Anda di halaman 1dari 21

PROPOSAL SKRIPSI

HUBUNGAN KEJADIAN SKABIES DENGAN GAMBARAN DIRI


SANTRI DI PONOK PESANTREN DARUL KHAIR BABAKAN KAB
TEGAL

DISUSUN OLEH
YUSUF BUDIMAN
C1018051

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BHAMDA SLAWI
2022
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Skabies merupakan penyakit kulit yang menular yang menyerang manusia dan
binatang. WHO penyakit ini dikelompokan sebagai water-related disease.
Sarcoptes scabie, disebabkan kutu parasit yang mampu menggali terowongan di
kulit dan akan menyebabkan rasa gatal. Gejala klinis Sarcoptes scabie gatal pada
malam hari yang disebabkan oleh aktvitas tungau lebih tinggi pada suhu yang
lebih lembab dan panas (Boediardja & Handoko, 2017).

World Health Organization (WHO) menyatakan angka kejadian skabies pada


tahun 2014 sebanyak 130 juta orang didunia. Tahun 2014 menurut Internasional
Alliance for the Control of Skabies (IACS) kejadian skabies bervariasi mulai dari
0,3% menjadi 46%. Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh Sercoptes
scabiei Var hominis. Skabies ditemukan disemua negara dengan prevalensi yang
bervariasi. Beberapa negara yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar
6% - 27% populasi umum. Kejadian Skabies pada tahun 2015 juga berprevalensi
tinggi di beberapa Negara di antaranya Mesir diperoleh (4,4%), Nigeria (10,5%),
Mali (4%), Malawi (0,7%), dan Kenya (8,3%) (Ridwan, Sahrudin, dan Ibrahim,
2017). Prevalensi skabies di Indonesia menurut data Depkes RI prevalensi skabies
diIndonesia sudah terjadi cukup penurunan dari tahun ke tahun terlihat dari data
prevalensi tahun 2008 sebesar 5,60% - 12,96%, prevalensi tahun 2009 sebesar
4,9-12% dan data terakhir yang didapat tercatat prevalensi skabies di Indonesia
tahun 2015 yakni 3,9 – 6 %. Walaupun terjadi penuruan prevalensi namun dapat
dikatakan bahwa Indonesia belum terbebas dari penyakit skabies dan masih
menjadi salah satu masalah penyakit menular di Indonesia (Ridwan, Sahrudin &
Ibrahim, 2017). Data dari dinas kesehatan provinsi Jawa Tengah tahun 2014,
prevalansi kejadian skabies di 20 Puskesmas menyatakan kejadian terbanyak
terdapat di kabupaten Cilacap sebesar 46,8%, Bukateja menempati urutan kedua
sebesar 34,8% kasus dan Semarang di urutan ketiga dengan jumlah 19% kasus
(Putri, 2016).

Prevalensi skabies yang tinggi umumnya ditemukan di lingkungan dengan


kepadatan penghuni dan kontak interpersonal tinggi seperti penjara panti asuhan
dan pondok pesantren (Ratnasari dan Sungkar, 2014). Indonesia sebagai Negara
dengan penduduk muslim terbanyak di dunia tahun 2003 tercatat tardapat 14.798
pondok pesantren dengan prevalensi skabies cukup tinggi (Depkes RI 2007 dalam
Saputra, 2019). Kemenag RI (2011) menyatakan Indonesia sebagai Negara
dengan jumlah penduduk muslim terbanyak dunia, jumlah santri pondok
pesantren di 33 propinsi di seluruh Indonesia mencapai 3,65 juta yang tersebar
25.000 pondok pesantren, sementara 12% dianatranya terdapat di jawa tengah.

Gambaran diri merupakan pandangan seseorang terhadap penampilan fisiknya


meliputi persepsi, pikiran, perasaan, dan perilaku yang terkait dengan seluruh
tubuh dan fungsinya (Fingeret, Teo, dan Epner, 2014). Suatu penyakit dan
pengobatan yang mempengaruhi perubahan penampilan fisik seseorang akan
berdampak pada gangguan body image (Rothen, 2016). Perbedaan antara persepsi
tentang tubuh (gambaran tubuh saat ini) dan tubuh yang diinginkan (tubuh ideal)
juga dapat menyebabkan ketidakpuasan terhadap tubuh (Garrusi dan Baneshi,
2016). Gangguan body image pada populasi umum dapat berdampak pada
gangguan kejiwaan, depresi, kecemasan sosial, harga diri rendah, dan fungsi
seksual yang buruk.

