Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

Anestesi Paravertebral

Pembimbing :
dr.

Disusun Oleh :
Maharani Kartika Dewi

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2022
REFERAT

Anestesi Paravertebral

Disusun Oleh:

Maharani Kartika Dewi

Referat ini telah disahkan sebagai salah satu tugas di bagian anestesiologi dan
terapi intensif Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Purwokerto,

Pembimbing:

dr.
BAB I
PENDAHULUAN

Kata anestesi berasal dari kata ‘an’ yaitu tidak dan ‘aestesi’ yaitu rasa,
maka anestesi adalah menghilangkan rasa terutama rasa nyeri dan sakit.
Prinsip anestesi yang disebut dengan trias anestesi yaitu hipnotik, analgesia
dan relaksasi. Hipnotik yang berarti dengan sadarkan diri dan diharapkan
pasien kehilangan ingatan, analgesia berarti bebas dari nyeri dan relaksasi yang
berarti relaksasi pada otot rangka dan mencegah otot rangka untuk
berkontraksi dan bergerak (Lewar, 2015). Anestesi diklasifikasikan menjadi
anestesi umum, anestesi lokal dan anestesi regional. Anestesi umum adalah
menginduksi hilangnya kesadarah dengan menghilangkan juga reflek-reflek
protektif oleh agen anestesi. Anestesi lokal adalah anestesi yang terbatas hanya
pada bagian tubuh tertentu (Bilal et al, 2021).
Anestesi atau blok paravertebral (PVB)merupakan teknik anestesi
regional yang memberikan efek anestesi dan analgesik ipsilateral yang
dihasilkan dari blokade saraf somatis dan simpatis berdasarkan persebaran
dermatomal. PVB pertama kali dilakukan pada awal tahun 1900 an dengan
tujuan sebagai agen analgesik pada tindakan pembedahan abdomen, akan
tetapi saat ini PVB banyak digunakan sebagai analgesik pada berbagai kondisi
nyeri akut dan kronik pada thoraks maupun abdomen (Pawa et al., 2019).
Efek analgesik yang dihasilkan oleh PVB sebanding dengan anestesi
epidural, yang mana disebut sebagai “gold standard” untuk analgesik pada
thoraks dan abdomen. Blokade dapat dilakukan secara unilateral, bilateral,
sebagai injeksi tunggal atau kateter yang berkelanjutan. Sebelum penggunaan
ultrasound, teknik yang banyak digunakan berupa landmark technique. PVB
saat ini lebih banyak diaplikasikan di regio thoraks, sehingga lebih sering
dikenal sebagai thoracic paravertebral block (TPVB) (Pawa et al., 2019). Saat
ini, PVB juga banyak digunakan sebagai teknik anestesi utama pada berbagai
macam prosedur, karena mudah dan risiko komplikasi yang lebih sedikit
(Batra et al., 2011).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Paravertebra
Ruang paravertebral (PVS) merupakan ruang berbentuk baji yang
memanjang secara bilateral dari T1 hingga L1 dan terletak di lateral kolumna
vertebrae, dengan bagian dasar menghadap ke sisi lateral dari corpus vertebrae
dan foramen intravertebral, serta bagian apeks menyambung dengan ruang
intercostae. Pada bagian posterior PVS dibatasi oleh ligament costotransversus
superior, batas bagian anterior adalah pleura, dan bagian medial dibatasi oleh
vertebra dan foramen intervertebrae. Sementara itu, bagian superior dan
inferior adalah costae (Ardon et al., 2020).
Secara umum PVS dianggap berakhir setinggi L1 tanpa batas kranial
yang jelas. Setiap segmen PVS berhubunga dengan bagian superior dan
inferior di atas kepala tulang rusuk dan leher, serta kadang-kadang dibagi
menjadi bagian anterior dan posterior oleh fasia endotoraks (Ardon et al.,
2020).
Ruang ini berisi percabangan dari nervus spinalis, serabut saraf simpatis,
pembuluh darah intercostae yang tertanam di jaringan lemak dan biasanya
berkelanjutan hingga setinggi toraks (Ardon et al., 2020).

Gambar 2.1 Potongan aksial vertebrae thoracal yang


menggambarkan struktur anatomi penting terkait anestesi

4
paravertebral. Musculus Erector Spina; Ligamen
costotransversus superior (Pawa et al., 2019).

