Anda di halaman 1dari 28

Agen Analgesik

OPIOID

2
OPIOIDS
Mekanisme Aksi
• Opioid mengikat reseptor spesifik di seluruh SSP
dan jaringan lain  mu (μ, μ1 & μ2 ), kappa (κ),
delta (δ), dan sigma (σ)
• Opioid menghambat saluran Ca di-voltagegated
dan mengaktifkan saluran K

Jenis
• Agonis-antagonis (nalbuphine, nalorphine,
butorphanol, buprenorphine)  kemanjuran <<
agonis penuh (fentanil, morfin)
• Antagonis opioid murni  nalokson, naltrekson

3
Hubungan Struktur-Aktivitas OPIOID
• Perubahan molekul kecil mengubah agonis
menjadi antagonis.

• Aktivasi reseptor opioid menghambat pelepasan


prasinaptik dan respons pascasinaps terhadap
neurotransmitter (asetilkolin, substance P) yang
dilepaskan oleh neuron nosiseptif
• Efek opioid akut dimediasi oleh penghambatan
adenilil siklase (adenosin monofosfat siklik
intraseluler) dan aktivasi fosfolipase C

4
Farmakokinetik - ABSORBSI
• IM atau SC hidromorfon, morfin, atau meperidin,
• Kadar puncak plasma dicapai setelah 20-60 menit.
• PO  oksikodon, hidrokodon, kodein, tramadol, morfin, hidromorfon, & metadon

Fentanil
• Fentanil sitrat transmukosa oral (lollipop)  onset analgesia dan sedasi cepat.
• Berat molekul rendah dan kelarutan lemak tinggi  penyerapan transdermal (patch).
Jumlah absorbsi per unit waktu tergantung luas permukaan dan kondisi kulit lokal
(aliran darah)  waktu pembentukan reservoir dermis bagian atas tertunda beberapa
jam untuk mencapai konsentrasi darah efektif (maks. 14 - 24 jam, konstan 72 jam)
• Anestesi spinal  10-25 mcg

• Morfin 0,1 s.d. 0,5 mg dan hidromorfon 0,05 s.d. 0,2 mg intratekal  analgesia 12
hingga 18 jam
5
Farmakokinetik - DISTRIBUSI

• T1/2 distribusi opioid pendek (5-20


menit)
• Morfin  kelarutan lipid rendah
 menunda melintasi BBB 
onset lambat dan durasi panjang
• Fentanil dan sufentanil 
kelarutan lemak meningkat 
onset cepat dan durasi pendek
• Alfentanil  kurang larut lemak
 onset cepat dan durasi pendek
post injeksi bolus dibanding
fentanil

6
Farmakokinetik - BIOTRANSFORMASI
• Semua opioid (kecuali remifentanil) mengalami biotransformasi di hati dan
dimetabolisme oleh sistem sitokrom P (CYP) dikonjugasi di hati

• Morfin  konjugasi dengan asam glukuronat  morfin 3-glukuronida dan morfin 6-


glukuronida
• Hidromorfon  konjugasi dengan asam glukuronat  hidromorfon 3-glukuronida
• Meperidine (N-demethylated)  normeperidine, metabolit aktif  aktivitas kejang
pada dosis besar
• Produk akhir fentanil, sufentanil, dan alfentanil tidak aktif
• Norfentanil, metabolit fentanil, dapat diukur dalam urin setelah senyawa asli tidak lagi
terdeteksi dalam darah  pemeriksaan penyalahgunaan obat

7
Farmakokinetik - BIOTRANSFORMASI
Kodein
• Prodrug yang menjadi aktif setelah dimetabolisme oleh CYP2D6 menjadi morfin.
• Metabolisme ultrarapid (dengan varian genetik CYP2D6)  efek samping lebih besar;
metabolisme lambat (termasuk varian genetik dan paparan inhibitor CYP2D6 
fluoxetine & bupropion)  penurunan kemanjuran kodein.