Pondok Pesantren Darul Khair bertempat di Dukuh Babakan, Desa Jatimulya,


Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal, dengan luas kurang lebih 300 m 2. Jumlah
santri di ponpes Darul Khair terdapat 95 santri. Model pendidikan yang diberikan
kepada santri menggunakan metode salaf. Tempat istirahat santri bermodalkan
asrama yang terdiri dari kamar-kamar. Setiap kamarnya dihuni oleh beberapa
santri. Berdasarkan hasil studi pendahuluan dari 10 santri mengalami dan pernah
mengalami penyakit skabies kebanyakan di daerah kaki, tangan, dan alat kelamin.
Kurang efektifnya penerapan tatanan PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) di
Pondok Pesantren yang meliputi: kebersihan perorangan, penggunaan air bersih,
kebersihan tempat wudhlu, penggunaan jamban, kebersihan asrama, kepadatan
penghuni, kebersihan ruang belajar, dan kebersihan halaman menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan kejadian skabies di Pondok Pesantren Darul Khair
Babakan. Hal ini juga didukung oleh personal hygine santri yang kurang baik,
kebiasaan mencuci pakaian satu minggu sekali, masih terdapat kebiasaan
bertukar-tukar handuk dan pakaian, itensitas mandi yang kurang, kamar yang
berpenghuni padat yaitu sampai 7-9 orang, kebiasaan makan yang bersamaan
dalam suatu wadah dan tidak melakukan mencuci tangan sebelum makan.
Kebiasaan tersebut bertentangan dengan adanya ungkapan bahwa kebersihan
adalah sebagian dari iman. Sikap yang dimiliki oleh para santri hendaknya
diterapkan dalam perilaku hidup bersih dan sehat perorangan sehingga diharapkan
akan menurunkan angka kesakitan penyakit skabies di lingkungan Pondok
Pesantren.

1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui adanya hubungan antara kejadian skabies dengan gambaran
diri santri di pondok pesantren Darul Khair Babakan, Kecamatan Lebaksiu,
Kabupaten Tegal.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Mengidetifikasi kejadian skabies pada santri di Pondok Pesantren Darul
Khair
1.2.2.2 Mengidetifikasi gambaran diri santri penderita scabies di Pondok
Pesanteren Darul Khair
1.2.2.3 Menganalisis hubungan kejadian scabies dengan gambaran diri santri di
Pondok Pesantren Darul Khair

1.3 MANFAAT
1.3.1 Manfaat aplikatif
Diharapkan peneilitian ini dapat memberikan pengetahuan terhadap santri tentang
hubungan kejadian skabies dengan gambaran diri.

1.3.2 Manfaat keilmuan


Diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu media pembelajaran, sumber
informasi terkait hubungan kejadian skabies dengan gambatran diri pada santri.

1.3.3 Manfaat metedologi


Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan bagi penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan kejadian skabies di pondok pesntren.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skabies
2.1.1 Pengertian skabies
Scabies merupakan penyakit infeksi parasit yang termasuk dalam kelompok
penyakit yang mudah menular. Sinonim atau nama lain scabies adalah kudis, the
itch, gudig, budukan, dan gatal agogo yang disebabkan oleh sarcoptes scabiei
(Anwar, irawan, Sakka & Harfiah, 2014). Skabies adalah penyakit kulit yang
endemis di wilayah beriklim tropis sebagai penyakit kulit menular. Skabies dalam
bahasa Indonesia sering disebut kudis, orang jawa menyebutnya gudig, sedangkan
orang sunda menyebutnya dengan sebutan budug. Penyakit ini juga sering disebut
dengan kutu badan, budukan, gatal agogo, budukan atau penyakit amper (Mading,
Majematang & Sopi, 2015). Menuurut WHO dalam Pratama, Wibowo &
Nugraheni (2016) scabies merupakan suatu penyakit signifikan bagi kesehatan
masyarakat karena termasuk kontributor yang substansial bagi morbiditas global.

