Anda di halaman 1dari 16

BAHAYA ANESTESIA SPINAL DENGAN INSERSI JARUM TINGGI

Oleh :
dr. Dadik Prasetya Hutama

Pembimbing :
Dr. dr. Aswoco Andyk Asmoro, Sp. An, FIPM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul..................................................................................................................................i
Daftar Isi..........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................2
2.1 Anestesi Spinal.......................................................................................................................2
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Anestesi Spinal...........................................................................2
2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Anestesi Spinal..................................................................4
2.1.3 Indikasi dan Kontraindikasi Anestesi Spinal...................................................................5
2.1.4 Kelengkapan Anestesi Spinal..........................................................................................6
2.1.5 Teknik Anestesi Spinal....................................................................................................8
2.1.6 Risiko Anestesi Spinal...................................................................................................10
2.2 Bahaya Insersi Jarum Tinggi pada Anestesi Spinal.............................................................11
BAB III KESIMPULAN...............................................................................................................13
Daftar Pustaka................................................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Beberapa penelitian menyatakan bahwa morbiditas paska pembedahan dapat diturunkan


dengan blokade neuraksial, baik penggunaan tunggal ataupun dikombinasikan dengan anestesia
general. Blokade neuraksial memungkinkan kembalinya fungsi gastrointestinal lebih cepat paska
pembedahan serta dikaitkan dengan penurunan risiko terjadinya trombosis vena dan emboli
pulmonal (Butterworth et al., 2018). Anestesi spinal sebagai salah satu bentuk blokade
neuraksial mampu menyiapkan kondisi operatif yang baik terutama bagi pembedahan di bawah
umbilikus (Hadzic, 2017).
Faktor-faktor yang memengaruhi level blokade spinal terbagi secara garis besar menjadi
empat kategori yang meliputi karakteristik larutan anestesi lokal, karakteristik pasien, teknik
blokade spinal, dan difusi. Teknik blokade meliputi tempat injeksi dilakukan, kecepatan injeksi,
arah insersi jarum, kekuatan saat injeksi, serta penambahan vasokonstriktor (Hadzic, 2017).
Celah L3-L4 atau L4-L5 merupakan lokasi yang umum digunakan sebagai tempat insersi jarum
spinal pada teknik anestesi spinal. Korda spinalis, khususnya conus medullaris terminalis, umum
berakhir pada L1 atau L1-L2 sehingga insersi jarum spinal di bawah tingkat vertebra tersebut
direkomendasikan. Trauma korda spinalis akibat insersi jarum spinal jarang ditemukan namun
apabila terjadi dapat menimbulkan manifestasi dan sekuele yang permanen. Hal ini yang
kemudian melatarbelakangi penulisan dari tulisan ini.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Spinal


Anestesi spinal merupakan salah satu teknik anestesi neuraksial dimana anestesi lokal
diinjeksikan secara langsung ke ruang intrateka/ruang subaraknoid. Ruang subaraknoid berisi
cairan serebrospinal yang diproduksi kurang lebih sebanyak 500 ml setiap harinya (Olawin&Das,
2020). Anestesi spinal, bersama dengan dua teknik anestesi neuraksial lain (caudal dan
epidural), pertama kali digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad ke-20 dan terus
mengalami perkembangan sejak tahun 1885 (Butterworth et al., 2018). Perbaikan dari agen
farmakologi dan kelengkapan yang digunakan serta pemahaman yang lebih mendalam terkait
fisiologi dan anatomi dari anestesi spinal menjadikan teknik ini sebagai salah satu teknik anestesi
yang relatif aman untuk digunakan (Hadzic, 2017).

