Anda di halaman 1dari 27

 

Tatalaksana Nyeri
Definisi menurut The Internastional Association for the Study of Pain => pengalaman sensoris
dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara
potensial dan actual => nyeri sering digambarkan sebagai hal berbahaya (noksius, protofatik)
atau tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan
ringan
 
Pembagian Nyeri

Nyeri Akut
• Nyeri Somatik Luar => nyeri tajam dikulit, subkutis, mukosa
• Nyeri Somatik Dalam => nyeri tumpul di otot rangka, tulang, sendi, jaringan
ikat
• Nyeri visceral => nyeri karena penyakit atau disfungsi organ dalam
Nyeri Kronik
Berdasarkan Kualitas

Nyeri Cepat (fast pain) => singkat dan tempatnya jelas sesuai rangsang
yang diberikan => nyeri tusuk, nyeri pembedahan => dihantarkan oleh
serabut saraf kecil bermielin jenis A-delta dengan kecepatan konduksi
12-30 meter/detik
Nyeri Lambat (slow pain) => sulit dilokalisir dan tidak berhubungan
dengan rangsang => rasa terbakar, rasa berdenyut / ngilu, linu =>
dihantarkan serabut saraf primitive tidak bermielin jenis C dengan
kecepatan konduksi 0,5-2 meter/detik
Nyeri Inflamasi

Proses unik yang baik secara biokimia dan seluler => disebabkan oleh adanya
kerusakan jaringan atau benda asing => berfungsi untuk menghilangkan dan
menyembuhkan jaringan yang rusak
 
Tanda-tanda Inflamasi
• Rubor (kemerahan)
• Kalor (kehangatan)
• Tumor (pembengkakan)
• Dolor (nyeri)
• Fungsio laesa (kehilangan fungsi)
Reseptor Nyeri

Ujung-ujung saraf bebas => nyeri dapat memicu mual-muntah karena


peningkatan sirkulasi katekolamin akibat stress
Mekanisme Nyeri

Transduksi
Proses konversi energi dari rangsangan nyeri (rangsangan noksius)
menjadi energi listrik berupa impuls saraf => dilakukan oleh reseptor
sensoris untuk nyeri (nosireseptor), pada jaringan normal nosireseptor
tidak aktif => nosireseptor teraktivasi jika ada rangsang noksius yang
mencapai tingkat ambang yang cukup dan mengubah rangsangan nyeri
menjadi energi listrik => Sebagian besar nosireseptor adalah ujung saraf
bebas yang menangkap panas, mekanik, dan kimia yang berasal dari
kerusakan jaringan => nosireseptor dapat ditemukan pada jaringan
somatik dan visceral
Mekanisme Nyeri
Transmisi
Proses penyampaian impuls saraf yang terdiri dari tiga tingkatan
• First Order Neuron => penyampaian impuls saraf dari nosireseptor ke
kornu dorsalis medulla spinalis
• Second Order Neuron => penyampaian impuls saraf dari medulla
spinalis ke thalamus
• Third Order Neuron => penyampaian impuls saraf dari thalamus ke
girus post sentral ke korteks serebri melalui kapsula interna dan
korona radiata
Mekanisme Nyeri
Modulasi
Proses pengaturan impuls yang dihantarkan yang dapat berupa proses
eksitatori (merangsang) atau proses inhibisi (menghambat) => proses
ini dapat terjadi di perifer maupun sentral => Gate Control Theory
adalah teori yang mendasari mekanisme modulasi nyeri yang
menjelaskan bahwa di kornu dorsalis medulla spinalis transmisi nyeri di
atur oleh suatu gerbang => transmisi akan dilanjutkan ke otak jika
gerbang ini di buka dan akan dihambat jika gerbang ini di tutup
Mekanisme Nyeri
Persepsi
Proses apresiasi atau pemahaman impuls saraf yang sampai ke susunan
saraf pusat sebagai rasa nyeri => proses ini terjadi di korteks
somatosensory dan system limbik
Zat-zat Penghasil Nyeri
Zat Sumber Nyeri Efek pada Aferen Primer

