Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori General Anestesi


1. Pengertian
Tindakan anestesi yang memadai meliputi tiga komponen menurut Mangku &
Senapathi (2010) yaitu hipnotik (tidak sadarkan diri atau mati ingatan), analgesia (bebas
nyeri atau mati rasa) dan relaksasi otot (mati gerak). Ketiga target anesthesia tersebut
popular disebut dengan “trias anestesi”.
Anestesi umum merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran (reversible). Pada tindakan anestesi umum terdapat beberapa
teknik yang dapat dilakukan adalah anestesi umum dengan teknik intravena anestesi dan
anestesi umum dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan
teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube atau dengan teknik gabungan
keduanya yaitu inhalasi dan intravena (Latief, 2007).
2. Indikasi Indikasi
a. Infant dan anak usia muda
b. Dewasa yang memilih anestesi umum
c. Pembedahannya luas / ekstensif
d. Penderita sakit mental
e. Pembedahan lama
f. Pembedahan dimana anestesi local tidak praktis atau tidak memuaskan
g. Riwayat penderita toksik / alergi obat anestesi local
h. Penderita dengan pengobatan antikoagulantia dan bedah anak biasanya
dikombinasikan dengan anestesi umum ringan
3. Kontra indikasi
Kontra indikasi anestesi umum tergantung efek farmakologi pada organ yang mengalami
kelainan dan harus hindarkan pemakaian obat pada:
a. Hepar yaitu obat hepatoksik, dosis dikurangi atau obat yang toksis terhadap hepar
atau dosis obat diturunkan.
b. Jantung yaitu obat-obat yang mendepresi miokardium atau menurunkan aliran darah
coroner
c. Ginjal yaitu obat yang diekskresi di ginjal
d. Paru-paru yaitu obat yang merangsang sekresi paru
e. Endokrin yaitu hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah / hindarkan
pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis pada diabetes karena bisa
menyebabkan peninggian gula darah.
4. Teknik
General anestesi menurut Mangku & Senapathi (2010) membagi anestesi menjadi 3
komponen yang disebut trias anestesi dengan teknik general anestesi antara lain:
a. General anestesi intravena
Merupakan salah satu teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung kedalam pembuluh darah vena. Obat
induksi bolus disuntikkan dengan kecepatana antara 30-60 detik. Selama induksi
anestesi hemodinamik harus selalu diawasi dan diberikan oksigen.
b. General anestesi inhalasi
Merupakan salah satu teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan yang
mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
Menurut Mangku & Senapathi (2010) ada beberapa teknik general anestesi inhalasi
antara lain:
1) Inhalasi sungkup muka (face mask)
Secara inhalasi dengan nafas spontan, komponen trias anestesi yang dipenuhi
adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot ringan. Teknik ini dilakukan pada
operasi kecil dan sedang didaerah permukaan tubuh, berlangsung singkat dan
posisi terlentang.
2) Inhalasi Sungkup Laryngeal Mask Airway (LMA)
Secara inhalasi dengan nafas spontan, komponen trias anestesi yang dipenuhi
adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot ringan. Teknik ini dilakukan pada
operasi kecil dan sedang didaerah permukaan tubuh, berlangsung singkat dan
posisi terlentang.
3) Inhalasi pipa Endotracheal (PET) nafas spontan
Secara inhalasi dengan nafas spontan, komponen trias anestesi yang dipenuhi
adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot ringan. Teknik ini dilakukan pada
operasi didaerah kepala-leher dengan posisi terlentang, berlangsung singkat dan
tidak memerlukan relaksasi otot yang maksimal.
4) Inhalasi pipa Endotracheal (PET) nafas kendali
Inhalasi ini menggunakan obat pelumpuh otot non depolarisasi, selanjutnya
dilakukan nafas kendali. Komponen anestesi yang dipenuhi adalah hipnotik,
analgetik dan relaksasi otot. Teknik ini digunakan pada operasi yang
berlangsung lama > 1 jam (kraniotomi, torakotomi, laparotomy, operasi dengan
posisi lateral dan pronasi).
5) Anestesi imbang
Merupakan teknik anestesi dengan kombinasi obat-obatan baik obat anestesi
intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik general anestesi
dengan anestesi regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan
berimbang.
5. Komplikasi (Miller, 2010)
a. Trauma pada jaringan lunak gigi dan mulut
b. Hipertensi sistemik dan takikardi
c. Aspirasi cairan lambung
d. Barotrauma paru
e. Spasme laring
f. Edema laring

B. Konsep Teori Perforasi Gaster


1. Definisi
Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari
lambung, usus halus, usus besar, akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut.
Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk terjadinya kontaminasi bakteri
dalam rongga perut (keadaan ini dikenal dengan istilah peritonitis).
Tukak gaster/perforasi gaster adalah luka pada lapisan perut. Tukak gaster
dapat diobati Sebagian kecil dari tukak ini mungkin menjadi kanker. Tukak gaster
merupakan luka terbuka dengan pinggir edema disertai indurasi dengan dasar tukak
ditutupi debris.
2. Anatomi Lambung
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di
bawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung bentuk J, dan bila
penuh, berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal lambung adalah 1 sampai 2
liter. Secara anatomis lambung terbagi atas fundus, korpus, dan antrumpilorikum atau
pilorus.
Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor, dan bagian kiri
bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur
pengeluaran dan pemasukan yang terjadi. Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah,
mengalirkan makanan masuk ke dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung
memasuki esofagus kembali. Daerah lambung tempat pembukaan sfingter kardia dikenal
dengan nama daerah kardia. Di saat sfingter pilorikum terminal berelaksasi, makanan
masuk ke dalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya
aliran balik isi usus ke dalam lambung.
Sfingter pilorus memiliki arti klinis yang penting karena dapat mengalami stenosis
(penyempitan pilorus yang menyumbat) sebagai penyulit penyakit ulkus peptikum.
Abnormalitas sfingter pilorus dapat pula terjadi pada bayi. Stenosis pilorus atau piloro
spasme terjadi bila serabut otot di sekelilingnya mengalami hipertrofi atau spasme
sehingga sfingter gagal berelaksasi untuk mengalirkan makanan dari lambung ke dalam
duodenum. Bayi akan memuntahkan makanan tersebut dan tidak mencerna serta
menyerapnya. Keadaan ini mungkin dapat diperbaiki melalui operasi atau pemberian obat
adrenergik yang menyebabkan relaksasi serabut otot.
Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar merupakan
bagian dari peritonium viseralis. Dua lapisan peritonium viseralis menyatu pada
kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus memanjang ke hati, membentuk
omentum minus. Lipatan peritonium yang keluar dari satu organ menuju ke organ lain
disebut sebagai ligamentum. Jadi omentum minus (disebut juga ligamentum
hepatogastrikum atau hepatoduodenalis) menyokong lambung sepanjang kurvatura minor
sampai ke hati. Pada kurvatura mayor, peritonium terus ke bawah membentuk omentum
majus, yang menutupi usus halus dari depan seperti sebuah apron besar. Sakus omentum
minus adalah tempat yang sering terjadi penimbunan cairan (pseudokista pankreatikum)
akibat penyulit pankreatitis akut. Tidak seperti daerah saluran cerna lain, bagian
muskularis tersusun atas tiga lapis dan bukan dua lapis otot polos: lapisan longitudinal di
bagian luar, lapisan sirkular di tengah, dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut
otot yang unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang diperlukan
untuk memecah makanan menjadi partikel-partikel yang kecil.
3. Fisiologi Lambung
a. Fungsi motorik
1) Fungsi menampung : Menyimpan makanan sampai makanan. Tersebut sedikit
demi sedikit dicerna dan bergerak pada saluran cerna. Menyesuaikan peningkatan
volume tanpa menambah tekanan dengan relaksasi reseptif otot polos;
diperantarai oleh nervus vagus dan dirangsang oleh gastrin
2) Fungsi mencampur : Memecahkan makanan menjadi partikel- partikel kecil dan
mencampurnya dengan getah lambung melalui kontraksi otot yang mengelilingi
lambung. Konstraksi peristaltik diatur oleh suatu irama listrik dasar.