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Anestesi Spinal


Kolumna vertebrae tersusun atas 33 vertebra yang terdiri dari 7 cervical (C), 12 thoracal
(T), 5 lumbar (L), 5 sacral (S), dan 4 coccyx. Kolumna vertebrae umumnya membentuk huruf C
ganda dengan segmen servikal dan lumbar convex ke arah anterior. Lima ligamen menopang
kolumna vertebrae. Ligamen supraspinosa menghubungkan puncak-puncak processus spinosus
dari vertebra C7 hingga ke sakrum. Ligamen interspinosa menghubungkan seluruh processus
spinosus. Ligamentum flavum atau ligamen kuning, menghubungkan lamina atas dengan bawah.
Ligamen longitudinal anterior dan posterior menghubungkan corpus vertebrae (Butterworth et
al., 2018; Hadzic, 2017).
Tiga membran yang melindungi korda spinalis terdiri dari dura mater, arachnoid mater,
dan pia mater. Dura mater merupakan lapisan paling luar dan dural sac berakhir pada S2.
Arachnoid mater atau lapisan tengah juga berakhir pada S2. Di antara lapisan dura mater dan
arachnoid mater didapatkan ruang subdural. Pia mater sebagai lapisan terdalam berakhir pada
filum terminale dan berperan dalam penempelan korda spinalis ke sakrum. Ruang antara
arachnoid dan pia mater disebut sebagai ruang subarachnoid (Hadzic, 2017).
Panjang korda spinalis bervariasi bergantung pada usia. Setelah dilahirkan, korda spinalis
berakhir di L3. Pada individu dewasa, bagian ujung dari korda spinalis yang dikenal sebagai
conus medullaris berada setingkat L1 namun conus medullaris dapat berlokasi di antara T12 dan

2
L3. Anestesi spinal hanya dapat dilakukan di segmen lumbar, spesifiknya di bagian tengah
hingga bawah lumbar untuk menghindari kerusakan pada korda spinalis serta mencegah agen
anestetik yang diinjeksi ke intrateka bekerja pada regio thoracal dan cervical. Dural sac dapat
ditemukan di S2 atau S3. Hal ini menyebabkan jarum spinal untuk anestesi spinal umumnya
diinsersikan pada ruang L3/4 atau L4/5 (Hadzic, 2017; Olawin&Das, 2020). Gambaran skematik
dari vertebra lumbar tampak pada gambar 1.

Gambar 1. Penampang melintang dari vertebra lumbar (Hadzic, 2017).

Palpasi dari bony landmark digunakan untuk menentukan tingkat dan titik insersi jarum
spinal pada anestesi spinal. Midline atau titik tengah dapat diidentifikasi dengan mempalpasi
processus spinosus. Iliac crest umumnya ada di tinggi vertikal yang sama dengan processus
spinosus L4 atau celah antara L4 dan L5. Garis intercristal/Tuffier’s line dapat digambarkan di
antara titik tertinggi dari iliac crest untuk membantu penentuan celah tersebut. Berdasarkan
tingkat anestesi yang dibutuhkan untuk pembedahan serta kemampuan untuk meraba celah, celah
L3-L4 atau L4-L5 dapat digunakan sebagai lokasi insersi jarum spinal (Butterworth et al., 2018;
Hadzic, 2017). Ultrasound dapat digunakan pada kondisi dimana palpasi tidak dapat
mengidentifikasi bony landmarks. Suatu metaanalisis mengindikasikan bahwa ultrasound
sebelum prosedur dapat menurunkan risiko kegagalan dibandingkan dengan pendekatan
konvensional menggunakan palpasi. Hal ini mengindikasikan bahwa ultrasound dapat digunakan
terutama pada kasus dimana palpasi tidak dapat mengidentifikasi struktur seperti pada pasien

3
dengan indeks massa tubuh tinggi, anatomi vertebra yang sulit, atau struktur yang tidak
terpalpasi seperti pada geriatri karena adanya penyempitan celah interspinosa dan interlaminar
ataupun hipertrofi dari facet joints (Narkhede et al., 2019; Rizk et al., 2019).
Pemahaman terkait dermatom dibutuhkan untuk memahami tingkat blokade. Dermatom
merupakan area pada kulit yang diinervasi oleh serabut sensoris dari suatu nervus spinalis. Untuk
dapat mencapai anestesi yang dibutuhkan untuk suatu prosedur, anestesi spinal yang digunakan
harus dapat mencapai tingkat dermatom tertentu (Hadzic, 2017). Pemetaan dermatom yang
umum digunakan untuk pembedahan dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Peta dermatom dari tubuh (Hadzic, 2017).

2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Anestesi Spinal


a. Barisitas Agen Anestesi
Lokasi injeksi atau level vertebra tempat insersi akan dilakukan dipengaruhi utamanya oleh
barisitas dari agen anestesi yang digunakan. Barisitas didefinisikan sebagai migrasi dari
anestesi lokal yang digunakan berdasarkan densitasnya dibandingkan dengan cairan
serebrospinal. Cairan hiperbarik didefinisikan sebagai agen anestesi lokal yang lebih pekat
atau lebih berat dari cairan serebrospinal sementara cairan hipobarik didefinisikan sebagai
agen anestesi lokal yang lebih ringan dibandingkan cairan serebrospinal. Agen anestesi yang
akan digunakan dapat diubah menjadi hiperbarik dengan menambahkan glukosa atau
menjadi hipobarik dengan penambahan larutan steril atau fentanyl. Pada posisi kepala lebih

4
bawah dari tubuh, cairan hiperbarik akan menyebar ke cephal sementara cairan hipobarik
akan menyebar ke bagian caudal. Pada posisi kepala lebih tinggi dari tubuh, cairan
hiperbarik akan tetap berada di bagian caudal sementara cairan hipobarik akan naik ke
cephal (Butterworth et al., 2018; Hadzic, 2017).
b. Posisi Pasien
Posisi yang dapat digunakan pada prosedur anestesi spinal terdiri dari posisi lateral
decubitus, duduk, buie’s/jackknife ataupun pronasi. Posisi lateral decubitus umum
digunakan pada prosedur anestesi spinal. Idealnya, pasien berada dalam posisi dimana
punggung pasien paralel dengan tepi tempat tidur yang dekat dengan dokter dengan lutut
difleksikan ke abdomen dan leher difleksikan (Butterworth et al., 2018; Hadzic, 2017).
Struktur midline seringkali lebih mudah diidentifikasi saat pasien berada pada posisi
duduk dibandingkan posisi lateral decubitus terutama pada pasien obesitas. Posisi ini
sebenarnya paling baik digunakan untuk anestesia lumbar atau sakral dan digunakan pada
pasien obesitas atau pada pasien yang sulit diidentifikasi midlinenya. Pasien akan
memosisikan siku di paha atau jika bisa memeluk bantal, memfleksikan leher, dan
mencondongkan punggung ke belakang. Fleksi dari vertebra memaksimalkan area target
antara processus spinosus dan memosisikan vertebra lebih dekat dengan permukaan kulit.
Posisi duduk juga menghindari rotasi vertebra yang mungkin terjadi pada posisi lateral
decubitus (Butterworth et al., 2018; Hadzic, 2017).
Posisi buie’s atau jackknife umum digunakan pada prosedur anorektal. Keuntungan dari
prosedur ini adalah posisi ini sama dengan posisi prosedur pembedahan sehingga tidak
diperlukan perubahan posisi dari pasien setelah injeksi. Kerugiannya adalah cairan
serebrospinal mungkin tidak mengalir secara bebas melalui jarum sehingga ketepatan
penempatan jarum harus dikonfirmasi dengan aspirasi cairan serebrospinal. Posisi pronasi
dapat digunakan pada pasien yang akan diposisikan pronasi selama prosedur pembedahan
(Butterworth et al., 2018; Hadzic, 2017).

2.1.3 Indikasi dan Kontraindikasi Anestesi Spinal


Anestesi spinal diindikasikan pada prosedur pembedahan di bawah umbilikus yang
meliputi pembedahan pada abdomen bawah, pelvis, perineum serta ekstremitas bawah. Anestesi
tipe ini juga lebih baik digunakan untuk prosedur yang memakan waktu singkat sementara pada
prosedur yang membutuhkan waktu lebih panjang, anestesi general lebih direkomendasikan

5
(Butterworth et al., 2018; Olawin&Das, 2020). Anestesi spinal dapat bermanfaat pada kondisi
klinis tertentu. Anestesi ini umum digunakan pada persalinan secara sesar karena dapat
mengurangi permasalahan yang mungkin timbul jika menggunakan anestesi general seperti
perdarahan pada ibu. Pada kasus fraktur panggul, anestesi spinal menjadi pilihan yang
direkomendasikan karena memiliki risiko mortalitas, trombosis vena dalam, dibutuhkannya
transfusi, serta komplikasi paru yang relatif rendah namun belum banyak studi yang mendukung
rekomendasi ini (Hadzic, 2017).
Tabel 1. Kontraindikasi Anestesi Spinal (Hadzic, 2017)

Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif


Penolakan dari pasien Koagulopati
Infeksi pada tempat injeksi Sepsis
Hipovolemia yang belum terkoreksi Fixed cardiac output states
Alergi Penyakit neurologis yang belum dapat dijelaskan
Peningkatan tekanan intrakranial

Tabel 1 menunjukkan kontraindikasi relatif serta absolut dari anestesi spinal. Peningkatan
tekanan intrakranial meningkatkan risiko terjadinya herniasi unkal apabila cairan serebrospinal
hilang akibat adanya insersi jarum anestesi spinal. Koagulopati menjadi kontraindikasi relatif
karena anestesi spinal masih dapat digunakan tergantung kepada keparahan koagulopati yang
terjadi pada pasien. Penyakit neurologis yang belum dapat dijelaskan juga menjadi
kontraindikasi berdasarkan pada suatu studi in vitro yang menemukan bahwa saraf yang
demyelinisasi menjadi lebih rentan untuk mengalami toksisitas akibat anestesi lokal (Hadzic,
2017).

2.1.4 Kelengkapan Anestesi Spinal


a. Teknik Aseptik
Dalam mempersiapkan area insersi, pembersihan kulit dapat dilakukan menggunakan
clorhexidine 0,5%. Clorhexidine diketahui lebih superior dibandingkan dengan povidone
iodine karena bersifat bakterisidal, onset kerja yang cepat, serta durasi kerja yang panjang.
Area prosedur kemudian ditutup dengan kain steril. Untuk menghindari salah injeksi, setelah
pembersihan kulit cairan antiseptik harus langsung dibuang. Agen anestesi yang digunakan
harus diambil dari ampul steril dan diinjeksi hingga membentuk indurasi di bagian kulit

6
yang akan menjadi titik insersi. Agen anestesi kemudian diinjeksikan pada kedalaman yang
sesuai. Untuk menghindari kontaminasi dari flora oral, masker wajib digunakan oleh dokter
yang akan melakukan prosedur ditambah dengan penggunaan cap dan sterile draping
sebagai komponen utama dari teknik aseptik. Antibiotik profilaksis tidak dibutuhkan untuk
anestesi spinal (Butterworth et al., 2018; Hadzic, 2017).
b. Resusitasi dan Pengawasan Pasien
Alat dan kelengkapan yang dibutuhkan untuk resusitasi harus tersedia saat pelaksanaan
anestesi spinal. Seluruh pasien yang akan menerima anestesi spinal harus terpasang akses
intravena. Komponen yang harus dievaluasi selama prosedur meliputi saturasi oksigen,
tekanan darah, dan rekam jantung. Tekanan darah idealnya diukur setiap 1 menit sekali
karena hipotensi dapat terjadi secara mendadak (Hadzic, 2017).
c. Jarum
Jarum untuk anestesi spinal tersedia dalam berbagai ukuran dan bentuk ujung. Jarum
anestesi spinal dapat dibagi menjadi ujung tajam (cutting) atau ujung tumpul. Jarum Sprotte
dan Whitacre merupakan jarum pencil-point dengan ujung membulat, noncutting. Jarum
Greene juga merupakan jarum noncutting lain yang dapat digunakan. Jarum dengan ujung
yang tajam meliputi jarum Quincke dan Pitkin. Jarum pencil-point memberikan sensasi taktil
yang lebih baik pada lapisan ligamen namun membutuhkan lebih banyak tenaga untuk
diinsersikan dibanding bevel-tip. Bevel dari jarum harus diarahkan longitudinal untuk
menurunkan insidensi postdural puncture headache (Butterworth et al., 2018; Hadzic,
2017). Berbagai variasi jarum spinal yang tersedia dapat dilihat pada gambar 3.

