Anda di halaman 1dari 22

A.

Definisi
 Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa
karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan otak. (Batticaca
Fransisca, 2008, hal 96).
 Cedera kepala merupakan proses diman terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhasdap kepala yang menyebabkan kerusakan tenglorak dan otak. (Pierce
Agrace & Neil R. Borlei, 2006 hal 91).
 Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi
otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm substansi otak
tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271).

B. KLASIFIKASI
Pada Umumnya, cedera kepala dibagi berdasarkan mekanisme terjadinnya cedera,
tingkat kesadaran dan morfologinnya. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan
mekanismenya:
 Cedera Kepala Tumpul
Hal ini dapat disebabkan karena kecelakaan dengan mobil-motor, bisa juga karena jatuh
dari ketinggian atau dipukul dengan benda tumpul.
 Cedera Kepala Tembus
Hal ini dapat disebabkan karena cedera peluru atau cedera tusukan.
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan morfologi :
 Fraktur Kranium
Terjadi pada atap atau dasar tengkorak yang terbgai menjadi :
a. Fraktur Klavikula :
- Bisa berbentuk bintang / garis
- Depresi / non depresi
- Terbuka / tertutup
b. Fraktur Dasar Tengkorak :
Dengan/ tanpa paralisis n VII\Dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal
 Lesi Intrakranium
Dapat digolongkan menjadi :
 Lesi Lokal
a. Pendarahan Epidural
Perdarahan Epidural adalah akumulasi darah di atas durameter dan biasannya terjadi
secara akut. Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid interval (masa sadar
setelah pingsan sehingga kesadaran menurun lagi), tensi yang semakin bertambah tinggi,
nadi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah lambat, hemiparesis,
dan terjadi anisokori pupil.
b. Perdarahan Subdural
Perdarahan Subdural adalah akumulasi darah dibawah durameter tetapi diatas
membran araknoid yang bisa terjadi secara cepat (Hematoma subdural akut), secara lambat
(Hematoma subdural subakut) dan terjadi pada lansia serta peminum alkohol yang terjadi
secara lambat tanpa menunjukan gejala sampai ia membesar (Hematoma Kronis).

c. Perdarahan Intrakranial
Perdarahan Intrakranial adalah perdarahan yang terjadi di jaringan otak karena pecahnya
arteri yang besar dalam otak Gejala-gejala yang ditemukan adalah :
Hemiplegi, Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang
meningkat. Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri
perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media yang
tidak normal.
Klasifikasi Cedera Otak Berdasarkan GCS / tingkat kesadaran
 Cedera Kepala Ringan
Apabila nilai GCS berdada pada rentan 13-15, dimana pada tahap ini pasien bisa
kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, fraktur tengkorak (-), terdapat kontusio atau
hematom.
 Cedera Kepala Sedang
Apabila nilai GCS berdada pada rentan 9-12, dimana pasien dapat kehilangan kesadaran
selama 30 menit – 24 jam, fraktur tengkorak (+) yang disertai disorientasi ringan.
 Cedera Kepala Berat
Apabila nilai GCS berdad pada rentan 3-8, dimana pasien bisa kehilangan
kesadaran lebih dari 24 jam, biasannya disertai kontusio, laserasi atau hematom dan edema
serebral (Lionel Ginsberg, 2007).
Cedera Kepala juga dibedakan berdasarkan kerusakan jaringan otak, yaitu :
 Komosio Serebri (Gegar Otak)
Gangguan fungsi neurologi ringa tanpa adannya kerusakan struktur otak, terjadi
hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa disertai retrograde amnesia, mual
muntah dan nyeri kepala
 Kontusio Serebri
Gangguan fungsi neurologi disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas otak
masih utuh, hilangmya kesadaran lebih dari 10 menit
 Laserasio Serebri
Gangguan fungsi neurologi disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur
tengkorak terbuka. Massa otak terkelupas keluar dari rongga intracranial.

