Anda di halaman 1dari 10

 

DISKUSI 1

Dari anamnesa didapatkan seorang pasien perempuan usia 23 tahun mengalami keluhan pusing,
badan terasa letih lemas dan nyeri ditempat luka. Keluhan disebabkan oleh adanya cedera kepala
yang dialami pasien kurang lebih 1 jam sebelum masuk rumah sakit.

Cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala secara langsung ataupun tidak langsung
yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial
baik temporer maupun permanen (Perdossi, 2006). Cedera kepala dapat menyebabkan cedera
pada kulit kepala, tulang tengkorak, dan jaringan otak, oleh karenanya dinamakan juga cedera
kranioserebral yang masuk dalam lingkup neurotraumatologi yang menitikberatkan ccedera
terhadap jaringan otak, selaput otak, dan pembuluh darah otak.

Pembagian cedera kepala menurut Perdossi (2006) dibai dalam kategori cedera kepala minimal,
ringan, sedang dan berat yang dapat dinilai berdasarkan GCS, gambaran klinik (lama pingsan
dan ada atau tidaknya defisit neurologis) serta gambaran CT-Scan.

CEDERA KEPALA (TRAUMATIC BRAIN INJURY/TBI)

Cedera kepala secara harfiah bermakna cedera pada kepala, namun hakekatnya definisi tersebut
tidak sesederhana itu karena cedera kepala dapat meliputi cedera pada kulit kepala, tulang
tengkorak, jaringan otak, atau kombinasi dari masing-masing bagian tersebut. Pada bidang ilmu
penyakit saraf lebih dititikberatkan pada cedera terhadap jaringan otak, selaput otak, dan
pembuluh darah otak, sebagai akibat adanya kekuatan mekanik dari luar, yang menyebabkan
gangguan temporer atau permanen dalam hal fungsi kognitif, fisik, dan fungsi psikososial,
dengan disertai penurunan atau hilangnya kesadaran (Ashley, 2004; Whjoepramono, 2005).

Cedera kranioserebral termasuk dalam ruang lingkup cabang ilmu naurotraumatologi, yang
mempelajari/meneliti pengaruh trauma terhadap sel otak secara struktural maupun fungsional
dan akibatnya baik pada masa akut (kerusakan primer) maupun sesudahnya (kerusakan
sekunder). Cedera primer adalah cedera yang menimbulkan kerusakan langsung setelah cedera
terjadi misalnya fraktur tengkorak, laserasio, serta kontusio. Sedangkan cedera kepala sekunder
merupakan efek lanjut dari cedera primer seperti perdarahan ntrakranial, edema serebral,
peningkatan intrakranial, hipoksia dan infeksi. Oleh karena itu manajemen segera dan intervensi
lanjut harus sudah dilaksanakan sejak awal kejadian guna mencegah/meminimalkan kematian
maupun kecacatan pasien.

Berdasarkan patofisiologinya, cedera kepala, dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera
kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan
dengan kejadian cedera. Cedera ini  umumnya menimbulkan kerusakan pada tengkorak, otak,
pembuluh darah, dan struktur pendukungnya (Cunning & Houdek, 1998). Cedera kepala
sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik. Pada cedera kepala sekunder pasien mengalami hipoksia, hipotensi, asidosis dan
penurunan suplay oksigen otak (LeJeune & Tamara, 2002). Lebih lanjut keadaan ini
menimbulkan edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai adanya
penurunan kesadaran, muntah proyektil, papilla edema, dan nyeri kepala. Masalah utama yang
sering terjadi pada cedera kepala adalah adanya perdarahan, edema serebri, dan peningkatan
tekanan intrakranial.

1. Perdarahan serebral

Cedera kepala dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah otak yang menimbulkan
perdarahan serebral. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematoma seperti pada epidural
hematoma yaitu berkumpulnya darah di antara lapisan periosteum tengkorak dengan duramater
akibat pecahnya pembuluh darah yang paling sering adalah arteri media meningial. Subdural
hematoma adalah berkumpulnya darah di ruang antara duramater dengan subarahnoid.
Sementara intracereberal hematoma adalah berkumpulnya darah pada jaringan serebral (Black &
Hawks, 2009). Perdarahan serebral pada jumlah yang relatif sedikit akan dapat diabsorpsi, akan
tetapi apabila perdarahan lebih dari 50 cc akan sulit diabsorpsi dan menyebabkan gangguan
perfusi jaringan otak.

