Anda di halaman 1dari 29

OPIOID

CJ5 Januri 2021


Opioid
Semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptor morfin => sering digunakan dalam anastesia untuk
mengendalikan nyeri saat dan pasca pembedahan => opium adalah
getah candu => opiate adalah obat yang terbuat dari opium
Mekanisme Kerja

Reseptor opioid tersebar luas di seluruh jaringan system saraf pusat,


tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu system limbik,
thalamus, hipotalamus, korpus striatum, system aktivasi reticular, kornu
spinalis yaitu di substansia gelatinosa, dan pleksus saraf usus =>
molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin,
dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek
Golongan Reseptor Opioid

• Reseptor Mu : Mu-1 => analgesia supraspinal


Mu-2 => analgesia spinal, depresi nafas, eforia, ketergantungan fisik,
kekakuan otot
• Reseptor Delta : analgesia spinal, epileptogen
• Reseptor Kappa : Kappa-1 => analgesia spinal
Kappa-2 => tidak diketahui
Kappa-3 => analgesia supraspinal
• Reseptor Sigma: disforia, halusinasi, stimulasi jantung
• Reseptor Epsilon : respons hormonal
Pada system supraspinal tempat kerja opioid adalah di reseptor
substansia grisea, yaitu di periakuaduktus dan periventricular =>
sedangkan pada system spinal tempat kerjanya di substansia gelatinosa
kornu spinalis => morfin (agonis) terutama bekerja di reseptor Mu dan
sisanya di reseptor Kappa
Golongan Opioid

• Agonis
Mengaktifkan reseptor => morfin, papaveretum, petidin (meperidin,
demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein,
alfaprodin
• Antagonis
Tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat yang bersamaan mencegah
agonis merangsang reseptor => nalokson, naltrekson
• Agonis-antagonis => pentasosin, nalbufin, butarfanol, buprenorfin
Klasifikasi Opioid

Dalam klinik digolongkan menjadi opioid lemah (kodein) dan kuat


(morfin) akan tetapi kurang popular => penggolongan lain adalah
• Natural => morfin, kodeiun, papverin, tebain
• Semisintetik=> heroin, dihidromorfin / morfinon, derivate tebain
• Sintetik => petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil
EFEK OPIOID PADA SISTEM
ORGAN
▹ Kardiovaskular
▸ Secara umum, efek opioid secara langsung pada jantung minimal
▸ Menyebabkan bradikardi yang dimediasi N. Vagus
▸ Jika diinjeksi sendiri, opioid tidak menekan kontraktilitas jantung.
▸ Opioid  bradikardi, venodilatasi, simpatis ↓  TD turun
▸ Sufetanil/Fentanyl + Benzodiazepin  curah jantung ↓
▸ Bolus meperidine, hydromorphone, morphine  histamin release 
resistensi sistemik vascular dan TD ↓↓  opioid drip pelan /
pretreatment dengan antagonis H1 dan H2
Morgan & Mikail. 2018. Clinical Anesthesiology, 6 th Ed. New York: Lange.
EFEK OPIOID PADA SISTEM
ORGAN
▹ Respirasi
▸ Depresi ventilasi (Respiratory Rate ↓)  monitoring
▸ Berikatan dengan neuron di pusat system respirasi (brainstem) 
meningkatkan PaCO2 dan menumpulkan respon CO2 challenge 
pergeseran kurva respon CO2 ke bawah dan ke kanan  ambang apneu
↑ dan hypoxic drive ↓
▸ Morfin dan meperidine  histamine-induced bronchospasm
▸ Pemberian cepat dosis besar  kekakuan dinding dada yang cukup parah
 ventilasi dengan bagging hampir mustahil  jarang  opioid dosis
besar sudah jarang digunakan
Morgan & Mikail. 2018. Clinical Anesthesiology, 6 th Ed. New York: Lange.
EFEK OPIOID PADA SISTEM ORGAN

▹ Sistem cerebral
Mual dan muntah
Analgesi
Sedasi
Miosis
Depresi nafas
konvulsi
EFEK OPIOID PADA SISTEM ORGAN
▹ GASTROINTESTINAL
 Opioid memperlambat motilitas gastrointestinal dengan mengikat reseptor opioid di usus
dan mengurangi gerakan peristaltik.
 Menyebabkan kejang otot usus => konstipasi
 Menyebabkan kejang sfingter oddi pada empedu => kolik empedu => tidak dianjurkan
pada pasien dengan gangguan empedu
▹ Endokrin
▸ Fentanil atau sufentanil dosis besar menghambat pelepasan hormon termasuk katekolamin, hormon
antidiuretik, dan kortisol.
▸ Menyebabkan kejang pada sfingter buli-buli => retensi urin

▹ Efek lain
 Studi retrospektif telah menghubungkan anestesi umum (termasuk opioid) dengan
peningkatan risiko kambuhnya kanker setelah operasi
FENTANYL
Absorpsi
• Fentanyl dapat diberikan secara Intravenous, Transmucosal
dan transdermal
• Oral transmucosal Fentanyl dapat memberikan efek analgesia
dan sedasi pada pasien yang sulit di analgesi dengan IV, IM
ataupun oral.

• Dapat diberikan transdermal karena Fentanyl mempunyai


berat molekul yang rendah dan solubilitas ( kelarutan )
terhadap lemak yang tinggi sehingga dapat mudah di serap
kulit.
DISTRIBUTION
Kelarutaan terhadap lemak ini mempengaruhi 
onset kerja fentanyl yang cepat tetapi duration of
actionnya tidak Panjang bila diberikan dalam dosis
kecil jika dibandingkan dengan opioid lain.
• Konsentrasi fentanyl untuk mencapai Plateu adalah 14-24 jam. Namun
apabila patch ini digunakan pada lansia, maka patch ini masih dapat
mengalami absorpsi yang konstan sampai 72 jam. Bahkan setelah patch
tersebut diremove , absorpsi masih tetap dapat berlangsung.

• Jumlah fentanyl yang terabsorpsi bergantung pada seberapa lebar patch


nya dan kondisi kulit yang ditempeli patch tersebut ( kondisi kulit
berhubungan dengan blood flow)
Menariknya alfentanil memiliki rapid onset dan duration
of action yang pendek jika dibandingkan dengan fentanyl
padahal alfentanyl memiliki kelarutan lemak yang rendah
• Opiod sendiri mempunyai efek depresi ventilasi terutama penurunan
respiratory rate.
• Opioid meningkatkan PaCO2 dan menumpulkan response terhadap
CO2 challenge. Hal ini terjadi karena opioid berikatan dengan
neuron di pusat pernapasan di batang otak.
• Pemberian secara cepat pada fentanyl dengan dosis besar dapat
menginduksi terjadinya chest wall rigidity yang cukup berat sehingga
ventilasi dengan Bag and Mask menjadi mustahil. Apabila terjadi hal
ini  berikan neuromuscular block
DOSIS
Pada SAB  Fentanyl biasa diberikan dalam dosis kecil secara
intrathecal yaitu 10-25 mcg Bersama dengan local anestetik

Pada epidural  dapat menambah analgesia apabila diberikan dengan


local anestetik
MEKANISME KERJA
CYCLOOXYGENASE
INHIBITOR
• Beberapa NSAID yang dijual bebas bekerja melalui inhibisi
siklooksigenase (COX), yang merupakan tahap penting dari
pembentukan prostaglandin
• COX mengkatalisasi produksi prostaglandin H1 dari asam arakidonat.
Enzim yang terbentuk adalah COX-1 dan COX-2 yang memiliki
distribusi yang berbeda di jaringan
• Reseptor COX-1 didistribusi secara luas dalam tubuh, termasuk pada
pencernaan dan platelet. COX-2 diproduksi sebagai respon untuk
inflamasi
• Enzim COX-1 dan COX-2 berbeda dalam ukuran tempat berikatannya.
Tempat berikatan COX-2 dapat mengakomodasi molekul yang lebih
besar yang tidak dapat berkiatan dengan tempat berikatan dari COX-1
• Perbedaan ini yang bertanggung jawab atas inhibisi selektif COX-2
• Agen yang menginhibisi COX nonselektif (contohnya: aspirin), dapat
mengontrol demam, inflamasi, nyeri dan trombosis. Agen COX-2
selektif (contohnya: celecoxib, eterocoxib) dapat digunakan saat
perioperatif tanpa mengkhawatirkan mengenai inhibisi platelet atau
efek pada gastrointestinal
• Saat inhibisi COX-1 menurukan trombosis, inhibisi selektif COX-2 dapat
meningkatkan resiko serangan jantung, trombosis dan stroke
• Asetaminofen menginhibisi COX di otak tanpa berikatan dengan
tempat berikatan aktif dari enzim (seperti pada NSAID) untuk
memproduksi efek antipiretik. Analgesik asetaminofen merupakan
hasil dari sistem reseptor endogenous cannabinoid vanilloid di otak,
tetapi mekanisme kerjanya masih menjadi spekulasi. Asetaminofen
tidak memikiki efek mayor pada COX di luar otak.
• Aspirin, NSAID pertama, digunakan sebagai antipiretik dan analgesik.
Saat ini, digunakan untuk pencegahan trombosis pada individu yang
rentan atau untuk Infark Miokard Akut. Aspirin dapat menginhibisi
COX-1 secara irreversibel sehingga efeknya menetap setelah 1 minggu
penghentian obat (contoh: inhibisi agregasi platelet)
Gabapentin dan Pregabalin
• Gabapentin pertama kali dikenal sebagai anti-epilepsy tetapi secara tidak sengaja ditemukan bahwa
mempunyai property analgesic.
• Awalnya pengaplikasi annya adalah untuk terapi nyeri kronik neuropati dan sekarang terapi untuk
neuralgia postherpetic.
• Pregabalin juga digunakan untukpasien dengan diabetic neuropati.
• Untuk treatment nyeri kronik-> dosis awal dengan dosis kecil lalu dosis naik bertahap sampai terdapat
efek pusing dan muncul efek sedasi

• Pemberian yang adequate untuk gabapentin mencapai optimal dose kira2 adalah sebulan.
DAFTAR PUSTAKA
• Butterworth, John F. et al.2018. 6th edition Morgan & Mikhail Clinical
Anesthesiology. Lange
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai