTIAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang biasanya disertai dengan
luka disekitar jaringan lunak, kerusakan otot, ruptur tendon, kerusakan pembuluh darah dan
luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stres yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001). Biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan
jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau
tidak lengkap (Price, 2006).
Tulang Femur merupakan tulang pipa terpanjang dan terbesar didalam tulang.kerangka
pada bagian pangkal yang berhubungan dengan asetabulum membentuk kepala sendi yang
disebut kaput femoris (Syaifudin, 1992).
Kesimpulannya, fraktur femur adalah patah tulang yang mengenai daerah tulang paha
yang dikarenakan tekanan, benturan, pukulan akibat dari kecelakaan serta kelainan patologik
pada tulang seperti adanya tumor, infeksi, pada pendertia penyakit paget) yang mengakibatkan
kerusakan jaringan tulang paha.
C. KLASIFIKASI FRAKTUR
Klasifikasi fraktur secara umum:
a. Berdasarkan tempat: fraktur humerus, tibia, clavicula, una, radius dsb.
b. Berdasarkan komplit atau tidaknya fraktur:
1) Fraktur komplit: garis patahan melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang.
2) Fraktur tidak komplit: bila garis patahan tidak melalui seluruh garis penampang
tulang.
c. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patahan:
1) Fraktur komunitif: fraktur dimana garis patahan lebih dari satu saling berhubungan.
2) Fraktur segmental: fraktur dimana garis patahan lebih dari satu tetapi tidak
berhubungan.
3) Fraktur multipel: fraktur yang lebih dari satu tetapi tidak pada tulang yang sama.
d. Berdasarkan posisi fragmen:
1) Fraktur undisplaced (tidak bergeser) garis patahan lengkap tetapi kedua fragmen
tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur disp;aced (bergeser) terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut
lokasi fragmen.
e. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan)
1) Fraktur tertutup (closed) bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkana keadaan jaringan
lunak disekitar trauma yaitu
a) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak disekitar.
b) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.n ancaman sindroma kompartemen.
d) Tingkat 3 : cidera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata d
2) Fraktur terbuka (open/ compound) bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar karena perlukaan kulit. Fraktur terbuka dibedakan menjadi
beberapa grade yaitu:
a) Grade I : luka bersih panjangnya kurang dari 1 cm.
b) Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.
c) Grade III : sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak
ekstensif.
f. Berdasarkan bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma:
1) Fraktur transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur obliq : fraktur yang arah garis patahannya membentuk sudut erhadap sumbu
tulang yang merupakan akibat tarauma angulasi juga.
3) Fraktur spiral : fraktur yang arah garis patahannya berbentuk spiral yang diakibatkan
rotasi.
4) Fraktur kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong
tulang kearah permukaan lain.
5) Fraktur avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.
g. Berdasarkan kedudukan tulangnya:
1) Tidak adanya dislokasi
2) Adanya dislokasi:
- At axim: membentuk sudut
- At Lotus : fragmen tulang berjauhan
- At Longitudinal : berjauhan memanjang.
- At lotus cum contractiosnum: berjauhan dan memendek.
h. Berdasarkan posisi fraktur pada sebatang tulang:
1) 1/3 paroksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal.
i. Fraktur kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
j. Fraktur patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Fraktur femur dibagi dalam fraktur Intertrokhanter Femur, subtrokhanter femur, fraktur
batang femur, suprakondiler, dan interkondiler, dan fraktur kondiler femur (Helmi, 2012).
1. Fraktur Intertrokhanter Femur
Fraktur intertrokhanter adalah patah tulang yang bersifat ekstrakapsular dari femur.
Sering terjadi pada lansia dengan kondisi osteoporosis. Fraktur ini memiliki prognosis yang
baik dibandingkan fraktur intrakapsular, di mana resiko nekrosis avaskular lebih rendah.