7
Gambar 3. Berbagai tipe jarum spinal (Hadzic, 2017).

2.1.5 Teknik Anestesi Spinal


a. Pendekatan Midline
Teknik ini diawali dengan palpasi celah vertebra. Jarum spinal diposisikan dalam sudut
10-15o ke arah cephal. Saat melakukan anestesi spinal menggunakan pendekatan midline,
lapisan yang harus ditembus oleh jarum dari posterior ke anterior terdiri dari kutan,
subkutan, ligamen supraspinosa, ligamen interspinosa, ligamentum flavum, dura mater,
ruang subdural, arachnoid mater, lalu terakhir ruang subarachnoid. Saat menembus
subkutan, dapat dijumpai sedikit tahanan. Tahanan akan meningkat saat jarum masuk hingga
ke ligamen interspinosa lalu ligamentum flavum. Saat jarum mencapai dura mater, sensasi
“pop” mungkin dirasakan dan stylet harus dilepaskan dari jarum untuk mengevaluasi aliran
cairan serebrospinal. Apabila tidak didapatkan aliran, beberapa sumber merekomendasikan
memutar jarum 90o karena terdapat kemungkinan adanya obstruksi dari jarum. Setelah
didapatkan aliran cairan serebrospinal, injeksi anestesi lokal perlahan dengan kecepatan <0,5
ml/detik (Butterworth et al., 2018; Hadzic, 2017).
Jika jarum mengenai tulang saat masih di superfisial, jarum kemungkinan besar
mengenai bagian bawah processus spinosus. Jika jarum mengenai tulang saat sudah masuk
lebih dalam, biasanya mengindikasikan bahwa jarum mengenai bagian atas processus
spinosus. Jika ditemukan kedua hal ini maka jarum harus ditarik (Butterworth et al., 2018;
Hadzic, 2017).
b. Pendekatan Paramedian/Lateral
Pendekatan paramedian dapat digunakan pada pasien yang mengalami kalsifikasi ligamen
interspinosa atau kesulitan untuk memfleksikan vertebra seperti pada arthritis berat atau
paska pembedahan vertebra sebelumnya. Pendekatan ini diawali dengan palpasi processus
spinosus superior dan inferior dari celah vertebra yang diinginkan. Anestesi lokal diinfiltrasi
1 cm ke arah lateral dari bagian superior processus spinosus inferior. Jarum diarahkan
sedikit ke arah medial. Dengan posisi jarum pada sudut 10-15 o, jarum dapat mencapai
kedalaman 5,7 cm (tan 80o) dan 3,7 cm (tan 75o). Saat melakukan anestesi spinal
menggunakan pendekatan paramedian, lapisan yang ditembus jarum dari posterior ke

8
anterior terdiri dari kutan, subkutan, muskulus paraspinosa, ligamentum flavum, dura mater,
ruang subdural, dan arachnoid mater lalu ruang subarachnoid (Butterworth et al., 2018;
Hadzic, 2017). Gambaran skematik dari pendekatan paramedian dapat dilihat pada gambar
4.

Gambar 4. Gambaran skematik pendekatan paramedian (Butterworth et al., 2018).

c. Pendekatan Taylor
Pendekatan taylor atau lumbosakral adalah pendekatan paramedian yang diarahkan pada
celah L5-S1. Pendekatan ini dapat digunakan pada saat pendekatan lain tidak berhasil atau
tidak dapat dilakukan. Jarum akan diinsersikan 1 cm ke medioinferior dari spina iliaca
posterior superior lalu diarahkan ke cephal dan medial dengan sudut 45-55o. Setelah insersi
jarum, tahanan signifikan dirasakan pertama kali saat menembus ligamentum flavum.
Setelah berhasil menembus dura mater, akan didapatkan aliran bebas cairan serebrospinal
(Hadzic, 2017). Gambaran skematik pendekatan taylor tampak pada gambar 5.

9
Gambar 5. Gambar skematik pendekatan taylor (Hadzic, 2017).

2.1.6 Risiko Anestesi Spinal


Komplikasi dari anestesi spinal terbagi menjadi komplikasi minor, sedang, dan mayor.
Daftar komplikasi yang mungkin ditimbulkan akibat tindakan anestesi spinal tampak pada tabel
2.
Tabel 2. Komplikasi Anestesi Spinal (Hadzic, 2017)

Minor Sedang Mayor


Mual dan muntah Kegagalan Trauma langsung akibat jarum
Hipotensi ringan Postdural puncture Infeksi (abses, meningitis)
headache
Menggigil Hematoma kanalis vertebra
Gatal Iskemia korda spinalis
Gangguan pendengaran ringan Cauda equina syndrome
sementara
Retensi urin Arachnoiditis
Cedera saraf tepi
Total spinal anesthesia
Cardiovascular collapse
Kematian