2. Edema Serebri

Edema merupakan keadaan abnormal saat terjadi penimbunan cairan dalam ruang intraseluler,
ekstraseluler atau keduanya. Edema dapat terjadi pada 2 sampai 4 hari setelah trauma kepala.
Edema serebral merupakan keadaan yang serius karena dapat menimbulkan peningkatan tekanan
intrakranial dan perfusi jaringan serebral yang kemudian dapat berkembang menjadi herniasi dan
infark serebral. Ada 3 tipe edema serebral, yaitu: edema vasogenik, sitogenik dan interstisial.
Edema vasogenik merupakan edema serebral yang terjadi karena adanya peningkatan
permeabilitas pembuluh darah sehingga plasma dapat dengan mudah keluar ke ekstravaskuler.
Edema sitogenik yaitu adanya peningkatan cairan yang terjadi pada sel saraf, sel glia dan
endotel. Edema ini terjadi karena kegagalan pompa sodium-potasium, natrium-kalium yang
biasanya terjadi bersamaan dengan episode hipoksia dan anoksia. Sedangkan edema interstitial
terjadi saat cairan banyak terdapat pada periventrikular yang terjadi akibat peningkatan tekanan
yang besar sehingga tekanan cairan yang ada jaringan ependimal akan masuk ke periventrikuler
white matter (Hickey, 2003).

3. Peningkatan tekanan intrakranial

Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan yang terjadi dalam ruang atau rongga tengkorak.
Rongga otak merupakan ruang tertutup yang terdiri atas darah dan pembuluh darah, cairan
cerebrospinalis, dan jaringan otak dengan komposisi volume yang relatif konstan. Jika terjadi
peningkatan salah satu atau lebih dari komponen tersebut, maka secara fisiologis akan terjadi
proses kompensasi agar volume otak tetap konstan (Brunner & Suddarth’s, 2004; Little, 2008).
Pasien dengan cedera kepala dapat mengalami edema serebri atau perdarahan cerebral. Hal ini
berarti akan terjadi penambahan volume otak yang apabila melebihi ambang kompensasi, maka
akan menimbulkan desakan atau herniasi dan gangguan perfusi jaringan serebral. Keadaan
herniasi serebral merupakan kondisi yang mengancam kehidupan karena dapat menekan organ-
organ vital otak, seperti batang otak yang mengatur kesadaran, pengaturan pernapasan maupun
kardiovaskuler (Amminoff et al, 2005).

Klasifikasi cedera kepala dapat dilakukan dengan berbagai cara pembagian, namun yang sering
digunakan adalah berdasarkan keadaan klinis dan patologis (primer atau sekunder seperti
dijelaskan di atas). Untuk klasifikasi berdasarkan keadaan klinis didasarkan pada kesadaran
pasien yang dalam hal ini menggunakan Glasgow coma scale (GCS) sebagai patokannya.
Terdapat tiga kategori yaitu CKR (GCS: 14-15), CKS (GCS: 9-13), dan CKB (GCS ≤ 8)
(Greenberg, 2001). Tujuan klasifikasi tersebut adalah untuk pedoman triase di gawat darurat.

Adapun pembagian cedera kepala menurut Perdossi (2006) adalah sebagai berikut:

Tidak ada penurunan kesadaran

Tidak ada amnesia post trauma


Minimal (Simple head injury)
Tidak ada defisit neurologi

GCS = 15
Kehilangan kesadaran <10 menit

Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau


hematom
Ringan (Mild head injury)
Amnesia post trauma < 1 jam.

GCS = 13-15
Kehilangan kesadaran antara >10 menit sampai
6 jam

Terdapat lesi operatif intrakranial atau


abnormal CT Scan
Sedang (Moderate head injury)
Dapat disertai fraktur tengkorak

Amnesia post trauma 1 – 24 jam.

GCS = 9-12
Berat (Severe head injury) Kehilangan kesadaran lebih dari 6 jam

Terdapat kontusio, laserasi, hematom, edema


serebral

abnormal CT Scan
Amnesia post trauma > 7 hari

GCS = 3-8

Adapun bila didapat penurunan kesadaran lebih dari 24 jam disertai defisit neurologis dan
abnormalitas CT Scan berupa perdarahan intrakranial, penderita dimasukkan klasifikasi cedera
kepala berat (Perdossi, 2006).