C. FAKTOR RESIKO
a. Usia
Tampak adanya korelasi negatif antara usia yang bertambah dan penyembuhan pada
cedera kepala berat. Didalam beberapa penelitian, usia merupakan salah satu variabel
yang mempengaruhi penyembuhan. Dalam penyelidikan terhadap 1000 penderita
yang dibagi dalam masa 5 tahun penelitian kelompok ( cohort studies ) , Jennett dkk
menemukan bahwa mortalitas dan morbiditas berat meningkat secara liniair. Pada usia
diatas 60 tahun outcome buruk adalah 87% sedangkan pada usia diantara 40 – 60
tahun outcome buruk 56%. Becker dkk melaporkan angka mortalitas 22% untuk
penderita – penderita cedera kepala berat dibawah umur 21 tahun dan 57% untuk usia
diatas 65 tahun.
Penderita – penderita cedera kepala berat diatas umur 65 tahun akan mempunyai
angka mortalitas dua kali lebih besar ketimbang penderita – penderita yang berumur
dibawah 65 tahun. Bila ditentukan skor Skala Koma Glasgow pada waktu masuk
dirawat dan adanya lesi massa ekstra-aksial, maka penderita – penderita yang lebih
tua selalu lebih buruk daripada yang lebih muda usianya. Gambaran klinis cedera
kepala berat berbeda – beda , tergantung pada usia penderita. Kejadian tindakan
operasi juga meningkat sehubungan dengan meningkatnya usia, demikian pula
mortalitas akan meningkat karena adanya lesi massa ( mass lesion ). Usia adalah
faktor yang kuat dalam mempengaruhi prognosa, pada umumnya disepakati bahwa
anak – anak bernasib lebih baik daripada orang – orang tua berusia lanjut.
Pengaruh yang bermakna dari usia bukan karena adanya komplikasi sistemik atau
hematoma intraserebral sesuai dengan pertambahan usia. Meningkatnya usia adalah
faktor independen didalam prognosa ; terjadi peningkatan outcome buruk yang
bermakna pada usia > 60 tahun
b. Mekanisme Cedera
Mekanisme dari cedera kepala mempunyai beberapa pengaruh terhadap prognosis ;
penderita yang mengalami cedera pada kecelakaan kenderaan bermotor kecepatan
tinggi cenderung untuk menderita DAI dengan prognosa yang relatif baik. Didalam seri
penderita – penderita yang diselidiki Bowers dan Marshall 1,17 hanya 17% penderita –
penderita cedera kepala berat karena kecelakaan kendaraan beromotor mempunyai
hematoma yang harus dioperasi dan diantara penderita yang tanpa hematoma , 53%
sembuh secara fungsional dan 35% meninggal.Berbeda dengan penderita – penderita
yang cedera karena jatuh , tabrakan sepeda motor dengan pejalan kaki atau cedera –
cedera lain lebih sering mendapatkan kontusio dan ekstra-aksial hematoma dengan
outcome yang lebih buruk. Penderita – penderita dengan DAI cenderung lebih muda
daripada penderita – penderita dengan cedera otak lokal dan hematoma intrakranial
dan sedikit kecenderungannya untuk memperoleh peningkatan tekanan intrakranial.
c. Hipotensi dan Hipoksia
Terdapatnya cedera sistemik ganda terutama yang berhubungan dengan hipoksia
sistemik dan hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg), memperburuk prognosa
penyembuhan. Miller dkk 19 menemukan 13% penderita dengan hipotensi dan 30%
dengan hipoksia pada saat tiba di unit gawat darurat. Diantara penderita cedera
kepala, hipotensi biasanya disebabkan kehilangan darah karena cedera sistemik ;
sebagian kecil mungkin karena cedera langsung pada pusat reflex kardiovaskular di
medula oblongata20. Newfield dkk mendapatkan angka mortalitas 83% pada penderita
– penderita dengan hipotensi sistemik
pada 24 jam setelah dirawat, dibandingkan dengan angka mortalitas 45% dari
penderita – penderita tanpa hipotensi sistemik. Penambahan morbiditas dari hipotesi
sistemik bisa sebagai akibat cedera iskemik sekunder dari menurunnya perfusi
serebral. Hipotensi yang ditemukan mulai dari awal cedera sampai selama perawatan
penderita merupakan faktor utama yang menentukan outcome penderita – penderita
cedera kepala berat, dan merupakan satu – satunya factor penentu yang dapat
dikoreksi dengan medikamentosa. Adanya satu episode hipotensi dapat
menggandakan angka mortalitas dan meningkatkan morbiditas ; koreksi terhadap
hipotensi terbukti akan menurunkan morbiditas dan mortalitas. Hipoksia sistemik
sering terdapat pada penderita – penderita dengan cedera kepala berat dan
mempunyai pengaruh terhadap prognosa. Katsurada dkk 21 melaporkan bahwa
diantara penderita cedera kepala berat dalam keadaan koma, 43% mendapat hipoksia
arterial dibawah 70 mmHg, 51% mempunyai perbedaan oksigen alveolar-arterial lebih
dari 30% ; 14% mendapat hiperkarbia lebih dari 45 mmHg. Miller dkk mendapatkan
bahwa 30% dari penderita ada awalnya sudah menderita hipoksia . Hipoksia sistemik
dapat terjadi karena apnea yang tiba-tiba atau karena pola pernafasan abnormal
lainnya, hipoventilasi karena cedera sumsum tulang belakang atau obstruksi jalan
nafas karena cedera kepala atau cedera leher, juga karena cedera lansung pada
dinding dada atau paru , atau oleh emboli lemak di sirkulasi pulmonal karena fraktur
tulang panjang. Sangat sulit untuk menjelaskan efek hipoksia
sistemik pada manusia, tetapi tampaknya juga memegang peranan didalam
memperburuk prognosa.
d. Alkohol dan Efek Obat Lainnya
Kelly dkk menunjukkan bahwa kadar alkohol yang tinggi pada saat terjadinya cedera
kepala berat berhubungan dengan skor SKG awal yang rendah dan memperburuk
neuropsychologic outcome dibandingkan dengan penderita tanpa alkohol pada saat
terjadinya cedera. Keadaaan ini menunjukkan adanya efek adiksi dari obat – obat
terhadap neuropsychologic outcome.

D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala cedera kepala dapat bervariasi dari hamper tidak ad sampai hilang kesadaran
dan koma. Selain itu gejala mungkin tidak terjadi segera pada saat cedera. Ketika cedera
otak terjadi pada saat trauma, mungkin diperlukan waktu untuk pembengkakan atau
pendarahan terjadi untu menyebabkan gejala yang dikenali. Gejala awal mungkin termasuk
perubahan status mental, koma, perubahan status kesadaran pasien. Gejala umum cedera
kepala antara lain.
 Muntah. Disebabkan oleh peningkatan tekanan abdomen.
 CSF keluar dari telinga atau hidung
 Pendarahan dari telinga
 Kesulitan berbicara
 Kelumpuhan
 Kesulitan menelan
 Tubuh mati rasa
Gejala lainnya :
 Peningkatan tekanan intrakarnial
Tanda peningkatan intrakarnial antara lain :
a. Nyeri kepala
b. Edema serebral : disebabkan kontusio, perubahan barrier otakdarah
c. Hipoksia : penurunan PaO2 menyebabkan vasodilatsi serebral kurang dari 60 mmHg
d. Hiperkapnia (peningkatan CO2) : menyebabkan vasodilatasi
e. Kerusakan aliran balik vena : meningkatkan volume darah serebral
 Amnesia
Ada 2 tipe amnesia yaitu anterograde amnesia dan retrograde amnesia
a. Anterograde amnesia
Pasien tidak mengingat informasi baru dan sesuatu yang baru saja terjadi. Informasi
yang seharusnya tersimpan dalam memori pendek menghilang. Tetapi dapat mengingat
kejadian yang terjadi sebelum cedera
b. Retrograde amnesia
Pasien tidak dapat mengingat kejadian yang terjadi sebelum trauma, tapi dapat
mengingat kejadian setelah trauma secara normal. Penyebab retrograde amnesia biasanya
karenatrauma kepala yang termasuk diantaranya adalah jatuh, kecelakaan motor atau
mobil, cedera olahraga, dan menerima pukulan di kepala. Sehingga dapat dikatakan
benturan yang menyebabkan retrograde amnesia adalah ketika pasien mengalami benturan
secara tiba-tiba.
 Mual
 Pusing
 Mudah marah
 Sulit berkonsentrasi dan berpikir
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
a. Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
 Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
 Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
 Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
 Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
 Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
b. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;
 Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.
 Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
 Mual atau dan muntah.
 Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
 Perubahan keperibadian diri.
 Letargik.
c. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;
 Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun atau meningkat.
 Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
 Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal
ekstrimitas.(Grafindo, 2005)
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fi sik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi,
pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defi sit fokal serebral dan cedera ekstrakranial.
Hasil pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama. Bila
terdapat perburukan salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.
2. Pemeriksaan radiologi
 Foto Polos Kepala
Foto polos kepala/otak memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dalam
mendeteksi perdarahan intracranial. Pada era CT scan, foto polos kepala mulai
ditinggalkan.
 CT Scan Kepala
CT scan kepala merupakan standard baku untuk mendeteksi perdarahan intracranial.
Semua pasien dengan GCS < 15 sebaiknya menjalani pemeriksaan CT scan,
sedangkan pada pasien dengan GCS 15, CT scan dilakukan hanya dengan indikasi
tertentu seperti :