Kalium Sel-sel rusak ++ Mengaktifkan


Serotonin Trombosit ++ Mengaktifkan
Bradykinin Kininogen plasma +++ Mengaktifkan
Histamin Sel-sel mast + Mengaktifkan
Prostaglandin Asam arakidonat dan sel rusak +/- Sensitisasi
Lekotrien Asam arakidonat dan sel rusak +/- Sensitisasi
Substansia P Aferen primer +/- Sensitisasi
Respons Sistemik Terhadap Nyeri

Nyeri akut berhubungan dengan respons neuro-endokrin sesuai derajat


nyerinya => nyeri akan meningkatkan hormone katabolic (katekolamin,
kortisol, glucagon, renin, aldosterone, angiotensin, hormone
antidiuretic) dan menurunkan hormone anabolic (insulin, testosterone)
=> manifestasi nyeri berupa hipertensi, takikardi, hiperventilasi
(kebutuhan O2 dan produksi CO2 meningkat), tonus sfingter saluran
cerna dan air kemih meningkat (ileus, retensi urin)
Skala Nyeri

Dapat di ukur dengan berbagai cara => tingkah laku pasien, skala verbal
dasar (VRS, verbal rating scales), skala analog visual (VAS, visual
analogue scales) => secara sederhana dapat ditanyakan langsung jika
pasien sadar dan di kategorikan menjadi :
• Tidak nyeri (none)
• Nyeri ringan (mild, slight)
• Nyeri sedang (moderate)
• Nyeri berat (severe)
• Sangat nyeri (very severe, intolerable)
Metoda Penghilang Nyeri

Biasanya digunakan opioid untuk nyeri hebat dan NSAID untuk nyeri
ringan-sedang => dapat secara sistemis (oral, rektal, transdermal,
sublingual, subkutan, intramuscular, intravena, perinfus), yang paling
digemari intramuscular opioid => dapat juga secara regional seperti
epidural opioid (dosis dewasa morfin 1-6 mg, petidin 20-60 mg, fentanil
20-100 mikrogram) atau intraspinal (dosis dewasa morfin 0,1-0,3 mg,
petidin 10-30 mg, fentanil 5-25 mikrogram) => terkadang digunakan
metoda infiltrasi pada luka operasi sebelum pembedahan selesai
misalnya pada sirkumsisi atau pada luka apendektomi
Opioid
Semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptor morfin => sering digunakan dalam anastesia untuk
mengendalikan nyeri saat dan pasca pembedahan => opium adalah
getah candu => opiate adalah obat yang terbuat dari opium
Mekanisme Kerja

Reseptor opioid tersebar luas di seluruh jaringan system saraf pusat,


tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu system limbik,
thalamus, hipotalamus, korpus striatum, system aktivasi reticular, kornu
spinalis yaitu di substansia gelatinosa, dan pleksus saraf usus =>
molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin,
dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek
Golongan Reseptor Opioid

• Reseptor Mu : Mu-1 => analgesia supraspinal


Mu-2 => analgesia spinal, depresi nafas, eforia, ketergantungan fisik,
kekakuan otot
• Reseptor Delta : analgesia spinal, epileptogen
• Reseptor Kappa : Kappa-1 => analgesia spinal
Kappa-2 => tidak diketahui
Kappa-3 => analgesia supraspinal
• Reseptor Sigma: disforia, halusinasi, stimulasi jantung
• Reseptor Epsilon : respons hormonal
Pada system supraspinal tempat kerja opioid adalah di reseptor
substansia grisea, yaitu di periakuaduktus dan periventricular =>
sedangkan pada system spinal tempat kerjanya di substansia gelatinosa
kornu spinalis => morfin (agonis) terutama bekerja di reseptor Mu dan
sisanya di reseptor Kappa
Golongan Opioid

• Agonis
Mengaktifkan reseptor => morfin, papaveretum, petidin (meperidin,
demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein,
alfaprodin
• Antagonis
Tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat yang bersamaan mencegah
agonis merangsang reseptor => nalokson, naltrekson
• Agonis-antagonis => pentasosin, nalbufin, butarfanol, buprenorfin
Klasifikasi Opioid

Dalam klinik digolongkan menjadi opioid lemah (kodein) dan kuat


(morfin) akan tetapi kurang popular => penggolongan lain adalah
• Natural => morfin, kodeiun, papverin, tebain
• Semisintetik=> heroin, dihidromorfin / morfinon, derivate tebain
• Sintetik => petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil
Agonis Opioid
Morfin
Paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan lain dan kerja anlgesinya cukup Panjang
(long-acting). Sifatnya terhadap berbagai system berbeda.

Terhadap Sistem Saraf Pusat


• Depresi => analgesi, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar
• Stimulasi => stimulus parasimpatis, miosis, mual-muntah, hiperaktif reflek spinal, konvulsi,
sekresi ADH

Terhadap Sistem Cardiovascular


Merangsang vagus dan terjadi bradikardi tanpa mendepresi miokardium => dosis terapetik
pada dewasa sehat normal tidur terlentang hamper tidak mengganggu system cardiovascular
=> morfin menyebabkan hipotensi ortostatik
Terhadap Sistem Respirasi
Harus berhati-hati karena morfin dapat melepaskan histamin yang dapat menyebabkan
konstriksi bronkus => morfin kontraindikasi pada pasien asma dan bronchitis kronis
 
Terhadap Sistem Saluran Cerna
• Menyebabkan kejang otot usus => konstipasi
• Menyebabkan kejang sfingter oddi pada empedu => kolik empedu => tidak dianjurkan pada
pasien dengan gangguan empedu => kolik empedu menyerupai serangan jantung => untuk
membedakannya diberikan antagonis opioid
 
Terhadap Sistem Ekskresi Ginjal
Menyebabkan kejang pada sfingter buli-buli => retensi urin
Adiksi dan Toleransi Morfin
• Toleransi ditandai dengan peningkatan dosis pada penggunaan obat secara berulang untuk
mendapatkan efek klinis yang sama seperti sebelumnya => toleransi morfin hanya pada efek
depresinya => toleransi dapat Kembali normal setelah puasa morfin 1-2 minggu
• Adiksi morfin adalah ketergantungan fisik dan psikis yang ditandai dengan withdrawal syndrome
yaitu lakrimasi, rinorea, kegelisahan, berkeringat, mual-muntah, diare, menguap terus menerus,
midriasis, hipertensi, takikardi, kejang perut, nyeri otot
 
Efek Samping
• Jarang dijumpai alergi, alergi terkadang ditemukan di tempat suntikan berupa bentol kecil dan gatal
• Mual-muntah sering dijumpai
• Prutitus sering dijumpai pada pemberian epidural atau intratekal => dapat segera dihilangkan
dengan nalokson tanpa menghilangkan efek analgesinya
Ambilan, Distribusi, dan Eliminasi
Dapat diberikan secara SC, IM, IV, epidural, atau intratekal => waktu paruh 30 menit setelah injeksi
SC dan 8 menit setelah injeksi IM => 1/3 yang diabsorpsi akan berikatan dengan albumin plasma =>
Sebagian besar akan dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hepar dan metabolitnya akan
dikeluarkan oleh urin 90% dan feses 10%

Penggunaan dalam Anestesia dan Analgesia


Pada premedikasi sering dikombinasikan dengan atropine dan fenotiasin (largaktil) => pada rumatan
anestesia umum di kamar bedah sering digunakan untuk tambahan analgesia melalui IV => untuk
obat utama anestesia harus ditambahkan bensodiazepin atau fenostiasin atau anastetik inhalasi
volatile dosis rendah => dosis nyeri sedang 0,1-0,2 mg/kgBB SC / IM dan dapat diulang setiap 4 jam
=> dosis nyeri berat dewasa 1-2 mg IV dapat diulang sesuai kebutuhan => untuk mengurangi nyeri
dewasa pasca bedah dan pasca persalinan dosis 2-4 mg epidural atau 0,05-0,2 mg intratekal dan
dapat diulang antara 6-12 jam
Petidin

