DISUSUN OLEH
YUSUF BUDIMAN
C1018051
1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui adanya hubungan antara kejadian skabies dengan gambaran
diri santri di pondok pesantren Darul Khair Babakan, Kecamatan Lebaksiu,
Kabupaten Tegal.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Mengidetifikasi kejadian skabies pada santri di Pondok Pesantren Darul
Khair
1.2.2.2 Mengidetifikasi gambaran diri santri penderita scabies di Pondok
Pesanteren Darul Khair
1.2.2.3 Menganalisis hubungan kejadian scabies dengan gambaran diri santri di
Pondok Pesantren Darul Khair
1.3 MANFAAT
1.3.1 Manfaat aplikatif
Diharapkan peneilitian ini dapat memberikan pengetahuan terhadap santri tentang
hubungan kejadian skabies dengan gambaran diri.
2.1 Skabies
2.1.1 Pengertian skabies
Scabies merupakan penyakit infeksi parasit yang termasuk dalam kelompok
penyakit yang mudah menular. Sinonim atau nama lain scabies adalah kudis, the
itch, gudig, budukan, dan gatal agogo yang disebabkan oleh sarcoptes scabiei
(Anwar, irawan, Sakka & Harfiah, 2014). Skabies adalah penyakit kulit yang
endemis di wilayah beriklim tropis sebagai penyakit kulit menular. Skabies dalam
bahasa Indonesia sering disebut kudis, orang jawa menyebutnya gudig, sedangkan
orang sunda menyebutnya dengan sebutan budug. Penyakit ini juga sering disebut
dengan kutu badan, budukan, gatal agogo, budukan atau penyakit amper (Mading,
Majematang & Sopi, 2015). Menuurut WHO dalam Pratama, Wibowo &
Nugraheni (2016) scabies merupakan suatu penyakit signifikan bagi kesehatan
masyarakat karena termasuk kontributor yang substansial bagi morbiditas global.
2.1.2 Etiologi
Penyebab scabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun lalu sebagai akibat investasi
tungau yang dinamakan Acarus Scabei atau pada manusia disebut Sarcoptes
Scabei varian hominis. Scabies dapat terjadi di lingkungan yang padat penduduk,
kebersihan kurang, sosial ekonomi rendah, serta kontak dengan penderita (Ni’mah
& Badi’ah, 2016). Scabies paling sering ditularkan melalui kontak langsung
dengan kulit penderita yang berlangsung lama dan telah berkepanjangan (Pratama,
Wibowo & Nugraheni, 2016). Akmal & Semiarty (2013) mengemukakan bahwa
tinggal bersama dengan sekelompok orang di pondok pesantren berisiko mudah
tertular berbagai jenis penyakit kulit salah satunya adalah scabies. Perilaku hidup
bersih dan sehat terutama kebersihan perseorangan umumnya kurang
mendapatkan perhatian khusus dari para santri sehingga memicu timbulnya
penyakit skabies.
2.1.3 Morfologi dan siklus hidup
Morfologi tungau Sarcoptes scabiei var, hominis adalah Tungau kecil, bentukya
oval pungungnnya cembung dan bagian perutnya rata Tugau ini translusen,
berwarna putih kotor, dan tidak bermata. sebagai berikut (Sungkar, 2016) :
Menurut Sungkar (2016) Tungau betina dewasa berjalan di permukaan kulit untuk
mencari tempat dan menggali terowongan. Setelah menemukan lokasi yang
sesuai, tungau menggunakan kakinya (ambulakral) untuk melekatkan diri di
permukaan kulit kemudian membuat lubang di kulit. Selanjutnya tungau masuk ke
dalam kulit dan membuat terowongan sempit dengan permukaan yang sedikit
terangkat dari kulit. Biasanya tungau betina menggali stratum korneum dalam
waktu 30 menit setelah kontak pertama dengan menyekresikan saliva yang dapat
melarutkan kulit. Terowongan tungau biasanya terletak di daerah lipatan kulit
seperti pergelangan tangan dan sela-sela jari tangan. Tempat lainnya adalah siku,
ketiak, bokong, perut, genitalia, dan payudara. Pada bayi, lokasi predileksi
berbeda dengan dewasa. Predileksi khusus bagi bayi adalah telapak tangan,
telapak kaki, kepala dan leher. Tungau berkopulasi di dalam terowongan. Setelah
itu tungau betina akan membuat terowongan di kulit sampai perbatasan stratum
korneum dan stratum granulosum dengan kecepatan 0,5-5 mm per hari. Lokasi
biasanya di stratum korneum kulit yang tipis. Tungau betina hidup selama 30-60
hari di dalam terowongan dan selama waktu tersebut tungau terus memperluas
terowongannya. Penggalian terowongan biasanya pada malam hari dan tungau
menggali terowongan sambil bertelur atau mengeluarkan feses. Tungau betina
bertelur sebanyak 2-3 butir setiap hari. Seekor tungau betina dapat bertelur
sebanyak 40-50 butir semasa hidupnya. Dari seluruh telur yang dihasilkan tungau
betina, kurang lebih hanya 10% yang menjadi tungau dewasa dan pada seorang
penderita biasanya hanya terdapat 11 tungau betina dewasa. Telur menetas
menjadi larva dalam waktu 3-5 hari. Larva berukuran 110x140 mikron,
mempunyai tiga pasang kaki dan segera keluar dari terowongan induknya untuk
membuat terowongan baru atau hidup di permukaan kulit. Larva menggali
terowongan dangkal agar mudah untuk makan dan mengganti kulit luar
(ekdisis/pengelupasan kulit) untuk berubah menjadi nimfa. Dalam waktu 3-4 hari,
larva berubah menjadi nimfa yang mempunyai 4 pasang kaki. Nimfa betina
mengalami dua fase perkembangan. Nimfa pertama panjangnya 160µm dan nimfa
kedua panjangnya 220-250µm. Nimfa kedua bentuknya menyerupai tungau
dewasa, tetapi alat genitalnya belum terbentuk sempurna. Nimfa jantan hanya
mengalami satu fase perkembangan. Nimfa berkembang menjadi tungau dewasa
dalam waktu tiga hari. Waktu sejak telur menetas sampai menjadi tungau dewasa
sekitar 10-14 hari. Tungau jantan hidup selama 1-2 hari dan mati setelah kopulasi.
2.1.5.1 Usia
Skabies dapat ditemukan pada semua usia tetapi lebih sering menginfestasi anak-
anak dibandingkan orang dewasa, karena daya tahan tubuh anak-anak lebih rentan
daripada orang dewasa, dan juga dipengaruhi dari kurangnya kebersihan,
seringnya mereka bermain bersama anak-anak lain dengan kontak yang erat,
selain itu skabies juga mudah menginfestasi pada orang usia lanjut karena
imunitas mereka yang menurun dan perubahan fsiologi kulit menua yaitu
menurunnya fungsi sawar kuit terhadap (bakteri, virus, atau parasit) dari luar
sehingga penyembuhan lebih lambat.
2.1.6 Klasifikasi
Skabies memiliki dua varian, yaitu skabies Norwegia (skabies berkrusta) dan
skabies nodular (Boediardja & Handoko, 2017). Skabies Norwegia (skabies
berkrusta) ditandai dengan dermatosis berkrusta pada tangan dan kaki, kuku yang
distrofik, serta skuama yang generalisata. Bentuk ini sangat menular, tetapi rasa
gatalnya sangat sedikit. Tungau dapat ditemukan dalam jumlah yang sangat
banyak. Penyakit terdapat pada pasien dengan retardasi mental, kelemahan fisis,
gangguan imunologik dan psikosis. Skabies nodular berbentuk nodular bila lama
tidak mendapat terapi, sering terjadi pada bayi dan anak, atau pada pasien dengan
penurunan sistem imunitas.
2.1.7 Penatalaksanaan
Menurut Boediardja dan Handoko (2017) syarat obat yang ideal ialah harus
efektif terhadap semua stadium tungau, harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak
toksik, tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai pakaian, mudah
diperoleh dan harganya murah. Cara pengobatan ialah seluruh anggota keluarga
harus diobati (termasuk penderita yang hipersensitif). Jenis obat topikal yang
dapat diberikan, yaitu:
2.1.7.1 Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 4-20% dalam bentuk
salap atau krim. Preparat ini karena tidak efektif terhadap stadium telur, maka
penggunaan dilakukan 3 hari berturut-turut. Kekurangan yang lain ialah berbau
dan mengotori pakaian serta kadang-kadang menimbulkan iritasi. Dapat dipakai
pada bayi berumur kurang dari 2 tahun.
2.1.7.2 Emulsi benzil-benzoas (20-25%), efektif terhadap semua stadium,
diberikan setiap malam selama 3 hari. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi
iritasi, dan kadang-kadang makin gatal dan panas setelah dipakai.
2.1.7.3 Gama benzene heksa klorida (gemeksan = gammexxane) kadarnya 1%
dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua
stadium, mudah digunakan dan jarang memberi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan
pada anak di bawah 6 tahun dan ibu hamil karena toksik terhadap susunan saraf
pusat. Pemberian cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala, maka diulangi
seminggu kemudian.
2.1.7.4 Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan,
mempunyai dua efek sebagai antiskabies dan antigatal; harus dijauhkan dari mata,
mulut dan uretra.
2.1.7.5 Permetrin dengan kadar 5% dalam krim, efektivitas sama, aplikasi hanya
sekali, dan dibersihkan dengan mandi setelah 8-10 jam. Pengobatan diulangi
setelah seminggu. Tidak dianjurkan pada bayi dibawah umur 2 bulan.
2.1.8 Pencegahan
Pencegahan penyakit skabies di bagi dalam 3 katagori yang saling berurutan
menurut Sungkar (2016):
2.2.2.4 Media
Media yang muncul dimana-mana memberikan gambaran ideal menegenai figur
perempuan dan laki-laki yang dapat mempengaruhi gambaran diri. Figur ini
biasanya disebut dengan idola. Remaja mengikuti setiap bentuk dan tindakan yang
dilakukan oleh idolanya tersebut, terutama pada penampilan.
2.2.2.5 Lingkungan
Dalam hidup bermasyarakat remaja dituntut untuk bersosialisasi. Sejak anak-anak
usia 4 tahun, anak telah merasakan kebutuhan atau kehausan sosial. Pada masa
menjelang remaja, anak cenderung berkumpul terdiri atas satu jenis kelamin yang
sama, karena mempunyai ciri fisik yang berbeda. Pada masa remaja awal anak
laki-laki maupun perempuan timbul kesadaran terhadap dirinya atau mempunyai
persepsi terhadap dirinya yang disebut gambaran diri (Rumini dalam,
Cahyaningrum, 2014).
Menurut Muklis (2013) gambaran diri dipengaruhi oleh banyak faktor, meliputi:
penilaian atau komentar dari orang lain, pelecehan seksual dan rasial, stigmatisasi,
nilai-nilai sosial yang berlaku, perubahan-perubahan fisik selama masa pubertas,
menopause, dan kehamilan, Sosialisasi, bagaimana perasaan seseorang tentang
dirinya sendiri, kekerasan, baik verbal, fisik, maupun seksual, kondisi-kondisi
aktual dari tubuh, seperti penyakit atau disabilitas.
GAMBAR 2.1 Sumber Sungkar 2016. Boedihardjo & Handoko 2017. Muklis
2013. Romansyah & Desi 2012
2.4 Kerangka konsep penelitian
Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan dan fasilitasi hubungan dan
kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variable yang
satu dengan yang lain dari masalah yang diteliti (Notoadmojo, 2018).
2.5 Hipotesis
Hipotesisi adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian. Biasanya
hipotesis ini dirumuskan dalam bentuk hubungan antara dua variable, yaitu
varuiabel bebas dan variable terikat (Notoadmojo, 2018).
Ho : Tidak ada pengaruh kejadian skabies terhadap gambaran diri santri di pondok
pesantren Darul Khair.
DAFTAR PUSTAKA
Boediardja, & Handoko, (2017), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (D. D. KK.Sp,
Menaldi SW Linuwih Sri (ed.); 2nd ed.), Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, ISBN 978-979-496-852-9
Ratnasari, Amajida Fadia., dan Sungkar, Saleha. Prevalensi Skabies dan Faktor-
Faktor yang Bergubungan di Pesantren X Jakarta Timur. eJKL. April 2014.
Vol. 2., No. 1. http://download.portalgaruda.org
Putri, I.P. (2016). Hubungan antara tingkat pengetahuan santri dengan perilaku
pencegahan penyakit skabies di pondok pesantren Darut Taqwa Bulusan
Semarang. Skripsi.http://eprints.undip
ac.id/50593/1/Intan_Pratama_NP_220 10112110053_LapKTI_Bab0.pdf..
Diakses pada 24 Januari 2021.
Fingeret, M.C., Teo, I. and Epner, D.E., 2014. Managing body image difficulties
of adult cancer patients: lessons from available research. Cancer, 120(5),
pp.633-641.
Rhoten, B.A., 2016. Body image disturbance in adults treated for cancer–a
concept analysis. Journal of advanced nursing, 72(5), pp.1001-1011.
Mading, M. Sopi, I. P. B. (2015). Kajian Aspek Epidemiologi Skabies Pada
Manusia Aspects of Epidemiology Studies Scabies in Human. Jurnal
Penyakit Bersumber Binatang, 2(2), 9–17.
Garrusi, B., Garousi, S. and Baneshi, M.R., 2013. Body image and body change:
predictive factors in an Iranian population. International journal of
preventive medicine, 4(8), pp.940.
Anwar, A. I., Sakka, Z., & Harfiah. (2014). Penyakit Scabies. Dua Satu Press.