2.1.2 Etiologi
Penyebab scabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun lalu sebagai akibat investasi
tungau yang dinamakan Acarus Scabei atau pada manusia disebut Sarcoptes
Scabei varian hominis. Scabies dapat terjadi di lingkungan yang padat penduduk,
kebersihan kurang, sosial ekonomi rendah, serta kontak dengan penderita (Ni’mah
& Badi’ah, 2016). Scabies paling sering ditularkan melalui kontak langsung
dengan kulit penderita yang berlangsung lama dan telah berkepanjangan (Pratama,
Wibowo & Nugraheni, 2016). Akmal & Semiarty (2013) mengemukakan bahwa
tinggal bersama dengan sekelompok orang di pondok pesantren berisiko mudah
tertular berbagai jenis penyakit kulit salah satunya adalah scabies. Perilaku hidup
bersih dan sehat terutama kebersihan perseorangan umumnya kurang
mendapatkan perhatian khusus dari para santri sehingga memicu timbulnya
penyakit skabies.
2.1.3 Morfologi dan siklus hidup
Morfologi tungau Sarcoptes scabiei var, hominis adalah Tungau kecil, bentukya
oval pungungnnya cembung dan bagian perutnya rata Tugau ini translusen,
berwarna putih kotor, dan tidak bermata. sebagai berikut (Sungkar, 2016) :

2.1.3.1 Larva: Mempunyai tiga pasang kaki


2.1.3.2 Nimfa: Mempunyai empat pasang kaki
2.1.3.3 Tungau Dewasa:
Ukuran tungau betina berkisar antara 330 - 450 mikron x 250-350 mikron,
memiliki empat pasang kaki, dua kaki di bagian depan untuk melekat dan dua
kaki dibagian belakang, kedua pasang kaki belakang dilengkapi dengan rambut.
Sedangkan ukuran tungau jantan 200-240 mikron x 150-200 mikron lebih kecil
dari tungau jantan,pada kaki tungau jantan memiliki pasangan kaki ketiga saja
yang berakhir dengan rambut dan pasangan kaki keempat di lengkapi dengan
(ambulakral) alat perekat.

Menurut Sungkar (2016) Tungau betina dewasa berjalan di permukaan kulit untuk
mencari tempat dan menggali terowongan. Setelah menemukan lokasi yang
sesuai, tungau menggunakan kakinya (ambulakral) untuk melekatkan diri di
permukaan kulit kemudian membuat lubang di kulit. Selanjutnya tungau masuk ke
dalam kulit dan membuat terowongan sempit dengan permukaan yang sedikit
terangkat dari kulit. Biasanya tungau betina menggali stratum korneum dalam
waktu 30 menit setelah kontak pertama dengan menyekresikan saliva yang dapat
melarutkan kulit. Terowongan tungau biasanya terletak di daerah lipatan kulit
seperti pergelangan tangan dan sela-sela jari tangan. Tempat lainnya adalah siku,
ketiak, bokong, perut, genitalia, dan payudara. Pada bayi, lokasi predileksi
berbeda dengan dewasa. Predileksi khusus bagi bayi adalah telapak tangan,
telapak kaki, kepala dan leher. Tungau berkopulasi di dalam terowongan. Setelah
itu tungau betina akan membuat terowongan di kulit sampai perbatasan stratum
korneum dan stratum granulosum dengan kecepatan 0,5-5 mm per hari. Lokasi
biasanya di stratum korneum kulit yang tipis. Tungau betina hidup selama 30-60
hari di dalam terowongan dan selama waktu tersebut tungau terus memperluas
terowongannya. Penggalian terowongan biasanya pada malam hari dan tungau
menggali terowongan sambil bertelur atau mengeluarkan feses. Tungau betina
bertelur sebanyak 2-3 butir setiap hari. Seekor tungau betina dapat bertelur
sebanyak 40-50 butir semasa hidupnya. Dari seluruh telur yang dihasilkan tungau
betina, kurang lebih hanya 10% yang menjadi tungau dewasa dan pada seorang
penderita biasanya hanya terdapat 11 tungau betina dewasa. Telur menetas
menjadi larva dalam waktu 3-5 hari. Larva berukuran 110x140 mikron,
mempunyai tiga pasang kaki dan segera keluar dari terowongan induknya untuk
membuat terowongan baru atau hidup di permukaan kulit. Larva menggali
terowongan dangkal agar mudah untuk makan dan mengganti kulit luar
(ekdisis/pengelupasan kulit) untuk berubah menjadi nimfa. Dalam waktu 3-4 hari,
larva berubah menjadi nimfa yang mempunyai 4 pasang kaki. Nimfa betina
mengalami dua fase perkembangan. Nimfa pertama panjangnya 160µm dan nimfa
kedua panjangnya 220-250µm. Nimfa kedua bentuknya menyerupai tungau
dewasa, tetapi alat genitalnya belum terbentuk sempurna. Nimfa jantan hanya
mengalami satu fase perkembangan. Nimfa berkembang menjadi tungau dewasa
dalam waktu tiga hari. Waktu sejak telur menetas sampai menjadi tungau dewasa
sekitar 10-14 hari. Tungau jantan hidup selama 1-2 hari dan mati setelah kopulasi.

2.1.4 Manifestasi klinik


Empat (4) tanda kardinal skabies yaitu ditemukannya pruritus nokturna, terjadi
pada penderita secara kelompok, adanya terowongan (kunikulus), dan
menemukan tungau (Boediardja and Handoko, 2017). Pruritus nokturna artinya
gatal pada malam hari yang disebabkan oleh aktivitas tungau lebih tinggi pada
suhu yang lebih lembab dan panas. Penyakit ini menyerang manusia secara
kelompok misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga
terkena infeksi, di asrama, atau pondokan. Begitu pula dalam sebuah
perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan
akan diserang oleh tungau tersebut. Pada infeksi ini dikenal keadaan
hiposensitisasi, yakni pada kondisi seluruh anggota keluarga terinfeksi. Pada
keadaan ini, walaupun seluruh anggota keluarga mengalami infestasi tungau,
namun tidak memberikan gejala.

Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna


putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjangnya
1 cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papula atau vesikula. Jika timbul
infeksi sekunder ruam, maka kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan
lain-lain). Namun, kunikulus biasanya sukar terlihat, karena sangat gatal pasien
selalu menggaruk, kunikulus dapat rusak karenanya. Tempat predileksinya
biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu: sela-sela
jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian
depan, areola mamae (perempuan), umbilikus, bokong, genitalia eksterna (laki-
laki), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan, telapak
kaki, wajah dan kepala. Menemukan tungau merupakan hal yang paling
diagnostik. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau. Selain tungau
dapat ditemukan telur dan kotoran atau yang biasa disebut dengan skibala
(Boediardja & Handoko, 2017).

2.1.5 Faktor resiko


Menurut (Sungkar, 2016) Keberadaan skabies dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu
usia, jenis kelamin, tingkat kebersihan, penggunaan alat-alat pribadi
bersamasama, kepadatan penghuni, tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang
skabies:

2.1.5.1 Usia
Skabies dapat ditemukan pada semua usia tetapi lebih sering menginfestasi anak-
anak dibandingkan orang dewasa, karena daya tahan tubuh anak-anak lebih rentan
daripada orang dewasa, dan juga dipengaruhi dari kurangnya kebersihan,
seringnya mereka bermain bersama anak-anak lain dengan kontak yang erat,
selain itu skabies juga mudah menginfestasi pada orang usia lanjut karena
imunitas mereka yang menurun dan perubahan fsiologi kulit menua yaitu
menurunnya fungsi sawar kuit terhadap (bakteri, virus, atau parasit) dari luar
sehingga penyembuhan lebih lambat.

2.1.5.2 Jenis kelamin


Skabies dapat menginfestasi laki-laki maupun perempuan, tetapi laki-laki lebih
sering menderita skabies. Hal tersebut disebabkan laki-laki kurang memerhatikan
kebersihan diri dibandingkan perempuan. Perempuan umumnya lebih peduli
terhadap kebersihan dan kecantikannya sehingga lebih merawat diri dan menjaga
kebersihan dibandingkan laki-laki.

