Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUANTETANUS

A. PENGERTIAN

Penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostridium tetani, bermanifestasi dengan
kejang otot secara paroksisimal dan diikuti oleh kekakuanotot seluruh badan, khususnya otot!otot
massester dan otot rangka."lasifikasi tetanus berdasarkan bentuk klinis yaitu : (Sudoyo Aru, 2009).

1. Tetanus local Biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan spasme
pada bagian proksimal luar. Gejala itu dapat menetapdalam beberapa minggu dan
menghilang.
2. Tetanus sefalik Varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa inkubasi 1-2 hari terjadi
sesudah otitis media atau luka kepala dan muka. Paling menonjol adalah disfungsi saraf
III,IV,VII,IX dan XI tersering saraf otak VII diikuti tetanus umum.
3. Tetanus general: yang merupakan bentuk paling sering. Spasme otot, kaku kuduk, nyeri
tenggorokan, kesulitan membuka mulut, rahang terkunci (trismus), disfagia. Timbul kejang
menimbulkan aduksi lengan danekstensi ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya, spasme
berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit dan terpisah oleh periode relaksasi.
4. Tetanus neonatorum : biasa terjadi dalam bentuk general dan fatal apabilatidak ditanggani,
terjadi pada anak!anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak imunisasi secara adekuat,
rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas,spasme.

B. EPIDEMIOLOGI
Tetanus tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan cakupan
imunisasi DPT (Diphtheria, Pertussis and Tetanus) yang rendah. Reservoir utama
kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini
di daerah peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering
dapat bertebaran di mana-mana. Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti,
namun dapat diduga melalui :
1. Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar
2. Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik
3. OMP, caries gigi
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril
5. Penjahitan luka robek yang tidak steril
6. Luka bekas suntikan narkoba.
i. Agent
Tetanus disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium tetani. Clostridium tetani
marupakan bakteri berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang 2-5 mikron
dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri ini membentuk eksotoksin yang disebut
tetanospasmin. Kuman ini terdapat di tanah terutama tanah yang tercemar tinja
manusia dan binatang, seperti kotoran kuda, domba, sapi, anjing, kucing, tikus, dan
babi. Clostridium tetani termasuk bakteri gram positif, anaerobic (tidak dapat bertahan
hidup dalam kehadiran oksigen), berspora, dan mengeluarkan eksotoksin. Costridium
tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Tetanospamin-lah
yang dapat menyebabkan penyakit tetanus, sedangkan untuk tetanolisin belum
diketahui dengan jelas fungsinya. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar
toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175
nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia. Clostridium tetani tidak menghasilkan
lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa
dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol
positif. Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan bahan kimia, seperti
etanol, phenol, dan formalin. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu
249.8°F (121°C) selama 10–15 menit, juga resisten terhadap phenol dan agen kimia
yang lainnya. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia
menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia
akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin. (1,5,6) ii. Host Host penyakit tetanus adalah manusia dan hewan,
khususnya hewan vertebrata, seperti kucing, anjing, dan kambing iii. Enviroment
Tetanus merupakan penyakit infeksi yang prevalensi dan angka kematiannya masih
tinggi. Tetanus terjadi di seluruh dunia, terutama di daerah tropis, daerah dengan
cakupan imunisasi DPT (Diphtheria, Pertussis and Tetanus) yang rendah dan di
daerah peternakan. Tetanus merupakan infeksi berbahaya yang bisa mengakibatkan
kematian yang disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini
ditemukan di tanah dan feses manusia dan binatang. Karena itulah, daerah peternakan
merupakan daerah yang rentan untuk terjadinya kasus tetanus. Pada tahun 2001,
diperkirakan 282.000 orang di seluruh dunia meninggal karena tetanus, yang terbesar
terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, yang merupakan daerah tropis.

C. Etiologi
Spora bacterium clostridium tetani (C. Tetani). Kuman ini mengeluarkan toxin yang bersifat
neurotoksik (tetanospasmin) yang menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat.
Termasuk bakteri gram positif. Bentuk: batang. Terdapat : di tanah, kotoran manusia dan
binatang (khususnya kuda) sebagai spora, debu,instrument lain. Spora bersifat dorman
dapat bertahan bertahun-tahun (> 40 tahun).