B. Anestesi
1. Definisi
Istilah anestesi berasal dari Kata Yunani yaitu “an” dan “esthesia”,
dan Bersama-sama berarti “hilangnya rasa atau hilangnya sensasi”. Para ahli
saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai kehilangan rasa
secara patologis pada bagian tubuh tertentu. Anestesi digunakan sebagai
penghilang rasa sakit saat operasi (NHS, 2019; Soenardjo et al., 2013).
Menurut Pramono (2015), anestesi adalah hilangnya seluruh modalitas dari
sensasi yang meliputi sensasi sakit/nyeri, rabaan, suhu, posisi/proprioseptif,
sedangkan analgesia yaitu hilangnya sensai sakit/nyeri, tetapi modalitas
yang lain masih tetap ada.
Anestesi secara umum mempunyai prinsip yang disebut dengan trias
anestesi yaitu hipnotik atau pasien mengalami penurunan kesadaran,
analgetik yaitu pasien tidak merasakan nyeri dan relaksasi yaitu otot-otot
pada tubuh pasien mengalami relaksasi. Tiga hal tersebut dapat dicapai
menggunakan satu jenis obat ataupun menggunakan kombinasi berberapa
obat. Tiga hal tersebut bertujuan agar prosedur operasi dapat dilakukan
dengan baik dan pasien merasa nyaman (Lewar, 2015).
2. Klasifikasi
Secara garis besar jenis anestesi dibagi menjadi
a. Anestesi umum
Anestesi umum atau general anesthesia mempunyai tujuan agar
dapat menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar, dan menyebabkan
amnesia yang bersifat reversible dan dapat diprediksi. Anestesi umum
disebut juga sebagai narkose atau bius. Anestesi umum juga
menyebabkan amnesia yang bersifat anterograd, yaitu hilangnya ingatan
saat dilakukan pembiusan dan operasi sehingga saat pasien sudah sadar,
pasien tidak mengingat peristiwa pembedahan/pembiusan yang baru saja
dilakukan (Pramono, 2015).
b. Anestesi Regional

5
Anestesi regional adalah metode anestesi dengan melakukan
injeksi disekitar saraf mayor ataupun medula spinalis. Anestesi
regional bersifat lokal namun pada daerah yang lebih luas dari anestesi
lokal (Satwik dan Naveed, 2015).
c. Anestesi lokal
Anestesi lokal adalah metode anestesi untuk menghilangkan
sensasi pada bagian tubuh tertentu. pada prosedur anestesi lokal pasien
biasanya dibiarkan dalam kondisi sadar. Agen anestesi lokal di berikan
melalui suntikan pada sekitar tempat yang akan dilakukan prosedur
operasi (Satwik dan Naveed, 2015).
C. Anestesi Paravertebrae atau Paravertebral block
1. Definisi
Anestesi paravertebral dilakukan dengan cara melakukan injeksi ke
ruang paravertebral, teknik ini lebih banyak dilakukan pada regio thoracal
dibanding lumbal, sehingga sering disebut sebagai thoracic paravertebral
block (TPVB). Anestesi ini tergolong ke dalam teknik anestesi regional
yang bekerja secara ipsilateral dan menghasilkan blokade somatis dan
simpatis sepanjang distribusi dermatom.
Hingga saat ini blokade paravertebral terkenal berfungsi sebagai
analgesik pada kondisi nyeri akut maupun kronis pada toraks dan abdomen,
akan tetapi blok paravertebral saat ini mulai banyak digunakan sebagai
teknik anestesi utama dalam berbagai tindakan pembedahan (Pawa et al.,
2019).
2. Mekanisme Penyebaran
Injeksi anestesi lokal pada paravertebral thorakal menghasilkan
blokade pada saraf somatic dan simpatis ipsilateral meliputi ramus posterior
dan menyebar melalui beberapa dermatom thorakal yang berdekatan. Saraf
tulang belakang di ruang ini tidak memiliki selubung fasia, sehingga lebih
peka terhadap anestesi lokal (Batra et al., 2011). Sebagai ruang anatomis,
ruang paravertebral akan mengakomodasi anestesi lokal yang dapat
menyebar ke area cephalad, caudal, intercostal, interpleural, epidural dan
ruang prevertebral (Ardon et al., 2020).