Klasifikasi lain berdasarkan lama amnesia pascacidera (APC) diperkenalkan oleh Russel dalam
Jennett & Teasdale. Klasifikasi ini bisa dikombinasikan dengan klasifikasi berdasarkan klinis
GCS.

Lama amnesia pasca cedera Beratnya trauma kranioserebral


<5 menit Sangat ringan
5-60 menit Ringan
1-24 jam Sedang
1-7 hari Berat
1-4 minggu Sangat berat
>4 minggu Ekstrem berat

Patologi dan gejala klinik yang terjadi pada cedera kepala adalah:

 Hematoma Ekstradural/Epidural (EDH)

Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula
interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau temporal-parietal dan sering
akibat robeknya pembuluh meningeal media. Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi
hiperdens (gambaran darah intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Gejala klinisnya adalah lucid interval, yaitu selang waktu antara
pasien masih sadar setelah kejadian trauma kranioserebral dengan penurunan kesadaran yang
terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini kurang dari 24 jam. Gejala
perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun, disertai
oleh anisokoria pada mata ke sisi akibat herniasi unkal dan mungkin terjadi hemiparese
kontralateral dengan refleks patologis Babinski positif yang terjadi terlambat. Kadang-kadang,
hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena,  terutama diregio  parietal-oksipital
atau fossa posterior. Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan
gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik setelah beberapa
hari (Greenberg,2001).

 Hematoma Subdural (SDH)

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Terjadi akibat robeknya
vena-vena jembatan, sinus venosus dura mater atau robeknya araknoidea. Perdarahan terletak di
antara duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut dan kronik. Gejala klinis berupa nyeri
kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan
otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa
lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma)
subdural.

 Edema Serebri Traumatik

Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah di batang otak dengan
akibat tonus dinding pembuluh darah menurun, sehingga cairan lebih mudah menembus
dindingnya. Penyebab lain adalah benturan yang dapat menimbulkan kelainan langsung pada
dinding pembuluh darah sehingga menjadi lebih permeabel. Hasil akhirnya akan terjadi edema.

 Cedera Otak Difus

Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darah maupun pada parenkim otak, disertai edema.
Keadaan pasien umumnya buruk. Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia,
iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah
trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran
edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur.

 Hematoma Subaraknoid (SAH)

Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang 40% kasus cedera kranioserebral,
sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal sehingga sering tidak dijumpai
tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di dalam cairan otak akan mengakibatkan
penguncupan arteri-arteri di dalam rongga subaraknoidea. Bila vasokonstriksi yang terjadi hebat
disertai vasospasme, akan timbul gangguan aliran darah di dalam jaringan otak. Keadaan ini
tampak pada pasien yang tidak membaik setelah beberapa hari perawatan. Penguncupan
pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat berlangsung sampai 10 hari atau lebih.
Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada CT scan otak, tampak perdarahan
di ruang subaraknoid. Berbeda dengan SAH non-traumatik yang umumnya disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah otak (AVM atau aneurisma), perdarahan pada SAH traumatik
biasanya tidak terlalu berat.

 Fraktur Basis Kranii

Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak; bisa di anterior,
medial, atau posterior. Sulit dilihat dari foto polos tulang tengkorak atau aksial CT scan. Garis
fraktur bisa terlihat pada CT scan berresolusi tinggi dan potongan yang tipis. Umumnya yang
terlihat di CT scan adalah gambaran pneumoensefal.

Hampir 15% pasien TBI dapat mengalami perburukan setelah beberapa saat (delayed
deterioration). Perburukan ini bisa dalam hitungan menit, jam atau beberapa hari. Waktu selang
tersebut sering dikatakan sebagai lucid interval. Etiologi munculnya delayed deterioration ini
antara lain karena: perdarahan (EDH, SDH, delayed contusions), cerebral edema difus,
hidrocephalus, kejang, abnormalitas metabolik, gangguan vaskular, meningitis, dan hipotensi
(shock) (Greenberg, 2001).

Terganggunya saraf otak ke 10, 11 dan 12 pada trauma kapitis disebabkan oleh hematoma di
fossa serebri posterior atau fraktur baseos kranii. Gejala gejala serebral (ataksia, nistagmus, dan
disartria) bisa dijumpai juga, karena suatu hematoma yang menekan pada serebellum (Mardjono,
M., Sidharta, P., 2000).