Zat sintetik dengan formula berbeda dari morfin tetapi memiliki efek klinis dan efek samping yang mendekati
sama. Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut
• Petidin lebih larut lemak, morfin lebih larut air
• Metabolism petidin oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidine, asam meperidinat, dan asam
normepiridinat => normeperidin adalah metabolit yang masih aktif dan memiliki sifat konvulsi 2x lipat petidin
tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50% => kurang dari 10% petidin dalam bentuk asli ditemukan di urin
• Petidin bersifat seperti atropine yang menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan, dan takikardi
• Seperti morfin, petidin menyebabkan konstipasi, akan tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan
• Petidin cukup efektif menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak berhubungan dengan hipotermi dengan
dosis 20-25 mg IV pada dewasa, morfin tidak
• Lama kerja petidin < morfin
 
Dosis IM petidin 1-2 mg/kgBB (morfin 10x lebih kuat) dan dapat diulang setiap 3-4 jam, dosis IV petidin 0,2-0,5
mg/kgBB => petidin SC tidak dianjurkan karena iritasi => rumus bangun menyerupai lidokain sehingga dapat
digunakan untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kgBB
Fentanil

Zat sintetik denga kekuatan 100x morfin => lebih larut lemak dibandingkan petidin
dan mudah untuk menembus sawar jaringan => setelah injeksi IV ambilan dan
distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan morfin tetapi fraksi terbesar
dirusak oleh paru saat pertama kali melewatinya => dimetabolisir oleh hepar dengan
N-dealkilasi dan hidroksilasi => metabolitnya dikeluarkan melalui urin => efek depresi
nafasnya lebih lama dari efek analgesinya => dosis 1-3 mikrogram/kgBB analgesinya
hanya 30 menit dan oleh karena itu digunakan hanya untuk anastesia pembedahan
dan tidak untuk pasca bedah => dosis besar 50-150 mikrogram/kgBB untuk induksi
anetesia dan untuk rumatan anestesia ditambahkan dengan bensodiazepin dan
anastetik inhalasi dosis rendah digunakan untuk bedah jantung => efek yang tidak
disukai adalah kekauan otot punggung yang sebenarnya bisa dicegah dengan
pelumpuh otot => dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, ketekolamin
plasma, ADH, renin, aldosterone, dan kortisol
Sulfentanil
Sifatnya kira-kira sama dengan fentanil => efek pulih lebih cepat dari fentanil => kekuatan
analgesinya 5-10x lipat lebih besar dari fentanil => dosis 0,1-0,3 mg/kgBB

Alfentanil
Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil => insiden mual-muntah sangat besar => mula
kerjanya cepat => dosis 10-20 mikrogram/kgBB

Tramadol
Analgetic sentral dengan afinitas rendah pada reseptor Mu => kelemahan analgesinya 10-
20% morfin => dapat secara oral, IM, IV => dosis 50-100 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam
dengan dosis maksimal 400 mg/hari
Antagonis Opioid

Nalokson
• Antagonis murni opioid yang bekerja di reseptor Mu, Delta, Kappa, dan Sigma => pemberian nalokson pada
pasien dengan morfin akan terlihat RR meningkat, kantuk menghilang, pupil mata dilatasi, tekanan darah jika
sebelumnya turun akan naik => biasanya digunakan untuk melawan depresi nafas pada akhir pembedahan
dengan dosis dicicil 1-2 mikrogram/kgBB IV dan dapat diulang setiap 3-5 menit sampai ventilasi dianggap
baik => dosis lebih dari 0,2 mikrogram jarang digunakan => dosis IM 2x lebih besar dari dosis IV => pada
keracunan opioid nalokson diberikan perinfus dosis 3-10 mikrogram/kgBB => untuk depresi nafas neonates
dengan ibu mendapat opioid berikan nalokson 10 mikrogram/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit =>
biasanya 1 ampul nalokson 0,4 mg diencerkan sampai 10 ml sehingga setiap 1 ml mengandung 0,04 mg
 
Naltrekson
• Antagonis opioid kerja Panjang yang biasanya diberikan peroral pada pasien ketergantungan opioid => waktu
paruh plasma 8-12 jam => pemberian peroral dapat bertahan sampai 24 jam => dosis peroral 5 mg atau 10
mg dapat mengurangi pruritus dan mual-muntah pada analgesia epidural saat persalinan tanpa mengurangi
efek analgesinya

Anda mungkin juga menyukai