6
Variasi penyebaran pada Paravertebral block diakibatkanya adanya
fascia endothoracic, penelitian sebelumnya melaporkan bahwa injeksi
paravertebral di ventral fascia endothoracic menghasilkan penyebaran yang
bersifat longitudinal, sementara injeksi yang dilakukan di area dorsal dari
fascia menyebakan pola penyebaran yang lebih sulit diprediksi (Batra et al.,
2011).Selain itu, penyebaran juga bergantung pada volume yang diinjeksi,
pada volume yang sedikit penyebaran umumnya hanya terjadi pada lokasi
injeksi atau menyebar ke ruang intercostal ke arah caudal. Pada injeksi pada
lokasi tunggal dengan volume yang besar, maka memungkinkan terjadinya
penyebaran anestesi secara bilateral. Efek yang dihasilkan serupa pada
injeksi multipel volume kecil di beberapa area yang berbeda. Namun
demikian, teknik injeksi ganda, di mana volume kecil (3-4 ml) anestesi lokal
disuntikkan pada beberapa tingkat toraks yang berdekatan, lebih baik
daripada injeksi tunggal volume besar. (Ardon et al., 2020).
3. Prosedur Anestesi Paravertebral
a. Preoperative visit dan perencanaan
Sebelum dilakukan anestesi regional, terlebih dahulu penilaian
secara menyeluruh. Tujuan dari penilaian pra anestesi adalah mengetahui
status fisik dari pasien, mengetahui dan menganalisis jenis operasi,
memilih jenis anestesi yang sesuai, mengetahui hal yang mungkin terjadi
saat dan setelah anestesi dan menyiapkan obat untuk mengatasi
komplikasi yang mungkin terjadi. Hal yang perlu dilakukan adalah
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis
dilakukan untuk mendapat informasi mengenai identitas pasien, operasi
yang akan dilakukan, riwayat mengenai operasi terdahulu yaitu mengenai
jenis operasi dan komplikasi yang terjadi setelah operasi seperti mual,
muntah, gatal atau sulit bernafas dan riwayat medis secara umum.
Riwayat medis secara umum yang dimaksud adalah Riwayat mengenai
penyakit yang dapat berpengaruh atau dipengaruhi oleh proses anestesi,
riwayat konsumsi obat tertentu, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol
dan penggunaan obat ilegal serta riwayat alergi terhadap obat tertentu
(Kulsum, 2020).
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan saat penilaian pra

7
anestesi adalah pemeriksaan mengenai kesadaran pasien, frekuensi
pernapasan, tekanan darah, suhu, frekuensi nadi serta status gizi pasien
yang dinilai melalui indeks massa tubuh. Penilaian lain yang harus
dinilai adalah status psikologis seperti kecemasan, rasa takut dan sakit,
pemeriksaan kondisi gigi dan mulut serta menilai skor malampati.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan secara menyeluruh untuk
mengetahui adanya kelainan organ.

Gambar 2.2 Skor Mallampati (Kulsum, 2020)


Pemeriksaan penunjang yang diperlukan secara umum untuk
operasi kecil dan medium adalah pemeriksaan darah mencakup
hemoglobin, hematokrit, eritrosit, leukosit, trombosit, waktu
perdarahan dan waktu pembekuan. Pemeriksaan khusus diperlukan
untuk pasien yang akan melakukan operasi besar atau pasien dengan
penyakit sistemik sesuai indikasi. Pemeriksaan yang perlu dilakukan
adalah pemeriksaan laboratorium lengkap seperti fungsi hati, fungsi
ginjal, analisis gas darah, elektrolit, dan hematokrit, pemeriksaan
radiologi, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) dan pemeriksaan
spirometri untuk pasien dengan PPOK. Jika setelah pemeriksaan
ditemukan gangguan yang dapat berpengaruh terhadap proses anestesi
maka akan dikonsultasikan kepada ahli di bidang terkait. Hasil akhir
dari penilaian sebelum anestesi adalah menentukan prognosis dari
pasien melalui klasifikasi dari status fisik pasien. Klasifikasi yang
sering digunakan adalak klasifikasi menurut American Society of
Anesthesiologist (ASA) (Kulsum, 2020)

8
Tabel 2.1 Klasifikasi ASA (ASA, 2020)
No Klasifikasi Definisi Kondisi pasien
ASA
1 ASA I Pasien normal Pasien sehat, tidak merokok dan
dan sehat tidak meminum alkohol atau
konsumsi alkohol yang minimal
2 ASA II Pasien dengan Pasien dengan sakit ringan tanpa
penyakit membatasi fungsional pasien
sistemik ringan contohnya adalah perokok,
peminum alkohol, hamil,
obesitas, hipertensi dan diabetes
melitus yang terkontrol dan
penyakit paru ringan
3 ASA III Pasien dengan Pasien dengan pembatasan
penyakit fungsional, seperti pasien dengan
sistemik yang hipertensi dan diabetes melitus
berat tidak terkontrol, obesitas dengan
IMT ≥40, hepatitis aktif,
ketergantungan alkol, malnutrisi,
gagal ginjal, riwayat transplantasi
organ dan lainya.
4 ASA IV Pasien dengan Riwayat infark miokard dan
penyakit stroke kurang dari 3 bulan.,
sistemik yang sepsis, syok dan lainya
berat dan
mengancam
jiwa

9
5 ASA V Pasien yang Ruptur aneurisma abdominal atau
tidak memiliki toraks, trauma besar, perdarahan
harpan hidup intrakranial, gagal organ multipel
jika tidak di dan lainya
operaso
6 ASA VI Pasien yang
sudah
dinyatakan
kematian otak
yang akan
menjadi donor
organ
Apabila pasien memenuhi ketentuan, maka selanjutnya dokter harus

menginformasikan risiko dari prosedur yang akan dilakukan sebelum

meminta inform consent dari pasien (Aziz, 2022).

b. Persiapan pasien
i. Posisi pasien
Pada kondisi sadar, sebaiknya pasien diposisikan duduk dengan
leher dan punggung fleksi. Apabila prosedur dilaksanakan dengan
keadaan pasien mengalami sedasi atau pada pasien sedang dilakukan
anestesi general, maka pasien diposisikan ke arah lateral dengan area
yang dioperasi di bagian atas. Kantung saline atau bantal dapat
ditempatkan di antara pasien dan permukaan meja operasi pada
tingkat blok yang diinginkan, untuk membuka ruang antara processus
transversus yang berdekatan (Tighe et al., 2010).
ii. Pemilihan Lokasi
Jika hanya dibutuhkan 1 sampai 4 dermatom yang akan
diblokade, maka hanya diperlukan injeksi tunggal pada titik dermatom
atau di bawah tingkat mid dermatom (contohnya pada mastektomi,
maka T3 atau T4 dapat dijadikan lokasi. Sementara itu, untuk open
cholecystectomy T6 atau T7 sebaiknya dipilih.

10
Apabila blokade yang diperlukan lebih dari empat dermatom,
sebaiknya dilakukan injeksi multipel. Pada blokade di regio lumbal,
direkomendasikan untuk dilakukan injeksi tunggal pada tiap tingkatan
dengan volume kecil anestesi lokal, karena penyebaran antar tingkat
lebih kecil di regio lumbal dibandingkan regio thorak.
Setelah dilakukan pemilihan tingkat dan jumlah blokade yang
akan dilakukan, selanjutnya diberikan penanda pada kulit di ujung
processus spinosus dan 25 mm lateral dari titik tersebut.
iii. Pemilihan Jarum
Jarum Tuohy 16G biasanya direkomendasikan pada TPVB,
sementara 18G direkomendasikan apabila akan direncanakan
pemasangan kateter, poros jarum sebaiknya diberikan penanda
kedalaman untuk menaksir peletakkan. Ketika menggunakan
ultrasound, sebaiknya digunakan jarum echogenic sehingga Saat
melakukan PVB yang dipandu ultrasound, jarum ekogenik mungkin
menguntungkan mengingat lintasan jarum (yang terkadang curam)
dan risiko pneumotoraks (Nair et al., 2020).
iv. Pemilihan lokal anestesi dan volume
Anestesi lokal jangka panjang biasanya digunakan untuk
memberikan efek anelgesik jangka panjang. Bupivacaine atau
levobupivacaine 0.25% dn ropivacaine 0,25% dapat digunakan
sebagai agen analgesik, sementara levobupivacaine 0,5% digunakan
sebagai agen anestesi. Umumnya, volume 20-25 ml anestesi lokal
digunakan pada satu kali injeksi untuk memberikan blok 4 hingga 5
dermatom, atay 4-5 ml pada teknik injeksi multipel di tiap suntikan
(Nair et al., 2020).
Dosis maksimal untuk anestesi lokal sebaiknya disesuaikan
kembali pada orang lanjut usia, pasien dengan gizi buruk atau lemah.
Penggunaan infus berupa bupivacaine or levobupivacaine 0.25% atau
ropivacaine 0.2%, dengan kecepatan 0.1–0.2 ml kg−1 h−1, dapat
dimulai setelah bolus injeksi inisial apabila diperlukan dan dapat
dilanjutkan selama 3–4 hari (Nair et al., 2020).