Pada riwayat umum didapatkan adanya trauma akibat jatuh dan memberikan trauma
langsung pada trokhanter mayor. Pada beberapa kondisi, cedera
secara memuntir memberikan fraktur tidak langsung pada intertrokhanter.
2. Fraktur Subtrokhanter Femur
Fraktur subtrokhanter femur ialah di mana garis patahnya berada 5 cm distal dari
trokhanter minor. Fraktur jenis ini dibagi dalam beberapa klasifikasi, tetapi yang lebih
sederhana dan mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding & Magliato yaitu sebagai berikut:
Tipe 1 : Garis fraktur satu level dengan trokhanter minor.
Tipe 2 : Garis patah berada 1-2 inci di bawah dari batas atas trokhanter minor.
Tipe 3 : Garis patah berada 2-3 inci di distal dari batas atas trokhanter minor.
3. Fraktur Batang Femur
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat kecelakaan lalu
lintas di kota-kota besar atau jatuh dari ketinggian. Patah daerah ini dapat menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam syok, salah satu
klasifikasi fraktur batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan
daerah yang patah. Secara klinik fraktur batang femur dibagi dalam fraktur batang femur
terbuka dan tertutup.
D. PATOFISIOLOGI
Mekanisme trauma dapat mengakibatkan beberapa jenis fraktur :
1. Fraktur spiral atau oblik, diakibatkan oleh tekanan berputar
2. Fraktur tranversal, diakibatkan oleh tekanan yang membengkok
3. Fraktur impaksi, diakibatkan oleh tekanan sepanjang aksis tulang
4. Fraktur depresi, trauma langsung pada tulang tengkorak-1
Pada fraktur femur, dapat terjadi fraktur spiral karena jatuh dengan posisi tertambat
sementara daya pemuntir ditransmisikan ke femur. Fraktur melintang dan obliks dapat terjadi
akibat angulasi atau benturan langsung, sering ditemukan pada kecelakaan lalu lintas. Pada
benturan keras, dapat terjadi fraktur kominutif karena diakibatkan dari kombinasi kekuatan
langsung dan tak langsu ng, atau dapat terjadi fraktur segmental. Pada fraktur batang-tengah,
walaupun jaringan lunak mengalami cidera dan perdarahan hebat, otot masih dapat
menstabilkan fraktur yang diterapi dengan traksi.
E. ETIOLOGI
Menurut Appley & Solomon (1995) yang dapat menyebabkan fraktur adalah sebagai
berikut:
1. Traumatik
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan, yang dapat berupa
pukulan, penghancuran penekukan, penarikan berlebihan. Bila terkena kekuatan
langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunaknya pun juga
rusak
2. Kelelahan atau tekanan berulang-ulang
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan
yang berulang-ulang. Keadaan ini paling banyak ditemukan pada tibia fibula, terutama
pada atlit atau penari.
3. Kelemahan dan abnormal pada tulang (patologis)
Fraktur dapat terjadi pada tekanan yang normal jika tulang itu lemah atau tulang itu
sangat rapuh.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi dari fraktur dibagi menjadi komplikasi segera, komplikasi dini, dan komplikasi
lambat.
1) Komplikasi segera
Komplikasi segera merupakan komplikasi yang terjadi pada saat terjadi fraktur atau
segera setelahnya.
a) Lokal
Kerusakan yang langsung disebabkan oleh trauma selain patah tulang atau dislokasi,
seperti : trauma pada kulit (kontusio, abrasi, laserasi, luka tembus), vascular
(perdarahan), organ dalam, neurologis (otak, medulla spinalis, saraf perifer).
b) Umum
Komplikasi seperti syok, trauma multiple.
2) Komplikasi dini
Komplikasi dini merupakan komplikasi yang terjadi beberapa hari setelah fraktur.
a. Lokal
- Nekrosis kulit-otot, sindrom kompartemen, thrombosis, osteomielitis.
b. Umum
- Emboli paru, tetanus
3) Komplikasi lambat
Komplikasi lambat merupakan komplikasi yang terjadi lama setelah fraktur
a. Lokal
- Tulang (malunion, nonunion, delayed union), sendi (ankilosis), kerusakan saraf.
b. Umum
- Neurosis pascatrauma
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan radiologi
Pada diagnosis fraktur, pemeriksaan yang penting adalah menggunakan sinar
rontgen (X-ray). Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam membaca gambaran
radiologis adalah 6A, yaitu sebagai berikut :
1. Anatomi (misalnya proksimal tibia).
2. Artikular (misalnya intra-Vs ekstra-artikular).
3. Alignment (misalnya: first plane).
4. Angulation.
5. Apeks (maksudnya fragmen distal fraktur).
6. Apposition.
CT scan biasanya dilakukan hanya dilakukan pada beberapa kondisi fraktur yang
mana pemeriksaan radiografi tidak mencapai kebutuhan diagnosis.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang lazim dilakukan untuk mengetahui lebih jauh
kelainan yang terjadi seperti berikut:
a. Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
b. Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c. Enzim otot seperti kreatinin kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH -5), Asparat Amino
Transferase (AST), aldolase meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan lainnya
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan tes sensitivitas: Dilakukan pada kondisi fraktur
dengan komplikasi, pada kondisi infeksi, maka biasanya didapatkan mikroorganisme
penyebab infeksi.
b. Biopsy tulang dan otot : Diindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromiografi : Terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
d. Arthroscopi : Didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.
e. Indium imaging : Pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi.
f. MRI : Menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
I. PENATALAKSANAAN
Menurut Mansjoer (2000) penatalaksanaan fraktur di antaranya :
Pada fraktur femur tertutup, untuk sementara dilakukan traksi kulit dengan metode
ekstensi Buck, atau didahului pemakaian Thomas splint, tungkai ditraksi dalam keadaan
ekstensi. Tujuan traksi kulit tersebut untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah
kerusakan jaringan lunak lebih lanjut di sekitar daerah yang patah.
Setelah dilakukan traksi kulit dapat dipilih pengobatan non-operatif atau operatif.
Fraktur batang femur pada anak-anak umumnya dengan terapi non-operatif, karena akan
menyambung baik. Perpendekan kurang dari 2 cm masih dapat diterima karena di kemudian
hari akan sama panjangnya dengan tungkai yang normal. Hal ini dimungkinkan karena daya
proses remodelling anak-anak.
1. Pengobatan non-operatif
Dilakukan traksi skeletal, yang sering metode perkin dan metodebalance skeletal
traction, pada anak di bawah 3 tahun digunakan traksi kulit Bryant, sedangkan anak
usia 3-13 tahun dengan traksi Russell.
a. Metode perkin.
Pasien tidur terlentang. Satu jari dibawah tuberositas tibia dibor dengan
Steinman pin, lalu ditarik dengan tali. Paha ditopang dengan 3-4 bantal. Tarikan
dipertahankan sampai 12 minggu lebih sampai terbentuk kalus yang cukup kuat.
Sementara itu tungkai bawah dapat dilatih untuk gerakan ekstensi dan fleksi.
b. Metode balance skeletal traction.
Pasien tidur terlentang dan satu jari di bawah tuberositas tibia dibor dengan
Steinman pin. Paha ditopang dengan Thomas splint, sedang tungkai bawah ditopang
oleh pearson attachment. Tarikan dipertahankan sampai 12 minggu atau lebih sampai
tulangnya membentuk kalus yang cukup. Kadang-kadang untuk mempersingkat waktu
rawat, setelah ditraksi 8 minggu dipasang gips hemispica atau cast bracing.
c. Traksi kulit Bryant.
Anak tidur terlentang di tempat tidur. Kedua tulang dipasang traksi kulit,
kemudian ditegakan ke atas, ditarik dengan tali yang diberikan beban 1-2 kg sampai
kedua bokong anak tersebut terangkat dari tempat tidur.
d. Traksi russel.
Anak tidur terlentang, di pasang plester dari batas lutut. Dipasang sling di
daerah popliteal, sling dihubungkan dengan tali yang dihubungkan dengan beban
penarik. Untuk mempersingkat waktu rawat, setelah 4 minggu ditraksi, dipasang gips
hemispica karena kalus yang terbentuk belum kuat benar.
2. Operatif
Indikasi operasi antara lain :
a. Penanggulangan non-operatif gagal.
b. Fraktur multipel.
c. Robeknya arteri femoralis.
d. Fraktur patologik.
e. Fraktur pada orang-orang tua.
Pada fraktur 1/3 tengah sangat baik untuk dipasang intramedullary nail. Bermacam-
macam intramedullary nail untuk fraktur femur, diantaranya kuntscher nail, AO nail, dan
interlockingnail.
Operasi dapat dilakukan dengan cara terbuka atau cara tertutup. Cara terbuka yaitu
dengan menyayat kulit-fasia sampai ke tulang yang patah. Pen dipasang secara retrograde.
Cara interlocking nail dilakukan tanpa menyayat di daerah yang patah. Pen dimasukan
melalui ujung trokhanter mayor dengan bantuan image intersifier. Tulang dapat direposisi
dan pen dapat masuk ke dalam fragmen bagian distal melalui guide tube. Keuntungan cara
ini tidak menimbulkan bekas sayatan lebar dan perdarahan terbatas.
J. PATHWAY
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Asuhan keperawatan perioperatif terdiri dari 3 tahap yaitu mempunyai pra, intra dan pasca
operative, dimana perawat mempunyai peran integral dalam rencana asuhan kolaboratif
dengan pembedahan.
1. Perawatan Preoperatif
Perawatan preoperatif meliputi :
Kelengkapan rekam medis dan status
Memeriksa kembali persiapan pasien
Informed concent
Menilai keadaan umum dan TTV
Memastikan pasien dalam keadaan puasa
Pada fase preoperatif ini perawat akan mengkaji kesehatan fisik dan emosional klien,
mengetahui tingkat resiko pembedahan, mengkoordinasi berbagai pemeriksaan diagnostik,
mengidentifikasi diagnosa keperawatan yang mengambarkan kebutuhan klien dan
keluarga, mempersiapkan kondisi fisik dan mental klien untuk pembedahan.
2. Perawatan Intraoperatif
Perawatan intraoperatif meliputi :
Melaksanakan orientasi pada pasien
Melakukan fiksasi
Mengatur posisi pasien
Menyiapkan bahan dan alat
Drapping
Membantu melaksanakan tindakan pembedahan
Memeriksa persiapan instrument
Pada fase intraoperatif perawat melakukan 1 dari 2 peran selama pembedahan
berlangsung,yaitu perawat sebagai instrumentator atau perawat sirkulator. Perawat
instrumentator memberi bahan-bahan yang dibutuhkan selama pembedahan berlangsung
dengan menggunakan teknik aseptic pembedahan yang ketat dan terbiasa dengan
instrumen pembedahan.Sedangkan perawat sirkulator adalah asisten instrumentator atau
dokter bedah.
3. Perawatan Post Operasi
Pada fase postoperasi setelah pembedahan,perawatan klien dapat menjadi komplek
akibat fisiologis yang mungkin terjadi.klien yang mendapat anastesi umum cenderung
mendapat komplikasi yang lebih besar dari pada klien yang mendapat anastesi lokal.
Perawatan post operative meliputi :
Mempertahankan jalan napas dengan mengatur posisi kepala.