- Nyeri kepala hebat

- Adanya tanda-tanda fraktur basis kranii

- Adanya riwayat cedera yang berat

- Muntah lebih dari 1 kali

- Penderita lansia (usia > 65 tahun) dengan penurunan kesadaran atau amnesia

- Kejang

- Riwayat gangguan vaskuler atau menggunakan obat-obat antikoagulan

- Amnesia, gangguan orientasi, berbicara, membaca, dan menulis

- Rasa baal pada tubuh

- Gangguan keseimbangan atau berjalan


 MRI Kepala
MRI adalah teknik pencitraan yang lebih sensitive daripada CT scan; kelainan yang
tidak tampak pada CT scan dapat dilihat oleh MRI. Namun, dibutuhkan waktu
pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan CT scan sehingga tidak sesuai dalam
situasi gawat darurat.
 PET dan SPECT.
Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emission Computer
Tomography (SPECT) mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas pada fase akut
dan kronis meskipun CT Scan atau MRI dan pemeriksaan neurologi tidak
memperlihatkan kerusakan. Namun, spesifisitas penemuan abnormalitas tersebut
masih dipertanyakan. Saat ini penggunaan PET atau SPECT pada fase awal kasus
CKR masih belum direkomendasikan.
 Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma
 Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
 X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
 BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
3. Pemeriksaan laboratorium
• Hb, leukosit, diferensiasi sel
Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat dipakai sebagai salah
satu indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio (CKR). Leukosit >17.000
merujuk pada CT scan otak
abnormal,5 sedangkan angka leukositosis >14.000 menunjukkan kontusio meskipun secara
klinis lama penurunan kesadaran <10 menit dan nilai SKG 13-15 adalah acuan klinis yang
mendukung ke arah komosio. Prediktor ini bila berdiri sendiri tidak kuat, tetapi di daerah
tanpa fasilitas CT scan otak, dapat dipakai sebagai salah satu acuan prediktor yang
sederhana.
• Gula darah sewaktu (GDS)
Hiperglikemia reaktif dapat merupakan faktor risiko bermakna untuk kematian
dengan OR 10,07 untuk GDS 201-220mg/dL dan OR 39,82 untuk GDS >220 mg/dL.
• Ureum dan kreatinin
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat hiperosmolar yang
pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada fungsi ginjal yang buruk, manitol tidak
boleh diberikan.
• Analisis gas darah
Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran menurun. pCO2 tinggi dan
pO2 rendah akan memberikan luaran yang kurang baik. pO2 dijaga tetap >90 mm Hg, SaO2
>95%, dan pCO2 30-35 mmHg.
• Elektrolit (Na, K, dan Cl)
Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
• Albumin serum
Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7-3,4g/dL) mempunyai risiko
kematian 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan kadar albumin normal.
• Trombosit, PT, aPTT, fi brinogen
Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan hematologis. Risiko late
hematomas perlu diantisipai. Diagnosis kelainan hematologis ditegakkan bila trombosit
<40.000/mm3, kadar ffi brinogen <40mg/mL, PT >16 detik, dan aPTT >50 detik.

F. PENATALAKSANAAN
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut (Japardi, 2002):
a. Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa
muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik
untuk menghindarkan aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral
adalah depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik
dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada,
edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi
hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari dan atasi
faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang
hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni
berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan
sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung danmengganti darah yang hilang dengan
plasma, hydroxyethyl starch atau darah.
d. Pemeriksaan fisik
Setalah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal
serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data
dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan
sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi
penyebabnya.
e. Pemeriksaan radiologi
f. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau
hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang
normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan
sebagai berikut:
1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol,
dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti
berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg
dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila
TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan
hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan
drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt,
misalnya bila terjadi hidrosefalus.
3. Terapi diuretik
 Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar
otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya
harus dihentikan. Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam
selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm
 Loop diuretik (Furosemid)
Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan
cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan
manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotic serum oleh manitol.
Dosis 40 mg/hari/iv
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi
yang tersebut diatas. Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu
pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK
terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya
pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus
cedera kepala.
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian
kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau
leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak
menjadi lancar.
g. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri
dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan
koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl
0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena
terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila
tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume urin normal
>30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik.
h. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan
mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya
kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan bertambah bila ada demam. Setelah
3-4 hari dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik
bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
i. Epilepsi/kejang
Pengobatan:
 Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
 Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit.
Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6
jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti
obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling
cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan
pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi,
hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang
Pembedahan dilakukan untuk mengevakuasi perdarahan, jaringan nekrosis, atau bagian
tulang tengkorak yang masuk kedalam jaringan otak.
Konsep Asuhan Keperawatan
Pengkajian Fokus
1. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian,
pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
Sistem respirasi:
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik), nafas
berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
Kardiovaskuler:
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
Kemampuan komunikasi:
Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf
hipoglosus dan saraf fasialis.
Psikososial:
Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
Aktivitas/istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam berjalan
(ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan frekuensi
jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.
Integritas Ego
S : Perubahan tingkah laku/kepribadian
O : Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive dan depresi
Eliminasi
O : BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.
Makanan/cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
Neurosensori
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran,
perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan/pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,
atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan
penginderaan, pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi,
desebrasi), kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.
Nyeri/Keyamanan
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.
O : Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri yang hebat,
gelisah
Keamanan
S : Trauma/injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot hilang
kekuatan paralysis, demam, perubahan regulasi temperatur tubuh
Penyuluhan/Pembelajaran
Riwayat penggunaan alcohol/obat-obatan terlarang

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Scan CT (tanpa/denga kontras) : Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. MRI ; Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.
c. Angiografi serebral : Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma
d. EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
e. Sinar X : Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : Menentukan fungsi korteks dan batang
otak.
g. PET (Positron Emission Tomography) : Menunjukan perubahan aktifitas
metabolisme pada otak.
h. Fungsi lumbal, CSS : Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan
subarachnoid.
i. GDA (Gas Darah Artery) : Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang akan dapat meningkatkan TIK.
j. Kimia /elektrolit darah : Mengetahui ketidak seimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK/perubahan mental.
k. Pemeriksaan toksikologi : Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
l. Kadar antikonvulsan darah : Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup fektif untuk mengatasi kejang.
Diagnosa Keperawatan:
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia, edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran,
perubahan respon mototrik dan sensorik, gelisah, perubahan TTV.
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler,
kerusakan medula oblongata neuromaskuler ditandai dengan kelemahan atau paralisis
otot pernafasan.
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan ADH
dan aldosteron, retensi cairan dan natrium ditandai dengan edema, dehidrasi, sindrom
kompartemen dan hemoragi.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan asam
lambung, mual, muntah, anoreksia ditandai dengan penurunan BB, penurunan massa
atau tonus otot
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan tonus otot dan penurunan
kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan bergerak, kerusakan koordinasi,
keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot.
f. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran, peningkatan
tekanan intra kranial ditandai dengan disorientasi terhadap waktu, tempat, orang,
perubahan terhadap respon rangsang.
g. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan
keseadaran ditandai dengan ketidakmampuan untuk bicara dan menyebutkan kata-
kata.
h. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala,
perdarahan serebral ditandai dengan respon inflamasi, hipertermi.

Intervensi dan Rasional


1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan:
Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan perfusi jaringan
serebral kembali normal
Kriteria Hasil:
a. Kien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala
b. Tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial
c. Peningkatan kesadaran, GCS ≥ 13
d. Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada muntah.

Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kesadaran. 1. Mengetahui kestabilan klien.
2. Pantau status neurologis secara 2. Mengkaji adanya kecendeungan pada
teratur, catat adanya nyeri kepala, tingkat kesadaran dan resiko TIK
pusing. meningkat.
3. Tinggikan posisi kepala 15-30 derajat 3. Untuk menurunkan tekanan vena
4. Pantau TTV, TD, suhu, nadi, input dan jugularis.
output, lalu catat hasilnya. 4. Peningkatan tekanan darah sistemik
5. Kolaborasi pemberian oksigen. yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah diastolik serta napas
yang tidak teratur merupakan tanda
peningkatan TIK.
5. Mengurangi keadaan hipoksia

2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler,


kerusakan medula oblongata, hiperventilasi.
Tujuan :
Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan pola nafas efektif
dengan
Kriteria hasil:
a. Klien tidak mengatakan sesak nafas
b. Retraksi dinding dada tidak ada, dengan tidak ada otot-otot dinding dada.
c. Pola nafas reguler, RR. 16-24 x/menit, ventilasi adekuat
d. bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien,
e. kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan.

Intervensi Rasional
1. Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi, 1. Hipoventilasi biasanya terjadi atau
irama nafas, adanya sianosis. Kaji menyebabkan akumulasi/atelektasi
suara nafas tambahan (rongki, mengi, atau pneumonia (komplikasi yang
krekels). sering terjadi).
2. Atur posisi klien dengan posisi semi 2. Meningkatkan ventilasi semua bagian
fowler 30o Berikan posisi semi prone paru, mobilisasi serkret mengurangi
lateral/ miring, jika tak ada kejang resiko komplikasi, posisi tengkulup
selama 4 jam pertama rubah posisi mengurangi kapasitas vital paru,
miring atau terlentang tiap 2 jam. dicurigai dapat menimbulkan
3. Anjurkan pasien untuk minum hangat peningkatan resiko terjadinya gagal
(minimal 2000 ml/hari). nafas.
4. Kolaborasi terapi oksigen sesui 3. Membantu mengencerkan sekret,
indikasi. meningkatkan mobilisasi
5. Lakukan section dengan hati-hati sekret/sebagai ekspektoran.
(takanan, irama, lama) selama 10-15 4. Memaksimalkan bernafas dan
detik, catat, sifat, warna dan bau menurunkan kerja nafas. Mencegah
sekret hipoksia, jika pusat pernafasan
6. Kolaborasi dengan pemeriksaan tertekan. Biasanya dengan
AGD, tekanan oksimetri. menggunakan ventilator mekanis.
5. Penghisapan yang rutin, beresiko
terjadi hipoksia, bradikardi (karena
respons vagal), trauma jaringan oleh
karenanya kebutuhan penghisapan
didasarkan pada adanya
ketidakmampuan untuk mengeluarkan
sekret.
6. Menyatakan keadaan ventilasi atau
oksigen, mengidentifikasi masalah
pernafasan, contoh: hiperventilasi
(PaO2 rendah/ PaCO2 mengingkat)
atau adanya komplikasi paru.
Menentukan kecukupan oksigen,
keseimbangan asam-basa dan
kebutuhan akan terapi.

3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pengeluaran urine


dan elektrolit meningkat.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam ganguan keseimbangan cairan
dan elektrolit dapat teratasi dengan
Kriteria Hasil:
a. Menunjukan membran mukosa lembab
b. Tanda vital normal , haluaran urine adekuat dan bebas oedema.

Intervensi Rasional
1. Kaji tanda klinis dehidrasi atau 1. Deteksi dini dan intervensi dapat
kelebihan cairan. mencegah kekurangan/kelebihan
2. Catat masukan dan haluaran, hitung fluktuasi keseimbangan cairan.
keseimbangan cairan, ukur berat jenis 2. Kehilangan urinarius dapat menunjukan
urine. terjadinya dehidrasi dan berat jenis
3. Berikan air tambahan sesuai indikasi urine adalah indikator hidrasi dan fungsi
4. Kolaborasi pemeriksaan lab. renal.
kalium/fosfor serum, Ht dan 3. Dengan formula kalori lebih
albumin serum. tinggi,tambahan air diperlukan untuk
mencegah dehidrasi.
4. Hipokalemia/fofatemia dapat terjadi
karena perpindahan intraselluler elama
pemberian makan awal dan
menurunkan fungsi jantung bila tidak
diatasi.

4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan melemahnya otot


yang digunakan untuk mengunyah dan menelan
Tujuan :
Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah dilakukan perawatan selama 3 x 24
jam dengan
Kiteria Hasil:
a. Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab. dalam rentang
normal.
b. Peningkatan berat badan sesuai tujuan.

Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan pasien untuk 1. Faktor ini menentukan terhadap jenis
mengunyah dan menelan, batuk dan makanan sehingga pasien harus
mengatasi sekresi. terlindung dari aspirasi.
2. Auskultasi bising usus, catat adanya 2. Bising usus membantu dalam
penurunan/hilangnya atau suara menentukan respon untuk makan atau
hiperaktif. berkembangnya komplikasi seperti
3. Jaga keamanan saat memberikan paralitik ileus.
makan pada pasien, seperti 3. Menurunkan regurgitasi dan terjadinya
meninggikan kepala selama makan aspirasi.
atatu selama pemberian makan lewat 4. Meningkatkan proses pencernaan dan
NGT. toleransi pasien terhadap nutrisi yang
4. Berikan makan dalam porsi kecil dan diberikan dan dapat meningkatkan
sering dengan teratur. kerjasama pasien saat makan
5. Kolaborasi dengan ahli gizi. 5. Metode yang efektif untuk memberikan
kebutuhan kalori.

5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi sensori dan


kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan.
Tujuan :
Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat perawatan dengan
Kriteri Hasil :
a. Tidak adanya kontraktur, footdrop.
b. Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
c. Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan dilakukannya

Intervensi Rasional
1. Periksa kembali kemampuan dan 1. Mengidentifikasi kerusakan secara
keadaan secara fungsional pada fungsional dan mempengaruhi pilihan
kerusakan yang terjadi. intervensi yang akan dilakukan.
2. Berikan bantu untuk latihan rentang 2. Mempertahankan mobilitas dan fungsi
gerak sendi/ posisi normal ekstrimitas dan
3. Bantu pasien dalam program latihan menurunkan terjadinya vena statis
dan penggunaan alat mobilisasi. 3. Proses penyembuhan yang lambat
Tingkatkan aktivitas dan partisipasi seringakli menyertai trauma kepala dan
dalam merawat diri sendiri sesuai pemulihan fisik merupakan bagian
kemampuan yang sangat penting. Keterlibatan
pasien dalam program latihan sangat
penting untuk meningkatkan kerja
sama atau keberhasilan program.
6. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran,
peningkatan tekanan intra kranial.
Tujuan :
Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan perawatan selama 3x 24 jam
Kriteria Hasil :
a. Mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar.
b. Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya.
Intervensi Rasional
1. Kaji kesadaran sensori dengan 1. Semua sistem sensori dapatn
sentuhan, panas/ dingin, benda terpengaruh dengan adanya perubahan
tajam/tumpul dan kesadaran terhadap yang melibatkan peningkatan atau
gerakan. penurunan sensitivitas atau kehilangan
2. Evaluasi secara teratur perubahan sensasi untuk menerima dan berespon
orientasi, kemampuan berbicara, alam sesuai dengan stimuli.
perasaan, sensori dan proses pikir. 2. Fungsi cerebral bagian atas biasanya
3. Bicara dengan suara yang lembut dan terpengaruh lebih dahulu oleh adanya
pelan. Gunakan kalimat pendek dan gangguan sirkulasi, oksigenasi.
sederhana. Pertahankan kontak Perubahan persepsi sensori motorik
mata. dan kognitif mungkin akan berkembang
4. Berikan lingkungan terstruktur rapi, dan menetap dengan perbaikan respon
nyaman dan buat jadwal untuk klien secara bertahap
jika mungkin dan tinjau kembali. 3. Pasien mungkin mengalami
5. Kolaborasi pada ahli fisioterapi, terapi keterbatasan perhatian atau
okupasi, terapi wicara dan terapi pemahaman selama fase akut dan
kognitif. penyembuhan. Dengan tindakan ini
akan membantu pasien untuk
memunculkan komunikasi.
4. Pasien mungkin mengalami
keterbatasan perhatian atau
pemahaman selama fase akut dan
penyembuhan. Dengan tindakan ini
akan membantu pasien untuk
memunculkan komunikasi.
5. Pendekatan antar disiplin ilmu dapat
menciptakan rencana penatalaksanaan
terintegrasi yang berfokus pada
masalah klien

7. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan


keseadaran.
Tujuan:
Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi.
Kriteria hasil:
Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi dan klien dapat menunjukan
komunikasi dengan baik
Intervensi Rasional
1. Kaji derajat disfungsi 1. Membantu menentukan daerah atau
2. Mintalah klien untuk mengikuti derajat kerusakan serebral yang
perintah terjadi dan kesulitan pasien dalam
3. Anjurkan keluarga untuk proses komunikasi.
berkomunikasi dengan klien 2. Melakukan penelitian terhadap
adanya kerusakan sensori
3. Untuk merangsang komunikasi
pasien, mengurangi isolasi sosial dan
meningkatkan penciptaan komunikasi
yang efektif.

8. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
Tujuan :
Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam
Kiteria Hasil:
a. Bebas tanda-tanda infeksi, Mencapai penyembuhan luka tepat waktu
b. suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5°C)
Intervensi Rasional
1. Berikan perawatan aseptik dan 1. Cara pertama untuk menghindari
antiseptik, pertahankan teknik cuci nosokomial infeksi, menurunkan
tangan jumlah kuman patogen .
2. Observasi daerah kulit yang 2. Deteksi dini perkembangan infeksi
mengalami kerusakan, kaji keadaan memungkinkan untuk melakukan
luka, catat adanya kemerahan, tindakan dengan segera dan
bengkak, pus daerah yang terpasang pencegahan terhadap komplikasi
alat invasi dan TTV selanjutnya, monitoring adanyainfeksi.
3. Anjurkan klien untuk memenuhi nutrisi 3. Meningkatkan imun tubuh terhadap
dan hidrasi yang adekuat. infeksi
4. Batasi pengunjung yang dapat 4. Menurunkan pemajanan terhadap
menularkan infeksi pembawa kuman infeksi.
5. Pantau hasil pemeriksaan lab, catat 5. Leukosit meningkat pada keadaan
adanya leukositosis infeksi
6. Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai 6. Menekan pertumbuhan kuman
indikasi. pathogen.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Muttaqin, (2009), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Batticaca Fransisca B, (2008), Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Brunner and Suddarth (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Doengoes, Marilyn, E (2011) Rencana Asuhan Keperawatanedisi 3, EGC, Jakarta
Hardjasaputra, S.L.P. dkk (2008). DOI Data Obat Indonesia. Edisi 10 Jakarta: Grafidian
Mediapress
Mansjoer Arif M. ( 2010 ). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Media
Aeusculapius.
Pearse Evelyn C, (2008), Anatomi Fisiologi untuk Paramedis. PT Gramedia Jakarta.
Pierce A. Grace & Neil R. Borley, (2009). Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga
Price, Sylvia A. (2009). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai