Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur adalah hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.


Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yng
meliputi tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan
mandibula. Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor
yang datangnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja,
kecelakaan akibat olah raga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan.1
Fraktur midfasial melibatkan banyak struktur yang terdiri dari fraktur
zigomatikomaksilar (zygomaticomaxillary complex /ZMC) termasuk fraktur Le
fort, dan fraktur nasoorbitoethmoid (nasoorbitalethmoid /NOE). Fraktur midfasial
cenderung terjadi pada sisi benturan dan bagian yang lemah seperti sutura,
foramen, dan aperture. Fraktur zigoma merupakan salah satu fraktur midfasial
yang paling sering terjadi, umumnya sering terjadi pada trauma yang melibatkan
1/3 bagian tengah wajah, hal ini dikarenakan posisi zigoma agak lebih menonjol
pada daerah sekitarnya. Fraktur ZMC biasanya melibatkan dinding bawah orbita
tepat diatas nervus alveolaris inferior, sutura zigomatikofrontal, sepanjang arkus
pada sutura zigomatikotemporal, dinding lateral zigomatikomaksila, dan sutura
zigomatikosplenoid yang terletak di dinding lateral orbita, sedangkan dinding
medial orbita tetap utuh.2
Fraktur midfasial merupakan tantangan di bidang bedah karena struktur
anatomi yang kompleks dan padat Penanganan yang tepat dapat menghindari efek
samping baik anatomis, fungsi, dan kosmetik. Tujuan utama perawatan fraktur
fasial adalah rehabilitasi penderita secara maksimal yaitu penyembuhan tulang
yang cepat, pengembalian fungsi okuler, fungsi pengunyah, fungsi hidung,
perbaikan fungsi bicara, mencapai susunan wajah dan gigi-geligi yang memenuhi
estetis serta memperbaiki oklusi dan mengurangi rasa sakit akibat adanya
mobilitas segmen tulang.2
Zygoma berartikulasi dengan tulang frontal, sphenoid, temporal, dan
maksilar dan berkontribusi secara signifikan terhadap kekuatan dan stabilitas
wajah bagian tengah. Proyeksi kedepan zygoma menyebabkannya sering terkena

1
cedera. Zygoma dapat terpisah dari keempat artikulasi ini. Hal ini disebut fraktur
kompleks zygomatik atau sering disebut juga fraktur tetrapod karena melibatkan
empat struktur artikulasi tersebut.
Cedera zygomatik bervariasi dengan demografi pasien dan lokasi institusi
yang melaporkan. Matsunaga dan Simpson di Los Angeles County/University of
Southern California Medical Center menemukan bahwa mayoritas dari fraktur
zygomatik yang diteliti adalah hasil dari kecelakaan kendaraan bermotor/lalu
lintas. Sebaliknya, Ellis dan kolega menemukan bahwa 80% dari fraktur
zygomatik di Glasgow, Skotlandia, dihasilkan dari penyerangan, jatuh, atau
cedera olahraga. Hanya sekitar 13% dari fraktur terlibat dalam kecelakaan lalu
lintas.

2
BAB II
TINJAUAN ANATOMI TULANG ZYGOMA

Zygoma memiliki empat proyeksi yang menciptakan bentuk quadrangular


atau tetrapod yang meliputi: bidang frontal, temporal, maksilaris, dan infraorbital.
Zygoma berartikulasi dengan empat tulang: frontal, temporal, maksila, dan
sphenoid. Sebuah fraktur kompleks zygoma menyertakan gangguan pada keempat
sutura yang berartikulasi, yaitu: sutura zygomaticofrontal, zygomaticotemporal,
zygomaticomaksilaris, dan zygomaticosphenoid (Gambar 1A dan B).
Seluruh fraktur kompleks zygomatik melibatkan dasar orbita, dan oleh
karena itu sebuah pemahaman gambaran anatomis orbita adalah penting untuk
mereka yang merawat cedera ini. Orbit adalah piramid quadrilateral yang berbasis
anterior. Dasar orbita melandai kearah inferior dan yang paling pendek pada
dinding orbita, rata-rata 47 mm. Ia terdiri dari lingkaran orbita maksila,
permukaan orbita pada tulang zygomatik, dan prosesus orbital dari tulang
palatinus.
Dinding medial dan lateral berkonvergen di posterior pada apeks orbital.
Dinding medial terdiri dari prosesus frontal maksila, tulang lakrimal, lingkaran
orbital ethmoid, dan sebagian kecil dari badan sphenoid. Dinding orbital lateral
adalah yang tertebal dan terbentuk oleh zygoma dan gerater wing dari os
sphenoid.

Os Zygoma

A B
Gambar 1. Os zygoma, pandangan submental (A) dan Fronto-lateral (B)

3
Dasar orbital terdiri dari tulang frontal dan sayap yang lebih kecil dari
sphenoid. Arcus zygomatikus termasuk prosesus temporal zygoma dan prosesus
zygomatik dari tulang temporal. Fossa glenoid dan eminensia artikularis terlokasi
pada aspek posterior prosesus zygomatikus tulang temporal.
Saraf sensori yang berhubungan dengan zygoma adalah divisi kedua
nervus trigeminal. Cabang-cabang zygomatik, fasial, dan temporal keluar dari
foraminta pada tubuh zygoma dan memberikan sensasi pada pipi dan daerah
temporal anterior. Nervus infraorbital melewati dasar orbital dan keluar pada
foramen infraorbital. Hal ini memberikan sensasi pada pipi anterior, hidung
lateral, bibir atas, dan geligi anterior maksila. Otot-otot ekspresi wajah yang
berasal dari zygoma termasuk zygomaticus mayor dan labii superioris. Mereka
diinervasi oleh nervus kranialis VII. Otot masseter menginsersi sepanjang
permukaan temporal zygoma dan arcus dan diinervasi oleh sebuah cabang dari
nervus mandibularis.
Fascia temporalis berlekatan ke prosesus frontal dari zygoma dan arcus
zygomatik. Fascia ini menghasilkan resistensi pergeseran inferior dari sebuah
fragmen fraktur oleh penarikan kebawah dari otot masseter.
Posisi bola mata dalam hubungan dengan aksis dipertahankan oleh
ligamen suspensori Lockwood. Perlekatan ini lebih kearah medial hingga aspek
posterior dari tulang lakrimal dan lateral terhadap tuberkel orbital (Whitnall)
(yang adalah 1 cm dibawah sutura zygomaticofrontal pada aspek medial dari
prosesus frontal dari zygoma). Bentuk dan lokasi dari canthi medial dan lateral
kelopak mata dipertahankan oleh tendon canthal. Tendon canthal lateral
berlekatan dengan tuberkel Whitnall. Tendon canthal medial berlekatan dengan
krista lakrimal anterior dan posterior. Fraktur kompleks zygomatik seringkali
dibarengi dengan sebuah antimongoloid (kearah bawah) dari daerah canthal lateral
yang disebabkan oleh pergeseran zygoma.

