Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI DENGAN REGIONAL ANESTESI

(SAB) PADA Ny. M DENGAN DIAGNOSA MEDIS


SECTIO CAESAREA DI IBS RSUD SLEMAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Anestesi IV

Disusun oleh :
Devi Kumala S P07120214004
Luthfa Nadia P07120214018
Sera Puji A P07120214032

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
2018
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI DENGAN REGIONAL ANESTESI


(SAB) PADA Ny. M DENGAN DIAGNOSA MEDIS
SECTIO CAESAREA DI IBS RSUD SLEMAN

Disusun oleh :
Devi Kumala S P07120214004
Luthfa Nadia P07120214018
Sera Puji A P07120214032

Telah di periksa dan di setujui pada : April 2018

Mengetahui
Pembimbing Lapangan Pembimbing Akademik
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Teori Subarachniod Blok (SAB)


1. Pengertian
Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat anestesi
disekitar syaraf sehingga area yang di syarafi teranestesi. Anestesi regional
dibagi menjadi epidural, spinal dan kombinasi spinal epidural, spinal anestesi
adalah suntikan obat anestesi kedalam ruang subarahnoid dan ekstradural
epidural di lakukan suntikan kedalam ekstradural. ( Brunner & suddarth, 2002 ).
Spinal anestesi atau Subarachniod Blok (SAB) adalah salah satu teknik
anestesi regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal
ke dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom
tertentu dan relaksasi otot rangka. Untuk dapat memahami spinal anestesi yang
menghasilkan blok simpatis, blok sensoris dan blok motoris maka perlu
diketahui neurofisiologi saraf, mekanisme kerja obat anestesi lokal pada SAB
dan komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Derajat anestesi yang dicapai
tergantung dari tinggi rendah lokasi penyuntikan, untuk mendapatkan blockade
sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung banyak
faktor antara lain posisi pasien selama dan setelah penyuntikan, barisitas dan
berat jenis obat. Berat jenis obat lokal anesthesia dapat diubah–ubah dengan
mengganti komposisinya, hiperbarik diartikan bahwa obat lokal anestesi
mempunyai berat jenis yang lebih besar dari berat jenis cairan serebrospinal,
yaitu dengan menambahkan larutan glukosa, namun apabila ditambahkan NaCl
atau aqua destilata akan menjadi hipobarik (Gwinnutt, 2011)
2. Anatomi
Tulang punggung (columna vertebralis) Terdiri dari :
- 7 vertebra servikal
- 12 vertebra thorakal
- 5 vertebra lumbal
- 5 vertebra sacral ( menyatu pada dewasa )
- 4 vertebra kogsigeal ( menyatu pada dewasa )
Medula spinalis diperadarahi oleh spinalis anterior dan spinalis
posteror.
Tulang belakang biasanya bentuk-bentuk ganda C, yang cembung anterior di
daerah leher dan lumbal. Unsur ligamen memberikan dukungan struktural dan
bersama-sama dengan otot pendukung membantu menjaga bentuk yang unik.
Secara ventral, corpus vertebra dan disk intervertebralis terhubung dan
didukung oleh ligamen longitudinal anterior dan posterior. Dorsal,
ligamentum flavum, ligamen interspinous, dan ligamentum supraspinata
memberikan tambahan stabilitas. Dengan menggunakan teknik median, jarum
melewati ketiga dorsal ligamen dan melalui ruang oval antara tulang lamina
dan proses spinosus vertebra yang berdekatan (Morgan et.al 2006) .Untuk
mencapai cairan cerebro spinal, maka jarum suntik akan menembus : kulit,
subkutis, ligament supraspinosum, ligament interspinosum, ligament flavum,
ruang epidural, durameter, ruang subarahnoid. (Morgan et.al 2006)
3. Indikasi Spinal Anestesi (Yuswana, 2005)
a. Operasi ektrimitas bawah, meliputi jaringan lemak, pembuluh darah dan
tulang.
b. Operasi daerah perineum termasuk anal, rectum bawah dan dindingnya
atau pembedahan saluran kemih.
c. Operasi abdomen bagian bawah dan dindingnya atau operasi peritoneal.
d. Operasi obstetrik vaginal deliveri dan section caesaria.
e. Diagnosa dan terapi
4. Kontra indikasi Spinal Anestesi (Latief, 2010)
a. Absolut
1) Pasien menolak
2) Infeksi tempat suntikan
3) Hipovolemik berat, syok
4) Gangguan pembekuan darah, mendapat terapi antikoagulan
5) Tekanan intracranial yang meninggi
6) Hipotensi, blok simpatik menghilangkan mekanisme kompensasi
7) Fasilitas resusitasi minimal atau tidak memadai
b. Relatif (latief, 2001)
1) Infeksi sistemik (sepsis atau bakterimia)
2) Kelainan neurologis
3) Kelainan psikis
4) Pembedahan dengan waktu lama
5) Penyakit jantung
6) Nyeri punggung
7) Anak-anak karena kurang kooperatif dan takut rasa baal
5. Persiapan spinal Anestesi
Pada dasarnya persiapan anestesi spinal seperti persiapan anestesi umum,
daerah sekitar tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan,misalnya kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk
sehingga tidak teraba tonjolan prosesus spinosus. ( Latief, 2001) Selain itu perlu
di perhatikan hal-hal dibawah ini :
a. Izin dari pasien (Informed consent)
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan Laboratorium anjuran HB, HT, PT (Protombin Time) dan
PTT (Partial Thromboplastine Time).
d. Obat-obat Lokal Anesthesi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi spinal anestesi blok adalah barisitas
(Barik Grafity) yaitu rasio densitas obat spinal anestesi yang dibandingkan
dengan densitas cairan spinal pada suhu 370C. Barisitas penting diketahui karena
menentukan penyebaran obat anestesi lokal dan ketinggian blok karena grafitasi
bumi akan menyebabkan cairan hiperbarik akan cendrung ke bawah. Densitas
dapat diartikan sebagai berat dalam gram dari 1ml cairan (gr/ml) pada suhu
tertentu. Densitas berbanding terbalik dengan suhu (Gwinnutt, 2011).
Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dan densitas dapat di
golongkan menjadi tiga golongan yaitu:
1) Hiperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih
besar dari pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi
perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Agar obat anestesi
lokal benar–benar hiperbarik pada semua pasien maka baritas paling
rendah harus 1,0015gr/ml pada suhu 37C. contoh: Bupivakain 0,5%
(Gwinnutt, 2011).
2) Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih
rendah dari berat jenis cairan serebrospinal. Densitas cairan
serebrospinal pada suhu 370C adalah 1,003gr/ml. Perlu diketahui
variasi normal cairan serebrospinal sehingga obat yang sedikit
hipobarik belum tentu menjadi hipobarik bagi pasien yang lainnya.
contoh: tetrakain, dibukain. (Gwinnutt, 2011).
3) Isobarik
Secara definisi obat anestesi lokal dikatakan isobarik bila densitasnya
sama dengan densitas cairan serebrospinalis pada suhu 370C. Tetapi
karena terdapat variasi densitas cairan serebrospinal, maka obat akan
menjadi isobarik untuk semua pasien jika densitasnya berada pada
rentang standar deviasi 0,999-1,001gr/ml. contoh: levobupikain 0,5%
(Viscomi 2004).
Spinal anestesi blok mempunyai beberapa keuntungan antara lain:
perubahan metabolik dan respon endokrin akibat stres dapat dihambat,
komplikasi terhadap jantung, paru, otak dapat di minimal, tromboemboli
berkurang, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah yang terblok sedang
pasien masih dalam keadaan sadar. (Kleinman et al,2006).
6. Persiapan alat anestesi spinal ( Latief, 2001)
a. Peralatan monitor
b. Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut (pulse oximeter) dan EKG.
c. Peralatan resusitasi / anestesi umum.
d. Jarum spinal
7. Prosedur spinal anestesi
Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor yang
sesuai dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan nafas dan
resusitasi telah tersedia. Sebelum memosisikan pasien, seluruh peralatan untuk
blok spinal harus siap untuk digunakan, sebagai contoh, anestesi lokal telah
dicampur dan siap digunakan, jarum dalam keadaan terbka, cairan preloading
sudah disiapkan. Persiapan alat akan meminimalisir waktu yang dibutuhkan
untuk anestesi blok dan kemudian meningkatkan kenyamanan pasien (Bernards,
2006).
Adapun prosedur dari anestesi spinal adalah sebagai berikut (Morgan,
2006):
1) Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika
kita visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda
kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu
dipersiapkan untuk spinal anestesi.
2) Posisi pasien :
a) Posisi Lateral. Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm,
lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.
b) Posisi duduk. Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna
vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi
mungkin akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang
pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan
sadle block.
c) Posisi Prone. Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah
menginginkan posisi Jack Knife atau prone.
3) Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol,
kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.
4) Cara penusukan.
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum,
semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi
komplikasi sakit kepala (PDPH=post duran puncture headache),
dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan
menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan
subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal analgesi
dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter sampai yang
keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-
nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi
bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor
harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi lokal karena dapat
menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).
8. Komplikasi spinal anestesi
Komplikasi anestesi spinal adalah hipotensi, hipoksia, kesulitan bicara,
batuk kering yang persisten, mual muntah, nyeri kepala setelah operasi, retansi
urine dan kerusakan saraf permanen (Bunner dan Suddart, 2002)
9. Teknik Spinal Anestesi
Anestesi spinal kebanyakan menggunakan blokade sentral, seperti pada
operasi seksio sesaria, hernia dan operasi ortopedi daerah perut ke bawah. Obat
analgetik berupa anestetik lokal seperti bupivakain dan lidokain diberikan
melalui ruang subaraknoid di kolomna vertebralis. Anatomi tulang punggung
dapat digambarkan sebagai berikut:
a. 7 vertebra servikalis
b. 12 vertebra torakalis
c. 5 vertebra lumbal
d. 5 vertebra sacral
e. 4-5 vertebra koksigeal
Sebagai titik acuan (landmark), dipakai garis lurus yang menghubungkan
kedua krista iliaka tertinggi yang akan memotong prosesus spinosus vertebra
L4 atau antara L4-L5. Medulla spinalis diperdarahi oleh arteri spinalis anterior
dan arteri spinalis posterior. Medulla spinalis dikelilingi oleh cairan
serebrospinalis dan di bungkus meningen (durameter, lemak dan pleksus
venosus). Pada orang dewasa, medulla spinalis berakhir setinggi L1, sementara
pada anak L2 dan pada bayi L3 sakus.

B. Konsep Teori Sectio Caesarea


1. Pengertian
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat
rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009).
Sectio Caesarea ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan berat badan
diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus yang utuh
(Muchtar, 2005)
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding rahim (Mansjoer, 2002)
2. Jenis-jenis
a. Sectio cesaria transperitonealis profunda
Sectio cesaria transperitonealis propunda dengan insisi di segmen bawah
uterus. insisi pada bawah rahim, bisa dengan teknik melintang atau
memanjang. Keunggulan pembedahan ini adalah:
1) Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.
2) Bahaya peritonitis tidak besar.
3) Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri dikemudian
hari tidak besar karena pada nifas segmen bawah uterus tidak seberapa
banyak mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat
sembuh lebih sempurna.

b. Sectio cesaria klasik atau section cecaria korpora


Pada sectio cacaria klasik ini di buat kepada korpus uteri, pembedahan
ini yang agak mudah dilakukan,hanya di selenggarakan apabila ada
halangan untuk melakukan section cacaria transperitonealis profunda. Insisi
memanjang pada segmen atas uterus.
c. Sectio cesaria ekstra peritoneal
Section cacaria eksrta peritoneal dahulu di lakukan untuk mengurangi
bahaya injeksi perporal akan tetapi dengan kemajuan pengobatan terhadap
injeksi pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi di lakukan. Rongga
peritoneum tak dibuka, dilakukan pada pasien infeksi uterin berat.
d. Sectio caesarea Hysteroctomy
Setelah sectio cesaria, dilakukan histeroktomi dengan indikasi:
a) Atonia uteri
b) Plasenta accrete
c) Myoma uteri
d) Infeksi intra uteri berat
3. Etiologi
Manuaba (2002), indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri
iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari
janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa
faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea
sebagai berikut:
a. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu
tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan
ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan
susunan beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan
jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk
panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat
menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga harus
dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan
bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang
panggul menjadi abnormal.
b. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah
perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab
kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan.
Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan
mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi.
c. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar
ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di
bawah 36 minggu.
d. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena
kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi
daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami
sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara
normal.
e. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan
pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.
1) Kelainan Letak Janin
2) Kelainan pada letak kepala
3) Letak kepala tengadah
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam
teraba UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala
bentuknya bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
4) Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang
terletak paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-
0,5 %.
5) Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi
terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya
dengan sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang
kepala.
6) Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak
memanjang dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian
bawah kavum uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni
presentasi bokong, presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi
bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki (Saifuddin, 2002).
4. Patofisiologi
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr
dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan
tindakan ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan
lunak, placenta previa dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin.
Janin besar dan letak lintang setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi
post partum baik dari aspek kognitif berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang
informasi dan dari aspek fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat
akan mengakibatkan ASI yang keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan
menjadi post de entris bagi kuman. Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik
dan perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah utama karena insisi
yang mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat
regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap
janin maupun ibu anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam
keadaan upnoe yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa
mati, sedangkan pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri
berupa atonia uteri sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh
terhadap nafas yaitu jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret yan berlebihan
karena kerja otot nafas silia yang menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi
saluran pencernaan dengan menurunkan mobilitas usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi
proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk
metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang
menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan
menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat
beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu
motilitas yang menurun juga berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu
konstipasi. (Saifuddin, Mansjoer & Prawirohardjo, 2002)
5. Pathway SC

Sumber : Nurarif, Amin Huda dan Kusuma, Hardi.2013. Aplikasi NANDA NIC-NOC 2013. Yogyakarta : Mediaction
6. Teknik penatalaksanaan
a. Bedah Caesar Klasik/ Corporal.
1) Buatlah insisi membujur secara tajam dengan pisau pada garis tengah korpus
uteri diatas segmen bawah rahim. Perlebar insisi dengan gunting sampai
sepanjang kurang lebih 12 cm saat menggunting lindungi janin dengan dua jari
operator.
2) Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah. Janin dilahirkan dengan
meluncurkan kepala janin keluar melalui irisan tersebut.
3) Setelah janin lahir sepenuhnya tali pusat diklem (dua tempat) dan dipotong
diantara kedua klem tersebut.
4) Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika
kedalam miometrium dan intravena.
5) Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
a) Lapisan I
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan
menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2
b) Lapisan II
Lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal
(lambert) dengan benang yang sama.
c) Lapisan III
Dilakukan reperitonealisasi dengan cara peritoneum dijahit secara
jelujur menggunakan benang plain catgut no.1 dan 2
- Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa
darah dan air ketuban
- Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
b. Bedah Caesar Transperitoneal Profunda
1) Plika vesikouterina diatas segmen bawah rahim dilepaskan secara melintang,
kemudian secar tumpul disisihkan kearah bawah dan samping.
2) Buat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen bawah rahim kurang lebih
1 cm dibawah irisan plika vesikouterina. Irisan kemudian diperlebar dengan
gunting sampai kurang lebih sepanjang 12 cm saat menggunting lindungi
janin dengan dua jari operator.
3) Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah dan janin dilahirkan
dengan cara meluncurkan kepala janin melalui irisan tersebut.
4) Badan janin dilahirkan dengan mengaitkan kedua ketiaknya.
5) Setelah janin dilahirkan seluruhnya tali pusat diklem (dua tempat) dan
dipotong diantara kedua klem tersebut.
6) Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika
kedalam miometrium dan intravena.
7) Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
a) Lapisan I
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan
menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2
b) Lapisan II
Lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal
(lambert) dengan benang yang sama.
c) Lapisan III
Peritoneum plika vesikouterina dijahit secara jelujur menggunakan
benang plain catgut no.1 dan 2
- Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa
darah dan air ketuban
- Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
c. Bedah Caesar Ekstraperitoneal
1) Dinding perut diiris hanya sampai pada peritoneum. Peritoneum kemudia
digeser kekranial agar terbebas dari dinding cranial vesika urinaria.
2) Segmen bawah rahim diiris melintang seperti pada bedah Caesar
transperitoneal profunda demikian juga cara menutupnya.
d. Histerektomi Caersaria (Caesarea Hysterectomy)
1) Irisan uterus dilakukan seperti pada bedah Caesar klasik/corporal demikian
juga cara melahirkan janinnya.
2) Perdarahan yang terdapat pada irisan uterus dihentikan dengan menggunakan
klem secukupnya.
3) Kedua adneksa dan ligamentum rotunda dilepaskan dari uterus.
4) Kedua cabang arteria uterina yang menuju ke korpus uteri di klem (2) pada
tepi segmen bawah rahim. Satu klem juga ditempatkan diatas kedua klem
tersebut.
5) Uterus kemudian diangkat diatas kedua klem yang pertama. Perdarahan pada
tunggul serviks uteri diatasi.
6) Jahit cabang arteria uterine yang diklem dengan menggunakan benang sutera
no. 2.
7) Tunggul serviks uteri ditutup dengan jahitan ( menggunakan chromic catgut
(no.1 atau 2) dengan sebelumnya diberi cairan antiseptic.
8) Kedua adneksa dan ligamentum rotundum dijahitkan pada tunggul serviks
uteri.
9) Dilakukan reperitonealisasi serta eksplorasi daerah panggul dan visera
abdominis.
10) Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektroensefalogram (EEG)
Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
b. Pemindaian CT
Untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
c. Magneti resonance imaging (MRI)
Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan
gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak
jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT.
d. Pemindaian positron emission tomography (PET)
Untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan
lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.\