Defisit neurologis yang muncul tergantung pada daerah mana yang terjadi perdarahan atau area
otak mana yang tertekan oleh adanya lesi perdarahan tersebut. Gangguan di lobus temporal dapat
mengakibatkan gangguan pada area motorik maupun sensorik. Dan bila lesi sampai menekan ke
batang otak atau mengganggu sistem ARAS, maka dapat menyebabkan gangguan kesadaran
(Adam et.al, 2005; Aminoff et.al,2005).

Vertigo post traumatic adalah vertigo yang terjadi setelah trauma leher atau kepala. Beberapa
jenis vertigo post traumatic:

1. Positional vertigo, khususnya BPPV

Tipe yang paling umum terjadi. Akibat perubahan posisi, prognosisnya baik

2. Post-traumatik meniere syndrome

Disebut juga hydrops. Terdapat suara di telinga dan terasa penuh atau perubahan pendengaran.
Mekanisme : perdarahan pada telinga dalam diikuti dengan gangguan transport cairan. Onset
bervariasi.

3. Konkusi labirin

Gangguan pendengaran atau ganguan labirin yang tidak persisten yang mengikuti cedera kepala,
tidak disebabkan mekanisme yang lain. Kehilangan pendengaran atau nistagmus  harus ada
untuk membuat diagnosis ini.

4. Post traumatik migraine

Dizines dengan nyeri kepala migraine. Nyeri kepala dan vertigo umum terjadi setelah cedera
kepala

5. Cervical Vertigo

Ketidakseimbangan yang mengikuti cedera leher berat. Beberapa teori yaitu akibat Kompresi
vaskuler, atau Gangguan input sensori ke sistem vestibuler

6. Temporal bone fracture


Dizines berat setelah cedera. CT Scan : fraktur. Sering dihubungkan dengan kehilangan
pendengaran atau kelemahan nervus facial perifer (Bell’s palsy). Fraktur tulang temporal
khususnya fraktur oblique menyebabkan gangguan pendengaran dan dizines. Sering terdapat
darah di belakang membran telinga(hemotympanum). Dapat terjadi kehilangan pendengaran
yang bersifat konduktif atau sensori neural. Defisit vestibular juga sering terjadi khususnya pada
fraktur obliq. Ganguan vestibuler bilateral jarang

7. Fistula perilimfe

Sebagai akibat ruptura membran “oval or round window”. Dizines dengan suara keras. Jarang
terjadi

8. Vertigo psikogenik
9. Vertigo epileptic

Vertigo yang berhubungan dengan cedera otak pada bagian lobus temporal yang memproses
sinyal vestibuler. Kehilangan kesadaran yang biasanya terjadi saat cedera dan vertigo umumnya
dihubungkan dengan gangguan kesadaran

10. Difus aksonal injury


11. Post concussion syndrome

Kombinasi dari nyeri kepala, dizines dan gangguan mental yang mengikuti cedera kepala tanpa
penyebab yang dapat diidentifikasi

12. Whiplass injury syndrome

Cedera jaringan lunak yang disebabkan hiperekstensi leher. Cedera dapat menyebabkan ruptur
ligamen longitudinal anterior, robekan dan hemoragi muskulus, ruptur diskus dan kadang-kadang
cerdera otak. Terjadi gangguan visus dan telinga dalam karena cedera arteri vertebro basilaris.

Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh berbagai hal. Untuk memudahkan mengingat dan
menelusuri penyebab penurunan kesadaran digunakan istilah S (Sirkulasi) E (Elektrolit) M
(Metabolik) E (Ensefalitis) N (Neoplasma) I (Infeksi) T (Trauma) E (Epilepsi). Pada trauma
penurunan kesadaran diakibatkan oleh:

1. komusio yaitu cedera kepala rigan dengan pingsan kurang dari 10 menit ,
2. kontusio yang disebabkan gaya aselerasi dan deselarasi ditandai lesi pada daerah yang
berlawanan dengan arah daangnya cedera.
3. perdarahan epidural yaitu perdarahan pada ruang epidural yaitu daerah potensial diantara
tabula interna tulang tengkorak dan duramater. . Epidural hematom dapat menimbulkan
penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi
defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral.
4. perdarahan subdural yaitu Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang
subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena
kecil dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh
hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh
lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.