11
c. Teknik
i. Landmark-Guided Thoracic Paravertebral Block
Salah satu teknik yang banyak digunakan untuk TPVB adalah
Landmark-Guided Thoracic Paravertebral Block. Blokade dapat
dilakukan dengan posisi duduk, lateral atau pronasi. Sebuah jarum
berukuran 80 mm, jarum Tuohy 16-G ditusukkan ke kulit dengan
posisi 90°, sekitar 3 cm lateral ke arah garis tengah vertebrae,
landmark yang dapat dipalpasi menjadi aspek superior dari prosesus
spinosus pasien. Setelah dirasakan kontak dengan prosesus
transversal, kemudian jarum diarahkan baik ke arah cephal atau
caudad dan maju melewati proses transversus untuk menembus
ligament costotransversus superior (SCTL) (Pawa et al., 2019).
Eason dan Wyatt menggunakan syringe yang berisi udara untuk
melakukan teknik loss of resistance. Selanjutnya, akan dirasakan
adanya “pop” atau “click” dan terjadi perubahan tahanan. Apabila
dirasakan hilangnya tahanan secara menyeluruh, hal tersebut
mengindikasikan adanya tusukan pada pleura (Pawa et al., 2019).
Ketika jarum telah memasuki ruang paravertebrae dan tidak
didapatkan adanya darah, cairan serebrospinal atau udara, maka
kateter dapat dipasang atau dimasukkan bolus anestesi lokal.
Pemberian anestesi yang direkomendasikan sebanyak 20 ml dan
berupa anestesi lokal jangka panjang (Pawa et al., 2019).
Jarum juga dapat dimasukkan menggunakan pendekatan “fixed
pre-determined distance”, dengan pendekatan ini jarum dimasukkan
sepanjang processsus transversus dan dimajukan sedikit sejauh 1-2 cm
tanpa bertujuan untuk menimbulkan hilangnya resistensi. Teknik ini
bertujuan untuk mengurangi risiko adanya tusukan pleura dan
pneumotoraks yang tidak disengaja (Pawa et al., 2019).
Penggunaan pemantauan tekanan juga telah dijelaskandengan
penggunaan transduser tekanan. Tekanan pada otot erektor spinae
pada inspirasi dan ekspirasi melebihi tekanan dalam ruang dan selalu
tetap positif. Teknik ini dapat membantu mengurangi hilangnya

12
resistensi positif palsu daripada yang dapat terjadi dan juga mencegah
jarum bergerak lebih maju ketika penetrasi (Pawa et al., 2019).

Gambar 2.3 Gambaran landmark untuk TPVB (Batra et al.,


2011).
ii. Ultrasound-guided technique
Terdapat dua pendekatan yang paling banyak digunakan pada teknik
ini, yaitu :
- Longitudinal oblique, in-plane technique
Probe diletakkan dengan orientasi caudocranial sekitar 5 cm
dari garis tengah, dimana tulang iga dan pleura diidentifikasi.
Selanjutnya probe digerakkan ke arah medial hingga transisi antara
costae (convex) dengan processus transversus (TP) terlihat, lalu
probe diputar sedikit berlawanan arah jarum jam, sehingga ujung
cranial terletak di medial dan ujung caudal ada di lateral. Terakhir,
probe sedikit dimiringkan ke lateral untuk memperjelas gambar.
Jarum dimasukkan dari caudal ke arah cranial. When SCTL telah
tertusuk, ujung jarum berada pada ruang paravertebral dan ketika
anestesi lokal diinjeksikan, akan mendorong pleura ke bagian
bawah (Nair et al., 2020).