3) Fungsi pengosongan lambung : Diatur oleh pembukaan sfingter pilorus yang
dipengaruhi oleh viskositas, volume, keasaman, aktivitas osmotik, keadaan fisik,
serta oleh emosi, obat-obatan, dan olahraga. Pengosongan lambung diatur oleh
faktor saraf dan hormonal, seperti kolesistokinin.
b. Fungsi pencernaan dan sekresi
1) Pencernaan protein oleh pepsin dan HCL dimulai disini; pencernaan karbohidrat
dan lemak oleh amilase dan lipase dalam lambung kecil peranannya. Pepsin
berfungsi memecah putih telur menjadi asam amino (albumin dan pepton). Asam
garam (HCL) berfungsi mengasamkan makanan, sebagai antiseptik dan
desinfektan, dan membuat suasana asam pada pepsinogen sehinhha menjadi
pepsin.
2) Sintesis dan pelepasan gastrin dipengaruhi oleh protein yang dimakan,
peregangan antrum, alkalinisasi antrum, dan rangsangan vagus.
3) Sekresi faktor intrinsik memungkinkan absorpsi vitamin B12 dari usus halus
bagian distal.
4) Sekresi mukus membentuk selubung yang melindungi lambung serta berfungsi
sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut.
5) Sekresi bikarbonat, bersama dengan sekresi gel mukus, tampaknya berperan
sebagai barier dari asam lumen dan pepsin.
4. Etiologi
a. Cedera tembus yang mengenai dada bagian bawah atau perut (contoh: trauma
tertusuk pisau) Trauma tumpul perut yang mengenai lambung. Lebih sering
ditemukan pada anak-anak dibandingkan orang dewasa.
b. Obat aspirin, NSAID (misalnya fenilbutazon, antalgin,dan natrium diclofenac) serta
golongan obat anti inflamasi steroid diantaranya deksametason dan prednisone.
Sering ditemukan pada orang dewasa.
c. Kondisi yang mempredisposisi : ulkus peptikum, appendicitis akut, divertikulosis
akut, dan divertikulum Meckel yang terinflamasi.
d. Appendicitis akut: kondisi ini masih menjadi salah satu penyebab umum perforasi
usus pada pasien yang lebih tua dan berhubungan dengan hasil akhir yang buruk.
e. Luka usus yang berhubungan dengan endoscopic : luka dapat terjadi oleh ERCP dan
colonoscopy.
f. Fungsi usus sebagai suatu komplikasi laparoscopic: faktor yang mungkin
mempredisposisikan pasien ini adalah obesitas, kehamilan, inflamasi usus akut dan
kronik dan obstruksi usus.
g. Infeksi bakteri: infeksi bakteri ( demam typoid) mempunyai komplikasi menjadi
perforasi usus pada sekitar 5 % pasien. Komplikasi perforasi pada pasien ini sering
tidak terduga terjadi pada saat kondisi pasien mulai membaik.
h. Penyakit inflamasi usus : perforasi usus dapat muncul pada paien dengan colitis
ulceratif akut, dan perforasi ileum terminal dapat muncul pada pasien dengan
Crohn’s disease.
i. Perforasi sekunder dari iskemik usus (colitis iskemik) dapat timbul.
j. Perforasi usus dapat terjadi karena keganasan didalam perut atau limphoma
k. Radiotherapi dari keganasan cervik dan keganasan intra abdominal lainnya dapat
berhubungan dengan komplikasi lanjut, termasuk obstruksi usus dan perforasi usus.
l. Benda asing ( misalnya tusuk gigi atau jarum pentul) dapat menyebabkan perforasi
oesophagus, gaster, atau usus kecil dengan infeksi intra abdomen, peritonitis, dan
sepsis.
5. Patofisiologi
Secara fisiologis, gaster relatif bebas dari bakteri dan mikroorganisme lainnya
karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami
trauma abdominal memiliki fungsi gaster yang normal dan tidak berada pada resiko
kontaminasi bakteri yang mengikuti perforasi gaster. Bagaimana pun juga mereka yang
memiliki maslah gaster sebelumnya berada pada resiko kontaminasi peritoneal pada
perforasi gaster. Kebocoran asam lambung kedalam rongga peritoneum sering
menimbulkan peritonitis kimia. Bila kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan
mengenai rongga peritoneum, peritonitis kimia akan diperparah oleh perkembangan yang
bertahap dari peritonitis bakterial. Pasien dapat asimptomatik untuk beberapa jam antara
peritonitis kimia awal dan peritonitis bakterial lanjut. Mikrobiologi dari usus kecil berubah