2.1.5.3 Tingkat kebersiahan


Skabies menimbulkan rasa gatal yang hebat terutama pada malam hari dan pada
suasana panas atau berkeringat. Karena rasa gatal yang hebat, penderita skabies
akan menggaruk sehingga memberikan kenyamanan dan meredakan gatal walau
untuk sementara. Akibat garukan, telur, larva, nimfa atau tungau dewasa dapat
melekat di kuku dan jika kuku yang tercemar tungau tersebut menggaruk daerah
lain maka skabies akan menular dengan mudah dalam waktu singkat. Oleh karena
itu, mencuci tangan dan memotong kuku secara teratur sangat penting untuk
mencegah skabies. Kebiasaan menyetrika pakaian, mengeringkan handuk, dan
menjemur kasur di bawah terik sinar matahari setidaknya seminggu sekali dapat
mencegah penularan skabies. Tungau akan mati jika terpajan suhu 50℃ selama
10 menit. Oleh karena itu, panas setrika dan terik sinar matahari mampu
membunuh tungau dewasa yang melekat di barang-barang tersebut apabila
terpajan dalam waktu yang cukup. Kebiasaan buruk lainnya yang memudahkan
penularan penyakit skabies adalah santri sering saling meminjam handuk, pakaian
dan perlengkapan shalat (sarung, mukena, kerudung) serta sering tidur di kasur
temannya.
2.1.5.4 Penggunaan alat pribadi bersamaan
Ketika santri masuk pesantren, santri tidak menderita skabies akan tetapi setelah
tinggal di pesantren beberapa bulan, gejala klinis skabies mulai timbul karena
tertular dari temannya. Penggunaan alat pribadi bersama-sama ataupun Kebiasaan
tukar menukar barang pribadi dengan temannya seperti sabun, handuk, selimut,
sarung dan pakaian bahkan pakaian dalam pakaian yang dipinjam tidak selalu
pakaian yang bersih namun juga pakaian yang telah dipakai dan belum dicuci
merupakan salah satu faktor risiko skabies. Oleh karena tungau dewasa Sarcoptes
scabiei dapat keluar dari stratum korneum dalam kulit, melekat di pakaian serta
dapat hidup di luar tubuh manusia selama tiga hari dalam waktu tersebut cukup
untuk menularkan tungau Sarcoptes scabiei. Oleh sebab itu, santri tidak
dianjurkan untuk saling meminjam pakaian dan peralatan shalat terutama pakaian
yang telah digunakan atau kotor dan belum dicuci.
2.1.5.5 Kepadatan penghuni
Prevalensi penyakit skabies banyak di temukan pada santri yang tinggal di asrama
atau pondok pesantren dengan tingkat hunian yang tinggi. Pondok pesantren
umumnya padat penghuni dengan fasilitas yang serba terbatas. Satu ruangan
tempat tidur dapat berisi 30-50 santri dengan fasilitas yang kurang atau cukup dan
tingkat kebersihan yang kurang memadai. Kondisi tersebut dapat menyebabkan
timbulnya penyakit skabies yang mudah menular dengan cepat dan sulit
diberantas.

2.1.5.6 Tingkat pendidikan dan pengetahuan


Secara umum semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin bertambah
pengetahuannya termasuk pengetahuan kesehatan. Materi pendidikan yang
diberikan pada santri di pondok pesantren adalah pengetahuan umum dan
pengetahuan agama tetapi lebih banyak pengetahuan agama. Dengan
meningkatnya pendidikan, diharapkan pengetahuan mengenai skabies meningkat
karena santri yang berpendidikan lebih tinggi biasanya mempunyai inisiatif untuk
mencari informasi di luar pendidikan formal misalnya dari internet. Pada
kenyataannya berbagai survei di pesantren menunjukkan bahwa prevalensi
skabies tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan santri.

2.1.5.7 Budaya setempat


Budaya masyarakat dapat mempengaruhi prevalensi penyakit di suatu daerah. Di
daerah tertentu, orang sakit tidak boleh dimandikan karena khawatir akan
memperparah penyakitnya. Oleh karena itu, jika seseorang menderita skabies,
maka tidak boleh mandi dan cuci tangan bahkan tidak boleh terkena air sama
sekali. Budaya seperti itu perlu dihentikan dengan memberikan penyuluhan
kepada masyarakat terutama santri. Oleh karena itu, santri dan pengelola
pesantren mengganggap skabies adalah hal biasa dan baru mencari pertolongan ke
dokter jika penyakit sudah parah. Kepercayaan yang salah tersebut perlu
diluruskan karena skabies adalah penyakit yang dapat diobati dan dicegah.

2.1.6 Klasifikasi
Skabies memiliki dua varian, yaitu skabies Norwegia (skabies berkrusta) dan
skabies nodular (Boediardja & Handoko, 2017). Skabies Norwegia (skabies
berkrusta) ditandai dengan dermatosis berkrusta pada tangan dan kaki, kuku yang
distrofik, serta skuama yang generalisata. Bentuk ini sangat menular, tetapi rasa
gatalnya sangat sedikit. Tungau dapat ditemukan dalam jumlah yang sangat
banyak. Penyakit terdapat pada pasien dengan retardasi mental, kelemahan fisis,
gangguan imunologik dan psikosis. Skabies nodular berbentuk nodular bila lama
tidak mendapat terapi, sering terjadi pada bayi dan anak, atau pada pasien dengan
penurunan sistem imunitas.

2.1.7 Penatalaksanaan
Menurut Boediardja dan Handoko (2017) syarat obat yang ideal ialah harus
efektif terhadap semua stadium tungau, harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak
toksik, tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai pakaian, mudah
diperoleh dan harganya murah. Cara pengobatan ialah seluruh anggota keluarga
harus diobati (termasuk penderita yang hipersensitif). Jenis obat topikal yang
dapat diberikan, yaitu:

2.1.7.1 Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 4-20% dalam bentuk
salap atau krim. Preparat ini karena tidak efektif terhadap stadium telur, maka
penggunaan dilakukan 3 hari berturut-turut. Kekurangan yang lain ialah berbau
dan mengotori pakaian serta kadang-kadang menimbulkan iritasi. Dapat dipakai
pada bayi berumur kurang dari 2 tahun.
2.1.7.2 Emulsi benzil-benzoas (20-25%), efektif terhadap semua stadium,
diberikan setiap malam selama 3 hari. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi
iritasi, dan kadang-kadang makin gatal dan panas setelah dipakai.
2.1.7.3 Gama benzene heksa klorida (gemeksan = gammexxane) kadarnya 1%
dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua
stadium, mudah digunakan dan jarang memberi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan
pada anak di bawah 6 tahun dan ibu hamil karena toksik terhadap susunan saraf
pusat. Pemberian cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala, maka diulangi
seminggu kemudian.
2.1.7.4 Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan,
mempunyai dua efek sebagai antiskabies dan antigatal; harus dijauhkan dari mata,
mulut dan uretra.
2.1.7.5 Permetrin dengan kadar 5% dalam krim, efektivitas sama, aplikasi hanya
sekali, dan dibersihkan dengan mandi setelah 8-10 jam. Pengobatan diulangi
setelah seminggu. Tidak dianjurkan pada bayi dibawah umur 2 bulan.

2.1.8 Pencegahan
Pencegahan penyakit skabies di bagi dalam 3 katagori yang saling berurutan
menurut Sungkar (2016):

2.1.8.1 Pencegahan primer


Penyuluhan kesehatan perlu di berikan kepada masyarakat awam khususnya
subjek yang beresiko tinggi untuk meningkatkan pengetahuan mengenai skabies,
penyuluhan tersebut berisi tentang penyebab, gejala dan tanda, pengobatan,
penularan, dan pencegahan skabies. Penyuluhan kesehatan ini dapat melalui
media buku saku, dan pamplet.

2.1.8.2 Pencegahan sekunder


Pencegahan sekunder merupakan tahap awal penyembuhan penyakit skabies dan
pencegahan dampak berikutnya, dilakukan dengan mengobati penderita secara
langsung agar tungau tidak menginfestasi orang yang berda di sekitarnya. Untuk
sementara masa penyembuhan, hindari kontak tubuh misalnya melakukan
hubungan seksual, berpelukan, dan tidur satu ranjang dengan penderita. Orang
yang pernah melakukan kontak langsung dengan penderita atau yang sering
berada di sekitar penderita perlu diperiksa.

2.1.8.3 Pencegahan tersier


Pencegahan tersier berupa rehabilitasi dan mencegah berulangnya penyakit
skabies, setelah penderita sembuh dari penyaki skabies, pakaian, handuk dan sprei
yang digunakan lima hari terakhir oleh penderita harus dicuci bersih dengan
deterjen dengan air panas dan dijemur di bawah terik sinar matahari agar seluruh
tungau mati. Barang-barang yang tidak dapat dicuci tetapi diduga terinfestasi
tungau diisolasi dalam kantong plastik tertutup di tempat yang tidak terjangkau
manusia selama seminggu sampai tungau mati.

2.2 Gambaran Diri (body image)


2.2.1 Pengertian gambaran diri
Menurut Cahyaningrum (2014) gambaran diri (body image) adalah persepsi
seseorang tentang tubuhnya, mencakup pikiran, presepsi erasaan, emosi,
imajinasi, penilaian, sensasi fisik, kesadaran dan perilaku mengenai penampilan
dan bentuk tubuhnya dipengaruhi oleh idealisasi pencitraan tubuh di masyarakat
dan interaksi sosial seseorang dalam lingkungannya dan dapat mengalami
perubahan.
2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi gambaran diri
Faktor-faktor yang mempengaruhi gambaran diri (Atikah dalam, Cahyaningrum,
2014) adalah:

2.2.2.1 Usia remaja


Dengan rentang usia 14-19  tahun mengalami perkembangan yang pesat akan
gambaran diri dan peran diri. Pada tahap ini, gambaran diri menjadi penting dan
berdampak pada usaha yang berlebihan pada remaja untuk mengontrol berat
badan. Umumnya terjadi pada remaja putri dimana remaja putri merasa tidak puas
dengan penampilan tubuhnya dan menyebabkan gangguan makan.