D. Klasifikasi

Klasifikasi beratnya tetanus oleh albert (Sudoyo Aru, 2009):

1. Derajat I (ringan): trismus (kekakuan otot mengunyah) ringan sampai sedang,spasitas


general, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
2. Derajat II (sedang): trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan
sampai sedang, gangguan pernapasan sedang RR ≥ 30 x/ menit,disfagia ringan.
3. Derajat III (berat) : trismus berat, spastisitas generaisata, spasme reflek  berkepanjangan, RR
≥40 x/ menit, serangan apnea, disfagia berat, takikardia ≥ 120.
4. Derajat IV (sangat berat) : Derajat tiga dengan otomik berat melibatkan sistem
kardiovaskuler. Hipotensi berat dan takikardia terjadi perselingan dengan hipotensi dan
bradikardia, salah satunya dapat menetap.

E. Tanda dan Gejala


Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari
dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang -aktu antara gejala pertamadengan spasme
pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Minggu pertama : regiditas,spasme otot. Gangguan
ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu
tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan bisa memerlukan waktu 4 minggu.
(Sudoyo, Aru 2009).

Pemeriksaan fisis :
1. Trismus adalah kekakuan otot mengunyah sehingga sukar membuka mulut.
2. Visus sardonicus, terjadi sebagai kekakuan otot mimic, sehingga tampak dahi
mengkerut, mata agak tertutup, dan sudut mulut tertarik keluar kebawah
3. Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti : otot punggung,
otot leher, otot badan, dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat
menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
4. Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.
5. Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya hanya terjadi
setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar,atau terkena sinar
yang kuat.
6. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan akibat kejang yang terus
menerus atau oleh kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoksia dan
kematian

Secara umum tanda dan gejala yang akan muncul :

1. Spasme dan kaku otot rahang (massester) menyebabkan kesukaranmembuka mulut


(trismus).
2. Pembengkakan, rasa sakit dan kaku dari berbagai otot
3. Kesulitan menelan
4. Otot perut menjadi kaku
5. Kejang tubuh yang menyakitkan sampai tulang punggung melengkung (epistotonus),
berlangsung selama beberapa menit. Kejang ini biasa dipicu oleh kejadian kecil, seperti
suara keras, sentuhan fisik atau cahaya
6. Kematin dapat terjadi karena kesulitan bernafas, lantaran otot-otot pernafasan tidak
berfungsi normal.

Tanda dan gejala tetanus lainnya yang mungkin menyertai antara lain :

a) Demam
b) Berkeringat
c) Tekanan darah tinggi
d) Denyut nadi atau jantung cepat.
e) BAB dan BAK tidak terkontrol
f) Produksi air liur
F. Patofisologi

G. Pemeriksaan Diagnostik

 EKG: interval memanjang karena segment ST. Bentuk takikardi ventrikuler


(Torsaderde pointters)
 Pada tetanus kadar serum 5-6 mg/al atau 1,2-1,5 mmol/L atau lebih rendah
kadar fosfat dalam serum meningkat.
 Sinar X tulang tampak peningkatan denitas foto rontgen pada jaringan
subkutan atau basas ganglia otak menunjukkan klasifikasi
H. Penatalaksanaan
1. Netralisasi toksin dengan tetanus antitoksin (TAT)
a.hiperimun globulin (paling baik)
Dosis : 3000-6000 unit IM
Waktu paruh: 24 hari, jadi dosis ulang tidak diperlukan
Tidak berefek pada toksin yang terikat di jaringan saraf; tidak dapat
menembus barier darah-otak
b. Pemberian ATS (anti tetanus)
ATS profilaksis diberikan untuk (luka yang kemungkinan terdapat
clostridium: luka paku berkarat), luka yang besar, luka yang terlambat dirawat,
luka tembak, luka yang terdapat diregio leher dan muka, dan luka-luka tusuk
atau gigitan yang dalam) yaitu sebanyak 1500 IU-4500 IU ATS terapi sebanyak >
1000 ini tidak berfungsi membunuh kuman tetanus tetapi untuk menetralisir
eksotoksin yang dikeluarkan clostridium tetani disekitar luka yang kemudian
menyebar melaluisirkulasi menuju otak.
 Disuntik di sekitar lika 10.000 IU (1 ampul)
 IV 200.000 IU(10 ampul lengan kanan 10 lengan kiri)
 IM di region gluteal 10.000 IU
2. Perawatan Luka
a. Bersihkan, kalau perlu didebridemen, buang benda asing, biarkan terbuka
(jaringan nekrosis atau pus membuat kondisis baik ). Tetani untuk
berkembang biak)
b. Peicillin G 100.000 U/kg BB/6jam(atau2.000.000 U/kg BB/24 jam IV)selama
10 hari
c. Alternatif
Tetrasiklin 25-50 mg/kg BB/hari (max 2 gr) terbagi dalam 3 atau 4 dosis
Metronidazole yang merupakan agent anti mikribial. "uman penyebab
tetanus terus memproduksi eksotoksin yang hanyadapat dihentikan dengan
membasmi kuman tersebut