Pada pasien pasien trauma kepala indikasi CT scan dilakukan apabila ditemukan GCS 14 atau
lebih rendah atau pasien dengan GCS 15 dengan dibuktikan pernah hilang kesadaran, amnesia
akibat trauma, defisit neurologik fokal, tanda fraktur tulang tengkorak basal atau kalvaria.

DISKUSI II

Berdasarkan pada data-data tersebut diatas, maka pada pasien ini didapatkan keluhan pusing,
lemas, dan nyeri didaerah luka. Cedera kepala dalam kasus ini termasuk dalam cedera kepala
sedang sesuai dengan kriteria pembagian cedera kepala sedang sesuai dengan kriteria pembagian
cedera kepala menurut Perdossi (2006) yaitu GCS 9-12, pingsan >10 menit s/d 6 jam, defisit
neurologis (+) serta CT-Scan abnormal. Pada pasien GCS 12 , pingsan ±15 menit.

Untuk mengetahui adanya kelainan atau cedera otak diperlukan pemeriksaan CT-Scan, hasil CT-
Scan pada pasien ini tidak dilakukan. Hasil pemeriksaan rontgen cervical tidak tampak fraktur,
kompresi, listess, maupun penyempitan diskus vertebralis. Timbulnya gejala-gejala yang dialami
pasien kemungkinan diakibatkan oleh benturan pada daerah kepala.

 Fungsi terapi

Citicolin berperan untuk perbaikan membran sel saraf melalui peningkatan sintesis
phosphatidylcholine dan perbaikan neuron kolinergik yang rusak melalui potensiasi dari
produksi asetilkolin. Citicoline juga menunjukkan kemamuan untuk meningkatkan kemampuan
kognitif, Citicoline diharapkan mampu membantu dalam peulihan darah ke otak. Studi klinis
menunjukkan peningkatan keampuan kognitif dan motorik yang lebih baik pada pasien yang
terluka di keala dan mendapatkan citicoline. Citicoline juga meningkatkan kemampuan peulihan
ingatan pada pasien yang mengalami gegar otak.

Sohobion merupakan vitamin B complex yang yang terdiri dari vitamin B1 100 mg, vitamin B6
100 mg, vitamin B12 5000 mcg. Indikasi pemberian sohobion untuk terapi defisiensi vitamin B
1, B6 dan B12 misalnya beri-beri, neuritis perifer dan neuralgia. Vitamin B1 berperan sebagai
koenzim pada dekarboksilasi asam alfa-keto dan berperan dalam metabolisme kabohidrat.
Vitamin B6 di dalam tubuh berubah menjadi piridoksal fosfat dan piridoksamin fosfat yang
dapat membantu dalam metabolisme protein dan asam amino. Vitamin B12 berperan dalam
sintesis asam nukleat dan berpengaruh pada pematangan sel dan memelihara integritas jaringan
saraf. Sebaiknya tidak digunakan untuk pasien yang sedang menerima terapi levodopa. Efek
samping untuk penggunan vitamin B6 dosis besar dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan
sindroma neuropati. Sohobion dikontraindikasikan kepada pasien dengan hipersensitivitas obat
ini.

Betahistin memiliki afinitas antagonis yang tinggi terhadap reseptor H3 dan afinitas agonis yang
lemah terhadapt reseptor H-1. Betahistine bekerja dengan menstimulasi secara langsung pada
reseptor H1 pada pembuluh darah di telinga bagian dalam. Hal ini menimbulkan vasodilatasi
lokal dan peningkatan permeabilitas, yang membantu untuk memperbaiki kerja endolymphatic.

Cefotaxime adalah golongan antibiotik sefalosporin. Cefotaxime bekerja dengan cara


memperlemah dan memecah dinding sel, membunuh bakteri. Cefotaxime digunakan untuk
mengobati berbagai jenis infeksi bakteri, termasuk bakteri gram negatif seperti E. coli, H.
influenzae, Klebsiella sp. , Proteus sp., (indole positif & negatif ), Serratia sp. Neisseria sp, dan
Bacteroides sp. Juga bakteri gram positif antara lain Staphylococci, Streptococci aerob dan
anaerob, Streptococcus pneumoniae, Clostridium sp. Indikasi untuk mengobati infeksi bakteri
atau mencegah infeksi bakteri sebelum, selama atau setelah pembedahan tertentu.