4
BAB III
PENEGAKKAN DIAGNOSA

Fraktur zygomatik tidak mengancam nyawa dan biasanya dirawat setelah


cedera yang lebih serius tertangani dan pembengkakan telah menghilang 4 hingga
5 hari setelah cedera.
Evaluasi awal dari pasien dengan fraktur zygomatik termasuk pencatatan
cedera tulang dan status jaringan lunak yang mengelilinginya (kelopak mata,
apparatus lakrimalis, tendon canthal, dan bola mata) dan nervus kranialis II hingga
VI. Ketajaman visual dan status bola mata dan retina harus dibuat; seorang
ophthalmologis harus dikonsultasikan untuk kemungkinan atau keraguan cedera
mata.
Riwayat
Sifat, daya, dan arah hantaman cedera harus dicari tahu dari pasien dan
saksi-saksi yang ada. Sebuah hantaman lateral langsung, seperti pada sebuah
penyerangan, seringkali menghasilkan arcus zygomatik yang terisolasi atau
sebuah fraktur kompleks zygomatik yang tergeser kearah inferomedial. Sebuah
cedera frontal seringkali menghasilkan fraktur yang bergeser kearah posterior dan
inferior.
Pasien dengan fraktur kompleks zygomatik mengeluh nyeri, odem
periorbital, dan ekimosis. Mungkin ada paresthesia atau anesthesia diatas pipi,
hidung lateral, bibir atas, dan gigi anterior maksila yang dihasilkan dari cedera
zygomaticotemporal atau nervus infraorbital. Hal ini terjadi pada 18 hingga 83%
dari seluruh pasien dengan trauma zygomatik. Ketika arcus bergeser kearah
medial, pasien mungkin mengeluh trismus. Epistaksis dan diplopia mungkin dapat
terjadi.

Pemeriksaan Fisik
Ekimosis dan odem adalah tanda-tanda klinis awal yang paling umum dan
terlihat pada 61% dari seluruh cedera zygomatik. Depresi eminensia malaris dan
lingkaran infraorbital menghasilkan penurunan pipi. Hemoragi subkonjungtiva
juga seringkali terlihat. Pergeseran kebawah dari zygoma menghasilkan sebuah

5
kemiringan terhadap canthus lateral, enophthtalmos, dan penekanan pada lipatan
supratarsal dari kelopak mata (Gambar 2). Laserasi pada daerah wajah akan
menuntun ahli bedah untuk menduga adanya fraktur dibawahnya.
Palpasi sutura zygomaticofrontal, keseluruhan 360° lingkaran orbita, dan
arcus zygomatik harus dilakukan dalam cara yang berurutan. Kelunakan, patahan,
atau pemisahan sutura adalah indikatif terhadap sebuah fraktur. Secara intraoral,
gangguan pada penopang zygomatico maksilaris dapat dipalpasi, dan ekimosis
pada daerah fossa kanina mungkin terlihat. Rentang pergerakan mandibula
dievaluasi untuk mengetahui terkenanya arcus zygomatik pada prosesus koronoid.

A B
Gambar 2 A, A 22-year-old male who sustained a blow to the right cheek.Frontal photograph
illustrates the typical signs of zygomatic complex fracture: periorbital ecchymosis,edema,
antimongoloid slant, and subconjunctival hemorrhage. B, A 38-year-oldmale who sustained a blow
to the left cheek 2 weeks prior to presentation. Frontal photograph demonstrates resolving
periorbital ecchymosis and malar depression.

Pada fraktur arcus zygomatik yang terisolais, sebuah penurunan terlihat


dan terpalpasi di anterior dari tragus (Gambar 3). Nyeri dan penurunan pergerakan
mandibula seringkali terlihat pada cedera-cedera ini, sementara tanda-tanda orbital
biasanya tidak ada.
Evaluasi mata termasuk pencatatan ketajaman visual, respon pupil
terhadap cahaya, pemeriksaan funduskopi, pergerakan okuler, dan posisi bola
mata. Keterbatasan pergerakan otot-otot ekstraokuler, diplopia, dan enophthalmos

6
dapat terlihat jika fraktur signifikan pada dasar orbita atau dinding medial atau
lateral terlihat. Kurangnya respon pupil dan ptosis terlihat jika nervus kranial III

A B
Gambar 3. Pasien laki-laki 36 tahun, a. Fraktur zigoma , terlihat depresi di preauricular,
b. Worm’s-eye view. C, Axial CT scan, terlihat gambaran depres fraktur arcus zigoma
regio sinistra

cedera. Cedera pada nervus optik, hyphema, cedera pada bola mata, hemoragi
retro-orbita, lepasnya retina, dan gangguan duktus lakrimalis dapat terjadi.
Pemeriksaan neurologis termasuk pemeriksaan secara hati-hati pada
seluruh nervus kranialis, dengan perhatian khusus yang diarahkan pada nervus
kranial II, III, IV, V, dan VI.

Pemeriksaan Radiografis
Diagnosa fraktur zygomatik biasanya dibuat dengan pemeriksaan riwayat
dan fisik. Pemindaian CT pada tulang wajah, pada bidang aksial dan koronal,
adalah standar untuk seluruh pasien dengan dugaan (suspect) fraktur zygomatik.
Radiografi membantu untuk konfirmasi dan untuk dokumentasi medikolegal dan
untuk menentukan perluasan cedera tulang.

Tomografi Komputasi
CT adalah standar emas untuk evaluasi radiografi fraktur zygomatik.
Gambaran aksial dan koronal didapat untuk menentukan pola fraktur, derajat
pergeseran, dan serpihan dan untuk mengevaluasi jaringan lunak orbital. Secara
spesifik, pemindaian CT memberikan visualisasi dan dasar-dasar dari tengkorak
wajah tengah: dasar-dasar nasomaksilaris, zygomaticomaksilaris, infraorbital,
zygomaticofrontal, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Pandangan
koronal khususnya membantu dalam evaluasi fraktur dasar orbita (Gambar 4A).

7
Jendela jaringan lunak, pada dataran koronal, berguna untuk mengevaluasi otot-
otot ekstraokuler dan untuk mengevaluasi herniasi jaringan orbita kedalam sinus
maksilaris.

Radiograf Biasa
Pemindaian CT (CT scan) telah menggantikan film biasa untuk diagnosa
dan penanganan fraktur kompleks zygomatik. Meskipun demikian, sebuah
pengetahuan kerja fundamental pada teknik ini diperlukan. Pada banyak ruang
emergensi dan rumah sakit, pasien trauma akan masih menjalani evaluasi
radiografi film biasa. Kemampuan untuk membaca dan interpretasi film-film ini
menjadi diagnosa dan merawat pasien-pasien ini adalah penting.

C
A B
GAMBAR 4. A, Coronal CT scan, terlihat gambaran zygomaticomaxillary buttress dekstra dan
fraktur dasar orbital dengan herniation of orbital padamaxillary sinus. B, Waters’ view, terlihat
gambaran fraktur kompleks zygomatic dekstra. C, Submentovertex view,terlihat gambaran
displaced fraktur arkus zygomatikus sinistra.

Water’s View.
Radiograf tunggal terbaik untuk evaluasi fraktur kompleks zygomatik
adalah Water’s view. Ia adalah sebuah proyeksi posteroanterior dengan kepala
yang terposisi pada sudut 27° terhadap vertikal dan dagu berada pada kaset
(cassette). Hal ini memproyeksikan piramida petrosa jauh dari sinus maksilaris,
memberikan visualisasi sinus-sinus, orbita lateral, dan lingkaran infraorbita
(Gambar 4B). Ketika hal ini dikombinasikan dengan sebuah Water’s view yang
terangkat, sebuah pandangan stereografi dari fraktur dapat terlihat. Pada pasien

8
yang tidak mampu mengira-ngira posisi wajah kebawah, proyeksi Water’s view
terbalik memberikan informasi yang sama.

Caldwell’s View.
Caldwell’s view adalah sebuah proyeksi posteroanterior dengan wajah
pada sudut 15o terhadap cassette. Penelitian ini membantu dalam evaluasi rotasi
(disekitar aksis horisontal).

Submentovertex View.
Submentovertex (jug-handle) view diarahkan dari daerah submandibula
ke vertex tengkorak. Ia membantu dalam evaluasi arcus zygomatik dan proyeksi
malar (Gambar 4C).

KLASIFIKASI FRAKTUR
Secara historis, klasifikasi fraktur zygomatik digunakan untuk
memprediksi fraktur-fraktur apa yang tetap stabil setelah reduksi. Secara klinis,
hal ini akan membiarkan ahli bedah untuk mengidentifikasi fraktur-fraktur
tersebut yang memerlukan reduksi terbuka dan beberapa metode fiksasi.
Pada 1961 Knight dan North mengklasifikasikan fraktur zygomatik
dengan arah pergeseran pada radiografi Water’s view.
Dengan kemajuan CT scan dan peningkatan penggunaan fiksasi internal
yang rigid, skema klasifikasi yang lebih modern bertujuan untuk mengidentifikasi
fraktur-fraktur tersebut yang memerlukan pendekatan bedah agresif.
Pada 1990, Manson et.al mengajukan sebuah metode klasifikasi yang
didasarkan pada pola segmentasi dan pergeseran:
- Fraktur yang memperlihatkan sedikit atau tidak ada pergeseran
diklasifikasikan sebagai cedera energi-rendah. Fraktur incomplete (tidak
lengkap) pada satu atau lebih artikulasi dapat terlihat.
- Fraktur energi-menengah memperlihatkan fraktur lengkap (complete) pada
seluruh artikulasi dengan pergeseran ringan hingga moderat. Serpihan
mungkin dapat timbul (Gambar 5).

9
- Fraktur energi-tinggi ditandai dengan serpihan pada orbit lateral dan
pergeseran lateral dengan segmentasi pada arcus zygomatik (Gambar 6).
Gruss dan kolega mengajukan sebuah sistem yang menekankan
kepentingan pada pengenalan dan perawatan fraktur arcus zygomatik dalam
hubungannya dengan badan zygomatik. Seperti Manson dan kolega, Gruss
menekankan kepentingan mengidentifikasi dan perawatan segmentasi, serpihan,
dan busur lateral dari arcus zygomatik.
Zingg dan kolega, dalam sebuah tinjauan pada 1.025 fraktur zygomatik,
mengklasifikasikan cedera-cedera ini kedalam tiga kategori. Fraktur-fraktur tipe A
adalah fraktur energi rendah tidak lengkap dengan fraktur hanya pada satu pilar
zygomatik: arcus zygomatik, dinding orbita lateral, atau lingkaran infraorbita.
Fraktur tipe B mengacu pada fraktur “monofragmen” lengkap dengan fraktur dan
pergeseran disepanjang keempat artikulasi. Fraktur “multifragmen” tipe C
termasuk fragmentasi badan zygomatik.

A C
B
Gambar 5 Middle-energy fracture. A, Axial CT scan, terlihat gambaran displacement pada lateral
orbital wall. B, Coronal CT scan terlihat gambaran fraktur dan minimal displacement pada
infraorbital rim. C, Coronal CT scan terlihat gambaran mild displacement pada
zygomaticomaxillary buttress.

A B

10
Gambar 6 High-energy fracture. A, Axial CT scan terlihat gambaran pada lateral
bowing and segmentation pada arkus zygomatikus. B, Coronal CT reconstruction terlihat
gambaran comminution pada zygomaticomaxillary buttress, infraorbital rim dan dasar
orbita.
BAB IV
PENATALAKSANAAN

Perawatan fraktur zygomatik harus didasarkan pada sebuah evaluasi


preoperasi lengkap. Hal ini termasuk CT scan dengan gambar aksial dan koronal
untuk secara penuh mengapresiasi sifat cedera. Teknik-teknik klasifikasi, jika
mereka diterima, akan membantu untuk menstandarisasi terminologi, untuk
merencanakan perawatan, dan untuk memprediksi prognosis. Meskipun demikian,
ahli bedah harus mengindividualisasi perawatan berdasarkan pemeriksaan fisik,
gambaran radiografi, dan keputusan klinis yang sehat.
Penanganan fraktur kompleks zygomatik dan arcus zygomatik bergantung
pada tingkat pergeseran dan resultan estetik dan defisit fungsional. Perawatan oleh
karena itu merentang dari observasi sederhana untuk penyembuhan bengkak,
disfungsi otot ekstraokuler, dan paresthesi untuk reduksi terbuka dan fiksasi
internal fraktur multipel.

Fraktur Arcus Zygomatik


Fraktur arcus zygomatik yang tidak bergeser dan tergeser minimal
mungkin tidak memerlukan koreksi bedah. Karena cedera-cedera ini biasanya
tidak menghasilkan defisit fungsional signifikan, mungkin akan tepat hanya
dengan mengobservasi pasien.
Duverney adalah ahli bedah pertama yang menjelaskan arcus zygomatik
yang fraktur. Ia menggunakan tekanan jari intraoral untuk mengangkat dan
menurunkan arcus. Alternatif untuk teknik ini, pasien diinstruksikan untuk
menggigit balok kayu, yang menghasilkan tensi otot dan tendon temporalis. Daya
ini, bersamaan dengan tekanan jari kedalam dan keluar, mereduksi fraktur.
Goldthwaite pada 1924 adalah yang pertama menjelaskan pendekatan
intraoral pada arcus zygomatik melalui sebuah luka tusukan apda sulkus bukalis.
Sebuah elevator tajam dilewatkan superior melalui vestibulum dan dibelakang
tuberositas maksilaris, dan tekanan kedepan diaplikasikan untuk mereduksi arcus.

11
Quinn memodifikasi teknik ini dengan membuat insisi pada mukosa pada
tingkat alveolus maksila dan meluas inferior disepanjang batas anterior dari
ramus. Pemotongan ini berlanjut disepanjang aspek lateral dari prosesus koronoid,
berakhir pada tingkat alveolus maksilaris dan meluas inferior hingga batasan
ramus. Pemotongan ini berlanjut disepanjang aspek prosesus koronoid, berakhir
pada tingkat arcus zygomatik pada situs fraktur. Sebuah elevator ditempatkan
diantara prosesus koronoid dan arcus zygomatik, dan fraktur tereduksi.
Teknik standar untuk perawatan fraktur arcus zygomatik, pertama-tama
dijelaskan oleh Gillies, Kilner, dan Stone pada 1927, dapat juga digunakan untuk
mereduksi fraktur kompleks zygomatik. Sebuah insisi temporal (panjang 2 cm)
dibuat dibelakang garis rambut. Pemotongan berlanjut melewati subkutaneus dan
fasia temporal supefisial kebawah hingga fasia temporal dalam yang berwarna
putih mengkilap (Gambar 7). Fasia temporal diinsisi horisontal untuk
memaparkan otot temporalis. Sebuah elevator kuat, seperti elevator uretral sehat
atau zygomatik Rowe, diinsersi kedalam hingga fasia, dibawah permukaan
temporal dari zygoma. Elevator harus melewati diantara fasia temporal dalam dan
otot temporalis atau ia akan terletak lateral terhadap arcus. Tulang harus terangkat
keluar dan kearah depan, dengan hati-hati untuk tidak mengaplikasikan daya pada
tulang temporal. Arcus harus dipalpasi selama bekerja sebagai panduan untuk
reduksi yang baik. Luka tertutup lapis demi lapis.
Sebuah teknik alternatif menggunakan elevator hook lengkung berbentuk
J. Alat ini diinsersi sedikit dibawah arcus zygomatik anterior terhadap eminensia
artikularis melewati insisi tusukan preaurikuler. Ujung hook diarahkan dibawah
fragmen yang tergeser, dan reduksi dicapai dengan traksi lateral yang terkendali.

12
GAMBAR 7 Gillies’s approach to reduce zygomatic arch fracture. A, Temporal incision through
subcutaneous and superficial fascia down to the deep temporal fascia. B, Reduction of fracture
with elevator.

Meskipun bukanlah teknik pendukung, sebuah finger splint yang berlapis


karet busa digunakan untuk mencegah pasien menerapkan daya yang tidak
diperlukan pada arcus. Splint dibentuk menjadi berbentuk U, diikat ke wajah, dan
dipertahankan selama 3 hingga 5 hari.
Reduksi terbuka dengan fiksasi internal jarang diperlukan untuk perawatan
fraktur arcus zygomatik terisolasi. Fiksasi internal dengan pelat kecil mungkin
diperlukan sebagai bagian penanganan fraktur kompleks zygomatik atau panfasial
terpecah energi-tinggi.

Fraktur Kompleks Zygomatik Energi-Rendah.

13
Energi rendah, fraktur kompleks zygomatik tidak tergeser atau tergeser
minimal mungkin tidak memerlukan koreksi. Pasien harus diobservasi secara
longitudinal untuk tanda-tanda pergeseran, disfungsi otot ekstraokuler, dan
enophthalmos setelah pembengkakan sembuh. Fraktur kompleks zygomatik yang
tergeser minimal dan stabil tanpa penemuan klinis signifikan mungkin tidak
memerlukan perawatan. Pasien harus diberikan pengetahuan resiko asimetri pipi,
orbita dan kelopak mata jika fraktur tidak direduksi. Dokumentasi, termasuk
fotografi, direkomendasikan.

Fraktur Kompleks Zygomatik Energi-Menengah.


Fraktur energi menengah, kompleks zygomatik yang tergeser memerlukan
reduksi dan fiksasi internal. Selama 20 tahun terakhir telah ada peningkatan pada
penggunaan reduksi terbuka dan fiksasi internal. Pada 1984, Zachariadis dan
kolega menangani 45% dari seluruh fraktur zygoma dengan teknik Gillies. Pada
institusi yang sama, pada 1995, hanya 2,5% dari fraktur-fraktur ini dirawat dengan
metode yang sama ini.
Pada 1996, Ellis dan Kittidumkerng mengajukan sebuah algoritma
perawatan untuk fraktur kompleks zygomatik energi menengah yang terisolasi
bahwa mereka tidak memerlukan rekonstruksi orbital (Gambar 8). Tahap awal
pada algoritma ini adalah reduksi fraktur. Ellis dan lainnya merekomendasikan
penggunaan sekrup Carroll-Girard, yang diinsersi transkutaneus kedalam
eminensia malar (Gambar 9). Sekrup Carroll-Girard memberikan kendali tiga
dimensi yang sempurna untuk mereduksi fraktur.

14
GAMBAR 8 Algoritm for Zygomatic complex fracture without need for internal orbit
reconstruction.

Jika reduksi tidak stabil, atau jika ada pertanyaan mengenai akurasi
reduksi, penulis merekomendasikan untuk meneruskan ke reduksi terbuka dan
fiksasi internal. Dasar zygomaticomaksilaris distabilisasi dengan sebuah pelat jika
diperlukan.

Gambar 9. Carroll-Girard screw placed Transcutaneously untuk


fraktur komplek zygomaticus

Dasar zygomaticofrontal yang terbuka kemudian juga distabilisasi dengan


pelat jika diperlukan. Metode ini memerlukan seleksi pasien yang tepat,
pengalaman, dan teknik yang teliti untuk memastikan akurasi reduksi dan
stabilisasi.
Penulis lain merekomendasikan pembukaan rutin pada dua atau lebih dari
ketiga dasar anterior untuk cedera energi menengah: dasar zygomaticomaksilaris,
dasar zygomaticofrontal, dan lingkaran infraorbital (Gambar 10 – 12). Pada pria
ini, dasar (buttress) multipel terlihat dan akurasi tiga dimensi reduksi dapat
dikonfirmasi.

Fraktur Kompleks Zygomatik Energi-Tinggi.


Sebuah pendekatan bedah yang lebih agresif direncanakan untuk merawat
fraktur energi-tinggi (Gambar 13). Seringkali ada serpihan/pecah pada buttress
anterior, membuat reduksi anatomis menjadi sulit. Dengan segmentasi pada arcus

15
zygomatik, adalah tidak mungkin untuk mengendalikan buttress posterior ini.
Sebagai tambahan, fraktur ini seringkali memerlukan rekonstruksi orbita.

Gambar 10 Gambar 11

Gambar 10 Intraoral exposure dan fiksasi pada fraktur zygomaticomaxillary buttress


Gambar 11. Fiksasi pada fraktur zygomaticofrontal buttress dengan insisi supratarsal fold.

Untuk mengembalikan proyeksi yang baik, lebar wajah, dan volume


orbita, pemaparan arcus zygomatik dan dasar orbita seringkali diperlukan sebagai
tambahan terhadap pemaparan/eksposur pada buttress anterior. Sebuah flap
koronal digunakan untuk mendapatkan akses kedalam arcus zygomatik. Sebuah
insisi transkutaneus atau transkonjungtiva digunakan untuk mengeksplorasi dan
merekonstruksi orbit interna. Dengan pemaparan intraorbita yang lebar, sutura
sphenozygomatik yang lebar juga mungkin dapat diperlihatkan untuk membantu
reduksi anatomis.

16
Gambar 12. Fiksasi pada fraktur infraorbital rim dengan insisi subciliary incision.

Pendekatan Bedah untuk Buttress Zygomaticomaksilaris.


Setelah penutup tenggorokan ditempatkan dan anestesi lokal diinfiltrasi,
sebuah insisi dibuat pada vestibulum maksilaris 3 hingga 5 mm diatas perlekatan
mukogingiva. Insisi meluas dari area kaninus hingga daerah molar pertama atau
kedua. Penggunaan elektrokauter dapat mengurangi perdarahan. Insisi periosteal
dibuat, dan flap mukoperiosteal diangkat untuk memaparkan nervus infraorbital,
lempeng piriformis, dan buttress zygomaticomaksilaris (Gambar 10). Potongan
superior tambahan digunakan untuk memvisualisasi lingkaran infraorbital.

Pendekatan Bedah untuk Buttress Zygomaticofrontal.


Akses dan pemaparan untuk reduksi terbuka dari buttress
zygomaticofrontal dapat dicapai dengan lipatan supratarsal atau insisi alis mata
lateral (Gambar 14A dan B). Jika ada, laserasi sebelumnya dapat digunakan untuk
eksposur daerah ini.
Pada 1996, Kung dan Kaban menjelaskan penggunaan insisi lipatan
supratarsal untuk pendekatan ke orbit lateral (Gambar 11 dan 14B). Insisi
diletakkan pada lipatan kulit paralel dengan sulkus palpebra superior diatas
lempeng tarsal. Ia diletakkan sekitar 10 hingga 14 mm diatas margin kelopak mata
atas. Sebuah insisi 2,0 cm biasanya mencukupi tetapi dapat meluas lateral
kedalam lipatan mata untuk peningkatan paparan. Potongan paralel tumpul hingga
serat-serat otot orbicularis oris memisahkan mereka dan memaparkan lingkaran
orbital lateral. Potongan ini berlanjut, superfisial hingga septum orbita dan diatas
lingkaran orbita lateral. Sebuah insisi periosteal vertikal dibuat, dan potongan
subperiosteal akan memaparkan fraktur. Insisi memberikan akses ke sutura
frontozygomatik dan menghasilkan bekas luka yang tidak terlalu jelas.

17
Sebuah insisi alis lateral dilakukan dengan pertama-tama mempalpasi
sutura frontozygomatik. Sebuah insisi 2,0 cm dibuat didalam batas-batas alis mata
lateral paralel dengan lingkaran orbital lateral superior (Gambar 14A). Potongan
dilanjutkan melewati orbicularis oris dan periosteum hingga ke situs fraktur.

GAMBAR 14 Frontal view illustrating periorbital incision sites. A, Four different incisions for
repair of zygoma fractures. B, Upper eyelid incision within the lateral supratarsal fold. C,
Transconjuctival incision below the lower border of the tarsus.

Pendekatan Bedah untuk Lingkaran Infraorbita dan Orbit.


Akses dan pemaparan untuk reduksi terbuka pada lingkaran infraorbita
dan dasar orbita dapat dicapai dengan subsiliari transkutaneus atau insisi
transkonjungtiva. Perlindungan bola mata dengan selubung sklera atau
tarsorrhaphy direkomendasikan.
Sebuah insisi subsilia dibuat 1 hingga 2 mm dibawah dan paralel terhadap
margin bulu mata bawah (Gambar 13 dan 14A). Ia harus meluas dari lateral
hingga punctum pada lipatan kulit alami. Serat-serat dari otot orbicularis
dipisahkan secara horisontal pada tingkat yang sama seperti insisi kulit, dan
sebuah flap otot kulit komposit diangkat anterior terhadap septum orbita. Sebuah
insisi periosteal dibuat pada permukaan anterior lingkaran infraorbital. Potongan
subperiosteal kemudian dilengkapi untuk memaparkan lingkaran orbita dan dasar
orbita. Variasi multipel dari teknik ini telah dijelaskan termasuk flap hanya kulit,
flap otot-kulit bertahap, dan pendekatan subtarsal. Hal-hal berikut telah
dibandingkan satu sama lain dan terhadap insisi transkonjungtiva. Tanpa

18
menghiraukan tekniknya, pendekatan transkutaneus berhubungan dengan
insidensi ektropion yang lebih tinggi, peningkatan penampakan sklera, dan
pencacatan kutaneus.
Untuk menghindari masalah yang berhubungan dengan insisi kutaneus,
banyak penulis merekomendasikan pendekatan transkonjungtiva. Tessier
menjelaskan pendekatan ini pada 1973 (Gambar 14C dan 15). Kelopak mata
bawah diretraksi, dan sebuah insisi dibuat dibawah batasan bawah dari tarsus.
Potongan meluas kearah inferior, dan sebuah potongan preseptal (superfisial
terhadap septum orbital) diguanakan untuk memaparkan lingkaran infraorbital.
Variasi teknik ini termasuk potongan retroseptal. Pendekatan ini mempertahankan
integritas kelopak mata bawah tetapi memerlukan retraksi lemak orbital selama
reduksi fraktur dan fiksasi (Gambar 16).
Sebuah canthotomi lateral dapat digunakan untuk meningkatkan paparan.
Perbaikan yang teliti pada canthotomi lateral diperlukan untuk mencegah asimetri.
Manson dan kolega menjelaskan sebuah metode untuk memaparkan
keseluruhan daerah orbit lateral, lingkaran infraorbita, dan dasar orbita melalui
sebuah insisi tunggal. Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan subsilia atau
transkonjungtiva dan memerlukan pemotongan meluas subperiosteal dengan
mobilisasi tendon canthal lateral.

Gambar 15 insisi Transconjunctival pada infraorbital rim.

19
GAMBAR 16 Sagittal view of eye illustrating relation of
conjunctiva, orbital septum and fat, and orbicularis muscle
to the eye and infraorbital rim.

Kesulitan-kesulitan pada Pendekatan Bedah pada Lingkaran Infraorbital


dan Orbita.
Seluruh pendekatan pada lingkaran infraorbita dapat menghasilkan
komplikasi. Insisi subsilia dan transkonjungtiva dapat menghasilkan ektropion,
entropion, dan peningkatan paparan sklera. Dukungan pada pendekatan
transkonjungtiva menyebutkan peningkatan tingkat ektropion dan paparan sklera
dengan insisi transkutaneus (lihat Gambar 13). Pada 1993, Appling menemukan
12% ektropion dan 28% paparan sklera dengan pendekatan subsilia. Sebagai
perbandingan, pendekatan trankonjungtiva tidak memiliki ektropion yang jelas
dan 3% paparan sklera permanen.
Multipel faktor telah disebutkan sebagai penyebab peningkatan paparan
sklera dan ektropion. Selama pemotongan lingkaran orbita, perhatian harus
diberikan untuk memastikan bahwa penempatan insisi periosteal berada pada
permukaan anterior maksila. Sebuah insisi ditempatkan pada lingkaran superior
atau posterior hingga lingkaran orbita dapat merusak septum orbita. Pembekasan
luka kemudian dan kontraktur septum dapat menghasilkan peningkatan paparan
sklera atau ektropion.
Penutupan luka yang tidak sempurna dapat juga berkontribusi pada
komplikasi kelopak bawah. Setelah pemaparan subperiosteal luas, yang seringkali
diperlukan untuk perbaikan fraktur kompleks, jaringan lunak wajah dapat
menurun kearah kaudal, menghasilkan kehilangan proyeksi anterior, penekanan
pada lipatan nasolabial, meningkatkan paparan sklera, dan ektropion. Phillips dan
kolega merekomendasikan resuspensi periosteum, otot, dan jaringan subkutaneus.
Lubang multipel di-bur pada lingkaran orbita inferolateral. Ujung jaringan
periosteum, otot, dan subkutaneus dijahit dengan lingkaran orbita. Hal ini dapat

20
meminimalisir traksi pada jaringan infraorbita dan ektropion kemudian atau
peningkatan pemaparan sklera.
Akhirnya, dukungan postoperatif untuk kelopak bawah dengan jahitan
beku diajukan sebagai sebuah teknik untuk mencegah ektropion. Hal ini dapat
mendorong penutupan kembali jaringan kelopak mata bagian bawah.

Pendekatan Bedah untuk Arcus Zygomatik.


Pada fraktur kompleks zygomatik energi tinggi atau koreksi sekunder
deformitas zygomatik, akses terbatas dengan insisi konvensional. Untuk
mendapatkan paparan yang mencukupi, sebuah insisi koronal yang
dikombinasikan dengan pendekatan kelopak mata bawah direkomendasikan
(Gambar 13F).
Insisi awal melalui kulit, jaringan subkutaneus, dan galea kulit kepala
(scalp). Elevasi flap koronal berlanjut pada jaringan ikat areolar longgar subgalea
superfisial terhadap perikranium. Dataran temporal dan preaurikuler pada
pemotongan disepanjang fasia temporal, yang dapat diidentifikasikan dengan
karakteristik putih berkilau. Sebuah insisi periosteal horisontal dibuat 2 hingga 3
cm diatas lingkaran supraorbita, dan dataran subperiosteal dari potongan
dikembangkan hinga orbit superior dan lateral. Sebuah insisi dibuat pada lapisan
superfisial dari fasia temporal dari arcus zygomatik posterior hingga daerah
supraorbita yang terpapar sebelumnya. Bantalan lemak temporal harus
diidentifikasi (lihat Gambar 13F). Potongan meluas secara inferior pada
kedalaman ini hingga arcus zygomatik dan anterior terhadap lingkaran orbita
lateral. Nervus fasial terlindungi didalam flap ini.

Fiksasi internal.
Banyak metode telah digunakan untuk stabilisasi fraktur kompleks zygomatik.
Hal-hal ini termasuk penutupan antral, fiksasi kawat perkutaneus, dan
osteosintesis kawat. Sekarang diterima bahwa pelat mini atau fiksasi pelat mikro
memberikan hasil yang terbaik dan komplikasi minimal.

21
Kontroversi terjadi mengenai lokasi terbaik untuk fiksasi internal dan
jumlah dan tipe pelat yang diperlukan. Berbagai penelitian telah mencoba untuk
menandakan daya-daya yang ditempatkan pada kompleks zygomatik dan jumlah
fiksasi yang diperlukan untuk mencapai “stabilitas”. Daya-daya ini termausk otot-
otot masseter dan temporalis dan kontraktur fasia dan jaringan lunak, yang
menyebabkan pergerakan rotasi pada aksis multipel disekitar buttress zygomatik.
Fiksasi internal harus memberikan kekuatan yang cukup untuk menahan daya-
daya ini.
Untuk fraktur energi rendah dan menengah, fiksasi stabil dapat dicapai
pada satu atau lebih buttress anterior. Lokasi fiksasi dan jumlah situs fiksasi
tergantung pada pola fraktur, lokasi, vektor pergeseran, dan derajat
ketidakstabilan. Adakalanya, fiksasi satu titik dapat mencukupi. Stabilisasi dua
atau tiga titik lebih umum diperlukan.
Untuk cedera-cedera energi tinggi, titik keempat fiksasi diperlukan. Arcus
zygomatik biasanya terpecah dan tergeser lateral. Reduksi terbuka dan fiksasi
internal diperlukan untuk mengembalikan lebar wajah yang tepat dan proyeksi.

Fiksasi Internal dari Buttress Zygomaticomaksilaris.


Buttress zygomaticomaksilaris memberikan sebuah lokasi ideal untuk
fiksasi internal untuk fraktur-fraktur energi menengah dan tinggi. Reduksi
anatomis dari fraktur ini membantu dalam mengembalikan proyeksi malar, tetapi
sulit jika buttress terpecah. Jaringan lunak yang berada diatasnya tebal, dan
palpabilitas lempeng bukanlah sebuah perhatian. Oleh karena itu, fraktur ini harus
distabilisasi dengan pelat 1,5 atau 2,0.

Fiksasi Internal dari Buttress Zygomaticofrontal.


Buttress zygomaticofrontal mengandung tulang yang baik untuk fiksasi
dan dapat mengakomodasi lempeng 2,0. Reduksi dan fiksasi fraktur ini akan
membentuk kembali tinggi vertikal dari kompleks zygomatik. Meskipun
demikian, karena tampilannya yang sempit, buttress ini tidak membantu dalam
mengevaluasi reduksi fraktur yang terotasi. Ketebalan jaringan lunak yang berada
diatas daerah ini bervariasi. Pada beberapa contoh ia mungkin cukup tipis dan

22
pelat yang besar mungkin dapat dipalpasi. Jika fiksasi yang stabil dapat dicapai
pada situs lainnya, pelat yang lebih kecil dapat digunakan.

Fiksasi Internal pada Lingkaran Infraorbita.


Tidak seperti buttress zygomaticofrontal, lingkaran infraorbita memiliki
kualitas tulang yang rendah untuk fiksasi internal. Sebagai tambahan, kulit
kelopak mata bawah cukup tipis, dan pelat yang besar sangat mudah terpalpasi.
Disamping perhatian-perhatian ini, fiksasi situs ini diperlukan untuk menentukan
volume orbital dan lebar wajah. Lingkaran infraorbital biasanya tergeser posterior
dan inferior. Fraktur harus dimobilisasi secara anterior dan superior dan
distabilisasi. Biasanya pelat mikro 1,0 atau 1,5 digunakan untuk menstabilisasi
lingkaran infraorbital. Sebuah kesalahan potensial dalam reduksi ini adalah fraktur
heminasoethmoid yang tidak baik (Gambar 13D). Jika lingkaran infraorbital
diamankan terhadap segmen yang bergeser dan belum terdiagnosa ini, pelebaran
wajah pascaoperatif dapat terjadi.

Fiksasi Internal Arcus Zygomatik.


Fiksasi internal arcus zygomatik diperlukan untuk fraktur energi tinggi
yang memperlihatkan pecahan dan pergeseran lateral. Restorasi buttress sagital
membantu dalam pengembalian proyeksi wajah dan lebar wajah. Ketika terpapar,
arcus zygomatik seringkali direduksi dan distabilisasi pertama kali dari rangkaian
perbaikan cedera energi tinggi. Perhatian harus diberikan dalam mengembalikan
sebuah arcus “lurus” dan bukan arcus “lekuk”, yang akan menurunkan proyeksi
wajah. Fraktur ini biasanya memerlukan lempeng yang besar untuk menahan
daya-daya deformasional.
Seperti pada perawatan fraktur-fraktur panfasial, sebuah pendekatan
sistemik sangat membantu untuk memastikan restorasi tinggi wajah, lebar, dan
proyeksi wajah. Untuk cedera energi menengah dengan paparan pada ketiga
buttress anteiror, fraktur zygomaticofrontal dapat distabilisasi sementara dengan
kawat interosseus. Hal ini diikuti dengan fiksasi fraktur zygomaticomaksilaris dan
lingkaran infraorbital. Kawat sementara pada fraktur zygomaticofrontal

23
digantikan dengan sebuah pelat. Dasar orbita direkonstruksi setelah zygoma telah
direstorasi ke posisi tiga dimensi yang sebenarnya.
Pada fraktur energi tinggi, arcus zygomatik harus direkonstruksi terlebih
dahulu.

Penanganan Dasar Orbital


Pasien-pasien dengan cedera kompleks zygomatik energi menengah dan
tanpa ada bukti klinis atau radiologis gangguan orbital tidak memerlukan
pemeriksaan. Cedera energi menengah dengan pergeseran pada lingkaran atau
dasar orbital atau herniasi jaringan lunak kedalam sinus harus diperiksa (Gambar
4A). Indikasi klinis untuk pemeriksaan orbital termasuk enophthalmos,
pembatasan fungsi otot ekstraokuler dengan uji forced duction positif, dan
diplopia persisten. Fraktur energi tinggi memerlukan pendekatan yang lebih
agresif, dan lingkaran orbita dan dasar orbita harus dieksplorasi dan
direkonstruksi.
Fujino dan Makino mengklasifikasikan cedera dasar orbita (Gambar 17).
Sebuah fraktur linier ketika lingkaran infraorbita tersumbat, menggeser isi dan
dasar orbital di posterior. Septum orbital tersobek, jaringan lunak yang herniasi
kedalam sinus maksilaris. Ketika daya dihilangkan, dasar orbita kembali ke posisi
awalnya dan jaringan lunak terjebak didalam situs fraktur. Pecahan dasar orbita
dihasilkan oleh sebuah daya sepuluh kali lipat lebih besar daripada yang
diperlukan untuk sebuah fraktur linier. Fragmen terdorong inferior kedalam sinus,
menghasilkan diskontinuitas tulang.

24
Gambar 17. Isolated blow-out fracture with
herniation of orbital contents into the maxillary
sinus.

Indikasi untuk pemeriksaan fraktur orbita yang terisolasi termasuk bukti


CT scan dari fraktur dan herniasi jaringan orbita, enophthalmos, dystopia,
gambaran kerusakan yang tidak mengalami perbaikan hingga 7 sampai 14 hari,
dan forced duction test positif.

Perawatan.
Akses hingga ke bagian dasar dilakukan dengan subciliary atau insisi
transconjunctival. Fraktur liniear sederhana hanya memerlukan pembuangan
jaringan yang tersisa. Kerusakan yang lebih besar membutuhkan pengurangan
jaringan lunak dan serpihan-serpihan tulang yang berasal dari sinus serta
membutuhkan pula rekonstruksi bagian dasar dengan mengunakan bone graft atau
implant. Eksplorasi bagian dasar dilakukan terlebih dahulu untuk mengurangi
fraktur. Rekonstruksi bagian dasar dilakukan setelah pengurangan dan stabilisasi
lingkar orbita dilakukan.
Bagian dasar orbita mungkin bisa direkonstruksi dengan menggunakan
autograft, allograft, atau dengan menggunakan implan prostetik. Sumber autograft
termasuk itu calvaria, iliac crest, atau kartilago nasal septal. Sumber allograft
termasuk itu lyophilized dura dan kartilago. Bahan alloplastic seperti titanium
merupakan material dengan karakteristik yang kuat, lentur sehingga dapat
diadaptasikan dengan akurat untuk menjangkau bagian orbital yang rusak. Implan
porous polyethylene dan resorbable polydioxanone juga telah digunakan untuk
melakukan rekonstruksi infraorbita.
Tanpa menghiraukan teknik, restorasi anatomis volume orbita dibutuhkan
untuk mencegah terjadinya enophthalmos pada saat postoperasi. Pada fraktur yang
kompleks, bagian dasar orbital dalam jumlah yang signifikan bisa saja hancur atau

25
hilang. Kerusakan harus dapat dikenali secara pasti, dan graft ataupun implant
harus diletakan tepat pada bagian posterior dari lingkar orbita.
Test forced duction sebaiknya dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan
eksplorasi pada bagian dasar orbita dan rekontruksi.

Peran Bone Grafting.


Bone grfting awal diindikasikan untuk kerusakan yang parah dimana
ditemukan adanya hilangnya tulang atau kehancuran tulang yang meluas.
Kerusakan pada bagian dasar orbita dan bagian penopang zygomatic umum terjadi
pada kerusakan karena trauma yang besar. Fraktur kompleks pada zygomatic
seringkali dikaitkan dengan fraktur pada bagian tengah wajah lainnya yang
membutuhkan perawatan. Graft dapat membantu pengurangan secara anatomis
dan membantu untuk menstabilkannya serta mencegah terjadinya kontraksi
jaringan lunak.
Perawatan postoperasi. Fraktur kompleks pada zygomatic merusak sinus
maksilaris. Oleh karena alas an inilah, direkomendasikan pemakaian antibiotik
dan dekongestan. Ampicilin, amoxicillin, clindamycin, aau cephalosporin juga
mungkin untuk digunakan. Dekongestan seperti pseudoephedrine juga digunakan
untuk membebaskan aliran udara pernafasan.
Insisi diobservasi secara cermat untuk melihat adanya tanda-tanda infeksi,
dan mata diperiksa untuk mendapatkan data visual dan mengsampingkan
komplikasi-komplikasi seperti abrasi kornea. Gambaran radiografis (Water’s view
dan submentovertex) dilakukan untuk mendapatkan data mengenai pengurangan
banyaknya fraktur. CT scan dapat dilakukan pada kasus fraktur comminuted
untuk memeriksa pengurangan zygomatic yang kompleks dan rekontruksi orbital.

26
BAB V
KOMPLIKASI

Walaupun komplikasi pada fraktur kompleks zygomatic dan lengkung


zygomatic tidak umum terjadi, ahli bedah harus mengenali tanda-tanda dan gejala
untuk dapat memberikan perawatan yang tepat. Komplikasi bisa saja terjadi pada
masa awal periode postoperasi atau hanya menjadi manifestasi dikemudian hari.

Paresthesia Infraorbita
Insidensi perubahan sensoris saraf infraorbita yang menyertai trauma
zygomatic berkisar 18 hingga 83%. Penelitian oleh Vriens bersama mahasiswanya
dan Taicher bersama mahasiswanya, telah menemukan bahwa pemulihan sensasi
infraorbita yang lebih baik yang menyertai reduksi yang terbuka dan fiksasi
internal pada sutura zygomaticofrontal dibandingkan dengan reduksi yang tanpa
disertai dengan fiksasi. Sepertinya, reduksi anatomis pada fraktur dapat
meminimalisir tekanan saraf dan dibiarkan untuk pulih. Namun, pada penelian
Vrien, tidak didapat tingkat kesembuhan yang sama pada pasien yang
membutuhkan eksplorasi bagian dasar dan rekonstruksi orbita.

Malunion dan asimetris


Reduksi dan stabilisasi fraktur zygomatic yang kurang memadai dapat
mengakibatkan malunion aatu asimetris. Proyeksi malar yang buruk merupakan
akibta dari rotasi inferior dan posterior yang tidak terkoreksi. Pertambahan lebar
wajah, untuk mengurangi proyeksi malar, merupakan akibat dari reduksi lengung

27
zygomatic yang kurang baik, dimana reduksi tersebut dikarenakan oleh trauma
yang besar pada orbitozygomatic.
Malunion yang dikenali hingga 6 minggu setelah terjadinya kerusakan
dapat dikoreksi dengan teknik reduksi zygomatic secara rutin. Koreksi deformitas
yang sedikit terlambat melibatkan onlay graft autogen atau penempatan implant
aloplastisseperti porous polyethylene. Deformitas parah posttraumatic mungkin
saja membutuhkan osteotomi dan reposisi zygomatic. Carnial bone grafting juga
diperlukan. Scarring dan kontraksi jaringan lunak periorbital juga mungkin
terjadi. Lid retraction, entropion, ectropion, dan canthal repositioning juga
mungkin perlu direncanakan untuk melakukan rekonstruksi tulang.

Enophtahlmos
Enophtahlmos merupakan satu dari beverapa komplikasi yang paling
mengganggu yang menyertai fraktur-fraktur zygomatic. Peningkatan volume
orbita merupakan etiologi yang paling umum.
Grant bersama mahasiswa menjelaskan permasalahan klinis ini secara
jelas dengan membandingkan bentuk orbit dan bentuk kerucut. Volume kerucut
adalah ½ (πr2)h. Posisi lengkung orbita menentukan radius kerucut dan dimensi
panjang anteroposterior orbita adalah tinggi dari kerucut. Pada rumus ini, radius
dikwadratkan dan sedikit penambahan pada radiusnya menghasilkan pertambahan
volume yang drastic. Secara klinis, kesejajaran yang buruk dari lingkar orbita
dapat menambah volume orbita secara signifikan dan menimbulkan
enophthalmos.
Fraktur pada bagian dasar orbita juga merupakan akibat dari enophthalmos
dengan pertambahan volume orbita (gambar 18). Dengan teknologi CT-scan yang
lebih baik, kalkulasi volume orbita dan implikasinya terkait dengan fraktur pada
bagian dasar orbita, mungkin saja untuk dilakukan.
Raskin bersama mahasiswa menunjukan bahwa pertambahan sebesar 13%
pada volume orbita, pada 4 minggu, mengakibatkan enophthalmos yang
siginifikan (>2mm). Ukuran pada kerusakan orbita dan tonjolan abnormal pada
jaringan orbita juga telah diteliti. Pada tahun 2002, Ploder bersama mahasiswa
menjelaskan bahwa nilai rata-rata area fraktur sebesar 4,08 cm atau rata-rata nilai

28
jaringan yang bergeser sebesar 1,89 mL, dikaitkan dengan enophtahlmos dengan
ukuran lebih besar dari 2 mm. Pada umumnya, kira-kira 1 cm3 jaringan yang
bergeser sebanding dengan 1 mm enophthalmos.
Perawatan enophthalmos yang telat bisa dikatakan cukup menantang.
Akses yang luas dengan oetotomy zygoma, reposisi, dan grafting bisanya
diperlukan. Re-draping dari jaringan lunak periorbital termasuk itu canthopexy
juga diperlukan.

Gambar 18 A, pasien perempuan 27dengan enophthalmos dan diplopia dengan diagnosa fraktur
dasar orbital dengan vertical dystopia and prominent supratarsal fold B, Coronal CT scan
demonstrating displacement of the orbital floor. C, One-year postoperativefrontal photograph
after transconjunctival reconstruction of the orbital floor with titanium mesh. Note the symmetry
of the vertical globe position and the supratarsal fold. D, Postoperativecoronal CT scan
demonstrating titanium mesh reconstruction of the orbital floor.

Diplopia
Diplopia merupakan kondisi abnormal (sequel) pada fraktur bagian tengah
wajah. Insidensinya bervariasi anatar 17 dan 83% dan tergantung dari waktu

29
timbulnya yang menyertai kerusakan dan pola serta tingkat keparahan dari
kerusakan. Pada pengamatan 2067 kasus fraktur kompleks zgomatic, Ellis
bersama mahasiswa mencatat sebanyak 5,4 hingga 74,5 % insidensi diplopia.
Fraktir kompleks zygomatik non-displaced dan fraktur lengkung zygomatic yang
terisolir memiliki insidensi diplopia terendah, sedangkan fraktur murni memiliki
insidensi yang tinggi.
Penyebab-penyebab utama diplopia antara lain adalah edema dan
hematoma, terjepitnya otot-otot ekstraokular dan jaringan orbita, dan kerusakan
saraf III, IV, atau VI cranial. Penelitian histologist oleh Iliff bersama
mahasiswanya telah menunjukan fibrosis post-traumatik pada otot-otot
extraocular sebagai akibat kerusakan yang ditimbulkan. Mereka mengajukan
hipotesis bahwa hal ini bisa saja merusak contractility dan mengurangi terjadinya
penyimpangan otot-otot. CT scan pada bagian axial dan coronal serta konsultasi
dengan ahli mata perlu dilakukan untuk membantu pelaksanaan evaluasi. Diplopia
yang berhubungan dengan edema, hematoma, atau neurogenic bisa saja diatasi
tanpa adanya intervensi. Diplopia yang ditimbulkan oleh entrapment
membutuhkan eksplrasi dan reduksi tonjolan abnormal pada jaringan orbita
(gambar 19).
Diplopia yang menetap membutuhkan perawatan oleh ahli mata. Kondisi
tersebut membutuhkan perhatian khusus atau pembedahan.

Gambar 19. A,pasien laki-laki 4 5tahun suffered a fall and presented with right orbital floor
blow-out fracture and significant restrictionof the inferior rectus and diplopia. B, Coronal CT
scan demonstrating large orbital floor blow-out fracture with herniation of the orbital contents
into the maxillary sinus. C, Postoperative view after transconjunctival reconstruction of the
orbital floor with titanium mesh and return of normal extraocular muscle function. Note
projection of the globes without evidence of enophthalmos.

30
Hyphema Traumatik
Trauma pada mata bisa mengakibatkan perdarahan di dalam ruang
anterior-area di antara kornea dan iris yang berwarna (gambar 20). Konsultasi
dengan ahli mata diperlukan. Hasil akhir perawatan termasuk pula pencegahan
terhadap perdarahan, yang bisa saja terjadi pada 5-30% pasien, dan
mempertahankan keadaan ocular normal.
Penatalaksanaan hyphema terdiri atas terapi suportif termasuk itu
mengatur kemiringan bagian kepala tempat tidur dan mengobati bagian mata yang
rusak. Penatalaksanaan medis dengan menggunakan cycloplegic topikal, dan beta-
blocker. Antifibrinolitik sistemik, carbonic anhydrase inhibitor, dan osmotic agent
juga diperlukan. Intervensi pembedahan oleh ahli mata jarang dibutuhkan.
Perawatan fraktur dapat ditunda.

Trauma Neuropathy Optik


Trauma neuropathy optik dapat saja bermanifstasi sebagai kondisi yang
meluas dari gambaran deficit yang ringan hingga gambaran kehilangan secara
keseluruhan. Konsultasi dengan ahli mata harus dilakukan. Perawatannya
bervariasi tergantung dari penyebabnya tapi bisa saja melibatkan penggunaan
steroid secara sistemik atau pembedahan dengan dekompresi saraf orbital atau
optik. Perawatan pada fraktur wajah dapat ditunda.

Sindrom Superior Orbital Fissure


Sindrom orbital fissure merupakan komplikasi yang tidak umum yang
menyertai trauma wajah. Keadaannya bisa saja berupa ptosis, ophthalmoplegia,
forehead anesthesia, dan fixed dilated pupil. Proptosis juga mungkin terlihat
Perawatannya bisa berupa reduksi fraktur, steroid, eksplorasi apeks orbital dan
aspirasi hematoma retrobular, apabila ada.

Perdarahan retrobulbar
Perdarahan pada retrobular jarang terjadi namun merupakan komplikasi
yang parah yang dapat mengakibatkan kerusakan awal atau koreksi operatif.
Gangguan pada sirkulasi retina dapat mengakibatkan iskemi yang ireversibel dan

31
kebutaan permanen. Pengamatan pada 1405 kasus fraktur orbita, Ord melaporkan
insidensi sebanyak 0,03% pada perdarahan retrobular posoperatif disertai dengan
kehilangan penglihatan. Konsultasi sesegera mungkin dengan ahli mata
diperlukan, namun dekompresi dengan canthotomy lateral dan cantholysis
sebaiknya tidak ditunda ( gambar 20).

Gambar 20. A. Retrobulbar hemorrhage. A, pasien dengan keluhan sakit pada periorbital,fiksasi
dan dilatasi pupil, proptosis, dan akut progressiveloss of vision dengan hyphema. B, Immediate
lateralcanthotomy and cantholysis were performed.

Trismus
Pasien dengan fraktur zygomatik biasanya mengeluhkan adanya trismus
yang akut. Namun, hanya ada sedikit kasus pengurangan pergerakan mandibula
yang menyertai fraktur kompleks zygomatik yang dilaporkan pada literatur
tersebut. Penyebab yang paling umum adalah pergeseran badan zygomatik pada
prosesus koronoid mandibula. Trismus juga terjadi sekunder terhadap ankilosis
fibrosa atau fibro-osseus dari koronoid lengkung zygomatik. CT scan sebaiknya
dilakukan untuk memperjelas diagnosa. Koronoidektomi merupakan perawatan
yang paling umum. Apabila zygoma tidak direduksi secara tepat, osteotomi
zygomatik dan reposisi mungkin perlu dilakukan untuk mengembalikan gerakan
mandibula yang terbatas.

32
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

1. Fonseca, R.J., et. All. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma. Third Ed.
WB Saunders Co. Philadelphia.
2. Tucker MR, Ochs MW. Management of facial fractures. Dalam : Peterson
et al. contemporary oral and maxillofacial surgery. St louis: mosby co.
2003
3. Prasetiyono A. Penanganan fraktur arkus dan kompleks zigomatikus.
Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons. Feb 2005 no 1
tahun IX hal 41-50.
4. Ellis E. fractures of the zygomatic complex and arch. Dalam : fonseca rj et
al. oral and maxillofacial trauma. St. louis : Elsevier. 2005
5. Bailey JS, Goldwasser MS. Management of Zygomatic Complex
Fractures. Dalam : Miloro M et al. Peterson’s principles of Oral and
Maxillofacial Surgery 2nd. Hamilton, London : BC Decker Inc. 2004

33
FRAKTUR KOMPLEKS ZYGOMA

MAKALAH IBM 3

OLEH:

HERI HERLIANA
160121090007

PEMBIMBING:
ENDANG SAMSUDIN, drg. SpBM

34
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2009

35

Anda mungkin juga menyukai