I. Pathway
B. ASUHAN KEPERWATAN

I. PENGKAJIAN

1.Pengkajian Umum

a. Riwayat penyakit sekarang; adanya luka parah atau luka bakar dan imunisasi yang tidak
adekuat.

b. Sistem Pernafasan ; dyspneu asfiksia dan sianosis akibat kontaksi otot pernafasan

c. Sistem kardio vaskuler; disritmia, takikardia, hipertensi dan perdarahan, suhu tubuh awal
38-40 C atau febril, terminal 43-44 C

d. Sistem Neurolgis; (awal) irritability, kelemahan, (akhir) konvulsi, kelumpuhan satu atau
beberapa saraf otak.

e. Sistem perkemihan; retensi urine (distensi kandung kencing dan urine out put tidak
ada/oliguria)

f. Sistem pencernaan; konstipasi akibat tidak adanya pergerakan usus.


g. Sistem integumen dan muskuloskletal; nyeri kesemutan tempat luka, berkeringan
(hiperhidrasi). Pada awalnya didahului trismus, spasme oto muka dengan meningkatnya
kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot-otot kaku dan kesulitan menelan. Apabila hal ini
berlanjut akan terjadi status konvulsi dan kejang umum.

h.   Pengkajian Fungsi Serebral

Status mental : Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah dan
aktivitas motorik klien.Pada klien tetanus tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami berubahan.

Pengkajian saraf Kranial.Pemeriksaan saraf kranial meliputi pemeriksaan saraf kranial I- XII.

Saraf I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.

Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.

Saraf III, IV, VI. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien tetanus mengeluh mengalami
fotofobia atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya.Respon kejang umum akibat stimulus
merangsang cahaya perlu diperhatikan perawat guna memberikan intervensi untuk
menurunkan stimulasi cahaya tersebut.

Saraf V. Reflek maseter meningkatkan.Mulut condong kedepan seperti mulut ikan ( ini
adalah gejala khas dari tetanus).

Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.


Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.

Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesulitan membuka mulut (trismus).

Saraf XI. Didapatkan kaku kuduk, ketegangan otot rahang dan leher ( mendadak).

Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada defiasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, indra
pengecapan.

2. Setelah dianalisa dari data yang ada maka timbul beberapa masalah keperawtan atau
masalah kolaboratif.

a.    Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada
trakea dan spame otot pernafasan.

b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot
pernafasan.

c. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia)

d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah.

II. Rencana Keperawatan

a.    Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada
trakea dan spame otot pernafasan, ditandai dengan ronchi, sianosis, dyspneu, batuk tidak
efektif disertai dengan sputum dan atau lendir, hasil pemeriksaan lab, Analisa Gasa Darah
abnormal(Asidosis Respiratorik)

Tujuan : Jalan nafas efektif

Kriteria :

- Klien tidak sesak, lendir atau sleam tidak ada

- Pernafasan 16-18 kali/menit

- Tidak ada pernafasan cuping hidung

- Tidak ada tambahan otot pernafasan

- Hasil pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah dalam batas normal (pH= 7,35-
7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100 mmHg)

Intervensi dan Rasional

1.    Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi

R/ Secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga
pernafasan sehingga proses respiransi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan
pembuntuan jalan nafas.
2.    Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengarkan suara nafas (adakah ronchi) tiap
2-4 jam sekali

R/ Ronchi menunjukkan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau sekret   yang
menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk
mengoptimalkan jalan nafas.

3.    Bersihkan mulut dan saluran nafas dari sekret dan lendir dengan melakukan suction

R/ Suction merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan sekret, sehingga mempermudah


proses respirasi.

     4.  Oksigenasi

R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen,
sehingga mencegah terjadinya hipoksia.

     5.   Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam

R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja
jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.

6.   Observasi timbulnya gagal nafas.

     R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan
menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).

     7.   Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer sekresi(mukolitik)

R/ Obat mukolitik dapat mengencerkan sekret yang kental sehingga mempermudah


pengeluaran dan memcegah kekentalan.

b.    Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot
pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsanng, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya
lendir dan sekret yang menumpuk.

Tujuan : Pola nafas teratur dan normal

Kriteria :

- Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn oksigen

- Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit

-Tidak sianosis

Intervensi dan rasional.


1.          Monitor irama pernafasan dan respirati rate

       R/ Indikasi adanya penyimpangan atau kelaianan dari pernafasan dapat dilihat dari
frekuensi, jenis pernafasan,kemampuan dan irama nafas.

2.        Atur posisi luruskan jalan nafas.

 R/ Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan
lancar.

3.        Observasi tanda dan gejala sianosis

R/ Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi ketidakadekuatan suply O2 pada jaringan
tubuh perifer .

4.        Oksigenasi

R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen,
sehingga mencegah terjadinya hipoksia.

5.        Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam

R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja
jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.

6.        Observasi timbulnya gagal nafas.

R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis   dengan
menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation). 

7.        Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah.

   R/ Kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan.

c. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia) yang
ditandai dengan suhu tubuh 38-40 oC, hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000 /mm3.

Tujuan Suhu tubuh normal

Kriteria : 36-37oC, hasil lab sel darah putih (leukosit) antara 5.000-10.000/mm3

Intervensi dan rasional.

1.   Atur suhu lingkungan yang nyaman

R/ Iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai suatu
proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi.
            2. Pantau suhu tubuh tiap 2 jam.

R/ Identifikasi perkembangan gejala-gejala ke arah syok exhaution.

3 . Berikan hidrasi atau minum yang cukup .

                 R/ Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan


dari dalam.

4.    Lakukan tindakan teknik aseptik dan antiseptik pada perawatan luka.

R/ Perawatan lukan mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar luka.

5.    Berikan kompres dingin bila tidak terjadi ekternal rangsangan kejang.

R/ Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara
proses konduksi.

6.    Laksanakan program pengobatan antibiotik dan antipieretik.

R/ Obat-obat antibakterial dapat mempunyai spektrum lluas untuk mengobati bakteeerria


gram positif atau bakteria gram negatif. Antipieretik bekerja sebagai proses termoregulasi
untuk mengantisipasi panas.

7.    Kolaboratif dalam pemeriksaan lab leukosit.

R/ Hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 10.000 /mm3 mengindikasikan
adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan yang diprogramkan.

d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah
yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali
lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun ddiserta hasil pemeriksaan protein atau
albumin kurang dari 3,5 mg%.

Tujuan kebutuhan nutrisi terpenuhi.

Kriteria :

- BB optimal

- Intake adekuat

- Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %

Intervensi dan rasional


1.    Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam makan dan pentingnya makanan
bagi tubuh

     R/ Dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien
mengalami kesulitan menelan dan kadang timbul refflek balik atau kesedak. Dengan tingkat
pengetahuan yang adequat diharapkan klien dapat berpartsipatif dan kooperatif dalam
program diit.

2.    Kolaboratif :

a.    Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur kasar.

R/ Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan proses
mengunyah.

b. Pemberian carian per IV line

R/ Pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyak atau
tidak bisa makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi.

c.    Pemasangan NGT bila perlu

R/ NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obat.

Anda mungkin juga menyukai