Anda di halaman 1dari 16

Shock Anafilaktik

A. Definisi
Syok adalah gangguan hemodinamik dan metabolik karena ketidak-
adekuatan sirkulasi darah dan oksigen pada kapiler dan jaringan tubuh
(Tambayong, 2010). Manifestasi syok antara lain: hipotensi, takikardi,
oligouri, kulit lembab, gelisah dan kehilangan kesadaran. Anafilkasis adalah
reaksi cepat antara antigen spesifik dengan antibodi. Reaksi anafilaksis dapat
terjadi karena obat-obatan, makanan, latihan, sengatan serangga maupun
transfusi antibodi sitotoksik (Baughman & Hackley, 1996). Shock anafilaktik
merupakan reaksi hipersensitifitas sistemik akut dengan onset cepat yang
melibatkan dua organ atau lebih (sistem kulit/mukosa dan jaringan bawah
kulit, sistem respirasi, sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal). Reaksi
ini timbul oleh karena mediasi oleh IgE akibat pelepasan mediator sel mast
yaitu basofil (Eka dkk., 2010). Pada pajanan pertama biasanya jarang terjadi
syok, namun pada pajanan berikutnya kondisi syok dapat terjadi dan dapat
bersifat ireversibel dan dapat mengakibatkan kematian dalam rentang waktu 1
jam kemudian. Syok anafilaktik lebih sering terjadi pada orang berusia muda
dengan angka kematian mencapai 2-10%.

B. Etiologi
Pada dasarnya syok anafilaktik disebabkan karena faktor pencetus
anafilaksis yaitu antigen. Antigen yang menimbulkan reaksi anafilaksis
(alergi) dapat dicetusklan oleh obat-obatan seperti antibiotik, antiinflamasi,
zat anastesi, produk darah dan antiserum, preparat diagnostik, makanan, bisa
hewan, hormon, enzim biologis maupun ekstrak alergen potensial
(Tambayong, 2000). Berikut merupakan berbagai etiologi terjadinya shock
anafilaktik :
1. Antibiotik : Penisilin dan analog penisilin, sefalosporin, tetrasiklin,
eritromisin, streptomisin.
2. Antiinflamasi nonsteroid : Salisilat, meprobamat.
3. Obat lain : Protamin, yodium, diuretic tiazid, besi parenteral.
4. Anastesi lokal : Prokain, lidokain, kokain.
5. Anastesi umum : Suksinilkolin, tubokurarin.
6. Produk darah dan antiserum : Sel darah merah, sel darah putih, transfusi
trombosit, rabies, tetanus, antitoksin difteri,
7. Preparat diagnostik : Preparat radiokontras beryudium.
8. Makanan : Telur, susu, kacang-kacangan, ikan, kerang.
9. Bisa : Lebah, laba-laba, ular, ubur-ubur.
10. Hormon : Insulin, kortikotropin, ekstrak hipofisis.
11. Enzim dan biologis lain : Asetilsistein.