Tramadol
• Aktivasi  dimetabolisme oleh CYP menjadi O-desmethyltramadol
• Hidrokodon dimetabolisme oleh CYP2D6 menjadi hidromorfon (senyawa yang lebih
kuat) dan oleh CYP3A4 menjadi norhidrokodon (senyawa kurang kuat).
• Oksikodon dimetabolisme oleh CYP2D6 dan enzim lain menjadi rangkaian senyawa aktif
yang kurang poten dibandingkan induknya.

8
Struktur ester remifentanil  rentan terhidrolisis oleh
esterase nonspesifik dalam sel darah merah dan jaringan 
waktu paruh eliminasi terminal <10 menit.

• Biotransformasi remifentanil cepat dan durasi infus


remifentanil memiliki sedikit efek pada waktu bangun
• Waktu paruh remifentanil sekitar 3 menit. Pasien
dengan gangguan hati tidak memerlukan penyesuaian
dosis remifentanil.
• Pasien defisiensi pseudokolinesterase memiliki respons
normal terhadap remifentanil (seperti pada esmolol).

9
Farmakokinetik - EKSKRESI

• Produk akhir biotransformasi morfin dan meperidin dieliminasi oleh ginjal  <10%
mengalami ekskresi bilier
• Morfin dan meperidin aman pada pasien dengan gagal ginjal.
• Akumulasi metabolit morfin (morfin 3-glukuronida dan morfin 6-glukuronida) pada
pasien dengan gagal ginjal  narkosis berkepanjangan dan depresi nafas

• Normeperidin pada konsentrasi tinggi  kejang  tidak bisa diterapi dengan nalokson.
• Disfungsi ginjal meningkatkan kemungkinan efek toksik akumulasi normeperidin.
• Metabolit sufentanil diekskresikan dalam urin dan empedu.

10
EFEK PADA SISTEM LAIN - Kardiovaskular
• Meperidine meningkatkan denyut jantung (secara struktural mirip dengan atropin) 
pada dosis tinggi tidak menekan kontraktilitas jantung jika digunakan sendiri  TD
arteri turun akibat bradikardia yang diinduksi opioid, venodilatasi, dan penurunan
refleks simpatis
• Dosis yang lebih besar dari morfin, fentanil, sufentanil, remifentanil, dan alfentanil 
bradikardia yang dimediasi N vagus

• Sufentanil dan fentanil dikaitkan dengan penurunan curah jantung bila diberikan
dalam kombinasi dengan benzodiazepine
• Dosis bolus meperidin, hidromorfon, dan morfin membangkitkan jumlah pelepasan
histamin yang bervariasi  penurunan resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah
arteri  diminimalkan dengan infus opioid perlahan atau premedikasi dengan
antagonis H1 dan H2
11
Respirasi
• Opioid menekan ventilasi, terutama frekuensi
pernapasan  RR dan tekanan CO2 end-tidal
(berlawanan dengan saturasi oksigen arteri)
memberikan metrik sederhana untuk deteksi dini
depresi pernapasan pada pasien yang menerima
analgesia opioid.

• Opioid meningkatkan tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2) dan menumpulkan


respons terhadap CO2, menghasilkan pergeseran kurva respons CO2 ke bawah dan ke
kanan
• Ambang apneu—PaCO2 terbesar di mana pasien tetap apnea—meningkat, dan
dorongan hipoksia menurun

12
• Morfin dan meperidin  bronkospasme diinduksi histamin pada pasien rentan
• Pemberian cepat opioid dosis besar (fentanil, sufentanil, remifentanil, dan alfentanil)
 kekakuan dinding dada  BVM hampir tidak mungkin dilakukan  diobati agen
penghambat neuromuskular

Gastrointestinal
• Opioid memperlambat motilitas GIT dengan mengikat reseptor opioid di usus dan
mengurangi peristaltic
• Spasme bilier (menyerupai batu saluran empedu) umum pada kolangiografi, 
diobati dengan antagonis opioid nalokson atau glucagon
• Opioid jangka panjang  toleran efek samping kecuali konstipasi  pengembangan
antagonis opioid perifer metilnaltrexone, alvimopan, naloksegol, dan naldemedin,
yang meningkatkan motilitas gastrointestinal

13
Cerebral
• Efek opioid pada perfusi serebral dan tekanan intrakranial harus dipisahkan dari efek
opioid pada PaCO2
• Opioid mengurangi konsumsi oksigen otak, aliran darah otak, volume darah otak, dan
tekanan intrakranial, tetapi pada tingkat yang jauh lebih rendah dibandingkan propofol,
benzodiazepin, atau barbiturate

• Stimulasi zona pemicu kemoreseptor meduler bertanggung jawab untuk mual dan
muntah yang diinduksi opioid  lebih sering terjadi pada dosis opioid kecil (analgesik)
daripada dosis yang besar (anestesi)
• Dosis opioid berkepanjangan  "hiperalgesia yang diinduksi opioid"

14
Endokrin
Respon stres neuroendokrin terhadap pembedahan diukur dalam hal sekresi hormon
tertentu, termasuk katekolamin, hormon antidiuretik, dan kortisol

Dosis besar fentanil atau


sufentanil menghambat
pelepasan hormone sebagai
respons terhadap
pembedahan lebih lengkap
daripada anestesi volatile 
melemahkan respons stres
dengan opioid, bahkan pada
pasien jantung berisiko tinggi

15
Efek lain
Kekambuhan Kanker
• Studi retrospektif telah mengaitkan anestesi umum (termasuk opioid) dengan
peningkatan risiko kekambuhan kanker setelah operasi dibandingkan dengan teknik
yang menekankan teknik anestesi regional hemat opioid untuk analgesia

Penyalahgunaan Zat
• Meskipun terdiri kurang dari 5% dari populasi dunia, Amerika Serikat mengkonsumsi
80% dari resep opioid dunia
• Sejumlah besar pasien mengaku menggunakan opioid yang diresepkan dalam mode
rekreasi, dan overdosis obat adalah penyebab utama kematian akibat kecelakaan di
Amerika Serikat

16
CYCLOOXYGENASE
INHIBITORS

17
Mekanisme Aksi

• COX  NSAID  mengkatalisis produksi prostaglandin H1 dari asam arakidonat


• Inhibisi COX nonselektif (aspirin)  demam, peradangan, nyeri, trombosis.
• Agen selektif COX-2 (celecoxib, etoricoxib)  digunakan perioperatif tanpa khawatir
penghambatan trombosit atau gangguan gastrointestinal  meningkatkan risiko
serangan jantung, trombosis, dan stroke.

• Analgesia asetaminofen dapat dihasilkan dari modulasi sistem reseptor vanilloid


cannabinoid endogen di otak, tetapi mekanisme aksi yang sebenarnya masih bersifat
spekulatif

18
• Aspirin, OAINS pertama, dahulu digunakan sebagai antipiretik dan analgesik. Saat ini,
penggunaannya hampir eksklusif untuk pencegahan trombosis pada individu rentan
atau untuk infark miokardium akut.
• Aspirin unik dalam hal inhibisi COX-1 secara ireversibel dengan mengasetilasi residu
serin di dalam enzim, menyebabkan persitensi efek klinis (misalnya, inhibisi agregasi
platelet) obat selama hampir 1 minggu setelah penghentian obat

• Inhibitor COX paling sering diberikan secara oral.


• Asetaminofen, ibuprofen, diklofenak, dan ketorolak tersedia untuk pemberian
intravena.
• Sayangnya, asetaminofen intravena memerlukan biaya perolehan yang lebih besar
daripada asetaminofen oral; maka penggunaan obat ini direstriksi secara ketat di
banyak pusat kesehatan.

19
• Analgesik “multimodal”  penggunaan asetaminofen, inhibitor COX, gabapentinoid,
teknik anestesi regional atau lokal, dan pendekatan lain yang ditujukan dalam
meningkatkan analgesia sambil menurunkan kebutuhan untuk opioid pada pasien
postoperatif.

