Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU BEDAH JULI 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN REFARAT

UNIVERSITAS HALUOLEO

MUCOCELE

Oleh :
Habri Tri Sakti
K1A1 14 017

Pembimbing :
dr. Muchammad Saiful, Sp.B (K) Onk

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Habri Tri Sakti, S.Ked


NIM : K1A1 14 017
Judul Refarat : Mucocele
Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Juli 2020

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Muchammad Saiful, Sp.B (K) Onk


BAB I
PENDAHULUAN

Mucocele adalah lesi yang umum ditemukan pada mukosa oral dan
merupakan lesi jinak kelenjar saliva yang paling sering ditemukan pada rongga
mulut.1 Mucocele juga dapat ditemukan dari sinus paranasal lesi pada mucocele ini
berasal dari epitelial yang membesar secara perlahan dan di dalamnya berisi lendir.
Lesi ini dapat menutupi rongga sinus yang jika dibiarkan, dapat mengikis tulang dan
struktur disekitarnya.2 Insiden mucocele sering ditemukan karena adanya trauma pada
kelenjar saliva minor. Untuk diagnosis mucocele gambaran lesi yang sangat khas
menunjukkan bahwa diagnosis klinisnya sesuai dengan diagnosis histopatologis
setelah lesi dibiopsi.1
Menurut studi yang telah dilakukan Tannure dkk 2010, mucocele dapat terjadi
pada laki-laki maupun perempuan dan pada semua usia dengan insiden tertinggi pada
dekade kedua kehidupan. Mucocele dapat terjadi di daerah manapun dalam rongga
mulut yang mengandung kelenjar saliva minor tetapi bibir bagian bawah merupakan
lokasi paling umum untuk terjadinya mucocele karena paling mudah mengalami
trauma tetapi dapat juga terjadi pada mukosa bukal lidah dan palatum. Sedangkan
mucocele yang terjadi akibat trauma pada kelenjar saliva Blandin dan Nuhn
merupakan penyebab mucocele yang paling sering terjadi pada lidah.1
Glandula Blandin dan Nuhn adalah kelenjar campuran serous dan mukus yang
tersembunyi di dekat ujung lidah pada masing-masing sisi frenulum lingualis.
Kelenjarnya ini ditemukan di bawah permukaan apeks lidah dan tertutupi oleh bundel
serabut otot yang berasal dari M. Styloglosus dan M. Longitudinal Inferior. Kelenjar
ini tidak berlobulus atau berkapsul. Setiap kelenjar berukuran 8 mm dan 12-25 mm
serta berisi beberapa kelenjar-kelenjar kecil yang tersusun oleh tubulus-tubulus
mukus dengan seromukus demilunes dan kadang seromukus acini. Saliva dialirkan
melalui 5 atau 6 ductus kecil yang terbuka di dekat frenulum lingualis.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI KELENJAR SALIVA


Saliva diproduksi oleh tiga pasang kelenjar saliva mayor yaitu parotis,
submandibular dan sublingual beserta kelenjar minornya yang tersebar di bawah
epitelium oral. Tiap kelenjar terhadap total volume saliva berkontribusi sebanyak
60% dari kelenjar parotis, 30% dari kelenjar submandibular, 5% dari sublingual
dan 5% dari kelenjar minor.3

Gambar
1. Anatomi
Kelenjar
3
Saliva.

Kelenjar
parotis adalah
kelenjar
saliva terbesar dengan berat antara 15-30 gr dan berukuran 6x3 cm. Kelenjar
parotis memiliki lobus superficial yang luas dan lobus profunda dengan N.
Facialis yang terletak diantara kedua lobus. Sebanyak 20% kelenjar parotis
memiliki kelenjar aksesori dan ductus yang terletak di sekitar M. Masseter.
Kelenjar parotis memiliki 3-24 nodus limfa yang terletak di lateral N. Facialis di
lobus superfisial. Volume kelenjar parotis adalah 2,5 kali lebih besar dari pada
kelenjar mandibula dan 6 kali lebih besar dibandingkan dengan kelenjar
sublingual.3

2
Saliva dari kelenjar parotis berhubungan dengan rongga mulut melalui
ductus ekskretori yang berukuran 5-7 cm. Ductus kelenjar parotis disebut
Stensen’s Ductus yang bermuara didaerah setinggi molar 2 atas. Pada stimulasi
saliva kelenjar parotis memiliki peran dominan dalam merespon stimulus yang
kuat seperti asam sitrat. Laju aliran saliva parotis sama dengan laju aliran
kelenjar submandibula, sedangkan pada saat mengunyah laju aliran saliva dari
kelenjar parotis 2 kali lebih besar dibandingkan laju aliran saliva yang berasal
dari kelenjar submandibula.3
Kelenjar submandibula terletak di segitiga submandibular yang terdiri
dari bagian anterior dan posterior M. Digastricus dan tepi inferior mandibula.
Beratnya adalah sekitar 50 % berat kelenjar parotis dengan berat antara 7 gram
sampai 15 gram. Ductus kelenjar submandibula bermuara di ductus Warthon
yang terletak di dasar mulut pada kedua sisi frenulum lingualis. Ductus Warthon
berukuran panjang 4 cm sampai 5 cm dan melintasi bagian superior M.
Hipoglosus. Kelenjar submandibula memiliki 3 sampai 6 nodus limfa yang
ditemukan di segitiga submandibular. Refleks saraf seperti stimulus mekanik
karena pergerakan lidah dan bibir berperan dalam sel sekretori terutama pada
kelenjar submandibula.3
Kelenjar saliva yang berukuran paling kecil adalah kelenjar sublingual
dengan berat antara 2 gram sampai 1 gram. Kelenjar sublingual terletak di dalam
dasar mulut antara mandibula dan M. Genioglossus. Kelenjar sublingual tidak
memiliki kapsula fascial yang jelas dan ductus yang dominan, namun terdapat
drainase 10 ductus kecil yang disebut ducts of Rivinus. Pada umumnya, beberapa
ductus di bagian anterior menyatu membentuk satu ductus yang lebih besar yaitu
doktus Bartholin yang menyekresikan saliva melalui ductus Warthon. Ductus
Bartholin menyatu dengan ductus Warhton di sublingual caruncula pada kedua
sisi frenulum lingualis.3
Kelenjar saliva minor terletak di submukosal di bawah lamina propria dan
paling banyak ditemukan di bibir, lidah, mukosa pipi dan palatum, tonsil,