Melaksanakan perawatan pasien yang terpasang infus di bantu dengan perawat anastesi
Mengukur dan mencatat produksi urine
Mengatur posisi sesuai dengan keadaan
Mengawasi adanya perdarahan pada luka operasi
Mengukur TTV setiap 15 menit sekali
B. DIAGNOSA
Diagnosa keperawatan yang muncul pada keperawatan pre operatif, intra operatif, dan post
operatif antara lain :
1. Pre Operasi :
Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang prosedur tindakan operasi
Resiko injuri berhubungan dengan perpindahan pasien dari brancart ke meja operasi
2. Intra Operasi :
Resiko tinggi kekurangan cairan tubuh berhubungan dengan perdarahan
Resiko tinggi cedera berhubungan dengan pemajaan peralatan, hipoksia jaringan,
perubahaan posisi, faktor pembekuan, perubahaan kulit
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit dan pemajaan lingkungan.
C. INTERVENSI
1. Pre Operasi
Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang prosedur tindakan operasi
Tujuan : Pasien mengerti tentang prosedur tindakan operasi
Kriteria Hasil :
Pasien tidak cemas
Pasien dapat menjelaskan tentang prosedur tindakan operasi yang akan dilakukan
INTERVENSI RASIONAL
Bantu pasien mengekspresikan perasaan Ansietas berkelanjutan memberikan
marah kehilangan dan takut dampak serangan jantung
Kaji tanda – tanda ansietas verbal dan non Reaksi verbal / non verbal dapat
verbal menujukan rasa agitasi, marah dan
gelisah
Jelaskan tentang prosedur pembedahan Pasien dapat beradaptasi dengan
sesuai jenis operasi prosedur pembedahan yang akan
dilaluinya dan akan merasa nyaman
Beri dukungan pra bedah Hubungan emosional yang baik antara
perawat dan pasien akan
mempengaruhi penerimaan pasien
terhadap pembedahan.
Hindari konfrontasi Konfrontasi dapat meningkatkan rasa
marah, menurunkan kerjasama dan
mungkin memperlambat
penyembuhan
Orientasikan pasien terhadap prosedur Orientasi dapat menurunkan
rutin dan aktifitas yang diharapkan kecemasan
Berikan kesempatan kepada pasien untuk Dapat menghilangkan ketegangan
mengungkapkan kecemasannya terhadap kekewatiran yang tidak di
ekspresikan
Berikan privasi untuk pasien dengan Kehadiran keluarga dan teman – teman
orang terdekat yang dipilih pasien untuk menemani
aktivitas pengalihan akan menurunkan
perasaaan terisolasi
Kolaborasi pemberian anti cemas sesuai Meningkatkan relaksasi dan
indikasi seperti diazepam menurunkan kecemasan
Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur premedikasi anastesi
Tujuan Ketidaktahuan prosedur pasien teradaptasi
Kriteria Hasil :
Pasien kooperatif terhadap intervensi premedikasi anastesi
Persiapan prabedah dapat terlaksana secara optimal
INTERVENSI RASIONAL
Jelaskan prosedur rutin prabedah Untuk dapat mempersiapkan pasien yang
menjalani pembedahan dengan baik
Pemeriksaan tanda – tanda vital pra Prosedur standar untuk membandingkan
bedah hasil TTV sewaktu diruangan
Siapkan sarana kateter IV dan obat – obat Untuk pemberian cairan dan pemberian
premedikasi dan lakukan pemasangan premedikasi sebelum dilakukan tindakan
kateter IV dan pertimbangkan operasi
pemeberian agen premedikasi
Lakukan pemindahan dan pengaturan Untuk menghindari cedera atau trauma
posisi saat pemindahan pasien dari yang diakibatkan penempatan posisi yang
barngkar ke meja operasi salah
2. Intra Operasi
1) Resiko tinggi kekurangan cairan tubuh berhubungan dengan perdarahan
Tujuan : Tidak terjadinya kekurangan cairan tubuh selama pembedahan
Kriteria Hasil :
TTV dalam batas normal
Akaral hangat
Pengisian kapiler < 3 detik
Produksi urine 0,5 cc/kgBB/Jam
INTERVENSI RASIONAL
Monitoring tanda – tanda vital Untuk mengevaluasi terjadinya
kekurangan cairan tubuh dan untuk
menetukan intervensi selanjutnya
Mengobservasi kelancaran IV line yang Untuk memastikan kebutuhan cairan
terpasang tubuh tetap terpenuhi
Memonitoring produksi urine selama Sebagai indikator akan pemenuhan
pembedahan ( 0,5 cc/kg BB/Jam ), warna kebutuhan caiaran tubuh
urine
Monitoring perdarahan dan menghitung Untuk mengetahui jumlah perdarahan
jumlah pemakaian kasa adan sebagai data untuk menentukan
intervensi selanjutnya
Kolaborasi dengan dokter untuk Dengan pemberian Transfusi darah akan
pemberian transfusi darah sesuai dengan mempercepat proses pengantian cairan
kebutuhan tubuh yang hilang
3) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit dan pemajaan lingkungan
Tujuan : tidak terjadinya infeksi pasca pembedahan
Kriteria :
Tidak adanya tanda – tanda infeksi pasca operasi di ruangan
Luka bersih tertutup
Area sekitar luka bersih
INTERVENSI RASIONAL
Pastikan semua tim bedah telah Sebagai langkah awal dalam pencegahan
melakukan pencucian tangan sesuia infeksi
dengan prosedur yang benar
Lakukan desinfeksi area pembedahan Untuk menjaga area operasi tetap dalam
dan pemasangan doek steril pada daerah keadaan steril
pembedahan
Cek kadaluarsa alkes yang akan Untuk mencegah infeksi akibat
dipergunakan penggunaan alat kesehatan yang sudah
tidak dapat dipergunakan
Pertahankan sterilitas selama Dengan mempertahankan steriltas resiko
pembedahan infeksi dapat dicegah
Tutup luka dengan dengan pembalut atau Untuk mencegah terpaparnya luka
kasa steril dengan lingkungan yang beresiko
menyebabkan infeksi silang
4) Resiko tinggi perubahan suhu tubuh berhubungan dengan pemajaan suhu yang tidak baik,
penggunaan obat/ zat anastesi, dehidrasi
Tujuan : tidak terjadinya penurunan suhu tubuh pasien selama pembedahan
Kriteria :
Tidak terjadinya hipotermi selama pembedahan
Pasien tidak mengeluh dingin
INTERVENSI RASIONAL
Kaji suhu pasien pra bedah Sebagai data untuk menentukan intervensi
selnjutnya
Kaji suhu lingkungan dan modifikasi Dengan pengaturan suhu lingkungan
sesuai lingkungan ( selimut penghangat, membuat pasien merasa nyaman selama
meningkatkan suhu ruangan) pembedahan
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Arif Muttaqin dan Kumala Sari, 2013. Asuhan Keperawatan Perioperatif : Konsep Proses
dan aplikasi. Cetakan Ketiga. Jakarta : Salemba Medika
Brunner And Suddarth,2010. Keperwatan Medikal Bedah. Edisi 8, Vol. 1 Jakarta : ECG
Nanda , 2013, Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional, jilid II Jakarta:
EGC
LAPORAN INSTRUMENT TEKNIK ORIF DENGAN CLOSE FRAKTUR FEMUR
1. PENDAHULUAN
A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis luasnya
(Smeltzer, 2002).Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Sugeng Jitowiyono, 2010)
Tehnik Instrumentasi Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah suatu tata cara atau
tehnik yang menunjang tindakan pembedahan dimulai dari proses persiapan alat, mengatur
penataan alat secara sistematis dan penggunaan alat/ instrument selama tindakan operasi
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) berlangsung.