dari proksimal samapi ke distalnya. Beberapa bakteri menempati bagian proksimal dari
usus kecil dimana, pada bagian distal dari usus kecil (jejunum dan ileum) ditempati oleh
bakteri aerob
(E.Coli) dan anaerob ( Bacteriodes fragilis (lebih banyak)). Kecenderungan infeksi
intra abdominal atau luka meningkat pada perforasi usus bagian distal. Adanya bakteri di
rongga peritoneal merangsang masuknya sel-sel inflamasi akut. Omentum dan organ-
organ visceral cenderung melokalisir proses peradangan, mengahasilkan phlegmon (ini
biasanya terjadi pada perforasi kolon). Hypoksia yang diakibatkannya didaerah itu
memfasilisasi tumbuhnya bakteri anaerob dan menggangu aktifitas bakterisidal dari
granulosit, yang mana mengarah pada peningkatan aktifitas fagosit daripada granulosit,
degradasi sel-sel, dan pengentalan cairan sehingga membentuk abscess, efek osmotik, dan
pergeseran cairan yang lebih banyak ke lokasi abscess, dan diikuti pembesaran absces
pada perut. Jika tidak ditangani terjadi bakteriemia, sepsis, multiple organ failure dan
shock.
6. Manifestasi Klinis
Nyeri perut hebat yang makin meningkat dengan adanya pergerakan disertai
nausea, vomitus, pada keadaan lanjut disertai demam dan mengigil
7. Pemeriksaan Penunjang
Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan adalah :
a. foto polos abdomen pada posisi berdiri.
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut abdomen.
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas dengan berbagai densitas,
yang pada kasus ini adalah sangat tidak homogen karena terdapat kandungan
lambung..
c. CT-scan
CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk mendeteksi udara
setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti gelembung dan saat pada foto
rontgen murni dinyatakan negatif. Oleh karena itu, CT scan sangat efisien untuk
deteksi dini perforasi gaster
8. Komplikasi
Komplikasi pada perforasi gaster, sebagai berikut:
a. Infeksi Luka, angka kejadian infeksi berkaitan dengan muatan bakteri pada gaster
b. Kegagalan luka operasi, Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada
setiap lapisan luka operasi) dapat terjadi segera atau lambat. Faktor-faktor berikut ini
dihubungkan dengan kegagalan luka operasi :
1) Malnutrisi
2) Sepsis
3) Uremia
4) Diabetes mellitus
5) Terapi kortikosteroid
6) Obesitas
7) Batuk yang berat
8) Hematoma (dengan atau tanpa infeksi)
c. Abses abdominal terlokalisasi
d. Kegagalan multiorgan dan syok septic
e. Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang menimbulkan manifestasi
sistemik, seperti kekakuan, demam, hipotermi (pada septikemia gram negatif
dengan endotoksemia), leukositosis atau leukopenia (pada septikemia berat),
takikardi, dan kolaps sirkuler. Syok septik dihubungkan dengan kombinasi hal-hal
berikut :
1) Hilangnya tonus vasomotor
2) Peningkatan permeabilitas kapiler
3) Depresi myokardial
4) Pemakaian leukosit dan trombosit
5) Penyebaran substansi vasoaktif kuat, seperti histamin, serotonin dan
prostaglandin, menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
6) Aktivasi komplemen dan kerusakan endotel kapiler
9. Penatalaksanaan
Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan
umumnya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan pipa
nasogastrik, dan pemberian antibiotik mutlak diberikan. Jika gejala dan tanda-tanda
perforasi umum tidak ada, kebijakan nonoperatif mungkin digunakan dengan terapi
antibiotik langsung terhadap bakteri gram-negatif dan anaerob.
Penderita yang gasternya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan umumnya
sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan pipa nasogastrik,
dan pemberian antibiotik mutlak diberikan. Jika gejala dan tanda-tanda peritonitis umum
tidak ada, kebijakan nonoperatif mungkin digunakan dengan terapi antibiotik langsung
terhadap bakteri gram-negatif dan anaerob.