3
supraglotis dan sinus paranasal. Kelenjar saliva minor dinamakan berdasarkan
lokasinya. Terdapat 600 sampai 1000 kelenjar saliva minor yang berukuran 1
mm sampai 5 mm pada rongga mulut sampai orofaring. Setiap kelenjar merniliki
satu ductus yang mensekresikan secara langsung ke rongga mulut. Saliva dari
kelenjar saliva minor seperti kelenjar bukal, palatinal, labial, lingual,
disekresikan melalui ductus yang kecil yang tersebar di epitelium. Pada manusia,
hanya kelenjar saliva minor yang mensekresikan saliva secara spontan. Saliva
yang dihasilkan beraliran lambat pada siang hari dan saat istirahat.3
Masing-masing kelenjar saliva menghasilkan sekresi yang berbeda.
Berdasarkan studi histochemical staining pada sel acinar, sel diklasifikasikan
sebagai basophilic serous dan eosinophilic mucous cell. Serous cell memiliki
granula protein dan berhubungan dengan sekresi air dan onzin), sedangkan
mucous cell berhubungan dengan sekresi musin yang kental yang tersimpan di
vakuola sel.3
Kelenjar parotis merupakan kelenjar serous, kelenjar submandibular
disebut kelenjar serumucous yang terdiri dari 10% sel mucous dan 90% serous,
dan kelenjar sublingual dan kelenjar minor adalah kelenjar mucous. Kelenjar
minor lingual posterior (Von Ebner's gland) pada papilla vallate. Dan foliate
adalah tipe serous. Kelenjar anterior lingual Blandin Nuhn terletak di permukaan
ventral di dekat frenulum lingualis dan mensekresikan mucous. Kelenjar minor
adalah kelenjar sekresi mucous dan secretory immunoglobulin-A.3

B. FISIOLOGI
Sekresi saliva berlangsung kontinyu dan dapat ditingkatkan oleh refleks.
Secara rerata sekitar 1 hingga 2 liter liur dikeluarkan setiap harinya, berkisar dari
laju basal spontan kontinyu sebesar 0,5 mL/mnt hingga laju aliran maksimal
sekitar 5 ml/mnt sebagai respons terhadap rangsangan kuat misalnya menghisap
jeruk. Tanpa adanya rangsangan terkait-makanan, stimulasi tingkat-rendah oleh
saraf parasimpatis memicu sekresi basal saliva. Sekresi basal ini penting untuk

4
menjaga mulut dan tenggorok selalu basah. Selain sekresi kontinyu tingkat
rendah ini, sekresi saliva dapat ditingkatkan oleh dua jenis refleks liur, yaitu
refleks liur sederhana dan terkondisi.4

Gambar 2. Kelenjar liur dan kontrol sekresi kelenjar liur.4

1. Refleks Liur Sederhana Dan Terkondisi


Refleks liur sederhana terjadi ketika kemoreseptor dan reseptor tekan
di dalam rongga mulut berespons terhadap keberadaan makanan. Pada
pengaktifan, reseptor-reseptor ini menghasilkan impuls serat-serat sarat aferen
yang membawa informasi ke pusat liur, yang terletak di medula batang otak,
seperti semua pusat otak yang mengontrol aktivitas pencernaan. Pusat liur,
nantinya, mengirim impuls melalui saraf autonom ekstrinsik ke kelenjar liur
untuk meningkatkan sekresi liur. Tindakan gigi mendorong sekresi liur tanpa
adanya makanan karena manipulasi ini mengaktifkan reseptor tekan di mulut.4
Pada refleks liur terkondisi, atau didapat, salivasi terjadi tanpa
stimulasi oral. Hanya berpikir, melihat, mencium, atau mendengar pembuatan
makanan yang lezat memicu salivasi melalui refleks ini. Kita semua pernah
mengalami "liur menetes" ketika mengantisipasi sesuatu yang lezat untuk

5
dimakan. Ini adalah respons yang dipelajari berdasarkan pengalaman
sebelumnya. Sinyal yang berasal dari luar mulut dan secara mental dikaitkan
dengan kenikmatan makan, bekerja melalui korteks serebrum untuk
merangsang pusat liur di medula.4
2. Pengaruh Autonom Pada Sekresi Liur
Pusat liur mengontrol derajat pengeluaran liur melalui saraf autonom
yang menyarafi kelenjar liur. Tidak seperti sistem saraf autonom di tempat
lain di tubuh, respons simpatis dan parasimpatis di kelenjar liur tidak
antagonistik. Baik stimulasi simpatis maupun parasinapatis meningkatkan
sekresi liur tetapi jumlah, karakteristik dan mekanismenya berbeda. Stimulasi
parasinapatis, yang memiliki efek dominan dalani sekresi liur, menghasilkan
liur yang encer, segera keluar, berjumlah besar dan kaya enzim. Stimulasi
simpatis, sebaliknya, menghasilkan liur dengan volume terbatas, kental dan
kaya mukus. Karena stimulasi simpatis menghasilkan lebih sedikit liur, mulut
terasa lebih kering daripada biasanya selama keadaan-keadaan ketika sistem
simpatis dominan, misalnya situasi penuh stres. Contohnya, orang sering
merasa mulutnya kering karena rasa cemas ketika akan berpidato. Sekresi liur
adalah satu-satunya sekresi pencernaan yang seluruhnya berada di bawah
kontrol saraf. Semua sekresi pencernaan lainnya diatur oleh refleks sistem
saraf dan hormon.4

C. DEFINISI
Mucocele merupakan penyakit pada mukosa rongga mulut berupa lesi
jinak yang paling sering dari kelenjar saliva minor (suatu perubahan pada
kelenjar saliva minor) terbentuk akibat trauma mekanis sehingga menyebabkan
penumpukan mukus pada jaringan sekitar. Ada 2 jenis mucocele: mucocele
ekstravasasi (EM) dan mucocele retensi (RM).5

6
D. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat Studi prevalensi oral yang melibatkan 23.616 orang
dewasa berkulit putih yang berusia lebih dari 35 tahun, mucocele merupakan
peringkat 17 pada lesi mukosa oral dengan prevalesnsi 2,4 kasus / 1000 orang.
Data dari The Third National Health and Nutrition Examination Survey
(NHANES III) pada 17.000 orang dewasa diatas 17 tahun memeperlihatkan
prevalensi rata-rata mucocele pada pringkat 44 dengan prevalensi sekitar 0,02%.5
Prevalensi mucocele di Indonesia penelitian yang dilakukan oleh Triani, pada
pasien yang datang berobat ke Poli Gigi dan Mulut RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada periode Januari 2009-Juni 2012 berjumlah 32.403 orang,
terdapat kasus mucocele yaitu sebesar 109 pasien dengan jumlah pasien terbesar 
pada tahun 2011 sebanyak 49 pasien (0,49).6
Cohen dan kawan-kawan, mengamati bahwa dari 63 kasus mucocele,
82% ditemukan di mucosa bibir pada rahang bawah, 8% pada mukosa bukal, 3%
di daerah retromolar dan 1% di palatum. Armed Forces InstiInstitute of
Pathology, mengumpulkan 2.339 data tentang kasus mucocele dan menemukan
bahwa 33,0% terterjadi di bibir bawah, 7,7% pada mukosa bukal, 6,3% di dasar
mulut, 6,1% di lidah dan hanya 0,4% di bibir atas.7
Beberapa penelitian tidak terdapat perbedaan pada jenis kelamin, namun
penelitian yang lain menyebutkan sebaliknya. Penelitian yang dilakukan Nico
(2008) menyebutkan bahwa mucocele yang terjadi pada jenis kelamin perempuan
adalah 72,2% dan 27,8% terjadi pada laki-laki. Mayoritas terjadi pada umur
sekitar dekade pertama sampai ketiga.8 Mucocele dapat terjadi pada individu
muda, dengan 70% individu < 20 tahun. Prevalensi puncak terjadi pada usia 10-
20 tahun. Meskipun tidak diteliti dengan baik, mucocele superfisial cenderung
terjadi pada individu yang lebih tua dari 30 tahun. 6 Lokasi umum terjadinya
mucocele yaitu pada lateral atau garis tengah mukosa labial yaitu 94,44% dan
diikuti oleh mukosa bukal yaitu 5,55%. Rekurensi terjadinya mucocele setelah
perawatan juga dilaporkan yaitu 27,78% kasus.8

7
E. ETIOLOGI
Trauma pada glandula saliva paling banyak terjadi pada glandula saliva
minor yang berada dibawah bibir. Mekanisme trauma secara mekanikal, ketika
jaringan dibwah bibir mengalami trauma antra lain gigi depan di maxilla dan
mandibula selama proses mastikasi atau kebiasan menggigit bagian bawah lidah.
Trauma ini menghasilkan cedera dan gangguan pada ductus excretory dari
glandula saliva minor. Pada palatum, low-grade iritasi kronik (seperti panas dan
asap rokok) dapat menyebabkan terjadinya lesi pada glandula saliva.6
Mucocele biasanya terjadi akibat trauma sekunder seperti menggigit bibir,
inflamasi kronis dengan periductal scar, fibrosis ductus ekskretoris, operasi
sebelumnya, trauma dari intubasi oral dan sialolithiasis kelenjar ludah minor
tetapi jarang terjadi. Kebanyakan mucocele terjadi karena ekstravasasi saliva
oleh ductus ekskretoris yang berlebihan ke dalam jaringan sekitar.6
Mucocele tipe retensi muncus dapat terjadi akibat obstruksi ductus saliva
yang disebabkan oleh batu pada kelenjar saliva (sialolith) atau scar pada ductus
dan menyebabkan epitel pada ductus di penuhi oleh cairan mucus. Sementara
mucocele tipe ektravasasi dikaitkan dengan cedera traumatis pada ductus saliva
mucocele ekstravasasi terjadi karena ekstravasasi dari air liur dalam jaringan ikat
yang berdekatan.5
Mucocele yang disebabkan oleh trauma lokal atau mekanik disebut
mucocele tipe ekstravasasi mukus. Trauma lokal atau mekanik ini menyebabkan
suatu ductus terputus diikuti oleh akumulasi mukus di luar ductus kelenjar saliva
dalam jaringan ikat. Mucocele yang diakibatkan karena akumulasi mukus dalam
ductus ekskresi yang tersumbat dan melebar disebut mucocele tipe retensi
mukus. Akumulasi mukus dapat disebabkan karena batu kelenjar saliva
(sialolith) yang menyebabkan obstruksi pada kelenjar saliva minor. Obtruksi
kelenjar saliva minor tersebut mengakibatkan mukus terakumulasi sehingga
menimbulkan pembengkakan pada mukosa mulut yang disebut mucocele.7

8
F. KLASIFIKASI
Berdasarkan etiologi, mucocele dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1. Mucocele ekstravasasi mukus dengan etiologi trauma lokal atau mekanik yang
memutuskan suatu ductus, diikuti oleh akumulasi mukus di luar ductus
kelenjar saliva dalam jaringan.7
2. Mucocele retensi mukus dengan etiologi plug mukus yang tersumbat akibat
batu kelenjar saliva (sialolith) atau inflamasi pada mukosa mulut yang
menyebabkan ductus kelenjar saliva tertekan dan tersumbat secara
tidak langsung.7

G. PATOFISIOLOGI
Pathogenesis dari mucocele ekstravasasi terjadi dalam tiga fase. Pada fase
pertama, ada ektravasasi berlebihan musin dari ductus saliva ke dalam jaringan
sekitarnya di mana dapat terlihat beberapa leukosit dan histiosit. Pada fase kedua,
terlihat granuloma yang diikuti oleh adanya histiosit, makrofag dan giant cells
berinti banyak yang berhubungan dengan reaksi benda asing diikuti dengan
pembentukan pseudocapsule pada fase akhir. Pada jenis mucocele retensi,
obstruksi saluran kelenjar saliva menyebabkan akumulasi cairan saliva ke dalam
saluran, sehingga tampak seperti balon kecil yang makin lama makin membesar
seiring berjalannya waktu, di dalam rongga mulut.9

H. MANIFESTASI KLINIS
Secara klinis mucocele tampak berbentuk bulat, berwarna kebiru-biruan atau
transparan, pembengkakan kistik, lunak dengan ukuran bervariasi dari beberapa
milimeter hingga 3 cm. Lesi ini biasanya tanpa gejala, tetapi dapat menyebabkan
ketidaknyamanan dan kesulitan dalam berbicara dan mengunyah jika ukurannya
besar. Biasanya lesi dapat mengecil sendiri secara spontan namun dapat muncul
dan membesar kembali selama beberapa hari hingga 3 tahun.9

9
I. DIAGNOSIS
Diagnosis mucocele terutama berdasarkan pada anamnesis dan
penampilan klinis yang meliputi pertumbuhan lesi cepat, lokasi yang spesifik,
riwayat trauma, warna kebiruan, konsistensi lunak dan kenyal.9
1. Anamnesis
Mucocele lebih sering terjadi pada usia yang lebih muda <20 tahun.
Keluhan utama berupa benjolan dan rasa tidak nyaman di dalam mulut, lokasi
tersering pada mucosa bibir rahang bawah. Penting di tanyakan riwayat
trauma pada lokasi tersebut sesuai dengan etiologi dari mucocele kemudian
dapat ditanyakan sejak kapan lesi muncul untuk mengetahui cepat
progresivitas dari lesi.9 biasanya lesi dapat mengecil secara spontan dan
muncul kembali setelah pecah dalam beberapa hari. 10 dapat juga di tanyakan
riwayat medis, gigi dan obat-obatan yang di konsumsi meski tidak signifikan
dengan kejadian mucocele. Kemudian tanyakan riwayat pada keluarga yang
menderita penyakit yang sama (mucocele) walaupun tidak ada hubungan
dengan mucocele.11
2. Pemeriksaan Fisik
Pembengkakan (lesi) berbentuk kubah dengan epitel yang utuh pada
bagian atasnya.6 biasanya memiliki warna biru kemerahan dibandingkan
dengan mukosa yang berdekatan atau bisa juga transparan yang berisi cairan
berwarna jernih pada lesi yang superfisial, sedangkan lesi yang lebih dalam
cenderung memiliki warna mukosa normal jika terjadi pendarahan ke dalam
lesi dapat memberikan warna merah. Lapisan mukosa pada lesi biasanya utuh
namun, dalam beberapa kasus seringkali pasien menghisap lesi berulang kali
yang menyebabkan permukaan lesi tampak putih dan kasar (keratotik). Lesi
bisa disertai nyeri ataupun tidak.6,9,10 Mekanisme terjadinya warna biru pada
lesi disebabkan oleh kongesti vaskular dan sianosis pada jaringan yang berada
di atas dan akumulasi cairan di bawah. Warna juga dapat bervariasi tergantung
pada ukuran lesi.10 Konsistensi pada saat di palpasi menunjukkan massa

10
mobile, kenyal yang tidak pucat jika dilakukan penekanan. Tanda inflamasi
biasanya tidak terlihat pada pemeriksaan kecuali jika terjadi iritasi dalam
waktu dekat. Kebanyakan lesi berdiameter kurang dari 1 cm tetapi berkisar
antara 0,1-4 cm.6 Jika lesi lebih besar mungkin dapat terjadi kesulitan dalam
berbicara atau mengunyah. Anomali lain pada mulut juga perlu diperhatikan
saat melakukan pemeriksaan fisik.10

Gambar 2. Menunjukkan
mucocele di mukosa labial kanan
bawah ukuran ± 10 x 8 mm.9

3. Pemeriksaan penunjang
Histopatologi : Gambaran histopatologi mucocele tipe ekstravasasi
mukus berbeda dengan tipe retensi mukus. Gambaran histopatologi mucocele
tipe ekstravasasi memperlihatkan kelenjar yang dikelilingi oleh jaringan
granulasi. Mucocele tipe retensi mucus menunjukkan kelenjar yang dikelilingi
oleh epithel yaitu stratified squamous epithelium.7

A B

Gambar 3. A:Gambaran histopatologi mucocele tipe ekstravasasi mukus,

B:Gamabaran histopatologi mucocele tipe


retensi mukus.7

11
Pada tahap awal perkembangan, pengamatan di bawah mikroskop
menunjukkan kumpulan lendir yang tidak jelas dan peradangan akut. Kadang-
kadang, terlihat sebagian ductus excretory yang rusak. Terlihat jelas Central
cavity dan kista yang dilapisi oleh jaringan granulasi mengalami fibrosis
progresif. Kista dikelelingi oleh makrofag dan banyak mengandung lendir
(muchipages) beberapa sel makrofag terlihat tersebar bebas pada rongga dari
kista. Dalam tahap ini untuk mengetahui dari proses muchipages tidak dapat
terlihat dengan pewarnaan biasa kecuali jika diidentifikasi menggunakan
pewarnaan hematoxylin dan eosin atau oleh pewarnaan histokimia.2
Pembentukan cavitas/ruang kista yang dilapisi oleh ductus epthielium
yang mengalami modifikasi berupa sel kuboid atau columnar yang menjadi
squamosa atau mucus metaplasia. Perubahan ini sangat jarang menjadi
metaplasia ganas.2

A B C

Gamabar 4. A:Mucocele ekstravasasi menunjukkan kista yang dilapisi oleh


jaringan fibrosa seluler dan makrofag (mukosa) dengan kelenjar ludah minor
yang berdekatan B:ekstravasasi: daya yang lebih tinggi menunjukkan jaringan
fibrosa yang terkompresi dan mukosit di dinding dan mengambang bebas di
rongga kista C: Mucocele retensi dilapisi oleh epitel yang dilemahkan.2

J. DIAGNOSIS BANDING

12
Diagnosis banding terdiri dari fibroma, lipoma, hemangioma oral,
limfangioma oral, neoplasma kelenjar saliva jinak dan ganas, pemfigoid
sikatrikal dan Bullous lichen planus.11
Fibroma dapat bervariasi mulai dari konsistensi lunak hingga sangat
tegang. Fibroma merupakan lesi jaringan lunak intraoral yang paling umum dan
paling sering terlihat pada bibir. Lipoma merupakan neoplasma yang terdiri dari
jaringan adipose mature jarang terjadi di rongga mulut tetapi dapat terjadi pada
bibir. Lipoma dan tumor kelenjar ludah minor konsistensinya tidak kenyal
sementara kista, mucocele dan hemangioma konsistensinya kenyal. Malformasi
pembuluh darah seperti hemangioma dan varises biasanya berwarna biru pucat
pada penekanan jari.11
1. Fibroma Traumatik
Fibroma traumatik bukanlah neoplasma sejati, tetapi lesi hiperplastik
inflamasi yang reaktif pada jaringan ikat. Biasanya terjadi pada mukosa bukal,
bibir, lidah, gingiva dan langit-langit. Lesi tidak menunjukkan gejala dan
disebabkan oleh trauma atau iritasi kronis biasanya disebabkan oleh peralatan
prostetik yang tidak pas dan karies pada gigi dengan tepi yang tajam. Secara
klinis, fibroma traumatik terlihat sebagai pembengkakan yang jelas dengan
warna normal, dasar lebar dan permukaan halus, terasa seperti karet pada
palpasi.12

Gamabar 5. Fibroma
traumatik pada mukosa bucal.12

13
2. Lipoma
Lipoma adalah tumor jinak dari jaringan lemak dan relatif jarang
terjadi dalam rongga mulut. Gambaran klinis berupa tumor tanpa gejala yang
jelas, berwarna kekuningan atau merah muda, palpasi terasa lunak, kadang-
kadang kenyal dan memiliki ukuran bervariasi dari 0,5 cm sampai 3 cm.
Lipoma dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki antara usia 40 dan 60
tahun. Regio yang paling sering adalah mukosa bukal, dasar mulut dan lidah.7

Gambar 6. Lipoma intra oral.13

3. Hemangioma
Hemangioma merupakan tumor jinak pembuluh darah yang
berproliferasi dari sel-sel endotelium pembuluh darah diikuti involusi terus
menerus meyebabkan kelainan yang merupakan hasil dari anomali
perkembangan pleksus vaskular. Hemangioma sering terjadi pada bayi dan
anak-anak dan lebih sering terjadi pada perempuan. Hemangioma terbagi
menjadi tiga jenis yaitu hemangioma kapiler, hemangioma kavernosum dan
hemangioma campuran. Hemangioma kapiler tampak sebagai bercak merah
menyala, tegang, berbentuk lobular, berbatas tegas yang dapat timbul
pada berbagai tempat di tubuh. Berbeda dengan hemangioma kapiler lesi pada
hemangioma kavernosum tidak berbatas tegas dapat berupa makula
eritematosa atau nodus yang berwarna merah sampai ungu bila ditekan

14
mengempis dan akan cepat mengembung kembali apabila tekanan
dihilangkan. Hemangioma campuran merupakan gabungan dari jenis kapiler
dan jenis kavernosum. Lesi berupa tumor yang lunak, berwarna merah
kebiruan serta pada masa perkembangan dapat memberikan gambaran
keratotik dan verukosa. Hemangioma campuran ini sering ditemukan pada
ekstremitas inferior dan unilateral.7

Gambar 7. Gambar
hemangioma intraoral. (A) Lidah secara luas dipenuhi oleh lesi, dengan
perubahan warna dan volume di daerah yang terkena. (B) Tamapak bagian
bawah lidah, menunjukkan bahwa lidah sangat dipenuhi oleh lesi. Mukosa
oral berdekatan dengan lesi tampak normal.14

4. Limfangioma
Limfangioma adalah tumor jinak dari saluran limfatik yang terjadi
pada masa awal kehidupan, tanpa predileksi jenis kelamin. Limfangioma
dapat terjadi pada kulit atau membran mukosa, tetapi paling banyak terjadi di
dalam rongga mulut yaitu pada permukaan dorsal dan lateral anterior lidah,
bibir dan mukosa bibir. Limfangioma superfisial yang berukuran kecil
mempunyai tonjolan-tonjolan papil tak teratur yang menggambarkan suatu
papiloma. Papiloma tersebut lunak serta dapat ditekan dan memiliki warna
yang bervariasi dari merah muda normal sampai keputih-putihan, sedikit
translusen atau biru.7

15
Gambar 8.
Limfangioma
pada mukosa bukal.15

5. Kista Nasolabial
Kista nasolabial adalah kista jaringan lunak yang langka dan tumbuh
terbatas hanya di jaringan lunak vestibulum regio anterior maksila, di bawah
hidung regio nasolabial crest. Pasien kista nasolabial tampak ada
pembengkakan pada bibir, sehingga kartilago terangkat dan tampak meluas
hingga ke dasar hidung serta sulkus labialis. Pasien kadang mengeluh hidung
tersumbat, tidak nyaman, atau kesulitan dalam menggunakan gigi tiruan. Kista
ini sering terjadi pada perempuan, antara usia 40 sampai 50 tahun.7

Gambar 9.
kista nasolabial
intra otral.masa
kistik pada
submukosa.16

K.

PENATALAKSANAAN
Mucocele sering sembuh secara spontan. Penurunan ukuran mungkin
disebabkan oleh pecahnya lesi sedangkan akumulasi musin berikutnya atau

16
reabsorpsi endapan air liur dapat menyebabkan lesi kembali. Ada berbagai
modalitas penanganan yang meliputi pengangkatan secara bedah, cryosurgery,
micromarsupialisation, marsupialisation, electrocautery, laser vaporization atau
laser surgery dan injeksi kortikosteroid intralesi.9
1. Injeksi Kortikosteroid Intralesi
Pertama, dilakukan anestesi lokal intralesi kemudian lendir disedot
dengan bantuan jarum 18-gauge dan spoit. Kemudian 1 mL betametason (4
mg/1 mL) disuntikkan secara perlahan oleh jarum suntik untuk insulin
(ukuran 0,3 ∗ 8 mm, 31-gauge) untuk mencegahnya kebocoran. Pasien dapat
merasa sedikit tidak nyamanan dan sakit agar mengurangi rasa sakit caranya
disuntikkan secara bertahap ke dasar lesi dan yang berdekatan dengan
pinggiran lesi.9

Gambar 10. (A) Lendir disedot oleh jarum menggunakan jarum suntik 18-
gauge, (b) Jarum suntik dengan lendir aspirat dan (c) 1 mL betralethone di
injeksikan intralesi menggunakan 31-gauge insulin syringe.9

Protokol pengobatan nonsurgical dengan kortikosteroid yang sangat


kuat (betametason). Kortikosteroid dalam hal ini bertindak sebagai agen
antiinflamasi kuat yang menghambat pengeluaran beberapa gen inflamasi

17
(pengkodean sitokin, kemokin, molekul adhesi, enzim inflamasi, reseptor dan
protein) dan juga dapat meningkatkan transkripsi gen yang mengkode protein
antiinflamasi termasuk protein lipocortin-1, antagonis reseptor interleukin-1
dan interleukin-10. Juga bertindak seperti agen sclerosing yang menyebabkan
penyusutan pada saluran saliva yang melebar.9
2. Pembedahan
Teknik Bedah. Sayatan elips dibuat pada mukosa mengelilingi kista
untuk memudahkan pengangkatan dari lesi (perhatikan gambar di bawah
ini).12

Dinding superior dari kista digenggam dengan hemostat bersama


dengan mukosa di atasnya dan dipisahkan dari sel yang mengelilinginya
menggunakan gunting (perhatikan gambar di bawah ini).12

Selama diseksi harus diperhatikan


karena kista dapat dengan mudah pecah dan menyusut yang akan membuat
pengangkatan menjadi sulit. Dalam kasus seperti itu dapat dipersiapkan kain
kasa untuk ditempatkan di dalam rongga kista yang pecah dengan begitu
rongga tersebut dapat diperluas kemabali dan dikembalikan ke kondisi

18
semula. Setelah pengangkatan lesi mukosa yang dirusak dijahit secara
superfisial (hanya pada mukosa) menghindari cedera pada kelenjar ludah yang
mendasarinya (perhatikan gambar di bawah ini).12

3. Bedah Laser
Setelah dilakukan anesthesia lokal, lesi dieksisi menggunakan laser
dioda dengan panjang gelombang 940 nm. Insisi dilakukan mulai dari paling
atas lesi sampai dilakukan eksisi lengkap. Keuntungan utama dari penggunaan
laser pada jaringan lunak adalah perdarahan intraoperative dan pembengkakan
yang minimal dan nyeri pasca operasi serta waktu operasi jaringan parut
pembekuan yang sangat sedikit tanpa perlu penjahitan setelah eksisi karena
perawatan luka secara alami sudah cukup. Laser dioda semikonduktor tersedia
dalam panjang gelombang yang berbeda seperti 810-830 nm, 940 nm dan 980
nm. Bagus menggunakan panjang gelombang 940 nm di mana hemostasis
yang sangat baik dapat dicapai karena afinitas yang baik untuk pigmen seperti
hemoglobin.17

19
Gamabar 11. Penggunaa laser dengan gelombang 940 nm pada penangan
mucocele.17
4. Cryosurgery
Pengobatan terdiri dari pemberian langsung nitrogen cair
menggunakan alat semprot sesuai dengan ukuran lesi. Setelah pemberian
anestesi topikal, kemudian dilakukan penyemprotan langsung lima hingga
enam siklus pembekuan berturut-turut dengan setiap siklus berlangsung
sekitar 5 hingga 10 detik mulai dari pusat lesi hingga pinggir lesi sampai lesi
terlihat membeku. Selama 10 menit pertama setelah siklus pembekuan dapat
terjadi eritema ringan dan udem. Pasien datang setiap minggu untuk sesi
selanjutnya dari siklus pengobatan yang berlangsung selama tiga minggu
berturut-turut. Biasanya pada minggu keempat lesi menghilang sepenuhnya
tanpa bekas luka,
perdarahan atau infeksi.

Follow-up krmbali 6 bulan kemudian untuk melihat apakah terjadi


kekambuhan atau tidak.18

A B C
Gamabar 12. A:lesi sebelum di operasi B:penggunaan cryosurgery pada
mucocele C:penyembuhan mucocele setelah pembedahan.18
5. Mikro-Marsupialisasi

20
Sebelum tindakan pasien diminta untuk berkumur dengan larutan
chlorhexidine glukonat 0,12%. Kemudian dilakukan anestesi topikal (2%
lignocaine gel) digunakan
selama sekitar 3 menit atau
injeksi lignocaine
hidroklorida 2%.
Kemudian benang jahit
sutera 3-0 ditusuk
melewati lesi sepanjang
diameter terluasnya dari lesi dengan hati-hati agar tidak mencapai jaringan di
bawahnya selanjutnya dibuat simpul bedah. Lesi kemudian ditekan sedikit
untuk ekstravasasi air liur yang terakumulasi sebanyak mungkin di sekitar
jahitan. Pasien disarankan untuk menggunakan gel chlorhexidine 0,5% pasca
operasi untuk mencegah infeksi sekunder. Jahitan kemudian dapat dibuka
setelah 7 hari.19

Gambar 13. (A) Lesi pra operasi, (b) intraoperatif, (c) segera pasca operasi,
(d) setelah penyembuhan.19

Mikro-marsupialisasi adalah prosedur yang dilakukan untuk


mengeluarkan saliva yang terakumulasi dengan melwatkan benang jahit
sepanjang diameter lesi terbesar. Kemudian dilakukan teknik penjahitan
pengenalan teknik penjahitan dalam penanganan ini agar memungkinkan
terjadinya pembentukan saluran epitel antara permukaan dan dasar dari

21
jaringan kelenjar saliva. Teknik ini cepat, sederhana dan paling tidak
menyebabkan trauma dari semua opsi penanganan yang dijelaskan.19
L. PROGNOSIS
Prognosis dari mucocele umumnya baik meskipun pada kasus-kasus
tertentu mengalami rekurensi yang memerlukan reeksisi khususnya jika feeding
ke kelenjarnya belum dieksisi sempurna.1
M. KOMPLIKASI
Risiko perdarahan dan kerusakan saraf perifer rendah hingga sedang ada
setelah eksisi mucocele. Potensi kerusakan saraf berkurang selama eksisi
mucocele dengan inisiasi arah sayatan yang tepat. Selanjutnya, kekambuhan
mucocele berkurang jika kelenjar dan jaringan kelenjar yang berdekatan
dikeluarkan secara keseluruhan.7
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Mucocele adalah lesi yang umum ditemukan pada mukosa oral , merupakan
lesi jinak kelenjar saliva yang paling sering ditemukan pada rongga mulut.
2. Ada 2 jenis mucocele: mucocele ekstravasasi (EM) dan mucocele retensi
(RM).
3. Mucocele dapat terjadi pada laki-laki maupun pada perempuan dan paling
sering ditemukan pada individu muda, dengan 70% individu < 20 tahun.
4. Lokasi umum terjadinya mucocele yaitu pada lateral atau garis tengah mukosa
labial yaitu 94,44% dan diikuti oleh mukosa bukal yaitu 5,55%.
5. Etiologinya karena trauma pada glandula saliva minor yang berada dibawah
bibir.
6. Diagnosis mucocele terutama berdasarkan pada anamnesis dan penampilan
klinis yang meliputi pertumbuhan lesi cepat, lokasi yang spesifik, riwayat
trauma, warna kebiruan, konsistensi lunak dan kenyal.

22
7. Pemeriksaan penunjang yaitu histopatologi yang memberikan gambaran
berbeda di kedua jenis mucocele.
8. Ada berbagai modalitas penanganan yang meliputi pengangkatan secara
bedah, cryosurgery, micromarsupialisation, marsupialisation, electrocautery,
laser vaporization atau laser surgery dan injeksi kortikosteroid intralesi.
9. SARAN
1. Untuk penulisan selanjutnya masih kurang dalam hal referensi
penatalaksanaan lainya yang dapat digunakan dalam penatalaksanaan
mucocele agar dapat dicari dan telaah lagi.
2. Sebagai bahan penulisan selanjutnya sebaiknya jika ada literatur terbaru
sebaiknya di masukkan sebagai referensi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiawan D, Dwirahjo B, Astuti E T R. 2016. Eksisi mucocele rekuren pada


ventral lidah dengan anestesi lokal. Departemen Bedah Mulut dan
Maxillofasial Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Indonesia. Vol.2(1); Hal 1-6.

2. Barnes L. 2009. Surgical Pathology of the Head and Neck Ed.III. Department of
Pathology, University of Pittsburgh Medical Center. Infoma Healthcare. USA. Hal.
480-481.

3. Kasuma N. 2015. Fisiologi dan Patologi Saliva. Andalas University Press.


Padang. Hal. 1-3.

4. Sherwood L. Fisiologi Manusia. Ed. 8. Department of Physiology and


Pharmacology School of Medicine West Virginia University:
Brooks/Cole.2013. Hal. 621-622.

5. Ayhan E, Toprak S F, Kaya S, Akkaynak S. 2019. Dermoscopy of oral


mucocele: three types of extravasation mucoceles. University of Health
Sciences Gazi Yasargil Training and Research Hospital. urk J Med Sci.
Turkey. Hal. 96-102.

23
6. M Flaitz C, Burgess J. 2018. Mucocele and Ranula. University of Colorado
School. The Ohio State University College of Dentistry.

7. Triani E. 2012. Prevalensi Mucocele dan Ranula Di Poli Gigi dan Mulut
Rsup Dr. Mohammad Husen Palembang Periode Januari 2009 - Juni 2012.
Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Hal.
23-28.

8. Chairunus, Sunnati, Humaira Alya. 2012. Gambaran Kasus Mukokel


Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Lokasi, Dan Rekurensi Setelah Perawatan
(Kajian di Instalasi Gigi dan Mulut Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh Tahun 2005-2011). Fakultas Kedokteran Universitas
Syiah Kuala. Vol.3(2): Hal. 400-474.

9. Sinha R, Sarkar S, Khaitan T, Kabiraj A, Maji A. 2016. Nonsurgical


Management of Oral Mucocele by Intralesional Corticosteroid Therapy.
Haldia Institute of Dental Sciences and Research, Purba Medinipur, Haldia,
West Bengal. India. Hal. 1-5.

10. Bahadure R N, Fulzale P, Thosar N, Badole G, Baliga S. 2012. Conventional


surgical treatment of oral mucocele: A series of 23 cases. Department of
Paediatric and Preventive Dentistry, Sharad Pawar Dental College, Sawangi
Meghe, Wardha (Maharashtra), India. vol. 13(2); Hal. 143-146.

11. Parkavi A, Baburaj M D. 2018. Oral mucocoele: A case report. Department


of Periodontics. University of Health Sciences, Mumbai, Maharashtra, India.
Vol. 4(4); Hal. 332-335.

12. F. D. Fragiskos. 2007. Surgical Treatment of Salivary Gland Lesions. In Oral


Surgery. Verlag Berlin Heidelberg. Springer Berlin Heidelberg New York.
Hal. 330-333.

13. Taheri J B, Mansouri Z, Babaee S, Azimi S. 2014. Intraoral lipoma: Report


of two cases with diode laser excision. Department of Oral medicine and
Diagnosis, Dental School, Shahid Beheshti University of Medical Sciences,
Tehran, Iran. Vol.8. Hal. 26-28.

14. Valerio C S, Xembre P A O S, Vidigal B C L, Rocha B C S, Manzi F R. 2017.


Hemangioma of the face and neck with phleboliths: Diagnostic imaging with
X-ray and CT. Pontifical Catholic University of Minas Gerais, , Department
of Dentistry Belo Horizonte - Minas Geais - Brazil. Hal. 1-4.

15. Kaur M, Gombra V, Subramayam R V, Hasan S. 2015. Lymphangioma of the


buccal mucosa – A case report and review of literature. Department of Oral

24
Medicine and Radiology, Faculty of Dentistry, Jamia Millia Islamia, Jamia
Nagar, New Delhi. India. Vol.1(3); Hal. 123-125.

16. Narain S. 2011. Nasolabial Cyst: Clinical Presentation and Differential


Diagnosis. Association of Oral and Maxillofacial Surgeons of India. Hal 1-4.

17. Ramkumar S, Malathi N, Ramkumar L, Suganya R. 2016. Excision of


Mucocele Using Diode Laser in Lower Lip. Sri Ramachandra University,
Chennai, India. Hal. 1-4.

18. Katta N R, Arekal S, Mani S K, Basavarajaiah J M. 2018. Case report on


management of oral mucocele in paediatric patients using cryosurgery and
surgical excision. Department of Paediatric Dentist, CODS, Davangere,
Karnataka, India. Vol. 5(1): Hal. 016-019.

19. Girish B. Giraddi, Saifi A M. 2016. Micro-marsupialization versus surgical


excision for the treatment of mucoceles. Department of Oral and Maxillofacial
Surgery, Government Dental College and Research Institute, Bengaluru,
Karnataka, India. Vol 6(2). Hal. 4, 8.

25

Anda mungkin juga menyukai