Ketorolac termasuk golongan obat pereda nyeri. Dapat digunakan sebagai penatalaksanaan
jangka pendek untuk nyeri sedang sampai dengan berat sesudah operasi.

Ranitidin merupakan suatu antagonis histamin pada reseptor H2 yang menghambat kerja
histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung. Kadar
dalam serum yang diperlukan untuk menghambat 50% perangsangan sekresi asam lambung
adalah 36 – 94 mg/ml. kadar tersebut bertahan selama 6 – 8 jam setelah pemberian dosis 50 mg
IM/IV. Indikasi untuk pasien rawat inap di rumah sakit dengan keadaan hipersekresi patologis
atau ulkus usus dua belas jari yang sulit diatasi, atau sebagai pengobatan alternatif jangka pendek
pemberian oral pada pasien yang tidak bisa diberi ranitidin oral.

Metil prednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja intermediate yang termasuk kategori
adrenokortikoid, antiinflamasi dan imunosupresan. Efek glukokortikoid (sebagai antiinflamasi)
yaitu menurunkan atau mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi, karena itu
menurunkan gejala inflamasi tanpa dipengaruhi penyebabnya. Glukokortikoid menghambat
akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon
juga menghambat fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan beberapa
mediator kimia inflamasi. Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui secara lengkap,
kemungkinan efeknya melalui blokade faktor penghambat makrofag (MIF), menghambat
lokalisasi makrofag: reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan mengurangi
lekatan leukosit pada endotelium kapiler, menghambat pembentukan edema dan migrasi
leukosit; dan meningkatkan sintesis lipomodulin (macrocortin), suatu inhibitor fosfolipase A2-
mediasi pelepasan asam arakhidonat dari membran fosfolipid, dan hambatan selanjutnya
terhadap sintesis asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat (prostaglandin, tromboksan dan
leukotrien).

DAFTAR PUSTAKA

Adam, R.D, Victor, M. 2005. Principles of Neurology. 7th ed. Mc Graw Hill Inc. Singapore.
Aminoff M.J, Greenberg D.A, Simon R.P., 2005, Clinical Neurology,  6th Ed, McGraw Hill,
United State of America.

Ashley M.J., 2004, Traumatic Brain Injury,  CRC Press, Washington DC, USA

Black, M. J., & Hawks, H.J. (2009). Medical Surgical Nursing Clinical Management for
Positive Outcomes. 8 th Edition. St Louis Missouri: Elsevier Saunders.

Brunner & Suddarth’s. (2004). Textbook of Medical Surgical Nursing, Lippincott: Williams &
Wilkins

Cunning, S.,& Houdek, D.L. (1998). Preventing Secondary Brain Injuries.


http://www.springnet.com, diakses tanggal 3 Oktober 2013

Dolan, T.J., et al. (1996). Critical Care Nursing Clinical Management Throuh the Nursing
Process. Philadelphia: F.A Davis Company.

Greenberg,M.S., 2001. Handbook of Neurosurgery. fifth edition. Thieme Medical Publisher,


New York.

Hickey, V.J. (2003). The Clinical Practice Of Neurological and Neurosurgical Nursing, 4 th
Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins

James, S., 2004, Piracetam, IAS House, Les Autelets, Sark GY9 OSF, Great Britain,  
http://www. Google.com

LeJueune, M., & Tamara, H. (2002). Caring for Patients With Increased Intracranial Pressure.
Jurnal Nursing, 32; ProQuest Nursing.

Little, R.D. (2008). Increased Intracranial Pressure. Elsevier.Inc.

Mardjono, M., Sidharta, P., 2000, Neurologi Klinis Dasar, Cetakan kedelapan, PT. Dian Rakyat,
Jakarta.

Markam, S., Atmadja, D.S., Budijanto, A., 1999, Cedera Tertutup Kepala, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Perdossi, 2006, Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal, PT
Prikarsa Utama, Jakarta.

Stiefel, F.M., Udoetuk, J.D., Spiotta, A.M., Gracias, V.H., Goldbrg, A., Wilensky, E.M., et al.
(2006). Conventional Neurocritical Care and Cerbral Oxygenation After Traumatic Brain Injury.
Journal Neurosurgical, (105), 568-575.

Wahjoepramono E.J., 2005, Cidera Kepala,  FK Universitas Pelita Harapan, PT. Deltacitra
Grafindo, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai