Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR VERTEBRA

A. Definisi
Fraktur adalah diskontinuitas jaringan tulang dan tulang rawan (R. Syamsuhidayat, 1997).
Fraktur vertebra adalah terputusnya discus invertebralis yang berdekatan danberbagai tingkat
perpindahan fragmen tulang (Theodore, 1993). Fraktur kompresi adalah fraktur tersering
yang mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh
dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala, osteoporosis
dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra
tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan
fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya.

B. Etiologi
Fraktur vertebra, khususnya vertebra servikalis dapat disebabkan oleh trauma hiperekstensi,
hiperfleksi, ekstensi rotasi, fleksi rotasi, atau kompresi servikalis.Fraktur vertebra thorakal
bagian atas dan tengah jarang terjadi, kecuali bila trauma berat atau ada osteoporosis.Karena
kanalis spinal di daerah ini sempit, maka sering disertai gejala neurologis.Mekanisme trauma
biasanya bersifat kompresi atau trauma langsung.Pada kompresi terjadi fraktur kompresi
vertebra, tampak korpus vertebra berbentuk baji pada foto lateral.Pada trauma langsung dapat
timbul fraktur pada elemen posterior vertebra, korpus vertebra dan iga di dekatnya.
Fraktur dapat disebabkan oleh berbagai hal, yaitu :
 Kecelakaan
Kebanyakan fraktur terjadi karena kecelakaan lalu lintas
 Cidera olah raga
Saat melakukan oleh raga yang berat tanpa pemanasan sehingga terjadi cidera olah
raga yang menyebabkan fraktur
 Osteoporosis
Lebih sering terjadi pada wanita usia di atas 45 tahun karena terjadi perubahan
hormon menopause
 4 Malnutrisi
Pada orang yang malnutrisi terjadi defsit kalsium pada tulang sehingga tulang rapuh
dan sangat beresiko sekali terjadi fraktur
 5 Kecelekaan
Kecerobohan di tempat kerja biasa terjadi, yang dapat menyebabkan fraktur.
(Reeves, 2000)

C. Patofisiologi
Fraktur tulang belakang dapat terjadi di sepanjang kolumna bertebra tetapi lebih sering terjadi
di daerah servikal bagian bawah dan di daerah lumbal bagian atas. Pada dislokasi akan
tampak bahwa kanalis vertebralis di daerah dislokasi tersebut menjadi sempit, keadaan ini
akan menimbulkan penekanan atau kompresi pada medulla spinalis atau rediks saraf spinalis.
Dengan adanya penekanan atau kompresi yang berlangsung lama mengakibatkan jaringan
terputus akibatnya daerah sekitar fraktur mengalami oedema / hematoma.Kompresi akibatnya
sering menyebabkan iskemia otot.Gejala dan tanda yang menyertai peningkatan tekanan
“compartmental” mencakup nyeri, kehilangan sensasi dan paralisis.Hilangnya tonjolan tulang
yang normal, pemendekan atau pemanjangan tulang dan kedudukan yang khas untuk
dislokasi tertentu menyebabkan terjadinya perubahan bentuk (deformitas).Imobilisasi
membentuk terapi awal pasien fraktur.Imobilisasi harus dicapai sebelum pasien ditransfer dan
bila mungkin, bidai harus dijulurkan paling kurang satu sendi di atas dan di bawah tempat
fraktur, dengan imobilisasi mengakibatkan sirkulasi darah menurun sehingga terjadi
perubahan perfusi jaringan primer. (Markam, Soemarmo, 1992; Sabiston, 1995; Mansjoer,
2000)

E. Manifestasi Klinik
 Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi
 Deformitas adalah pergeseran fragmen pada fraktur
 Terjadi pemendekan tulang akibat kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur
 Krepitus adalah derik tulang yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang
lainnya
 Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perubahan yang mengikuti fraktur.
(Smeltzer, S, 2001)