Tujuan dari terapi bedah adalah :

• Koreksi masalah anatomi yang mendasari

• Koreksi penyebab peritonitis

• Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapat menghambat fungsi
leukosit dan mendorong pertumbuhan bakteri (seperti darah, makanan, sekresi gaster).
Laparotomi dilakukan segera setelah upaya suportif dikerjakan. Jahitan saja setelah eksisi
tukak yang perforasi belum mengatasi penyakit primernya, tetapi tindakan ini dianjurkan
bila keadaan umum kurang baik, penderita usia lanjut, dan terdapat peritonitis purulenta.
Bila keadaan memungkinkan, tambahan tindakan vagotomi dan antrektomi dianjurkan
untuk mencegah kekambuhan perforasi gaster.

Gambaran patologis dan klinis konsisten dengan overdistensi mekanik daripada iskemia
sebagai penyebab perforasi. Tanda dan gejala perforasi gaster biasanya mereka dengan
gejala akut abdomen disertai sepsis dan gagal napas. Pemeriksaan abdominal adanya
distensi abdominal yang signifikan. Vomitus adalah gejala yang tidak konsisten.

C. Konsep Asuhan Keperawatan Perianestesi dengan General Anestesi


1. Pre Anestesi
Pengkajian Pre Anestesi dilakukan sejak pasien dinyatakan akan
dilakukan tindakan pembedahan baik elektif maupun emergensi.
Pengkajian pre anestesi meliputi :
a. Identitas pasien
b. Riwayat kesehatan pasien dan riwayat alergi
c. Pemeriksaan fisik pasien meliputi : Tanda-tanda vital pasien,
d. Pemeriksaan sistem pernapasan (breathing), system kardiovaskuler (bleeding),sistem
persyarafan (brain), system perkemihan dan eliminasi (bowel), sistem tulang, otot
dan integument (bone).
e. Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium, rontgen, CTscan, USG, dll.
f. Kelengkapan berkas informed consent.
Analisa Data
Data hasil pengkajian dikumpulkan dan dianalisa sehingga dapat menilai klasifikasi ASA
pasien. Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa keperawatan,
tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi pre anestesi.

Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi Pre Anestesi


a. Dx : Cemas b/d kurang pengetahuan masalah pembiusan
Tujuan : Cemas berkurang/hilang. Kriteria hasil :
 Pasien menyatakan tahu tentang proses kerja obat anestesi/pembiusan.
 Pasien menyatakan siap dilakukan pembiusan.
 Pasien mengkomunikasikan perasaan negatif secara tepat.
 Pasien taampak tenang dan kooperatif.
 Tanda-tanda vital normal.
Rencana tindakan :
 Kaji tingkat kecemasan.
 Orientasikan dengan tim anestesi/kamar operasi.
 Jelaskan jenis prosedur tindakan anestesi yang akan dilakukan.
 Beri dorongan pasien untuk mengungkapkan perasaan.
 Dampingi pasien untuk mengurangi rasa cemas.
 Ajarkan tehnik relaksasi napas dalam.
 Kolaborasi untuk memberikan obat penenang.
Evaluasi :
 Pasien mengatakan paham akan tindakan pembiusan atau anestesi.
 Pasien mengatakan siap dilakukan prosedur anestesi dan operasi.
 Pasien lebih tenang.
 Ekspresi wajah cerah.
 Pasien kooperatif ditandai tanda-tanda vital dalam batas normal.

2. Intra Anestesi
Pengkajian Intra Anestesi dilakukan sejak pasien. Pengkajian Intra anestesi meliputi :
a. Persiapan pasien, alat anestesi dan obat-obat anestesi.
b. Pelaksanaan anestesi
c. Monitoring respon dan hemodinamik pasien yang kontinu setiap 5 menit sampai 10
menit.

Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa keperawatan, tujuan,
perencanaan/implementasi dan evaluasi intra anestesi.
Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi intra anestesi
a. Dx : Pola napas tidak efektif b/d disfungsi neuromuscular dampak sekunder dari obat
pelumpuh otot pernapasan dan obat general anestesi.
Tujan : Pola napas pasien menadi efektif/normal.
Kriteria hasil :
 Frekuensi napas normal.
 Irama napas sesuai yang diharapkan.
 Ekspansi dada simetris.
 Jalan napas pasien lancar tidak didapatkan adanya sumbatan.
 Tidak menggunakan obat tambahan.
 Tidak terjadi sianosis, saturai O2 96-100%.
Rencana tindakan:
 Bersihkan secret pada jalan napas.
 Jaga patensi jalan napas.
 Pasang dan beri suplai oksigen yang adekuat.
 Monitor perfusi jaringan perifer.
 Monitor ritme, irama dan usaha respirasi.
 Monitor pola napas dan tanda-tanda hipoventiasi.
Evaluasi :
 Pola napas efektif dan tidak ada tanda-tanda sianosis.
 Napas spontan, irama dan ritme teratur.
b. Dx : Resiko aspirasi b/d penurunan tingkat kesadaran
Tidak akan terjadi aspirasi
Kriteria hasil :
 Pasien mampu menelan.
 Bunyi paru bersih.
 Tonus otot yang adekuat.
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien.
 Pantau tanda-tanda aspirasi
 Pantau tingkat kesadaran : reflek batuk, reflek muntah, kemampuan menelan.
 Pantau bersihan jalan napas dan status paru.
 Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
 Tidak ada muntah.
 Mampu menelan.
 Napas normal tidak ada suara paru tambahan.
c. Dx : Resiko kecelakaan cedera b/d efek anestesi umum.
Tujuan : Pasien aman selama dan setelah pembedahan.
Kriteria hasil :
 Selama operasi pasien tidak bangun/tenang.
 Pasien sadar setelah anestesi selesai.
 Kemampuan untuk melakukan gerakan yang bertujuan.
 Kemampuan untuk bergerak atau berkomunikasi.
 Pasien aman tidak jatuh
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien, tingkatkan keamanan bila perlu gunakan tali pengikat.
 Jaga posisi pasien imobile.
 Atur tmeja operasi atau tubuh pasien untuk meningkatkan fungsi fisiologis dan
psikologis.
 Cegah resiko injuri jatuh.
 Pasang pengaman tempat tidur ketika melakukan transportasi pasien.
 Pantau penggunaan obat anestesi dan efek yang timbul.
Evaluasi :
 Pasien aman selama dan setelah pembiusan.
 Pasien nyaman selama pembiusan, tanda-tanda vital stabil.
 Pasien aman tidak jatuh.
 Skor aldert pasien ≥ 9 untuk bisa dipindahkan ke ruang rawat.

3. Post Anestesi
Pengkajian Post Anestesi dilakukan sejak pasien selesai dilakukan tindakan pembedahan
dan pasien akan dipindahkan ke ruang pemulihan. Pengkajian Post anestesi meliputi :
a. Keadaan umum pasien dan tanda-tanda vital.
b. Status respirasi dan bersihan jalan napas.
c. Penilaian pasien dengan skala Aldert (untuk anestesi general) dan skala Bromage
(untuk anestesi regional)
d. Instruksi post operasi.
Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa keperawatan, tujuan,
perencanaan/implementasi dan evaluasi intra anestesi.
Diagnosa, Tujuan, Perencanaan dan Evaluasi Post Anestesi
a) Dx : Gangguan rasa nyaman mual muntah b/d pengaruh sekunder obat anestesi
Tujuan : Mual muntah berkurang.
Kriteria hasil :
 Pasien menyatakan mual berkurang.
 Pasien tidak muntah.
 Pasien menyatakan bebas dari mual dan pusing.
 Hemodinamik stabil dan akral kulit hangat.
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien dan tingkatkan keseimbangan cairan.
 Pantau tanda vital dan gejala mual muntah.
 Pantau turgor kulit.
 Pantau masukan dan keluaran cairan.
 Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
 Perasaan pasien lega, tidak pusing dan terbebas dari rasa mual.
 Akral kulit hangat tidak pucat/sianosis.
 Nadi teratur dan kuat
 Status hemodinamik stabil.
b) Dx: Nyeri akut b/d agen cidera fisik (operasi)
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
a) Pasien menyatakan nyeri berkurang atau hilang.
b) Pasien mampu istirahat.
c) Ekspresi wajah tenang dan nyaman.
Rencana tindakan:
 Kaji drajat, lokasi, durasi, frekuensi dan karakteristik nyeri.
 Gunakan tehnik komunikasi terapeutik.
 Ajarkan tehnik relaksasi.
 Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
 Rasa nyeri berkurang atau hilang.
 Hemodinamik normal.
 Pasien bisa istirahat dan ekspresi wajah tenang.
d) Dx : Bersihan jalan napas tidak efektif b/d mukus banyak, sekresi tertahan efek dari
general anestesi.
Tujuan : bersihan jalan napas pasien efektif.
Kriteria hasil :
 Pola napas normal : frekuensi dan kedalaman, irama.
 Suara napas bersih.
 Tidak sianosis.
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien.
 Pantau tanda-tanda ketidak efektifan dan pola napas.
 Ajarkan dan anjurkan batuk efektif.
 Pantau respirasi dan status oksigenasi.
 Buka jalan napas dan bersihkan sekresi.
 Beri oksigenasi dan ajarkan napas dalam.
 Auskultasi suara napas dan pantau status oksigenasi dan hemodinamik.

Evaluasi :
 Jalan napas efektif.
 Napas pasien spontan dan teratur.
 Tidak ada tanda-tanda sianosis.
 Status hemodinamik pasien stabil.

Anda mungkin juga menyukai