LAPORAN PENDAHULUAN
OLEH:.
Rizki Amalia, S.Kep.
NIM 182311101145
Mahasiswa
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
ii
BAB 1. KONSEP TEORI PENYAKIT
1
struktur-struktur ginjal. Warnanya ungu tua dan terdiri dari korteks di sebelah
luar, dan bagian medulla di sebelah dalam. Dalam ginjal terdapat struktur halus
ginjal yang terdiri atas nefron yang merupakan satuan fungsional ginjal, dan
diperkirakan ada 1.000.000 nefron dalam setiap ginjal. Setiap nefron mulai
sebagai berkas kapiler (badan Malpighi atau glomerulus) yang ada dalam ujung
atas yang lebar pada nefron. Dari sini mulai ada tubulus berkelok-kelok dan
sebagian lurus. Bagian pertama berkelok-kelok dan dikenal dengan tubulus
pertama atau tubulus proksima dan sesudah itu terdapat simpai Henle. Kemudian
tubulus berkelok-kelok lagi atau kelokan kedua disebut tubula distal, yang
bersmabung dengan tubula penampung yang berjalan melintasi korteks dan
medulla (Pearce, 2009).
2
Sumber: Pearce, 2009
Terdapat 3 proses dasar yang berperan dalam pembentukan urin yaitu
filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. Filtrasi dimulai pada
saat darah mengalir melalui glomerulus sehingga terjadi filtrasi plasma bebas-
protein menembus kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Proses ini dikenal
sebagai filtrasi glomerulus yang merupakan langkah pertama dalam pembentukan
urin. Setiap hari terbentuk rata-rata 180 liter filtrat glomerulus. Ginjal dapat
mereabsorpsi kembali zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Perpindahan
zat-zat dari bagian dalam tubulus ke dalam plasma kapiler peritubulus ini disebut
sebagai reabsorpsi tubulus. Zat-zat yang direabsorpsi tidak keluar dari tubuh
melalui urin, tetapi diangkut oleh kapiler peritubulus ke sistem vena dan
kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan. Dari 180 liter plasma yang
difiltrasi setiap hari, 178,5 liter diserap kembali, dengan 1,5 liter sisanya terus
mengalir melalui pelvis renalis dan keluar sebagai urin. Secara umum, zat-zat
yang masih diperlukan tubuh akan direabsorpsi kembali sedangkan yang sudah
tidak diperlukan akan tetap bersama urin untuk dikeluarkan dari tubuh. Proses
ketiga adalah sekresi tubulus yang mengacu pada perpindahan selektif zat-zat dari
darah kapiler peritubulus ke lumen tubulus. Sekresi tubulus merupakan rute kedua
bagi zat-zat dalam darah untuk masuk ke dalam tubulus ginjal.
3
patologis dalam urin dan sedimen urin, perubahan konsentrasi serum kreatinin
atau elektrolit, kelainan histologis atau struktural yang ditemukan oleh biopsi
ginjal atau pencitraan imaging) dan/atau laju filtrasi glomerulus <1 ml/s/1,73 m2
(Monhart, 2013).
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten
dan irreversible. Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus
yang dapat digolongkan ringan, sedang dan berat. Azotemia adalah prningkatan
BUN dan ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma meningkat. Uremia adalah
sindrom akibat gagal ginjal yang berat. Gagal ginjal terminal adalah
ketidakmampuan renal berfungsi dengan adekuat untuk keperluan tubuh (harus
dibantu dialysis atau transplantasi) (Mansjoer, 2000).
Gangguan pada ginjal dapat berupa penyakit ginjal kronis (PGK) atau
dahulu disebut gagal ginjal kronis, gangguan ginjal akut (acute kidney injury) atau
sebelumnya disebut gagal ginjal akut. Penyakit ginjal kronis adalah penurunan
progresif fungsi ginjal dalam beberapa bulan atau tahun. penyakit ginjal kronis
didefinisikan sebagai kerusakan ginjal dan/atau penurunan Glomerular Filtration
Rate (GFR) kurang dari 60mL/min/1,73 m2 selama minimal 3 bulan (Kidney
Disease Improving Global Outcomes, KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline
for the Evaluation and Management). Kerusakan ginjal adalah setiap kelainan
patologis atau penanda keruasakan ginjal, termasuk kelainan darah, urin atau studi
pencitraan (imaging) (InfoDATIN, 2017).
1.3 Epidemiologi
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat
global dengan prevalensi dan insidensi gagal ginjal yang meningkat, prognosis
yang buruk dan biaya yang tinggi. Prevalensi PGK meningkat seiring
meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus
serta hipertensi. Sekitar 1 dari 10 populasi global mengalami PGK pada stadium
tertentu. Data mengenai penyakit ginjal didapatkan dari hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas), Indonesian Renal Registry (IRR), dan sumber data lain.
4
Riskesdas 2013 mengumpulkan data responden yang didiagnosis dokter
menderita penyakit gagal ginjal kronis, juga beberapa faktor risiko penyakit ginjal
yaitu hipertensi, diabetes melitus dan obesitas. Hasil Riskesdas 2013, populasi
umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal kronis sebesar 0,2%. Angka ini
lebih rendah dibandingkan prevalensi PGK di negara-negara lain, juga hasil
penelitian Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2006, yang
mendapatkan prevalensi PGK sebesar 12,5%. Hal ini karena Riskesdas 2013
hanya menangkap data orang yang terdiagnosis PGK sedangkan sebagian besar
PGK di Indonesia baru terdiagnosis pada tahap lanjut dan akhir. Hasil Riskesdas
2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring dengan bertambahnya
umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-44 tahun dibandingkan
kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari
perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi pada masyarakat perdesaan
(0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh
(0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-
masing 0,3%. Sedangkan provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Sulawesi
Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-
masing 0,4 % (InfoDATIN, 2017).
IRR adalah kegiatan pengumpulan data yang berkaitan dengan data pasien
yang menjalani dialisis, transplantasi ginjal serta data epidemiologi penyakit
ginjal dan hipertensi di Indonesia. IRR merupakan program Perhimpunan
Nefrologi Indonesia (Pernefri) yang dimulai sejak tahun 2007. Data dikumpulkan
dari seluruh fasilitas pelayanan dialisis di Indonesia baik di dalam maupun di luar
rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta. Pada tahun 2016 hingga Oktober
terdapat 169 dari total 382 fasilitas pelayanan dialisis di Indonesia yang
mengirimkan data (44,2%) (InfoDATIN, 2017).
Informasi dari data IRR dapat dimanfaatkan untuk:
a. Database penyakit ginjal dan hipertensi di Indonesia
b. Mengetahui insidensi dan prevalensi gagal ginjal terminal
c. Mengetahui epidemiologi penyakit gagal ginjal terminal
d. Evaluasi program Terapi Ginjal Pengganti
5
e. Memacu dan memfasilitasi terlaksananya program penelitian
Data IRR dari 249 renal unit yang melapor, tercatat 30.554 pasien aktif
menjalani dialisis pada tahun 2015, sebagian besar adalah pasien dengan gagal
ginjal kronik. Kematian pada pasien yang menjalani hemodialisis selama tahun
2015 tercatat sebanyak 1.243 orang dengan lama hidup dengan HD 1-317 bulan.
Proporsi terbanyak pada pasien dengan lama hidup dengan HD 6-12 bulan
(InfoDATIN, 2017).
1.4 Etiologi
Penyakit ginjal kronik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis, nefropati
analgesik, nefropati refluks, ginjal polikistik, nefropati diabeti, penyebab lain
seperti hipertensi, obstruksi, gout, dan tidak diketahui (Mansjoer, 2000).
InfoDATIN (2017) menyebutkan bahwa faktor resiko proporsi terbesar pasien
hemodialisis disebabkan oleh penyakit hipertensi dan diabetes. Secara global,
penyebab PGK terbesar adalah diabetes mellitus. Di Indonesia, sampai dengan
tahun 2000, penyebab terbanyak adalah glomerulonefritis, namun beberapa tahun
terakhir menjadi hipertensi berdasarkan data IRR. Namun belum dapat dipastikan
apakah memang hipertensi merupakan penyebab PGK atau hipertensi akibat
penyakit ginjal tahap akhir, karena data IRR didapatkan dari pasien hemodialisis
yang sebagian merupakan pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir (InfoDATIN,
2017).
Hipertensi
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah pada Riskesdas 2013, prevalensi
hipertensi pada penduduk umur 18 tahun ke atas di Indonesia adalah sebesar
25,8%. Sedangkan yang berdasarkan wawancara telah terdiagnosis hipertensi oleh
dokter hanya 9,4%. Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan
perubahan-perubahan stuktur pada arteriol diseluruh tubuh, ditandai dengan
fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) di dinding pembuluh darah. Organ sasaran
utama adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Pada ginjal karena aterosklerosis
ginjal akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis benigna.
Gangguan ini merupakan akibat langsung dari iskemia renal. Ginjal
6
mengecil, biasanya simetris dan permukaan berlubang-lubang dan berglanula.
Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan
atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak.
Diabetes
Menurut hasil Riskesdas 2013, prevalensi penderita diabetes di Indonesia adalah
sebesar 5,7%, dan hanya 26,3% yang telah terdiagnosis. Diabetes mellitus
menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam bentuk nefropati diabetik yaitu semua
lesi yang terjadi di ginjal pada diabetes mellitus. Seiring waktu, tingginya tingkat
gula dalam darah merusak jutaan unit penyaringan kecil dalam setiap ginjal. Hal
ini akhirnya mengarah pada gagal ginjal.
Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko kuat terjadinya penyakit ginjal. Obesitas
meningkatkan risiko dari faktor risiko utama dari PGK seperti hipertensi dan
diabetes. Pada obesitas, ginjal juga harus bekerja lebih keras menyaring darah
lebih dari normal untuk memenuhi kebutuhan metabolik akibat peningkatan berat
badan. Peningkatan fungsi ini dapat merusak ginjal dan meningkatkan risiko
terjadinya PGK dalam jangka panjang.
1.5 Klasifikasi
Prevalensi CKD telah ditandai lebih baik sejak National Kidney
Foundation mengeluarkan klasifikasi standar berdasarkan tingkat laju filtrasi
glomerulus (GFR) dan ada atau tidak adanya bukti cedera ginjal. Pasien dengan
stadium 1 dan 2 CKD perlu menunjukkan bukti cedera ginjal (mis., Proteinuria),
dan GFR masing-masing ≥90 dan 60-89 mL/menit. Tahapan 3, 4, dan 5
berhubungan dengan GFR masing-masing 30-59, 15-29, dan <15 mL/menit,
terlepas dari bukti kerusakan ginjal lainnya (Tedla dkk., 2011).
Klasifikasi gagal ginjal kronik dapat dilihat berdasarkan sindrom klinis
yang disebabkan penurunan fungsinya yaitu berkurang, ringan, sedang dan tahap
akhir. Ada beberapa klasifikasi dari gagal ginjal kronik yang dipublikasikan oleh
National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI).
7
Klasifikasi tersebut diantaranya adalah:
a. Tahap pertama (stage 1)
Merupakan tahap dimana telah terjadi kerusakan ginjal dengan peningkatan
LFG (>90 mL/min/1.73 m2) atau LFG normal.
b. Tahap kedua (stage 2)
Reduksi LFG mulai berkurang sedikit (kategori mild) yaitu 60-89
mL/min/1.73 m2.
c. Tahap ketiga (stage 3)
Reduksi LFG telah lebih banyak berkurang (kategori moderate) yaitu 30-59
mL/min/1.73.
d. Tahap keempat (stage 4)
Reduksi LFG sangat banyak berkurang yaitu 15-29 mL/min/1.73.
e. Tahap kelima (stage 5)
Telah terjadi gagal ginjal dengan LFG yaitu <15 mL/min/1.73 (Pearce, 2006)
8
1.6 Patofisiologi
Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme
protein yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah.
Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli
yang normal menyebabkan penurunan substansi darah yang seharusnya
dibersihkan oleh ginjal. Dengan menurunnya GFR mengakibatkan penurunan
kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan
metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea maupan
vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Peningkatan ureum kreatinin sampai ke otak mempengaruhi fungsi kerja,
mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu
Blood Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat.
Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau
diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit.
Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung kongestif.
Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan suplai oksigen
dengan kebutuhan. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan
ascites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan volume cairan dalam tubuh,
sehingga perlu dimonitor balance cairannya. Semakin menurunnya fungsi renal
terjadi asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan. Terjadi penurunan produksi eritropoetin yang mengakibatkan
9
terjadinya anemia. Sehingga pada penderita dapat timbul keluhan adanya
kelemahan dan kulit terlihat pucat menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap
aktifitas. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi
peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Penurunan
kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid.
Pasien gagal ginjal mengalami kulit berwarna pucat akibat anemia dan gatal-gatal
akibat toksin uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit. Butiran uremik
merupakan suatu penumpukan kristal urea dikulit. Laju penurunan fungsi ginjal
dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang
mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi (Smeltzer dan Bare,
2001).
10
Gagal Ginjal
Clinical Pathway
Kronis/Chronic Sekresi protein terganggu
Kidney Disease
Retensi Na Sindroma uremia
11
Edema paru
↑asam laktat Retensi Na dan H2O
Nyeri Akut
12
1.7 Manifestasi Klinis
Penyakit ginjal kronis berarti ginjal telah mengalami kerusakan yang bisa
disebabkan oleh kondisi seperti diabetes, tekanan darah tinggi ataupun
glomerulonefritis. Penyakit ginjal kronis awalnya tidak menunjukkan tanda dan
gejala namun dapat berjalan progresif menjadi gagal ginjal. Penyakit ginjal bisa
dicegah dan ditanggulangi dan kemungkinan untuk mendapatkan terapi yang
efektif akan lebih besar jika diketahui lebih awal (InfoDATIN, 2017).
Manifestasi klinik menurut Smeltzer dan Bare, (2001) antara lain:
a. Hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin-
angiotensin-aldosteron). Sistem renin-angiotensin aldosteron (RAAS) adalah
sistem hormonal yang berfungsi dalam kontrol homeostatis dari tekanan
arteri, perfusi jaringan, dan volume ekstraseluler. Disregulasi RAAS
memainkan peran penting dalam patogenesis gangguan kardiovaskular dan
ginjal.
b. Gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan)
c. Perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis,
anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan
tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
Tanda dan gejala
1. Manifestasi kardiovaskular : hipertensi, gagal ginjal kongestif, edema
pulmonal. Perikarditis.
2. Gejala-gejala dermatologis : gatal-gatal hebat (pruritus), serangan uremik
tidak umum karena pengobatan dini dan agresif
3. Gejala-gejala gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah dan cegukan,
penurunan aliran saliva, haus, rasa kecap logam dalam mulut, kehilangan
kemampuan penghidu dan pengecap dan parotitis atau stomatitis
4. Perubahan neuromuskular: perubahan tingkat kesadaran, kacau mental,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang.
5. Perubahan hematologis: kecenderungan perdarahan
6. Keletihan dan letargik, sakit kepala, kelemahan umum
13
1.8 Pemeriksaan Penunjang
Tes Fungsi Ginjal
Terdapat banyak macam tes, tetapi beberapa yang sederhana adalah:
1. Tes protein (albumin)
Bila ada kerusakan pada glomeruli atau tubula, protein dapat masuk ke
urin.
2. Tes konsentrasi urea darah
Bila ginjal tidak cukup mengeluarkan ureum darah naik di atas kadar
normal 20-40 miligram per 100 ccm darah. Karena filtrasi glomerulus
harus menurun sampai sebanyaklum kanaikan kadar urea darah terjadi, tes
ini bukan tes yang sangat peka.
3. Tes konsentrasi
Tes ini dilakukan dengan pasien dilarang makan atau minum selam 12 jam
untuk melihat sampai seberapa tinggi berat jenis naik (Pearce, 2009).
Dalam menentukan diagnosa pada gagal ginjal kronik dapat dilakukan cara
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Tes darah
- BUN dan kreatinin serum meningkat
- Kalium serum meningkat
- Natrium serum meningkat
- Kalsium serum menurun, fosfor serum meningkat, PH serum dan
HCO3 menurun
- Hb, Ht, trombosit menurun
- Asam urat meningkat
2) Tes urin
- Observasi warna dan kejernihan urin
- Pengkajian bau urin
- Pengukuran keasaman dan berat jenis urin
- Tes untuk memeriksa keberadaan protein, glukosa dan badan keton
dalam urin.
14
- Pemeriksaan mikroskopik sedimen urin sesudah melakukan
pemusingan (centrifuging) untuk medeteksi sel darah merah
(hematuria), sel darah putih, silinder (silindruria), kristal (kristaluria),
pus (piuria) dan bakteri (bakteriuria).
b. Pemeriksaan Radiologi
Berberapa pemeriksaan radiologi yang biasa digunanakan utntuk mengetahui
gangguan fungsi ginjal antara lain:
1) Flat-Plat radiografy/radiographic keadaan ginjal, uereter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi dari
ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang
mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
2) Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara
jelas sturktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan memakai kontras
atau tanpa kontras.
3) Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan
fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus
gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali
kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses/batu ginjal, serta obstruksi
saluran kencing.
4) Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus
yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, proses infeksi pada ginjal serta
post transplantasi ginjal.
5) Biopsi Ginjal digunakan untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan
mengambil jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada
kasus golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, dan
perencanaan transplantasi ginjal.
15
1) Pengaturan diet protein.
Pengaturan diet penting sekali pada pengobatan GGK. Pembatasan protein
tidak hanya mengurangi kadar BUN dan mungkin juga hasil metabolisme
protein toksik yang belum diketahui, tetapi juga mengurangi asupan
kalium, fosfat, dan produksi ion hidrogen yang berasal dari protein.
2) Pengaturan diet kalium.
Hiperkalemia umumnya menjadi masalah dalam gagal ginjal lanjut, dan
juga menjadi penting untuk membatasi asupan kalium dalam diet.
3) Pengaturan diet natrium dan cairan.
Pengaturan natrium dalam diet memiliki arti penting dalam gagal ginjal.
Jumlah natrium yang biasanya diperbolehkan adalah 40 hingga 90
mEq/hari (1 hingga 2 gr natrium), tetapi asupan natrium yang optimal
harus ditentukan secara individual pada setiap pasien untuk
mempertahankan hidrasi yang baik.
4) Pencegahan dan pengobatan komplikasi.
Kategori kedua dari tindakan konservatif yang digunakan pada pengobatan
gagal ginjal adalah tindakan yang ditujukan untuk mencegah dan
mengatasi komplikasi meliputi hipertensi, hiperkalemia, anemia, dll.
5) Pengobatan segera pada infeksi.
Pasien GGK memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap serangan
infeksi, terutama infeksi saluran kemih. Semua jenis infeksi dapat
memperkuat proses katabolisme dan mengganggu nutrisi yang adekuat
serta keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga infeksi harus segera
diobati untuk mencegah gangguan fungsi ginjal lebih lanjut.
6) Pemberian obat dengan hati-hati.
Ginjal mengekskresikan banyak obat sehingga obat-obatan harus diberikan
secara hati-hati pada pasien uremik.
b. Penatalaksanaan Terapi Pengganti Ginjal
1) Hemodialisis
Hemodialisa merupakan suatu proses penyaringan darah untuk
mengeluarkan produk-produk sampah metabolisme pada pasien dalam
16
keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek
(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit
ginjal stadium terminal (ESRD atau end-stage renal disease) yang
membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen. Satu membran
sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerulus serta tubulus renal
dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya (Smeltzer
dan Bare, 2001). Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk
mencegah gejala toksik azotemia dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis
tidak boleh terlalu cepat pada pasien CKD yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (GFR).
2) Dialisis Peritoneal
Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodialisis pada penanganan
gagal ginjal akut dan kronik.
3) Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal.
17
menerima pengobatan atau kontrol. Perawatannya adalah - OPSI dan kontrol -
metode standar untuk membantu pengambilan keputusan yang saat ini diberikan
kepada pasien CKD. Di kedua kelompok pendidikan yang diberikan kepada
peserta mengenai pilihan pengobatan tidak akan berbeda, mereka mungkin akan
diberikan berbagai buku kecil dan materi audio-visual dan juga dapat diundang
untuk menghadiri sesi pendidikan kelompok. Fitur yang membedakan antara
kedua kelompok adalah pilihan intervensi yang telah dirancang khusus untuk
membantu pengambilan keputusan yang kompleks. Komponen pilihan treatment
meliputi buku kerja, rekaman audio, lembar kerja pribadi dan konsultasi dengan
perawat ginjal terlatih.
Buku kerja bergambar terdiri dari ikon bergambar dan poin-poin untuk
membantu peserta dalam kelompok intervensi untuk memahami informasi yang
disajikan. Buku kerja dan audio mencakup instruksi tentang cara menggunakan
intervensi pendukung keputusan, tujuan pembelajaran, definisi ESKD, identifikasi
gejala, poin-poin penting yang dibahas, keuntungan dan kerugian dari dialisis,
keuntungan dan kerugian manajemen non dialisis, ringkasan pilihan, langkah-
langkah tentang cara membuat pilihan mengenai pengobatan, dua skenario
hipotetis yang menguraikan proses pengambilan keputusan, apa yang harus
dilakukan jika tidak dapat membuat keputusan, sumber bacaan lebih lanjut atau
kelompok pendukung dan referensi. Lembar kerja akan diisi oleh pasien setelah
mendengarkan rekaman audio dan meninjau buku kerja. Lembar kerja ini
dirancang untuk mendukung pasien dalam merangkum nilai-nilai pribadi mereka
dan merupakan titik diskusi untuk konsultasi dengan perawat ginjal terlatih.
Perawat ginjal yang melakukan konsultasi dengan pasien dalam kelompok
intervensi akan menjalani pelatihan untuk mendukung orang membuat keputusan
tentang kesehatan mereka. Perawat ginjal akan menilai pemahaman peserta
tentang opsi perawatan dan jika keputusan eksplisit dibuat, ini akan
didokumentasikan dalam catatan rumah sakit pasien (Brown dkk., 2016).
.
18
BAB 2. PROSES KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
Nama Perawat :
Tempat Pengkajian :
Tanggal dan waktu :
I. Identitas Klien
Beberapa komponen yang ada pada identitas meliputi nama, jenis kelamin,
umur, alamat, suku bangsa, agama, perkawinan, No.registrasi, pendidikan,
pekerjaan, tinggi badan, berat badan, tanggal dan jam masuk rumah sakit.
identitas penanggung jawab
II. Riwayat Kesehatan
1. Diagnosa Medik
Diagnosa medik jelas yaitu CKD dengan penyakit lain yang menyertai jika
ada.
2. Keluhan utama
Biasanya badan terasa lemah, mual, muntah, dan terdapat udem.
3. Riwayat penyakit sekarang
Tanyakan pada pasien atau keluarga keluhan muncul sejak kapan, Keluhan
lain yang menyerta biasanya: gangguan pernapasan, anemia, hiperkelemia,
anoreksia, tugor pada kulit jelek, gatal-gatal pada kulit, asidosis
metabolik.. hal-hal yang telah dilakukan oleh pasien dan keluarga untuk
mengatasi keluhan tersebut sebelum MRS.
4. Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan pada pasien atau keluarga apakah ada riwayat pwnyakit DM,
hipertensi, ISK, glomerulonefritis, obesitas
5. Riwayat penyakit keluarga
Membahas tentang riwayat penyakit yang mungkin diderita oleh anggota
keluarga, tanyakan pada pasien apakah keluarga pasien ada yang
19
mengalami keluhan yang sama dengan pasien atau apakah keluarga ada
yang mengalami penyakit DM, hipertensi, glomerulonefritis,
20
6. Pola Kognitif dan konseptual
Tingkat kesadaran, orientasi, daya penciuman, daya rasa, daya raba,
daya pendengaran, daya penglihatan, nyeri (PQRST), faktor budaya
yang mempengaruhi nyeri, cara-cara yang dilakukan pasien untuk
mengurangi nyeri, kemampuan komunikasi, tingkat pendidikan, luka.
7. Pola persepsi diri
Perawat harus mengkaji pasien mengenai Keadaan sosial : pekerjaan,
situasi keluarga, kelompok sosial, Identitas personal : penjelasan tentang
diri sendiri, kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, Keadaan fisik, segala
sesuatu yang berkaiyan dengan tubuh (yg disukai dan tidak), Harga diri :
perasaan mengenai diri sendiri, Ancaman terhadap konsep diri (sakit,
perubahan fungsi dan peran).
8. Pola peran dan hubungan
Perawat mengkaji Peran pasien dalam keluarga, pekerjaan dan sosial,
kepuasan peran pasien, pengaruh status kesehatan terhadap peran,
pentingnya keluarga, pengambil keputusan dalam keluarga, orang-orang
terdekat pasien, pola hubungan orang tua dan anak. Akibat dari proses
inflamasi tersebut secara langsung akan mempengaruhi hubungan baik
intrapersonal maupun interpersonal.
9. Pola seksualitas dan reproduksi
Masalah seksual, dekripsi prilaku seksual, pengetahuan terkait seksualitas
dan reproduksi, dan efek status kesehatan terhadap seksualitas. Masalah
riwayat gangguan fisik dan psikologis terkait seksualitas. Pada pola
reproduksi dan seksual pada pasien yang sudah menikah akan mengalami
perubahan.
10. Pola toleransi coping-stress
Perawat perlu mengkaji adalah sifat pencetus stress yang dirasakan baru-
baru ini, tingkat stress yang dirasakan, gambaran respons umum dan
khusus terhadap stress, strategi mengatasi stress yang biasa digunakan dan
keefektifannya, strategi koping yang biasa digunakan, pengetahuan dan
penggunaan teknik manajemen stress, hubungan antara manajemen stress
21
dengan keluarga. Faktor stress, contohnya financial, hubungan dan
sebagainya. Perasaan yang tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Tanda: Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Latar belakang etnik dan budaya pasien, status ekonomi, perilaku
kesehatan terkait nilai atau kepercayaan, tujuan hidup pasien,
pentingnya agama bagi pasien, akibat penyakit terhadap aktivitas
keagamaan. Adanya kecemasan dalam sisi spiritual akan menyebabkan
masalah yang baru yang ditimbulkan akibat dari ketakutan akan kematian
dan akan mengganggu kebiasaan ibadahnya.
22
Tanda: Perilaku berhari-hari/distraksi, gelisah.
23
7. Kulit dan kuku
Kulit dan kuku pasien dilihat apakah pucat. Pada kulit terjadi sianosis,
dingin dan lembab, tugor kulit menurun, kulit gatal, ada/berulangnya
infeksi, pruritis, demam (sepsis, dehidrasi), normotermia dapat secara
actual terjadi peningkatan pada pasien yang mengalami suhu tubuh
lebih rendah dari normal (efek GGK/depresi respon imun), petekie, area
ekimosis pada kulit.
8. Keadaan local
Keadaan pasien biasanya kurang baik dan lemah, membutuhkan
keluarga untuk selalu mendampingi.
V. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Darah
2. Pemeriksaan Radiologi
3. Tes Fungsi Ginjal
24
2.3 Intervensi/Nursing Care Plan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Gangguan pertukaran Setelah dilakukan perawatan selama 2x24 jam gangguan (3140) Manajemen Jalan Nafas
Gas pertukaran gas pada pasien dapat teratasi dengan kriteri
Definisi: Fasilitasi kepatenan jalan
hasil: nafas
Status Pernafasan (0415) 1. Buka jalan nafas dengan teknik
Tujuan chin lift atau jaw trust,
No Indikator Awal sebagaimana mestinya.
1 2 3 4 5
1 Frekuensi pernapasan 2. Posisikan pasien untuk
2 Irama pernapasan memaksimalkan ventilasi. (semi
fowler)
3 Kedalaman inspirasi
3. Auskultasi suara nafas, catat area
4 Suara auskultasi nafas yang ventilasinya menurun atau
5 Kepatenan jalan nafas tidak ada dan adanya suara
6 Saturasi oksigen tambahan.
7 Suara nafas tambahan 4. Kolaborasi dengan tim medis
pemberian nebulizer.
Keterangan:
(3320) Terapi Oksigen
1. Deviasi berat dari kisaran normal/sangat berat
Definisi: Pemberian oksigen dan
2. Deviasi yang cukup besar dari kisaran
pemantauan mengenai aktivitasnya.
normal/berat
1. Berikan Oksigen tambahan
3. Deviasi sedang dari kisaran normal/cukup
seperti yang diperintahkan.
4. Deviasi ringan dari kisaran normal/ringan
2. Monitor aliran oksigen
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal/tidak ada
Monitor adanya tanda-tanda
keracunan oksigen.