B. Indikasi
Dilakukan pada pasien dengan kasus:
a. Fraktur yang tidak dapat direduksi kecuali dengan operasi.
b. Fraktur yang cenderung ditarik terpisah oleh otot, misalnya fraktur melintang pada patella
atau olecranon.
c. Fraktur yang penyatuannya kurang baik, terutama pada fraktur pangkal femur.
d. Fraktur patologi akibat suatu penyakit tulang.
e. Fraktur multiple di mana fiksasi dini dengan fiksasi internal atau dengan tujuan untuk
mengurangi resiko komplikasi umum dan kegagalan berbagai organ sistem tubuh.
f. Kondisi fraktur di mana suplai darah pada anggota gerak terganggu dan pembuluh darah
harus terlindungi.
C. Tujuan
1. Untuk mengatur alat secara sistematis di meja instrumen
2. Memperlancar handling instrumen
3. Mempertahankan kesterilan alat selama operasi berlangsung.
2. TEKNIK INSTRUMENTASI
A. Pengkajian
1. Identitas pasien
2. Kondisi fisik dan psikis
3. Kelengkapan alat instrumen
C. Persiapan alat:
1) Set dasar
Handvat mess no. 3/ 4 : 1/ 1
Pincet anatomis/ chirurgis : 2/ 2
Gunting metzenboum :1
Gunting jaringan kasar :1
Gunting Benang :1
Towel Klem :5
Mosquito Klem bengkok :1
Klem Pean Bengkok :1
Klem kocher lurus :1
Nald voeder besar / kecil : 1/1
Desinfeksi klem :1
2) Set tambahan
Langen back :1
Haak Femur :2
Hofmann/cobra :2
Bone reduction B :2
Verburgge/ bone holder :1
Raspatorium :1
Elevator :1
Canule suction :1
Knable tang :1
Bone curet kecil :1
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, arif 2012 Asuhan Keperawatan perioperatif. Konsep,Proses, dan Aplikasi Jakarta :
Salemba Medika ECG
Sjamsuhidajat R,2014 .Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:Media ECG
Brunner and Suddarth (2000). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK
Nama : Ny. SA
Tanggal : 01 Februari 2020
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Hematologi
Faal Hemostatis
APTT
Pasien 31,40 detik 27,4 – 39,3
Protombin Time
Pasien 13,80 detik 12 – 16,5
Nilai Kritis : >20
INR 0,94
Darah Lengkap
Leukosit (WBC) H 12,84 x 103/μL 4,5 – 11
Nilai Kritis : <2 Or >30
Neutrofil H 10,8 x 103/μL 1,5 – 8,5
Limfosit L 1,00 x 103/μL 1,1 – 5,0
Monosit H 0,9 x 103/μL 0,14 – 0,66
Eosinofil 0,014 x 103/μL 0 – 0,33
Basofil 0,05 x 103/μL 0 – 0,11
Neutrofil % H 84,4 % 35 – 66
Limfosit % L 7,8 % 24 – 44
Monosit % H 7,2 % 3–6
Eusinofil % 0,1 % 0–3
Basofil % 0,4 % 0–1
Eritrosit (RBC) L 3,848 4,5 – 5,2
Hemoglobin (HGB) L 11,36 g/dL 12 – 16
Nilai Kritis : <7 Or >21
Hematokrit (HCT) L 32,1 % 33 – 51
Nilai Kritis : <21 Or >65
MCV 83,44 fL 80 – 100
MCH 29,52 Pg 26 – 34
MCHC 35,38 % 32 – 36
RDW L 11,42 % 11,5 – 13,1
PLT 173 x 103/μL 150 – 450
Nilai Kritis : <50 or >1000
MPV 6,591 fL 6,90 – 10,6
Kimia klinik
Gula Darah
Glukosa Darah Sewaktu 134 mg/dL <200
Nilai Kritis : <50 Or >450
HASIL PEMERIKSAAN RADIOLOGI