Apabila ditemukan adanya mual dan muntah pada pasien paska tindakan anestesi spinal,
hipotensi harus menjadi pertimbangan pertama terutama jika keluhan dirasa segera setelah
tindakan. Beberapa agen aditif intrateka diketahui dapat meningkatkan intraoperative nausea
and vomiting/IONV atau postoperative nausea and vomiting/PONV. Bahan-bahan tersebut
meliputi morfin, diamorfin, klonidin, dan neostigmin. Menggigil dapat dipicu akibat adanya
penurunan suhu inti tubuh pada 30 menit pertama paska anestesi spinal. Penurunan suhu yang

10
terjadi pada anestesi spinal diketahui lebih cepat dibandingkan dengan epidural namun,
intensitasnya lebih tinggi pada epidural. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan pasien untuk
menggigil akibat blokade motorik yang lebih kuat oleh anestesi spinal (Hadzic, 2017).
Infeksi paska insersi jarum sebagai salah satu komplikasi mayor dapat berujung pada
terjadinya meningitis baik bakterial ataupun aseptik. Sebagian besar kasus meningitis paska
anestesi spinal yang ditemukan pada awal abad ke-20 merupakan meningitis aseptik namun tidak
jarang flora normal dari mulut ditemukan mengkontaminasi cairan serebrospinal pasien yang
mengindikasikan pentingnya penggunaan masker. Streptococcus salivarius, Streptococcus
viridans, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter, dan Mycobacterium
tuberculosis merupakan beberapa bakteri yang terisolasi dari kasus meningitis bakteria paska
anestesia spinal atau pungsi lumbal (Hadzic, 2017).
Total spinal anesthesia/TSA merupakan komplikasi yang paling ditakutkan karena dapat
menyebabkan terjadinya depresi nafas, gangguan kardiovaskular, dan penurunan kesadaran pada
pasien. Paska injeksi 20 ml lidocaine 1,5% pada level L3-L4, pasien harus diposisikan miring
dengan kepala di bawah. Ephedrine dan atrophine dapat digunakan untuk menopang kerja
jantung apabila dibutuhkan. Setelah terjadi penurunan kesadaran, paralisis, dan dilatasi pupil,
laryngeal mask airway/LMA diinsersi dan ventilasi tekanan positif diberikan kepada pasien.
Ventilasi mekanik harus diberikan selama kurang lebih satu jam sebelum pelepasan LMA
(Hadzic, 2017; Olawin&Das, 2020).

2.2 Bahaya Insersi Jarum Tinggi pada Anestesi Spinal


Mengingat korda spinalis, tepatnya conus medullaris terminalis, umumnya berakhir pada
tingkat L1-L2, tidak direkomendasikan untuk melakukan insersi jarum spinal pada L1-L2 atau
lebih tinggi. Meskipun korda spinalis umumnya berakhir pada bagian bawah dari L1 atau di
celah L1-L2, conus medullaris terminalis dapat berakhir pada bagian bawah L3 di beberapa
pasien. Insersi jarum spinal pada celah vertebra lebih tinggi dari L1-L2 diasosiasikan dengan
trauma korda spinalis, terutama pada pasien dengan obesitas. Pada kondisi dimana jarum
diinsersikan di tingkat L1-L2, kemungkinan jarum mengenai conus medullaris terminalis adalah
sebesar 63-78% sementara jika diinsersikan pada tingkat L2-L3, kemungkinannya adalah 4-20%.
Suatu studi yang dilakukan di Cina menemukan bahwa pada pasien, terutama wanita, yang
mengalami fraktur kompresi vertebra thoracal mungkin memiliki risiko untuk memiliki conus