13
Gambar 2.4 Gambaran Ultrasound thoracic paravertebral space. TP,
transverse process; SCTL, superior costotransverse ligament; TPVS,
thoracic paravertebral space; ESM, erector spinae muscle; RM, rhomboid
major; TM, trapezius muscle (Nair et al., 2020).
- Transverse, in-plane technique
Probe diletakkan secara transversal (aksial), lateral dari garis tengah
untuk mengidentifikasi costae terlebih dahulu. Probe selanjutnya
digerakkan ke arah caudal untuk memvisualisasi ruang intercostal.
Pleura akan terlihat sepanjang membrane intercostae interna yang
menyambung dengan SCTL. Jarum selanjutnya dimasukkan dari
lateral ke medial menuju TP hingga mencapai membrana intercostal
interna. Anestesi lokal diinjeksikan dan akan terlihat pleura yang
bergerak ke arah bawah. (Nair et al., 2020).

Gambar 2.5 (A) gambaran posisi jarum pada pada sagittal-plane


ultrasound-guided (USG) paravertebral block (PVB). (B) gambaran
posisi jarum pada transverse-plane USG-PVB. (Ardon et al., 2020).

14
Keuntungan dari penggunaan ultrasound-guided TPV block
dibandingkan blind technique adalah kemampuan visualisasi dari
struktur anatomi, ujung jarum, penyebaran anestesi lokal dan
peletakkan kateter. Selain itu penggunaan ultrasound juga membuat
durasi prosedur lebih singkat, memperpanjang durasi anestesi, volume
anestesi lokal yang lebih sedikit, risiko gagal dan komplikasi yang
lebih rendah, serta membuat pasien lebih nyaman (Nair et al., 2020).
d. Indikasi Anestesi Paravertebral
i. Thoracotomi
Pada thoracotomy penggunaan TPVB sebagai analgesik banyak
digunakan. Beberapa systematic review menyimpulkan bahwa kualitas
analgesik yang dihasilkan dari prosedur TPVB dengan kateter sebandig
dengan anestesi epidural thoracic pada tindakan thoracotomy (Wild dan
Chin, 2017).
ii. Fraktur costae
Penelitian membuktikan bahwa pemberian infus kontinyu
paravertebral thoracic dengan bupivacaine sebesar 0.1 ml/kg/hr
merupaka metode yang sederhana dan efektif untuk memberikan efek
analgesik jangka panjang pada pasien dengan fraktur costae multipel
unilateral. Pemberian PVB juga terbukti meningkatkan fungsi respiratori
dengan menurunkan laju pernapasan dan peningkatan forced vital
capacity (Batra et al., 2011).
iii. Operasi Payudara
Dua systematic review melaporkan adanya perbedaan pada skor
nyeri istirahat, dinamis dan terburuk yang lebih rendah pada pasien yang
menerima PVB saja, atau dengan GA, dibandingkan dengan modalitas
penghilang rasa sakit lainnya. Kebutuhan opioid menurun, begitu juga
dengan mual muntah postoperasi dan efek samping akibat opioid lainnya.
Masa perawatan di rumah sakit juga cenderung lebih singkat dan
insidensi nyeri postoperasi ≤6 bulan. Suatu penelitian menyebutkan
bahwa tingkat keberhasilan dengan teknik dengan panduan ultrasound

15
lebih tinggi dibandingkan anatomical landmark PVB pada operasi
payudara (Nair et al., 2020).
iv. Cholecystectomi
Pada suatu perbandingan antara pemberian PVB bilateral dengan
analgesik sistemik pada pasien yang melakukan kolesistektomi
laparoskopi, skor nyeri menurun pada kelompok PVB . Penelitian lain
juga melaporkan skor nyeri saat istirahat dan gerak yang lebih rendah
pada pasien yang mendapatkan PVB dan anestesi general, dibandingkan
pasien yang hanya mendapatkan anestesi general saja dalam durasi 72
jam. Kebutuhan analgesik berkurang selama 36 jam, didapatkan pula
penurunan kejadian mual muntah pasca operasi yang mendapatkan PVB
(Nair et al., 2020).
v. Manajemen Nyeri Kronik
Operasi payudara berhubungan dengan 22-53% insidesi nyeri
kronik post operasi (CPSP), thoracotomi juga memiliki hubungan yang
erat dengan kejadian CPSP. Dua penelitian meta analisis mengevaluasi
efek dari injeksi 15-20 ml bupivacaine 0.5% pada nyeri post thoracotomi
dan post mastektomi, didapatkan 99% memberikan hasil yang baik pada
blokade, dan pereda nyeri jangka panjang pada post thoracotomy lebih
baik dibandingkan post mastektomi. PVB memberikan efek protektif
terhadap kejadian CPSP dalam jangka waktu 6 bulan (Nair et al., 2020).
vi. Operasi renal atau urologi
Ketika dibandingkan antara PVB baik dengan GA, analgesik
sistemik ataupun single-shot thoracic epidural pada prosedur
percutaneous nephrolithotomy (PCNL), didapatkan skor nyeri, konsumsi
morfin dan mual muntah pasca operasi menurun pada kelompok dengan
PVB. Pada kasus open nephrectomy, juga didapatkan skor nyeri dan
kebutuhan opioid yang lebih rendah pada kelompok PVB dibandingkan
kelompok GA selama 24 jam (Nair et al., 2020).