C. Patofisiologi
Shock anafilaktik diawali dengan adanya pajanan antigen yang masuk
kedalam tubuh host. Antigen masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara,
yaitu kontak langsung melalui kulit, inhalasi, saluran cerna, atau melalui
tusukan/suntikan. Masuknya antigen melalui suntikan merupakan yang
tersering menimbulkan reaksi shock anafilaktik.
Antigen yang masuk ke dalam tubuh langsung diikat oleh protein
spesifik (seperti albumin), selanjutnya ikatan akan menempel pada dinding sel
makrofag dan akan merangsang membrane sel makrofag untuk melepaskan
prekursor pembentuk reagen antibodi immunoglobulin E (IgE). Sel prekursor
ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta melepaskan antibodi IgE
spesifik. IgE yang terbebas selanjutnya diikat oleh reseptor spesifik yang
berada pada dinding sel mast dan basofil membentuk reseptor baru yaitu F ab
yang berperan sebagai pengenal dan pengikat antigen yang sama. Ini disebut
juga dengan proses sensitisasi (Bakta & Suastika, 1999).
Saat tubuh mengalami pajanan antigen kembali, maka antigen akan
segera dikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan diikat membentuk
ikatan IgE-Ag. Ikatan ini menyebabkan dinding sel mast dan basofil
mengalami degranulasi dan melepaskan mediator endogen seperti histamine,
kinin, serotonin, dan platelet activating factor (PAF). Mediator ini selanjutnya
bergerak menuju dan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos. Proses
reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas.
Reaksi hipersensitivitas terbagi menjadi fase akut dan fase kronis.
Reaksi hipersensitivitas fase akut terjadi saat endogen dilepaskan secara cepat.
Pada umumnya pemberian antihistamin tidak cukup pada kejadian ini karena
endogen dilepaskan dalam jumlah banyak. Proses lain terjadi pada membrane
sel mast dan basofil pada fase akut ini, yaitu pengubahan fosfolipid pada
membrane sel mast dan basofil menjadi asam arakhidonat dan kemudian
menjadi mediator berupa prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien / SRSA
(slow reacting substance of anaphylaxis) oleh karena enzim fosfolipase.
Karena proses terbentuknya mediator ini lebih lambat maka disebut dengan
fase lambat anafilaksis. Leukotrien (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan
pada fase lambat dapat menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat
dibandingkan yang disebabkan oleh histamine (Bakta & Suastika, 1999).
Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh
langsung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan
pembebasan histamine oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan
IgE dan reaksi ikatan IgE-Ag. Proses ini disebut dengan reaksi anafilaktoid
yang memberikan gejala dan tanda serta akibat yang sama seperto reaksi
anafilaksis (Bakta & Suastika, 1999).
Histamin dan mediator lainnya pada reaksi anafilaksis yang
terbebaskan akan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel
lainnya. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa :
1. Vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi.
2. Kontraksi otot polos seperti spasme bronkus yang mengakibatkan
sesak nafas, kontraksi vesika urinaria yang menyebabkan inkontinensia
uri, dan kontraksi usus yang menyebabkan diare.
3. Peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan edema karena
pergeseran cairan dari intravaskuler ke intersisial dan menyebabkan
hipovolemi intravaskuler dan shock. Edema dapat terjadi di kulit,
bronkus, epiglottis, dan laring.
4. Spasme arteri koronaria dan depresi miokardium pada jantung hingga
menyebabkan henti jantung mendadak pada kasus yang parah.

D. Manifestasi klinis
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, gejala yang umumnya muncul
pada kondisi syok anafilaktik sebagai berikut : (Tambayong, 2000)
1. Tahap awal (non progresif/dini/terkompensasi)

a. Kecemasan
b. Kesemutan perifer
c. Rasa sesak di mulut dan tenggorokan
d. Kongesti hidung, bersin-bersin
e. Pembengkakakn periorbital, pruritus, mata berair
f. Tekanan darah normal/rendah
g. Kulit pucat, lembab, dingin
h. Pupil dilatasi
i. Kadar hematokrit turun
j. Pernapasan dangkal dengan frekuensi yang meningkat
k. Pengeluaran urin berkurang dan korban merasa haus
l. Bising usus hipoaktif
m. Kelemahan otot hipoaktif

2. Tahap progresif
a. Wajah kemerahan dan gatal-gatal
b. Distres pernapasan
c. Tingkat kesadaran dan orientasi menurun
d. Bradikardia
e. Hipotensi
f. Anuria
g. Takipnea diikuti bronkospasme, batuk, mengi
h. Edema perifer
i. Distensi abdomen dan ileus paralitik
j. Korban tampak kritis, akral dingin, pucat
k. pH arteri asam
3. Tahap ireversibel
a. Korban tidak merespon pada semua penatalaksanaan
b. Sianosis
c. Kejang-kejang
d. Gagal napas
e. Gagal jantung
f. Disfungsi ginjal, paru, otak
g. Koma dan dead like appearance

4. Pemeriksaan diagnosis
1. Skin test
Cara ini banyak digunakan untuk mengevaluasi sensitivitas alerginya.
Keterbatas skin test adalah adanya hasil positif palsu dan reexposure
dengan agen yang akan mengakibatkan efek samping serius, oleh karena
itu pemberiannya diencerkan 1:1.000 – 1: 1.000.000 dari dosis inisial.
2. Kadar komplemen dan antibodi
Pada test ini penderita diberikan obat yang dicurigai secara intra vena,
kemudian diamati kadar IgE. Kekurangan dari cara ini adalah mengancam
nyawa.
3. Pelepasan histamine oleh leukosit in vitro
Histamin dilepaskan bila leukosit yang diselimuti IgE terpapar oleh
antigen imunospesifik. Pelepasan histamine tergantung pada derajat
sensitifitas sel yang disensitisasi oleh antibody IgE. Kekurangan dari cara
ini adalah beberapa agen dapat menimbulkan reaksi langsung (non
imunologik) pada pelepasan histamine.
4. Radio allegro sorbent test (RAST)
Cara ini dilakukan untuk menghitung antigen spesifik antibodi IgE.
Pada RAST, kompleks pada sebuah antigen berikatan dengan matriks
yang tidak larut diikubasi dengan serum penderita. Jumlah imunospesifik
antibody IgE ditentukan dengan inkubasi pada kompleks dan serum
dengan ikatan radioaktif 125-labelled anti IgE. Antigen-spesifik antibodi
diperlihatkan oleh ikatan radioaktif ini.
5. Hitung eosinofil darah tepi untuk menunjukkan adanya alergi dengan
peningkatan jumlah.

5. Penatalaksanaan
Saat pasien mulai memperlihatkan gejala shock anafilaktik maka
epinefrin harus langsung diberikan. Epinefrin 1:1000 diberikan dengan dosis
0,01 – 0,3 ml/kgBB secara subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20
menit sampai 3-4 kali seandainya gejala memburuk dengan diberikan secara
intramuscular (IM). Pada kasus allergen berupa suntikan imunoterapi maka
epinefrin diberikan pada bekas suntikan untuk mengurangi absorbs allergen.
Selain itu juga dapat dipasang tourniquet proksimal dari tempat suntikan dan
kendurkan setiap 10 menit.
Dua prioritas pengobatan pada kondisi shock anafilaktik yaitu sistem
pernafasan yang berhubungan dengan suplai oksigen dan sistem
kardiovaskuler yang berhubungan dengan perfusi jaringan. Pada sistem
pernafasan beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu :
1. Memastikan tidak ada obstruksi airway. Pada shock anafilaktik pada
umumnya terjadi edema laring atau spasme bronkus sehingga airway
menjadi terhambat. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin dapat
membantu namun beberapa kasus juga dibutuhkan trakeostomi pada
kondisi edema laring.
2. Pemberian oksigen 4-6 L/menit.
3. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran nafas bagian
bawah seperti gejala asma atau status asmatikus. Pada kasus ini
diberikan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc – 0,5 cc dalam
2-4 ml NaCl 0,9% yang diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-
6 mg/kgBB yang diencerkan dalam 20 cc deksrosa 5% atau NaCl 0,9%
dan diberikan perlahan sekitar 15 menit.
Pada sistem kardiovaskular, beberapa hal yang perlu diperhatikan berkitan
dengan shock anafilaktik yaitu :
1. Jika epinefrin tidak membantu pada gejala hipotensi dan shock
(kekurangan cairan intravascular), maka diberikan cairan kristaloid (NaCl
0,9%) atau koloid (plasma, dekstran) sebanyak 0,5-1 L secara intravena.
2. Oksigenasi mutlak harus dilakukan disamping pemantauan sistem
kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis
metabolik.
3. Central venous pressure (CVP) untuk memantau kebutuhan cairan,
menghindari kelebihan pemberian cairan, serta untuk memberikan obat.
4. Bila tekanan darah belum teratasi melalui pemberian cairan, maka
vasopresor diberikan melalui cairan infuse intravena, yaitu dengan
melarutkan 1 mL epinefrin 1:1.000 dalam 250 mL dekstrosa (konsentrasi
4 mg/ml) diberikan dengan infuse 1-4 mg/menit atau 15-60
mikrodip/menit. Dosis maksimum pemberian yaitu 10 mg/mL.
5. Apabila sarana tidak memadai dan terjadi shock anafilaktik berat maka
diberikan 10 mL epinfrin 1:10.000 yang diberikan melalui jarum yang
panjang atau kateter .

6. Pencegahan
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah adanya shock
anafilaktik yaitu : (Eliastam dkk., 1998)
1. Sediakan emergency kit termasuk adrenalin/epineprin di klinik.
2. Lakukan identifikasi alergen.
3. Hindari kontak dengan alergen.
4. Lakukan skin test alergen pada pasien jika memungkinkan sebelum
tindakan dilakukan (terutama pada pasien yang tidak mengetahui
ada/tidaknya alergi obat).
Syncope

A. Definisi
Syncope merupakan suatu istilah umum yang menggambarkan
hilangnya kesadaran seseorang yang terjadi tiba-tiba dan bersifat
sementara.yang disebabkan oleh penurunan aliran darah ke otak . Kesadaran
dapat kembali dalam beberapa menit, dengan maupun tanpa intervensi
tindakan tertentu (Eliastam dkk., 1998).

B. Etiologi
Pada dasarnya syok anafilaktik disebabkan karena faktor pencetus
anafilaksis yaitu antigen. Antigen yang menimbulkan reaksi anafilaksis
(alergi) dapat dicetusklan oleh obat-obatan seperti antibiotik, antiinflamasi,
zat anastesi, produk darah dan antiserum, preparat diagnostik, makanan, bisa
hewan, hormon, enzim biologis maupun ekstrak alergen potensial
(Tambayong, 2000). Berikut merupakan berbagai etiologi terjadinya shock
anafilaktik :
12. Antibiotik : Penisilin dan analog penisilin, sefalosporin, tetrasiklin,
eritromisin, streptomisin.
13. Antiinflamasi nonsteroid : Salisilat, meprobamat.
14. Obat lain : Protamin, yodium, diuretic tiazid, besi parenteral.
15. Anastesi lokal : Prokain, lidokain, kokain.
16. Anastesi umum : Suksinilkolin, tubokurarin.
17. Produk darah dan antiserum : Sel darah merah, sel darah putih, transfusi
trombosit, rabies, tetanus, antitoksin difteri,
18. Preparat diagnostik : Preparat radiokontras beryudium.
19. Makanan : Telur, susu, kacang-kacangan, ikan, kerang.
20. Bisa : Lebah, laba-laba, ular, ubur-ubur.
21. Hormon : Insulin, kortikotropin, ekstrak hipofisis.
22. Enzim dan biologis lain : Asetilsistein.

C. Patofisiologi
Shock anafilaktik diawali dengan adanya pajanan antigen yang masuk
kedalam tubuh host. Antigen masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara,
yaitu kontak langsung melalui kulit, inhalasi, saluran cerna, atau melalui
tusukan/suntikan. Masuknya antigen melalui suntikan merupakan yang
tersering menimbulkan reaksi shock anafilaktik.
Antigen yang masuk ke dalam tubuh langsung diikat oleh protein
spesifik (seperti albumin), selanjutnya ikatan akan menempel pada dinding sel
makrofag dan akan merangsang membrane sel makrofag untuk melepaskan
prekursor pembentuk reagen antibodi immunoglobulin E (IgE). Sel prekursor
ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta melepaskan antibodi IgE
spesifik. IgE yang terbebas selanjutnya diikat oleh reseptor spesifik yang
berada pada dinding sel mast dan basofil membentuk reseptor baru yaitu F ab
yang berperan sebagai pengenal dan pengikat antigen yang sama. Ini disebut
juga dengan proses sensitisasi (Bakta & Suastika, 1999).
Saat tubuh mengalami pajanan antigen kembali, maka antigen akan
segera dikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan diikat membentuk
ikatan IgE-Ag. Ikatan ini menyebabkan dinding sel mast dan basofil
mengalami degranulasi dan melepaskan mediator endogen seperti histamine,
kinin, serotonin, dan platelet activating factor (PAF). Mediator ini selanjutnya
bergerak menuju dan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos. Proses
reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas.
Reaksi hipersensitivitas terbagi menjadi fase akut dan fase kronis.
Reaksi hipersensitivitas fase akut terjadi saat endogen dilepaskan secara cepat.
Pada umumnya pemberian antihistamin tidak cukup pada kejadian ini karena
endogen dilepaskan dalam jumlah banyak. Proses lain terjadi pada membrane
sel mast dan basofil pada fase akut ini, yaitu pengubahan fosfolipid pada
membrane sel mast dan basofil menjadi asam arakhidonat dan kemudian
menjadi mediator berupa prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien / SRSA
(slow reacting substance of anaphylaxis) oleh karena enzim fosfolipase.
Karena proses terbentuknya mediator ini lebih lambat maka disebut dengan
fase lambat anafilaksis. Leukotrien (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan
pada fase lambat dapat menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat
dibandingkan yang disebabkan oleh histamine (Bakta & Suastika, 1999).
Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh
langsung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan
pembebasan histamine oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan
IgE dan reaksi ikatan IgE-Ag. Proses ini disebut dengan reaksi anafilaktoid
yang memberikan gejala dan tanda serta akibat yang sama seperto reaksi
anafilaksis (Bakta & Suastika, 1999).
Histamin dan mediator lainnya pada reaksi anafilaksis yang
terbebaskan akan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel
lainnya. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa :
5. Vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi.
6. Kontraksi otot polos seperti spasme bronkus yang mengakibatkan
sesak nafas, kontraksi vesika urinaria yang menyebabkan inkontinensia
uri, dan kontraksi usus yang menyebabkan diare.
7. Peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan edema karena
pergeseran cairan dari intravaskuler ke intersisial dan menyebabkan
hipovolemi intravaskuler dan shock. Edema dapat terjadi di kulit,
bronkus, epiglottis, dan laring.
8. Spasme arteri koronaria dan depresi miokardium pada jantung hingga
menyebabkan henti jantung mendadak pada kasus yang parah.

D. Manifestasi klinis
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, gejala yang umumnya muncul
pada kondisi syok anafilaktik sebagai berikut : (Tambayong, 2000)
7. Tahap awal (non progresif/dini/terkompensasi)

n. Kecemasan
o. Kesemutan perifer
p. Rasa sesak di mulut dan tenggorokan
q. Kongesti hidung, bersin-bersin
r. Pembengkakakn periorbital, pruritus, mata berair
s. Tekanan darah normal/rendah
t. Kulit pucat, lembab, dingin
u. Pupil dilatasi
v. Kadar hematokrit turun
w. Pernapasan dangkal dengan frekuensi yang meningkat
x. Pengeluaran urin berkurang dan korban merasa haus
y. Bising usus hipoaktif
z. Kelemahan otot hipoaktif

8. Tahap progresif

l. Wajah kemerahan dan gatal-gatal


m. Distres pernapasan
n. Tingkat kesadaran dan orientasi menurun
o. Bradikardia
p. Hipotensi
q. Anuria
r. Takipnea diikuti bronkospasme, batuk, mengi
s. Edema perifer
t. Distensi abdomen dan ileus paralitik
u. Korban tampak kritis, akral dingin, pucat
v. pH arteri asam
9. Tahap ireversibel
h. Korban tidak merespon pada semua penatalaksanaan
i. Sianosis
j. Disfagia
k. Muntah, diare
l. Kejang-kejang
m. Gagal napas
n. Gagal jantung
o. Disfungsi ginjal, paru, otak
p. Koma dan dead like appearance

10. Pemeriksaan diagnosis


6. Skin test
Cara ini banyak digunakan untuk mengevaluasi sensitivitas alerginya.
Keterbatas skin test adalah adanya hasil positif palsu dan reexposure
dengan agen yang akan mengakibatkan efek samping serius, oleh karena
itu pemberiannya diencerkan 1:1.000 – 1: 1.000.000 dari dosis inisial.
7. Kadar komplemen dan antibodi
Pada test ini penderita diberikan obat yang dicurigai secara intra vena,
kemudian diamati kadar IgE. Kekurangan dari cara ini adalah mengancam
nyawa.
8. Pelepasan histamine oleh leukosit in vitro
Histamin dilepaskan bila leukosit yang diselimuti IgE terpapar oleh
antigen imunospesifik. Pelepasan histamine tergantung pada derajat
sensitifitas sel yang disensitisasi oleh antibody IgE. Kekurangan dari cara
ini adalah beberapa agen dapat menimbulkan reaksi langsung (non
imunologik) pada pelepasan histamine.
9. Radio allegro sorbent test (RAST)
Cara ini dilakukan untuk menghitung antigen spesifik antibodi IgE.
Pada RAST, kompleks pada sebuah antigen berikatan dengan matriks
yang tidak larut diikubasi dengan serum penderita. Jumlah imunospesifik
antibody IgE ditentukan dengan inkubasi pada kompleks dan serum
dengan ikatan radioaktif 125-labelled anti IgE. Antigen-spesifik antibodi
diperlihatkan oleh ikatan radioaktif ini.
10. Hitung eosinofil darah tepi untuk menunjukkan adanya alergi dengan
peningkatan jumlah.

11. Penatalaksanaan
Saat pasien mulai memperlihatkan gejala shock anafilaktik maka
epinefrin harus langsung diberikan. Epinefrin 1:1000 diberikan dengan dosis
0,01 – 0,3 ml/kgBB secara subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20
menit sampai 3-4 kali seandainya gejala memburuk dengan diberikan secara
intramuscular (IM). Pada kasus allergen berupa suntikan imunoterapi maka
epinefrin diberikan pada bekas suntikan untuk mengurangi absorbs allergen.
Selain itu juga dapat dipasang tourniquet proksimal dari tempat suntikan dan
kendurkan setiap 10 menit.
Dua prioritas pengobatan pada kondisi shock anafilaktik yaitu sistem
pernafasan yang berhubungan dengan suplai oksigen dan sistem
kardiovaskuler yang berhubungan dengan perfusi jaringan. Pada sistem
pernafasan beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu :
4. Memastikan tidak ada obstruksi airway. Pada shock anafilaktik pada
umumnya terjadi edema laring atau spasme bronkus sehingga airway
menjadi terhambat. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin dapat
membantu namun beberapa kasus juga dibutuhkan trakeostomi pada
kondisi edema laring.
5. Pemberian oksigen 4-6 L/menit.
6. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran nafas bagian
bawah seperti gejala asma atau status asmatikus. Pada kasus ini
diberikan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc – 0,5 cc dalam
2-4 ml NaCl 0,9% yang diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-
6 mg/kgBB yang diencerkan dalam 20 cc deksrosa 5% atau NaCl 0,9%
dan diberikan perlahan sekitar 15 menit.
Pada sistem kardiovaskular, beberapa hal yang perlu diperhatikan berkitan
dengan shock anafilaktik yaitu :
6. Jika epinefrin tidak membantu pada gejala hipotensi dan shock
(kekurangan cairan intravascular), maka diberikan cairan kristaloid (NaCl
0,9%) atau koloid (plasma, dekstran) sebanyak 0,5-1 L secara intravena.
7. Oksigenasi mutlak harus dilakukan disamping pemantauan sistem
kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis
metabolik.
8. Central venous pressure (CVP) untuk memantau kebutuhan cairan,
menghindari kelebihan pemberian cairan, serta untuk memberikan obat.
9. Bila tekanan darah belum teratasi melalui pemberian cairan, maka
vasopresor diberikan melalui cairan infuse intravena, yaitu dengan
melarutkan 1 mL epinefrin 1:1.000 dalam 250 mL dekstrosa (konsentrasi
4 mg/ml) diberikan dengan infuse 1-4 mg/menit atau 15-60
mikrodip/menit. Dosis maksimum pemberian yaitu 10 mg/mL.
10. Apabila sarana tidak memadai dan terjadi shock anafilaktik berat maka
diberikan 10 mL epinfrin 1:10.000 yang diberikan melalui jarum yang
panjang atau kateter .

12. Pencegahan
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah adanya shock
anafilaktik yaitu : (Eliastam dkk., 1998)
1. Menyiapkan emergency kit pada tempat praktek.
2. Memastikan pasien dalam kondisi baik sebelum tindakan perawatan
dilakukan (tekanan darah normal, nadi normal, pernapasan normal,
pasien sedang tidak mengonsumsi obat-obatan tertentu, pasien
kooperatif).
3. Memberikan jeda dalam setiap tindakan perawatan agar pasien tidak
kelelahan.
4. Menghentikan prosedur perawatan sementara jika pasien merasa tidak
nyaman atau menunjukkan tanda-tanda pre-sinkop.

Anda mungkin juga menyukai