2 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jsm (1100 ) Manajemen Nutrisi
nutrisi kurang dari Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Definisi: Menyediakan dan
kebutuhan tubuh dapat teratasi dengan kriteri hasil: meningkatkan intake nutrisi yang
25
Status Nutrisi (1004) seimbang
Tujuan 1. Tentukan status gizi pasien dan
No Indikator Awal kemampuan [pasien] untuk
1 2 3 4 5
1 Asupan gizi memenuhi kebutuhan gizi.
2 Asupan makanan 2. Identifikasi adanya alergi atau
intoleransi makanan yang
3 Asupan Cairan
dimiliki pasien
4 Energi 3. Pantau pasien dalam menentukan
5 Rasio berat pedoman atau piramida makanan
badan/tinggi bada yang paling cocok untuk
Keterangan: memenuhi kebutuhan nutrisi dan
1. Sangat menyimpang dari rentang normal preferensi.
2. Banyak menyimpang dari rentang normal 4. Tentukan apa yang menjadi
3. Cukup menyimpang dari rentang normal preferensi makanan bagi pasien.
4. Sedikit menyimpang dari rentang normal 5. Intruksikan pasien mengenai
5. Tidak menyimpang dari rentang normal kebutuhan nutrisi dan gizi.
6. Tentukan jumlah kalori dan jenis
nutrisi ynag dibutuhkan untuk
memenuhi persyaratan
7. Monitor kalori dan asupan
makanan
3 Nyeri akut Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam Nyeri Manajemen nyeri(1400)
akut dapat teratasi dengan kriteri hasil: 1. Lakukan pengkajian yang
Tingkat nyeri (2102) komprehensif yang meliputi
Tujuan lokasi, karakteristik,
No Indikator Awal onsert/durasi, frekuensi,
1 2 3 4 5
1 Nyeri yang dilaporkan kualitas, intensitas atau beratnya
2 Panjangnya periode dan faktor pencetus.
26
nyeri 2. Observasi adanya petunjuk
3 Menggosok area yang nonverbal mengenai
terkena dampak ketidaknyamanan terutama pada
4 Ketegangan otot merek yang tidak dapat
5 Ekspresi nyeri wajah berkomunikasi secara efektif
3. Pastikan perawatan analgesik
Keterangan: bagi pasien dilakukan dengan
1. Sangat Berat pemamtauan yang ketat
2. Berat 4. Gali pengetahuan dan
3. Cukup kepercayaan pasien mengenai
4. Ringan nyeri
5. Tidak Ada 5. Tentukan akibat dari
pengalaman nyeri terhadap
kualitas hidup pasien (misalnya:
tidur, nafsu makan, performa
kerja, perasaaan, pengertian,
hubungan, tanggung jawab
peran)
6. Berikan informasi mengenai
nyeri, seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan
dirasakan dan antisipasi akan
ketidaknyamanan akibat
prosedur.
7. Ajarkan prinsip-prinsip
manajemen nyeri
8. Ajarkan teknik non
farmakologis (seperti:
27
biofeeback, TENS, hypnosis,
relaksasi,bimbingan antisipatif,
terapi music, terapi bermain,
terapi aktifitas, akupresur,
aplikasi panas/dingin dan
pijatan)
9. Berikan penurun nyeri yang
optimal dengan resepan
analgesik dari dokter.
4 Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam Fluid management(4120)
Kelebihan volume cairan dapat teratasi dengan kriteri 1. Pertahankan catatan intake dan
hasil: output yang akurat
Keseimbangan cairan (0601) 2. Pasang urin kateter jika
Tujuan diperlukan
No Indikator Awal 3. Monitor hasil lab yang sesuai
1 2 3 4 5
1 Tekanan darah dengan retensi cairan (BUN, Hmt
2 Denyut nadi radial , osmolalitas urin )
4. Monitor status hemodinamik
3 Keseimbangan intake
termasuk CVP, MAP, PAP, dan
dan output dalam 24
PCWP
jam
5. Monitor vital sign
4 Berat badan stabil 6. Monitor indikasi retensi/
5 Turgor kulit kelebihan cairan (cracles, CVP ,
Keterangan: edema, distensi vena leher, asites)
1. Sangat terganggu 7. Kaji lokasi dan luas edema
2. Banyak terganggu 8. Monitor masukan makanan /
3. Cukup terganggu cairan dan hitung intake kalori
4. Sedikit terganggu harian
28
5. Tidak terganggu 9. Monitor status nutrisi
10. Berikan diuretik sesuai interuksi
11. Batasi masukan cairan pada
keadaan hiponatrermi dilusi
dengan serum Na<130 mEq/l
12. Kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul
memburuk
5 Kerusakan integritas Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam Pengecekan kulit (3590)
kulit Kerusakan integritas kulit dapat teratasi dengan kriteria 1. Periksa kulit terkait dengan
hasil: adanya kemerahan, kehangatan
Intregritas jaringan: Kulit dan membrane mukosa ekstrem, edema.
(1101) 2. Amati kehangatan, warna,
Tujuan bengkak, pulsasi, tekstur, edema,
No Indikator Awal dan ulserasi pada ekstemitas.
1 2 3 4 5
1 Suhu kulit 3. Monitor warna dan suhu kulit.
2 Sensasi (gatal) 4. Monitor infeksi terutama dari
daerah edema.
3 Elastisitas
5. Ajarkan amggota
4 Intregitas kulit keluarga/pemberi asuhan
5 Tekstur mengenai tanda-tanda keruskan
6 Keringat kulit dengan tepat.
Keterangan:
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
29
6 Mual (Nausea) Setelah dilakukan perawatan 1x24 jam diharapkan mual 1450. Manajemen Mual
dapat teratasi dengan kriteri hasil: 1. Dorong pasien memantau
Nafsu Makan (1014) pengalaman dir terhadap
Tujuan mual
No Indikator Awal 2. Drong pasien belajar
1 2 3 4 5
1 Hasrat/Keinginan mengatasi mual sendiri
untuk makan 3. Monitor efek dari manajemen
2 Menyenangi makanan mual secara keseluruhan
3 Merasakan makanan 2300. Pemberian Obat
1. Kolaborasi pemberian obat
4 Energi untuk makan 2. Bantu klien dalam pemberian
5 Intake makanan, obat
nutrisi, cairan 3. Berikan obat sesuai dengan
Keterangan: teknik dan cara yang tepat
1. Sangat terganggu 4. Ikuti prosedur 5 benar dalam
2. Banyak terganggu pemberian obat
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
7 Intoleransi Aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 (4310) Terapi Aktivitas
jam, diharapkan aktivitas kembali normal dengan kriteri 1. Pertimbangkan kemampuan klien
hasil: dalam berpartisipasi melalui
Toleransi terhadap aktivitas (0005) aktivitas spesifik.
Tujuan 2. Bantu klien tetap fokus pada
No Indikator Awal kekuatan [yang dimilikinya]
1 2 3 4 5
1 SpO2 ketika dibandingkan dengan kelemahan
beraktivitas yang dimilikinya].
2 Frekuensi nadi 3. Bantu dengn aktivits fisik secara
30
ketikaberaktivitas teratur sesuai dengan kebutuhan.
3 Frekuensi pernapasan 4. Bantu klien untuk meningkatkan
ketika beraktivitas motivasi diri dan penguatan.
4 Kemudahan bernafas (0180 Manajemen Energi).
ketika beraktivitas 1. Kaji status fisiologis asien yang
5 Kemudahan dalam menyebabkan kelelahan sesuai
melakukan ADL dengan konteks usia dan
Keterangan: perkembangan.
1. Sangat terganggu 2. Anjurkan pasien
2. Banyak terganggu mengungkapkan secara verbal
3. Cukup terganggu keterbatasan yang dialami.
4. Sedikit terganggu 3. Pilih intervensi untuk
5. Tidak terganggu mengurangi kelelahan baik
secara famakologis maupun non
farmakologis dengan tepat.
4. Kurangi ketidaknyamanan fisik
yang dialami pasien yang bisa
mempengaruhi fungsi kognitif,
pemantauan diri, dan pengaturan
aktivtas pasien.
8. Ketidakefektifan perfusi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 (4062) Perawatan sirkulasi:
jaringan perifer jam, diharapkan ketidakefektifan perfusi jaringan Insufiensi Arteri
perifer dapat teratasi dengan kriteri hasil: 1. Lakukan pemeriksaan fisik
Perfusi jaringan: Perifer (0407) system kardiovaskuler atau
Tujuan penilaian yang komprrehensif
No Indikator Awal pada sirkulasi perifer, missal
1 2 3 4 5
1 Pengisian kapiler jari memeriksa nadi perifer, edema,
2 Pengisian kapiler jari warna dan suhu.
31
kaki 2. Evaluasi edema dan denyut nadi
3 Suhu kulit ujuang kaki 3. Inspeksi kulit untuk adanya luka
dan tangan atau kerusakan jaringan.
4 Edema perifer 4. Monitor tingkat
5 Kekuatan denyut nadi ketidaknyamanan atau adanya
nyeri
Keterangan: 5. Lindungi ujung kaki dan tangan
1. Deviasi berat dari kisaran normal/sangat berat dari cidera misalnya memakai
2. Deviasi yang cukup besar dari kisaran kaos kaki.
normal/berat 6. Instruksikan pada pasien
3. Deviasi sedang dari kisaran normal/cukup mengenai perawatan kaki yang
4. Deviasi ringan dari kisaran normal/ringan tepat.
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal/tidak ada 7. Pelihara hidrasi yang memadai
untuk menurunkan kekentalan
darah.
8. Monitor jumlah cairan masuk
dan keluar.
32
DAFTAR REFERENSI
Mansjoer, A. et.al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Ed.3.
Jakarta: Media Aesculapius.
National Kidney Foundation. 2010. High Blood Pressure and Chronic Kidney
Disease For People with CKD Stages 1–4. Dalam National Kidney
Foundation. New York.
Pearce, E.C .2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Alih bahasa Sri
Yuliani Handoyo. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Pearce, E.C. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia. Jakarta: Erlangga.
Price, Sylvia. A & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses-
proses penyakit ed: 6. Jakarta : EGC.