Protokol analgesik multimodal paling baik digunakan sebagai


bagian dari protokol pemulihan yang ditingkatkan setelah
pembedahan (enhanced recovery after surgery – ERAS)

20
Hubungan Struktur-Aktivitas

• Enzim COX diinhibisi oleh berbagai kelompok senyawa yang beragam dan dapat
dikelompokkan menjadi asam salisilat (misalnya, aspirin), derivat asam asetat
(misalnya, ketorolak), derivat asam propionate (misanya, ibuprofen), heterosiklik
(misalnya, celecoxib), dan lainnya

Heterosiklik cenderung menjadi senyawa dengan selektivitas yang


paling tinggi untuk bentuk COX-2 daripada COX-1 enzim.

21
Farmakokinetik
ABSORBSI
• Penyerapan COX inhibitor mencapai konsentrasi darah puncaknya dalam waktu <3 jam
• Beberapa inhibitor COX diformulasikan untuk pemberian topikal (sebagai gel yang
diaplikasikan di atas persendian atau sebagai cairan tetes untuk diteteskan pada mata)

Distribusi
• Sangat terikat protein plasma (albumin).
• Kelarutan lipidnya tinggi  mudah menembus sawar darah otak  efek analgesia
sentral dan antipiresis dan menembus ruang sendi  (kecuali asetaminofen) efek
antiinflamasi

22
Farmakokinetik
BIOTRANSFORMASI
• Asetaminofen  dosis tinggi  konsentrasi N-asetil-p
benzokuinon imina yang cukup besar untukberakibat pada gagal
hati

EKSKRESI
• Hampir semua inhibitor COX diekskresikan di dalam urin
setelah biotransformasi.

23
Efek pada Organ lain
Kardiovaskular  Prostaglandin mempertahankan patensi duktus arteriosus neonatus.
Efek sistem koagulasi.

Respirasi  Overdosis aspirin  imbalance asam basa  masalah pernapasan

Gastrointestinal
• Efek protektif prostaglandin pada mukosa  gangguan GIT
• Penghambatan agregasi platelet  perdarahan saluran cerna bagian atas
• Toksisitas asetaminofen  hepatitis fulminan

Ginjal  Hindari COX pada pasien dengan hipovolemia, gagal jantung, sirosis, nefropati
diabetik, atau hiperkalsemia  penurunan pembersihan creatinine  AKI

24
GABAPENTIN &
PREGABALIN

25
GABAPENTIN & PREGABALIN

• Gabapentin diperkenalkan sebagai agen antiepilepsi namun


secara kebetulan ditemukan memiliki kegunaan sebagai analgesik
• Pemberian obat ini sebagai analgesik ditemukan pertama kali
dalam terapi untuk nyeri neuropatik kronis dan saat ini
dilisensikan untuk neuralgia postherpetic
• Gabapentin dan senyawa yang terkait erat dengannya, pregabalin,
juga digunakan secara luas untuk neuropati diabetikum 
membentuk bagian dari banyak protokol multimodal nyeri
postoperatif, khususnya setelah artroplasti sendi total

26
GABAPENTIN & PREGABALIN

• Tidak terdapat bukti bahwa gabapentin memiliki efikasi yang


lebih dibandingkan pregabalin
• Gabapentin & Pregabalin berikatan dengan kanal kalsium
bergerbang voltase dan reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA),
tetapi mekanisme pasti kerja agen-agen ini tetaplah spekulatif.
• Walaupun terdapat kesamaan struktural dengan asam ϒ-
aminobutirat (GABA), efek klinis mereka tampaknya tidak
berasal dari ikatan dengan reseptor GABA.

27
TERIMA KASIH

D A F TA R P U S TA K A
B U T T E RW O RT H J , M A C K E Y D , WA S N I C K J . C L I N I C A L A N E S T H E S I O L O G Y A
L A N G E M E D I C A L B O O K . 5 T H E D . T E X A S , U N I T E D S TAT E O F A M E R I C A : M C G R AW-
H I L L E D U C AT I O N ; 2 0 1 6 .

28

Anda mungkin juga menyukai