2.2.2.2 Pengetahuan gizi remaja


Pengetahuan gizi remaja merupakan kemampuan untuk menerapkan informasi
tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengetahuan gizi sangat berpengaruh pada sikap dan perilaku dalam memilih
makanan yang tepat. Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang
dari konsumsi makanan yang salah ataupun buruk. Pengetahuan gizi dapat
diperoleh melalui pendidikan formal maupun non formal, selain itu juga dapat
diperoleh dengan melihat, mendengar sendiri atau melalui alat-alat komunikasi.

2.2.2.3 Sosial ekonomi asupan gizi


Pada keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi dengan keluarga  tingkat
sosial ekonomi yang rendah tentu saja asupan gizinya berbeda. Pada keluarga
dengan tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi asupan akan zat gizi lebih
tercukupi karena kemampuan membeli bahan makanan yang kaya sumber zat gizi
terpenuhi.

2.2.2.4 Media
Media yang muncul dimana-mana memberikan gambaran ideal menegenai figur
perempuan dan laki-laki yang dapat mempengaruhi gambaran diri. Figur ini
biasanya disebut dengan idola. Remaja mengikuti setiap bentuk dan tindakan yang
dilakukan oleh idolanya tersebut, terutama pada penampilan.
2.2.2.5 Lingkungan
Dalam hidup bermasyarakat remaja dituntut untuk bersosialisasi. Sejak anak-anak
usia 4 tahun, anak telah merasakan kebutuhan atau kehausan sosial. Pada masa
menjelang remaja, anak cenderung berkumpul terdiri atas satu  jenis kelamin yang
sama, karena  mempunyai ciri fisik yang berbeda. Pada masa remaja awal anak
laki-laki maupun perempuan timbul kesadaran terhadap dirinya atau mempunyai
persepsi terhadap dirinya yang disebut gambaran diri (Rumini dalam,
Cahyaningrum, 2014).

Menurut Muklis (2013) gambaran diri dipengaruhi oleh banyak faktor, meliputi:
penilaian atau komentar dari orang lain, pelecehan seksual dan rasial, stigmatisasi,
nilai-nilai sosial  yang  berlaku, perubahan-perubahan fisik selama masa pubertas,
menopause, dan kehamilan, Sosialisasi, bagaimana perasaan seseorang  tentang 
dirinya  sendiri, kekerasan, baik verbal, fisik, maupun  seksual, kondisi-kondisi
aktual dari tubuh, seperti penyakit atau disabilitas.

2.2.3 Ciri-ciri gambaran diri


Rubin & Steinberg (dalam Kany, 2015) menyatakan ciri-ciri dari gambaran diri
itu sendiri yaitu:
2.2.3.1 Merasa rendah diri dan menganggap dirinya tak berguna ditengah
masyarakat.
2.2.3.2 Merasa keberadaannya tidak dibutuhkan oleh masyarakat dan
lingkungan.
2.2.3.3 Merasa tidak pantas atau tidak berhak memiliki atau mendapatkan
sesuatu.
2.2.3.4 Merasa terlalu muda atau terlalu tua untuk melakukan sesuatu.
2.2.3.5 Merasa dibenci dan tidak disukai oleh lingkungan dan orang sekitar.
2.2.3.6 Merasa tidak mampu dan selalu khawatir mendapatkan kegagalan dan
cemoohan dari orang disekelilingnya.
2.2.3.7 Merasa kuran disbanding orang lain.
2.2.3.8 Kurang memiliki dorongan dan semangat hidup, tidak berani memulai
sesuatu hal yang baru, selalu khawatir berbuat kesalahan dan
ditertawakan orang.

2.2.4 Kriteria gambaran diri


Menurut Romansyah & Desi (2012) gambaran diri  terdiri dari 3 kriteria yaitu:

2.2.4.1 Gambaran diri baik


Orang dengan gambaran diri baik selalu memandang positif dirinya, nyaman
dengan keadaan yang ada pada dirinya bagimanapun keadaannya.

2.2.4.2 Gambaran diri sedang


Gambaran diri cukup selalu labil dan merasa ragu dengan bagaimana harus
bersikap, memandang, dan menilai dirinya sendiri, kadang merasa kurang nyaman
dengan keadaan dirinya tapi masih bisa menerima keadaannya dengan baik.
2.2.4.3 Gambaran diri buruk
Orang yang memiliki gambaran diri buruk selalu tidak percaya diri, merasa
minder, mudah emosi karena tidak bisa menerima keadaan dirinya sendiri
sehingga menarik diri.
2.3 Kerangka teori

Factor-faktor yang Factor-faktor yang


mempengaruhi scabies mempengaruhi gambaran diri

1. Usia 1. Penilaian atau komentar


2. Jenis kelamin orang lain
3. Tingkat kebersihan 2. Pelecehan seksual dan
4. Penggunaan alat rasial
pribadi bersamaan 3. Stigmatisasi
5. Kepadatan penghuni 4. Nilai-nilai yang berlaku
6. Tingkat pendidikan dan 5. Perubahan fisik
pengetahuan 6. Bagaimana perasaan
7. Budaya setempat seseorang tentang dirinya
7. Kondisi aktual dari tubuh,
seperti penyakit atau
disabilitas

Kriteria gambaran diri


Klasifikasi skabies
1. Gambaran diri baik
1. Skabies Norwegia
2. Gambaran diri
(skabies berkusta)
sedang
2. Scabies nodular
3. Gambaran diri
buruk

GAMBAR 2.1 Sumber Sungkar 2016. Boedihardjo & Handoko 2017. Muklis
2013. Romansyah & Desi 2012
2.4 Kerangka konsep penelitian
Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan dan fasilitasi hubungan dan
kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variable yang
satu dengan yang lain dari masalah yang diteliti (Notoadmojo, 2018).

Variabel bebas Variabel terikat

Kejadian skabies Gambaran diri

2.5 Hipotesis
Hipotesisi adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian. Biasanya
hipotesis ini dirumuskan dalam bentuk hubungan antara dua variable, yaitu
varuiabel bebas dan variable terikat (Notoadmojo, 2018).

Ha : Ada pengaruh kejadian skabies terhadap gambaran diri santri di pondok


pesantren Darul Khair.

Ho : Tidak ada pengaruh kejadian skabies terhadap gambaran diri santri di pondok
pesantren Darul Khair.
DAFTAR PUSTAKA
Boediardja, & Handoko, (2017), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (D. D. KK.Sp,
Menaldi SW Linuwih Sri (ed.); 2nd ed.), Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, ISBN 978-979-496-852-9

Ratnasari, Amajida Fadia., dan Sungkar, Saleha. Prevalensi Skabies dan Faktor-
Faktor yang Bergubungan di Pesantren X Jakarta Timur. eJKL. April 2014.
Vol. 2., No. 1. http://download.portalgaruda.org

Saputra, Rico; Rahayu, Wachidayanti dan Putri, Ronasari Mahaji. Hubungan


Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terhadap Timbulnya Penyakit
Skabies pada Santri. Nursing News. Vol. 4. No. 1 Tahun 2019.
http://download.garuda.ristekdikti.go. id/article.php?article=974451&val=7
754&title=HUBUNGAN%20PERILAKU%20HIDUP%20BERSIH%20
DAN%20SEHAT%20PHBS%20DENGAN%20TIMBULNYA%20PEN
YAKIT%20SCABIES%20PADA% 20SANTRI

Putri, I.P. (2016). Hubungan antara tingkat pengetahuan santri dengan perilaku
pencegahan penyakit skabies di pondok pesantren Darut Taqwa Bulusan
Semarang. Skripsi.http://eprints.undip
ac.id/50593/1/Intan_Pratama_NP_220 10112110053_LapKTI_Bab0.pdf..
Diakses pada 24 Januari 2021.

Muafidah, N. dan Santoso, I.(2017). Hubungan Personal Higiene dengan Kejadian


Skabies pada Santri Pondok Pesantren Al Falah Putera Kecamatan Liang
Anggang Tahun 2016. Jurnal of Health Science and Prevention, vol.1,

Fingeret, M.C., Teo, I. and Epner, D.E., 2014. Managing body image difficulties
of adult cancer patients: lessons from available research. Cancer, 120(5),
pp.633-641.

Rhoten, B.A., 2016. Body image disturbance in adults treated for cancer–a
concept analysis. Journal of advanced nursing, 72(5), pp.1001-1011.
Mading, M. Sopi, I. P. B. (2015). Kajian Aspek Epidemiologi Skabies Pada
Manusia Aspects of Epidemiology Studies Scabies in Human. Jurnal
Penyakit Bersumber Binatang, 2(2), 9–17.

Garrusi, B., Garousi, S. and Baneshi, M.R., 2013. Body image and body change:
predictive factors in an Iranian population. International journal of
preventive medicine, 4(8), pp.940.

Anwar, A. I., Sakka, Z., & Harfiah. (2014). Penyakit Scabies. Dua Satu Press.

Sungkar, S. 2016, Skabies : Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan,


dan Pencegahan. Badan Penerbit FKUI, Jakarta, pp. 10

Anda mungkin juga menyukai