16
e. Kontraindikasi
Beberapa kontraindikasi untuk dilakukan TPVB, yaitu :
i. Alergi terhadap anestesi lokal
ii. Infeksi pada area penusukan
iii. Empyema pada area pleura yang menjadi lokasi anestesi
iv. Adanya tumor yang menutupi area paravertebral
v. Gangguan koagulasi atau penggunaan obat-obatan anti koagulan
vi. Penolakan pasien
vii. Infeksi pernapasan atau pembesaran pleura yang persisten, akibat
risiko terjadinya pneumothoraks
viii. Respiratory infection, or persistent pleural enlargement: due to the risks
of pneumothorax.
(Stevanofski, 2022).
Perhatian khusus harus diberikan pada pasien dengan kelainan tulang
belakang, kiphoskoliosis, dan pada pasien yang telah menjalani operasi
region torak. Deformitas pada region torak dapat berakibat pada
tertembusnya rongga tekal maupun pleura secara tidak disengaja, dan
perubahan anatomi pada paravertebral yang diakibatkan fibrosis atau adhesi
dari paru ke rongga dada yang dapat menyebabkan tertusuknya paru-paru
(Yuwono dan Laksono, 2020).
Tabel 2.2 Indikasi dan kontraindikasi blokade paravertebral (Nair et al.,
2020).

17
f. Keuntungan
Keuntungan TPVB dibandingkan teknik lain yang serupa adalah
mudah untuk dipelajari, aman dan mudah untuk dilakukan sebelum
dilakukan penusukan pada area epidural, dapat dilakukan pada pasien yang
tengah mengalami sedasi dan menggunakan ventilasi mekanik. Pada operasi
pemasangan kateter di area toraks memberikan efek pain reliever yang lebih
lama tanpa adanya risiko yang tinggi. Selain itu, penggunaan TPVB juga
tidak memerlukan pengawasan yang terlalu ketat karena efek hemodinamik
yang lebih stabil, dan diperlukan opioid lebih sedikit untuk meberikan
tambahan analgesic dibandingkan teknik anestesi lainnya (Stevanofski,
2022).
g. Kegagalan dan Komplikasi
“Block failure” memiliki definisi yang bervariasi, dari skor nyeri yang
lebih tinggi dibandingkan ekspektasi, tidak adanya blokade saat dilakukan
pengetesan dermatomal, ketidaksanggupan untuk mengakses ruang TPV
atau kegagalan serupa dengan teknik anestesi pembedahan lainnya. Tingkat
kegagalan ketika menggunakan teknik landmark lebih tinggi dibandingkan
teknik menggunakan panduan ultrasound. Pada teknik landmark didapatkan
pendekatan menggunakan loss of resistance lebih tinggi dibandingkan
pendekatan predetermined distance. Kegagalan pada teknik menggunakan
panduan ultrasound memiliki risiko yang rendah dikarenakan adanya
visualisasi jarum yang baik dan kemampuan untuk melihat penyebaran
anestesi lokal pada lokasi yang berkaitan (Nair et al., 2020).
Komplikasi klasik yang umum terjadi pada pasien yang mendapatkan
PVB antara lain infeksi pada lokasi tusukan, hematom pada lokasi tusukan,
kerusakan saraf, dan toksisitas akibat overdosis dari anestesi lokal.
Sementara itu, komplikasi spesifik yang dapat terjadi adalah pneumothorax,
hemothorax, atau injeksi intrathecal (Aziz, 2022).
Penelitian lain melaporkan adanya komplikasi lain berupa perdarahan
paru, blokade pleksus brachial ipsilateral, parese hemidiafragma, hingga
kejadian sindroma horner akibat difusi pada ganglion stellata ipsilateral.

18
Seiring dengan semakin berkembangnya teknik pada PVB, saat ini
komplikasi lebih jarang terjadi (Aziz, 2022).

19
KESIMPULAN

1. Anestesi Paravertebral merupakan salah satu teknik anestesi regional yang


dilakukan dengan cara melakukan injeksi ke ruang paravertebral. Blok
paravertebral lebih banyak dilakukan di area thoracal, sehingga lebih sering
dikenal sebagai thoracic paravertebral block (TPVB).
2. PVB digunakan sebagai teknik analgesik intra-operatif, post operative dan
dapat pula digunakan sebagai teknik anestesi utama pada prosedur-prosedur
tertentu
3. Sebelum dilakukan prosedur blok anestesi, dilakukan persiapan terlebih
dahulu meliputi assessment pra operasi, inform consent, penentuan lokasi,
pemilihan jarum dan penentuan volume anestesi lokal.
4. Teknik yang banyak digunakan pada PVB adalah Landmark-Guided
Thoracic Paravertebral Block dan Ultrasound-guided technique
5. PVB diaplikasikan pada prosedur thoracotomy, pembedahan fraktur costae,
operasi payudara, kolesistektomi, operasi renal, dan sebagai manajemen nyeri
kronik.
6. Komplikasi yang dapat terjadi pada prosedur PVB, antara lain infeksi pada
lokasi tusukan, hematom pada lokasi tusukan, kerusakan saraf, dan toksisitas
akibat overdosis dari anestesi lokal. Sementara itu, komplikasi spesifik yang
dapat terjadi adalah pneumothorax, hemothorax, atau injeksi intrathecal

20
DAFTAR PUSTAKA

Lewar. 2015. Efek pemberian obat anestesi inhalasi sevofluran terhadap


perubahan frekuensi nadi intra anestesi di kamar operasi rumah sakit umum
daerah umbu rara meha waigapu. Jurnal Info Kesehatan. vol 14 (2) : 1019-
1030
Kulsum. 2020. Pre-Anesthesia Assessment and Preparation. Budapest
International Research in Exact Sciences (BirEx)Journal. Vol 2 (2):228-
235.
American Society of anesthesiologist (ASA). 2020. ASA Physical Status
Classification System Dawson dan Jones. 2012. The principles of
anaesthesia. Elsevier. Vol 31(2) : 67-71
Satwik A., dan Naveed N. 2015. Anesthesia – A Review. Journal of
Pharmaceutical Sciend and Research. Vol 7 (4) : 182-184
NHS. 2019. Anesthesia explained information for patient. Oxford university
Pawa, A., Wojcikiewicz, T., Barron, A. et al. 2019.  Paravertebral Blocks:
Anatomical, Practical, and Future Concepts. Curr Anesthesiol Rep Vol. 9 :
263–270
Tighe, S. G.M., Greene, M. D., Rajadurai, N.2010. Paravertebral
block, Continuing Education in Anaesthesia Critical Care & Pain, Vol.10
(5) : 133–137, 
Batra R.K, Krishnan K., Agarwal A. 2011. Paravertebral block. J Anaesthesiol
Clin Pharmacol. Vol. 27(1):5-11
Stefanovski, P. 2022. Paravertebral Block in Thoracotomy—Comparison between
Single-Shot and Catheter Methods. Surgical Science Vol. 13 : 273- 279
Nair, S., Gallagher, H., Conlon, N.2020. Paravertebral blocks and novel
alternatives. BJA Vol. 20 (5) : 158-165.
Alberto E. A, Justin L., Carlo D. F., Kevin T. R, R A. 2020. Paravertebral block:
anatomy and relevant safety issues. Korean J Anesthesiol. Vol. 73(5):394-
400.
Yuwono, V. P. dan Ristiawan Muji Laksono. 2020. Thoracic Paravertebral Block
(TPVB) Sebagai Teknik Anestesi yang Aman dan Nyaman untuk
Torakoskopi. Journal of Anaesthesia and Pain. Vol. 1 (3) : 39-44.
Aziz, M. B. 2020. Thoracic Paravertebral Block. Continuing Education Activity.
Statpearls
Pramono, A. 2015. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC.
Wild K dan Chin K.J. 2017. Regional techniques for thoracic wall surgery. Curr
Anesthesiol Rep. Vol. 7:212–9

21

Anda mungkin juga menyukai