e. Uji laboratorium
1) Fungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
2) Hitung darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan hematocrit
3) Panel elektrolit
4) Skrining toksik dari serum dan urin
5) AGD
6) Kadar kalsium darah
7) Kadar natrium darah
8) Kadar magnesium darah
8. Komplikasi
Yang sering terjadi pada ibu SC adalah :
a. Infeksi puerperial : kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas dibagi
menjadi:
1) Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
2) Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut
sedikit kembung
3) Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
b. Perdarahan : perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat pembedahan cabang-
cabang arteri uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri.
c. Komplikasi-komplikasi lainnya antara lain luka kandung kencing, embolisme paru
yang sangat jarang terjadi.
d. Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya
bisa terjadi ruptur uteri.Yang sering terjadi pada ibu bayi : Kematian perinatal
9. Penatalaksanaan
Penatalakanaan yang diberikan pada pasien Post SC diantaranya:
a. Penatalaksanaan secara medis
1) Analgesik diberikan setiap 3 – 4 jam atau bila diperlukan seperti Asam
Mefenamat, Ketorolak, Tramadol.
2) Pemberian tranfusi darah bila terjadi perdarahan partum yang hebat.
3) Pemberian antibiotik seperti Cefotaxim, Ceftriaxon dan lain-lain. Walaupun
pemberian antibiotika sesudah Sectio Caesaria efektif dapat dipersoalkan,
namun pada umumnya pemberiannya dianjurkan.
4) Pemberian cairan parenteral seperti Ringer Laktat dan NaCl.
b. Penatalaksanaan secara keperawatan
1) Periksa dan catat tanda – tanda vital setiap 15 menit pada 1 jam pertama dan
30 menit pada 4 jam kemudian.
2) Perdarahan dan urin harus dipantau secara ketat
3) Mobilisasi
Pada hari pertama setelah operasi penderita harus turun dari tempat tidur
dengan dibantu paling sedikit 2 kali. Pada hari kedua penderita sudah dapat
berjalan ke kamar mandi dengan bantuan.
4) Pemulangan
Jika tidak terdapat komplikasi penderita dapat dipulangkan pada hari
kelima setelah operasi
C. Asuhan Keperawatan Peri Anestesi
Asuhan Keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan praktik keperawatan
yang diberikan secara langsung kepada klien/pasien di berbagai tatanan pelayanan
kesehatan. Dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah keperawatan sebagai suatu profesi
yang berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, bersifat humanistik dan berdasarkan pada
kebutuhan objektif klien untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
1. Pre Anestesi
a. Pengkajian Pre Anestesi dilakukan sejak pasien dinyatakan akan dilakukan
tindakan pembedahan baik elektif maupun emergensi. Pengkajian pre anestesi
meliputi :
1) Identitas pasien
2) Riwayat kesehatan pasien dan riwayat alergi
3) Pemeriksaan fisik pasien meliputi : Tanda-tanda vital pasien, pemeriksaan
sistem pernapasan (breathing), sistem kardiovaskuler (bleeding),sistem
persyarafan (brain), sistem perkemihan dan eliminasi (bowel), sistem tulang,
otot dan integument (bone).
4) Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium, rontgen, CT-scan, USG, dll.
5) Kelengkapan berkas informed consent.
b. Analisa Data
Data hasil pengkajian dikumpulkan dan dianalisa sehingga dapat menilai
klasifikasi ASA pasien. Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan
diagnosa keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi pre
anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi Pre Anestesi
1) Dx : Cemas b/d kurang pengetahuan masalah pembiusan
Tujuan : Cemas berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
 Pasien menyatakan tahu tentang proses kerja obat anestesi/pembiusan.
 Pasien menyatakan siap dilakukan pembiusan.
 Pasien mengkomunikasikan perasaan negatif secara tepat.
 Pasien taampak tenang dan kooperatif.
 Tanda-tanda vital normal.
Rencana tindakan :
 Kaji tingkat kecemasan.
 Orientasikan dengan tim anestesi/kamar operasi.
 Jelaskan jenis prosedur tindakan anestesi yang akan dilakukan.
 Beri dorongan pasien untuk mengungkapkan perasaan.
 Dampingi pasien untuk mengurangi rasa cemas.
 Ajarkan tehnik relaksasi napas dalam.
 Kolaborasi untuk memberikan obat penenang.
Evaluasi :
 Pasien mengatakan paham akan tindakan pembiusan atau anestesi.
 Pasien mengatakan siap dilakukan prosedur anestesi dan operasi.
 Pasien lebih tenang.
 Ekspresi wajah cerah.
 Pasien kooperatif ditandai tanda-tanda vital dalam batas normal.

2) Dx : Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d vasodilatasi


pembuluh darah dampak obat anestesi.
Tujuan : keseimbangan cairan dalam ruang intrasel dan ekstrasel tubuh
tercukupi.
Kriteria hasil :
 Pasien menyatakan tidak haus/tidak lemas.
 Akral kulit hangat.
 Haemodinamik normal.
 Masukan dan keluaran cairan seimbang.
 Urine output 1-2 cc/kgBB/jam.
 Hasil laborat elektrolit darah normal.
Rencana tindakan :
 Kaji tingkat kekurangan volume cairan.
 Kolaborasi dalam pemberian cairan dan elektrolit.
 Monitor masukan dan keluaran cairan dan elektrolit.
 Monitor hemodinamik pasien.
 Monitor perdarahan.
Evaluasi :
 Kebutuhan volume cairan seimbang.
 Lokasi tusukan infus tidak bengkak dan tetesan infus lancar.
 Cairan masuk dan keluar pasien terpantau.
 Hemodinamik normal.
 Laboratorium.
2. Intra Anestesi
a. Pengkajian Intra Anestesi dilakukan sejak pasien. Pengkajian Intra anestesi
meliputi :
1) Persiapan pasien, alat anestesi dan obat-obat anestesi.
2) Pelaksanaan anestesi
3) Monitoring respon dan hemodinamik pasien yang kontinu setiap 5 menit
sampai 10 menit.
b. Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa keperawatan,
tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi intra anestesi
1) Dx : Pola napas tidak efektif b/d disfungsi neuromuscular dampak
sekunder dari obat pelumpuh otot pernapasan dan obat general
anestesi.
Tujuan : Pola napas pasien menadi efektif/normal.
Kriteria hasil :
 Frekuensi napas normal.
 Irama napas sesuai yang diharapkan.
 Ekspansi dada simetris.
 Jalan napas pasien lancar tidak didapatkan adanya sumbatan.
 Tidak menggunakan obat tambahan.
 Tidak terjadi sianosis, saturai O2 96-100%.
Rencana tindakan:
 Bersihkan secret pada jalan napas.
 Jaga patensi jalan napas.
 Pasang dan beri suplai oksigen yang adekuat.
 Monitor perfusi jaringan perifer.
 Monitor ritme, irama dan usaha respirasi.
 Monitor pola napas dan tanda-tanda hipoventiasi.
Evaluasi :
 Pola napas efektif dan tidak ada tanda-tanda sianosis.
 Napas spontan, irama dan ritme teratur.
2) Dx : Komplikasi potensial syok kardiogenik b/d sekunder obat anestesi
(RA).
Tujuan : Pompa jantung dan sirkulasi kardiovaskuler dapat efektif.
Kriteria hasil :
 Tekanan darah sistolik dan diastolik dalam batas normal.
 Denyut jantung dalam batas normal
 Hipotensi aorta statis tidak ada.
 Pasien menyatakan tidak pusing.
 Denyut nadi perifer kuat dan teratur.
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien.
 Kaji toleransi aktifitas : awal napas pendek, nyeri, palpitasi.
 Kaji tekanan darah, adanya sianosis, status pernapasan.
 Beri oksigen.
 Evaluasi respon pasien terhadap terapi oksigen.
 Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
 Komplikasi syok kardiogeniktidak terjadi
 Tekanan darah stabil atau normal
 Warna kulit normal.
 Tidak pusing.
 Tidak mual muntah.
3) Dx : Resiko aspirasi b/d penurunan tingkat kesadaran
Tujuan : Tidak akan terjadi aspirasi
Kriteria hasil :
 Pasien mampu menelan.
 Bunyi paru bersih.
 Tonus otot yang adekuat.
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien.
 Pantau tanda-tanda aspirasi.
 Pantau tingkat kesadaran : reflek batuk, reflek muntah, kemampuan
menelan.
 Pantau bersihan jalan napas dan status paru.
 Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
 Tidak ada muntah.
 Mampu menelan.
 Napas normal tidak ada suara paru tambahan.
4) Dx : Resiko kecelakaan cedera b/d efek anestesi umum.
Tujuan : Pasien aman selama dan setelah pembedahan.
Kriteria hasil :
 Selama operasi pasien tidak bangun/tenang.
 Pasien sadar setelah anestesi selesai.
 Kemampuan untuk melakukan gerakan yang bertujuan.
 Kemampuan untuk bergerak atau berkomunikasi.
 Pasien aman tidak jatuh
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien, tingkatkan keamanan bila perlu gunakan tali
pengikat.
 Jaga posisi pasien imobile.
 Atur tmeja operasi atau tubuh pasien untuk meningkatkan fungsi
fisiologis dan psikologis.
 Cegah resiko injuri jatuh.
 Pasang pengaman tempat tidur ketika melakukan transportasi pasien.
 Pantau penggunaan obat anestesi dan efek yang timbul.
Evaluasi :
 Pasien aman selama dan setelah pembiusan.
 Pasien nyaman selama pembiusan, tanda-tanda vital stabil.
 Pasien aman tidak jatuh.
 Skor aldert pasien ≥ 9 untuk bisa dipindahkan ke ruang rawat.
3. Post Anestesi
a. Pengkajian Post Anestesi dilakukan sejak pasien selesai dilakukan tindakan
pembedahan dan pasien akan dipindahkan ke ruang pemulihan. Pengkajian Post
anestesi meliputi :
1) Keadaan umum pasien dan tanda-tanda vital.
2) Status respirasi dan bersihan jalan napas.
3) Penilaian pasien dengan skala Aldert (untuk anestesi general) dan skala
Bromage (untuk anestesi regional)
4) Instruksi post operasi.
b. Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa keperawatan,
tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan dan Evaluasi Post Anestesi
1) Dx : Bersihan jalan napas tidak efektif b/d mukus banyak, sekresi
tertahan efek dari general anestesi.
Tujuan : bersihan jalan napas pasien efektif.
Kriteria hasil :
 Pola napas normal : frekuensi dan kedalaman, irama.
 Suara napas bersih.
 Tidak sianosis.
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien.
 Pantau tanda-tanda ketidak efektifan dan pola napas.
 Ajarkan dan anjurkan batuk efektif.
 Pantau respirasi dan status oksigenasi.
 Buka jalan napas dan bersihkan sekresi.
 Beri oksigenasi dan ajarkan napas dalam.
 Auskultasi suara napas dan pantau status oksigenasi dan hemodinamik.
Evaluasi :
 Jalan napas efektif.
 Napas pasien spontan dan teratur.
 Tidak ada tanda-tanda sianosis.
 Status hemodinamik pasien stabil.
2) Dx : Gangguan rasa nyaman mual muntah b/d pengaruh sekunder obat
anestesi.
Tujuan : Mual muntah berkurang.
Kriteria hasil :
 Pasien menyatakan mual berkurang.
 Pasien tidak muntah.
 Pasien menyatakan bebas dari mual dan pusing.
 Hemodinamik stabil dan akral kulit hangat.
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien dan tingkatkan keseimbangan cairan.
 Pantau tanda vital dan gejala mual muntah.
 Pantau turgor kulit.
 Pantau masukan dan keluaran cairan.
 Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
 Perasaan pasien lega, tidak pusing dan terbebas dari rasa mual.
 Akral kulit hangat tidak pucat/sianosis.
 Nadi teratur dan kuat
 Status hemodinamik stabil.
3) Dx : Nyeri akut b/d agen cidera fisik (operasi)
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
 Pasien menyatakan nyeri berkurang atau hilang.
 Pasien mampu istirahat.
 Ekspresi wajah tenang dan nyaman.
Rencana tindakan:
 Kaji drajat, lokasi, durasi, frekuensi dan karakteristik nyeri.
 Gunakan tehnik komunikasi terapeutik.
 Ajarkan tehnik relaksasi.
 Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
 Rasa nyeri berkurang atau hilang.
 Hemodinamik normal.
 Pasien bisa istirahat dan ekspresi wajah tenang.
4) Dx : Hipotermi b/d berada atau terpapar di lingkungan dingin.
Tujuan : Pasien menunjukan termoregulasi.
Kriteria hasil :
 Kulit hangat dan suhu tubuh dalam batas normal.
 Perubahan warna kulit tidak ada.
 Pasien tidak menggigil kedinginan.
Rencana tindakan:
 Mempertahankan suhu tubuh selama pembiusan atau operasi sesuai
yang diharapkan.
 Pantau tanda-tanda vital.
 Beri penghangat.
Evaluasi :
 Suhu tubuh normal.
 Tanda-tanda vital stabil.
 Pasien tidak menggigil.
 Warna kulit tidak ada perubahan.
5) Dx : Hambatan mobilitas ekstremitas bawah b/d pengaruh sekunder obat
anestesi.
Tujuan : Selama 3-4 jam pasien mampu menggerakan ekstremitas bawah
(sendi dan otot).
Kriteria hasil :
 Tidak ada tanda-tanda neuropati.
 Mampu menggerakan ekstremitas bawah.
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien.
 Bantu pergerakan ekstremitas bawah.
 Ajarkan proses pergerakan dan ajarkan tehnik pergerakan yang aman.
 Latihan angkat atau gerakan ekstremitas bawah.
 Lakukan penilaian bromage scale.
Evaluasi :
 Hambatan pergerakan ekstremitas bawah normal.
 Mampu menggerakan kedua ekstremitas bawah (kaki)
 Mampu mengangkat ekstremitas bawah (kaki)
 Neuropati hilang.
DAFTAR PUSTAKA

Adriaansz, G. dan Hanafiah, T.M., 2010. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi 4.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed 8 Vol 2. Jakarta:
EGC
Gwinnutt, Carl L. (2011). Catatan Kuliah Anestesi Klinis Ed 3. Jakarta: EGC
Latief, Said A., Suryadi, Kartini A., Dachlan, M Ruswan. (2010). Petunjuk Praktis
Anestesiologi 5th. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI
Mansjoer, A. 2002. Asuhan Keperawatn Maternitas. Jakarta : Salemba Medika
Morgan, G Edward., Mikhail, Maged S., Murray, Michael J. (2006). Clinical Anesthesiology.
4th ed. USA: McGraw-Hill
Muchtar. 2005. Obstetri patologi, Cetakan I. Jakarta : EGC
Nurarif, Amin Huda dan Kusuma, Hardi.2013. Aplikasi NANDA NIC-NOC 2013. Yogyakarta
: Mediaction
Prawirohardjo, Sarwono (2005). Ilmu kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Saifuddin, AB. 2002. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal.
Jakarta : penerbit yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo
Sarwono Prawiroharjo. 2009. Ilmu Kebidanan, Edisi 4 Cetakan II. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka

Anda mungkin juga menyukai