11
medullaris terminalis pada lokasi rendah sehingga dapat mengalami trauma secara langsung
ataupun tidak langsung dari insersi jarum spinal pada tingkat L2-L3. Temuan ini harus menjadi
pertimbangan bagi spesialis anestesi yang akan melakukan blokade pada celah L2-L3 (Hadzic,
2017; Lin et al., 2010; Olawin&Das, 2020).
Cedera berat pada korda spinalis paska anestesi spinal ataupun epidural jarang ditemukan
namun efek yang disebabkan berat dan sering diikuti sekuele permanen. Conus medullaris
syndrome/CMS terjadi akibat adanya kerusakan kompresif pada korda spinalis setinggi T12-L2
sementara cauda equina syndrome/CES terjadi akibat adanya kompresi dan gangguan dari fungsi
nervus yang dapat terjadi pada conus medullaris atau bagian distal dari conus medullaris,
terutama pada kerusakan nerve roots L3-L5. Pasien mungkin menunjukkan manifestasi
campuran dari cedera upper motor neuron dan lower motor neuron. Spektrum manifestasi klinis
yang muncul dapat luas meliputi nyeri punggung dan sciatica (ditemukan pada 97% pasien),
kelemahan dan perubahan sensasi di ekstremitas bawah, disfungsi kemih sehingga terjadi retensi
ataupun inkontinensia, disfungsi gastrointestinal yang menyebabkan retensi ataupun
inkontinensia, saddle anesthesia atau penurunan sensasi di perineum, serta disfungsi seksual.
Suatu studi mengobservasi keluaran pada hari ke-63 dari pasien dengan CES. Studi tersebut
mengindikasikan bahwa sebagian besar pasien masih mengalami gejala sisa. Disfungsi seksual
menetap pada 53,3% pasien, saddle anesthesia menetap pada 56,6%, sementara nyeri sciatica
menetap pada 47,5% (Bhandutia et al., 2016; Reynolds, 2008; Rider&Marra, 2020).

12
BAB III
KESIMPULAN

Anestesi spinal dilakukan dengan cara injeksi secara langsung dari agen anestesi lokal ke
ruang intrateka/ruang subaraknoid. Jarum spinal akan diinjeksikan pada celah setingkat vertebra
L3-L4 atau L4-L5. Anestesi spinal sebenarnya merupakan teknik anestesi neuraksial yang relatif
aman namun injeksi jarum spinal pada celah setingkat vertebra L2-L3 atau lebih tinggi dapat
meningkatkan risiko terjadinya trauma dari korda spinalis, terutama conus medullaris terminalis.
Conus medullaris terminalis umum berakhir pada vertebra L1 atau celah L1-L2 namun pada
beberapa pasien, conus medullaris terminalis dapat berakhir pada segmen vertebra yang lebih
bawah yaitu pada L3. Adanya trauma akibat insersi jarum spinal yang mengenai conus
medullaris terminalis ataupun korda spinalis, dapat timbul manifestasi yang meliputi nyeri
punggung atau sciatica, disfungsi kemih dan gastrointestinal, serta disfungsi seksual.

13
DAFTAR PUSTAKA

Bhandutia, A.K., Winek, N.C., Tomycz, N.D., Altman, D.T. Traumatic Conus Medullaris
Syndrome: A case report and review of the literature. JBJS Case Connect, 2016;6.
Butterworth, J.F., Mackey, D.C., Wasnick, J.D. 2018. Morgan&Mikhail’s Clinical
Anesthesiology: 6th Edition. Amerika Serikat: McGraw-Hill Education.
Hadzic, Admir. 2017. Hadzic’s Textbook of Regional Anesthesia and Acute Pain Management
Second Edition. Amerika Serikat: McGraw-Hill Education.
Lin, N., Bebawy, J.F., Hua, L., Wang, B.G. Is spinal anaesthesia at L2–L3 interspace safe in
disorders of the vertebral column? A magnetic resonance imaging study. BJA: British
Journal of Anaesthesia, 2010;105(6):857–862.
Olawin, Abdulquadri & Das, Joe M. Spinal Anesthesia. StatPearls, 2020.
Narkhede, H.H., Kane, D., Parekh, V., Hemantkumar, I. A cohort study of anatomical landmark-
guided midline versus pre-procedure ultrasound-guided midline technique of spinal
anesthesia in elderly patients undergoing orthopedic surgery. J Anaesthesiol Clin
Pharmacol, 2019;35(4):522–527.
Reynolds, F. Damage to the conus medullaris following spinal anaesthesia. Anaesthesia,
2008;56(3):238-247.
Rider, L.S. & Marra, E.M. Cauda Equina And Conus Medullaris Syndromes. StatPearls, 2020.
Rizk, M.S., Zeeni, C.A., Bouez, J.N., Bteich, N.J., Sayyid, S.K., Alfahel, W.S., et al.
Preprocedural ultrasound versus landmark techniques for spinal anesthesia performed by
novice residents in elderly: a randomized controlled trial. BMC Anesthesiol, 2019;19:208.

14

Anda mungkin juga menyukai