F. Klasifikasi Trauma Vertebra


1. BEATSON (1963) membedakan atas 4 grade:
1. Grade I = Simple Compression Fraktur
2. Grade II = Unilateral Fraktur Dislocation
3. Grade III = Bilateral Fraktur Dislocation
4. Grade IV = Rotational Fraktur Dislocation
2. BEDBROCK membagi atas:
1. Trauma pada vertebra seperti compression, extension dan flexion rotation injury
2. Trauma medula spinalis seperti : comotio, con-tusio, stretching, gangguan vaskuler,
trombus dan hematoma
3. E. SHANNON STAUPER membagi:
1. Extension injury
2. simple flexion injury dan
3. flexion compression fraktur dislocation.
4. HOLDS WORTH membagi alas taruma:
Fleksi, rotasi fleksi, rotasi, ektensi, kompressi vertikal (direct shearing force)

5. Pembagian Umum:
a. Fraktur Stabil
1) Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)

2) Burst fraktur

3) Extension

b. Fraktur tak stabil


1) Dislokasi

2) Fraktur dislokasi

3) Shearing fraktur

Fraktur tulang belakang terjadi karena trauma kompresi axial pada waktu tulang belakang
tegak. Menurut percobaan beban seberat 315 kg atau 1,03 kg per mm2 dapat mengakibatkan
fraktur tulang belakang. Daerah yang paling sering kena adalah daerah yang mobil yaitu
VC4.6 dan Th12-Lt-2.
F. Komplikasi
 Infeksi
 Syok hipovolemik atau traumatic
 Sindrom emboli lemak
 Sindrom kompartemen
 Koagulasi intravaskuler diseminata (KID)
(Smeltzer, S, 2001)

G. Pemeriksaan Penunjang
 Foto Rontgen Spinal, yang memperlihatkan adanya perubahan degeneratif pada tulang
belakang, atau tulang intervetebralis atau mengesampingkan kecurigaan patologis lain
seperti tumor, osteomielitis.
 Elektromiografi, untuk melokalisasi lesi pada tingkat akar syaraf spinal utama yang
terkena.
 Venogram Epidural, yang dapat dilakukan di mana keakuratan dan miogram terbatas.
 Fungsi Lumbal, yang dapat mengkesampingkan kondisi yang berhubungan, infeksi
adanya darah.
 Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat kaki lurus ke atas) untuk mendukung diagnosa
awal dari herniasi discus intervertebralis ketika muncul nyeri pada kaki posterior.
 CT - Scan yang dapat menunjukkan kanal spinal yang mengecil, adanya protrusi discus
intervetebralis.
 MRI, termasuk pemeriksaan non invasif yang dapat menunjukkan adanya perubahan
tulang dan jaringan lunak dan dapat memperkuat adanya herniasi discus.
 Mielogram, hasilnya mungkin normal atau memperlihatkan “penyempitan” dari ruang
discus, menentukan lokasi dan ukuran herniasi secara spesifik.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada kasus ini adalah tirah baring total disertai dengan fisioterapi.
I. KONSEP ASKEP
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses
keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan
sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
A. Pengumpulan Data
1. Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal
MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut
bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
2. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna
D,1995).
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa
membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces
pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).
e) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang
lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk
terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D,
1995).
f) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
h) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
i) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk
jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
j) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien
l) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
m) 1.Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema,
nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri
tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak
pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit
klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti
stridor dan ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah
sebagai berikut:
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,
perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
c. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler,
nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
4. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan tindakan santai,
mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan
penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi
individual
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

Mengurangi nyeri dan mencegah


malformasi.

Pertahankan imobilasasi bagian


Meningkatkan aliran balik vena,
yang sakit dengan tirah baring,
mengurangi edema/nyeri.
gips, bebat dan atau traksi
1. Tinggikan posisi ekstremitas yang
Mempertahankan kekuatan otot dan
terkena.
meningkatkan sirkulasi vaskuler.
1. Lakukan dan awasi latihan gerak
pasif/aktif.
Meningkatkan sirkulasi umum,
1. Lakukan tindakan untuk
menurunakan area tekanan lokal
meningkatkan kenyamanan
dan kelelahan otot.
(masase, perubahan posisi)
1. Ajarkan penggunaan teknik
Mengalihkan perhatian terhadap
manajemen nyeri (latihan napas
nyeri, meningkatkan kontrol
dalam, imajinasi visual, aktivitas
terhadap nyeri yang mungkin
dipersional)
berlangsung lama.
1. Lakukan kompres dingin selama
fase akut (24-48 jam pertama)
Menurunkan edema dan mengurangi
sesuai keperluan.
rasa nyeri.
1. Kolaborasi pemberian analgetik
sesuai indikasi.
Evaluasi keluhan nyeri (skala,
Menurunkan nyeri melalui
petunjuk verbal dan non verval,
mekanisme penghambatan rangsang
perubahan tanda-tanda vital)
nyeri baik secara sentral maupun
perifer.

Menilai perkembangan masalah


klien.
b. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
Tujuan : Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria klien
tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

Meningkatkan ventilasi alveolar


dan perfusi.

Reposisi meningkatkan drainase


Instruksikan/bantu latihan napas
sekret dan menurunkan kongesti
dalam dan latihan batuk efektif.
paru.
1. Lakukan dan ajarkan perubahan
posisi yang aman sesuai keadaan
Mencegah terjadinya pembekuan
klien.
darah pada keadaan tromboemboli.
1. Kolaborasi pemberian obat
Kortikosteroid telah menunjukkan
antikoagulan (warvarin, heparin)
keberhasilan untuk
dan kortikosteroid sesuai indikasi.
mencegah/mengatasi emboli lemak.
1. Analisa pemeriksaan gas darah,
Hb, kalsium, LED, lemak dan
Penurunan PaO2 dan peningkatan
trombosit
PCO2 menunjukkan gangguan
1. Evaluasi frekuensi pernapasan dan
pertukaran gas; anemia,
upaya bernapas, perhatikan adanya
hipokalsemia, peningkatan LED
stridor, penggunaan otot aksesori
dan kadar lipase, lemak darah dan
pernapasan, retraksi sela iga dan
penurunan trombosit sering
sianosis sentral.
berhubungan dengan emboli lemak.

Adanya takipnea, dispnea dan


perubahan mental merupakan tanda
dini insufisiensi pernapasan,
mungkin menunjukkan terjadinya
emboli paru tahap awal.

c. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi


restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi
yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi yang
sakit dan mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan
melakukan aktivitas

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas


rekreasi terapeutik (radio, koran, Memfokuskan perhatian,
kunjungan teman/keluarga) sesuai meningkatakan rasa kontrol
keadaan klien. diri/harga diri, membantu
1. Bantu latihan rentang gerak pasif menurunkan isolasi sosial.
aktif pada ekstremitas yang sakit
maupun yang sehat sesuai keadaan
klien. Meningkatkan sirkulasi darah
1. Berikan papan penyangga kaki, muskuloskeletal, mempertahankan
gulungan trokanter/tangan sesuai tonus otot, mempertahakan gerak
indikasi. sendi, mencegah kontraktur/atrofi
1. Bantu dan dorong perawatan diri dan mencegah reabsorbsi kalsium
(kebersihan/eliminasi) sesuai karena imobilisasi.
keadaan klien.
1. Ubah posisi secara periodik sesuai Mempertahankan posis fungsional
keadaan klien. ekstremitas.
1. Dorong/pertahankan asupan cairan
2000-3000 ml/hari.
1. Berikan diet TKTP.
1. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi Meningkatkan kemandirian klien
sesuai indikasi. dalam perawatan diri sesuai
1. Evaluasi kemampuan mobilisasi kondisi keterbatasan klien.
klien dan program imobilisasi.
Menurunkan insiden komplikasi
kulit dan pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia)
Mempertahankan hidrasi adekuat,
men-cegah komplikasi urinarius
dan konstipasi.

Kalori dan protein yang cukup


diperlukan untuk proses
penyembuhan dan mem-
pertahankan fungsi fisiologis
tubuh.

Kerjasama dengan fisioterapis


perlu untuk menyusun program
aktivitas fisik secara individual.

Menilai perkembangan masalah


klien.
DAFTAR PUSTAKA
Hudak and Gallo, (1994),Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott
company,Philadelpia.
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan
Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien,
EGC, Jakarta.Reksoprodjo Soelarto, (1995),
Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.Suddarth Doris Smith, (1991),
The lippincott Manual of Nursing Practice,
fifth edition, JB LippincottCompany, Philadelphia.Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu
Bedah,EGC, Jakart

Anda mungkin juga menyukai