Anda di halaman 1dari 26

PORTOFOLIO LAPORAN KASUS BANGSAL

PASIEN DENGAN HIPERTENSI DERAJAT II,


DIABETES MELITUS TIPE II DAN SELULITIS
Untuk memenuhi Tugas Internship dan Melengkapi Salah Satu

Syarat Menempuh Program Internship Dokter

Disusun oleh :

PROGRAM DOKTER INTERNSIP ANGKATAN IV


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KAYEN
KABUPATEN PATI
2017

1
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
a. Nama penderita :Tn.S
b. Umur : 65 tahun
c. Jenis kelamin : Laki-laki
d. Agama : Islam
e. Pendidikan : SMP
f. Pekerjaan : Petani
g. Status : Menikah
h. Alamat : Maitan RT1 RW4, Pati
i. Tanggal Masuk : 11-04-2016
j. Masuk Jam : 09.55
k. Ruang : Melati
l. Kelas : BPJS non PBI
m. No. RM : 16082755

2. ANAMNESIS
a. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien laki-laki usia 65 tahun datang ke IGD dengan keluhan kedua tungkai
sakit sejak 2 minggu SMRS. Pasien tidak tahu awalnya bagaimana. Sakit muncul
perlahan-lahan. Awalnya sakit tersebut hilang timbul, sakit seperti kemeng dan panas.
Pasien merasa nyaman jika istirahat. Pasien sudah berobat ke mantri terdekat namun
sakit timbul lagi jika obat habis. Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah demam
yang tidak terlalu tinggi.

2 hari SMRS kedua tungkai pasien makin sakit sehingga pasien susah
menggerakkan kedua tungkainya. Sehingga pasien hanya bisa berbaring di rumah.
Sakit makin terasa saat ditekan. Pasien juga mengeluh kedua tungkainya makin
memerah dan nampak mengkilat. Pasien merasa demam dan tidak nafsu makan. Saat
dibawa ke IGD pasien nampak kesulitan menggerakkans kedua tungkainya sehingga
harus menggunakan kursi roda.

Riwayat hipertensi sudah lama ada namun akhir-akhir ini jarang berobat.
Riwayat diabetes melitus disangkal. Riwayat trauma sebelumnya pada kedua tungkai
disangkal. Riwayat tindakan operasi disangkal.

b. Riwayat Penyakit Dahulu


i. Riwayat Hipertensi : positif
ii. Riwayat DM : disangkal
iii. Riwayat trauma tungkai : disangkal

2
iv. Riwayat tindakan operasi : disangkal
v. Riwayat Hepatitis : disangkal

c. Riwayat Penyakit Keluarga


i. Riwayat Hipertensi : disangkal
ii. Riwayat DM : disangkal

Setelah Masuk RS

Hari ke- Keluhan dan pemeriksaan Terapi


fisik
Pertama (11 Apr 2017) KU= kedua tungkai sakit Th/
Hipertensi grade II dengan TTV Inf. RL 20 tpm
DM dan selulitis TD = 194/114 mmHg Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
Masuk di Bangsal melati HR=97 x/menit, Inj. Ranitidine 2x 50 mg
RR=18 x/menit,
t= (suhu axilla) 37,5C, P.O :
Amlodipin 1x10 mg
Px fisik
Status lokalis : kedua
tungkai teraba hangat, nyeri
tekan (+), kekuatan
motorik tungkai (+3/+3).

Px Penunjang
EKG
Leukosit = 18.200 /ul
GDS = 253 mg/dl
SGPT = 43.9 U/I
Kedua (11 Des 2016) KU= perut terasa penuh (+) Th/
Bangsal Melati KT= belum bisa BAB (-) Inf. Dextrose 5% 20 tpm
Obs.acites + retensio urin dan BAK kurang lancar, Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
TTV Inj. Ranitidine 2x 50 mg
HR=82 x/menit,
RR=22 x/menit, P.O :
t= (suhu axilla) 36,C, Paracetamol 3x1
tekanan darah=110/70 mmHg, Curcuma 3x1

3
Px fisikmata konjungtiva Spironolakton 2x10 mg
anemis (+) Furosemid 2x 4 mg
pemeriksaan perut : teraba
massa di perut bagian
kanan berbenjol-benjol(+),
nyeri tekan region
suprapubis abdomen (+),
teraba keras dan terdistensi
(+)
Tindakan
Tidak ada
Ketiga (12 des 2016) KU= perut terasa penuh (+) Th/
Obs. Acites KT= belum bisa BAB 4 hari Inf. Dextrose 5% 20 tpm
Bangsal melati dan BAK sudah lancar, Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
TTV Inj. Ranitidine 2x 50 mg
HR=82 x/menit,
RR=22 x/menit, P.O :
t= (suhu axilla) 36,C, Paracetamol 3x1
tekanan darah=140/90 Curcuma 3x1
mmHg, Spironolakton 2x10 mg
Px fisikmata konjungtiva Furosemid 2x 4 mg
anemis (+) Dulcolax 0-0-2 tab
pemeriksaan perut : teraba
massa di perut bagian
kanan berbenjol-benjol(+),
nyeri tekan region
suprapubis abdomen (+),
teraba keras dan terdistensi
(+)Tindakan
Tidak ada
Keenam (16 des 2016) KU= nyeri perut (+) Th/
Obs. Acites KT= BAB dan BAK lancar Inf. Dextrose 5% 20 tpm
Bangsal melati TTV Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
HR=82 x/menit, Inj. Ranitidine 2x 50 mg
RR=22 x/menit,
T=(suhu axilla)36,C, tekanan P.O :

4
darah=110/70 mmHg, Paracetamol 3x1
Px fisikmata konjungtiva Curcuma 3x1
anemis (+) Spironolakton 2x10 mg
pemeriksaan perut : teraba Furosemid 2x 4 mg
massa di perut bagian Dulcolax 0-0-2 tab
kanan berbenjol-benjol(+),
nyeri tekan region
suprapubis abdomen (+),
teraba keras dan terdistensi
(+)
Tindakan
Persiapan operasi TAH
+BSO+omentektomi
preoperasi
-jam 18.00 dulcolax 2 tab
dan jam 04.00 dulcolax supp
1 tab
-jam 19.00 inf. NaCl 0,9 %
dan puasa 6 jam
- Operasi jam 13.30-15.40

Ketujuh (17 des 2016) KU= lemas Th/


Wanita 56 th P5A0 Post KT= BAB (+) Inf. RL 20 tpm
operasi Pasca TAH + BSO TTV Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
+omentektomi A/I susp Ca HR=98 x/menit, Inj. Ranitidin 3x 50mg
Ovarii Stadium IIC (klinis I) RR=18 x/menit, Inj. Asam traneksamat 3x500 mg
t= (suhu axilla) 36,C,
tekanan darah =90/60 mmHg, Diet : susu dan bubur sumsum
Px fisikmata konjungtiva Evaluasi KU, TTV dieresis dan
anemis (+) drain
pemeriksaan perut : cembung
(-) siftting dullness (+),
pekak sisi dan pekak alih
(+)
Tindakan

5
Terpasang Drain abdomen
dan DC
- DRAIN 400 CC
Semihemoragic
- DIURESIS 200CC

Kedelapan (18 des 2016) KU= nyeri (-) Th/


Wanita P5A0 Post operasi KT= BAB (+) Inf. RL 20 tpm
Pasca TAH + BSO TTV Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
+omentektomi A/I susp Ca HR=98 x/menit, Inj. Ranitidin 3x 50mg
Ovarii Stadium IIC (klinis I) RR=18 x/menit, Inj. Ketorolac 3x30mg
t= (suhu axilla) 36,C,
tekanan darah =90/60 mmHg, P0
Px fisikmata konjungtiva Vit B complex 3x1
anemis (+) SF 2X1
pemeriksaan perut :supel (+) Diet : bubur nasi
cembung (-), nyeri tekan (+) Mobilisasi bertahap duduk dan
siftting dullness (-), pekak sisi miring
dan pekak alih (-), Evaluasi KU, TTV dieresis dan
Tindakan drain 24 jam
Terpasang Drain abdomen
dan DC
- DRAIN 110 CC
Serous
- DIURESIS 2100 CC
-usaha 2 kolf PRC dan 1 amp
dexamethason
-Inj. Ca glukonas 1 gr
-transfusi s/d Hb 10gr

Kesembilan (19 des 2016) KU= nyeri perut (+) Th/


Wanita 56 th P5A0 Post KT= BAB (+) BAK (+) Inf. RL 20 tpm
operasi Pasca TAH + BSO TTV Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
+omentektomi A/I susp Ca HR=98 x/menit, Inj. Ranitidin 3x 50mg
Ovarii Stadium IIC (klinis I) RR=18 x/menit,
t= (suhu axilla) 36,C, PO
tekanan darah =/60 mmHg, Cefadroxil 2x500mg
Px fisikmata konjungtiva As. Mefenamat 3x500mg

6
anemis (+) Vit B complex 3x1
pemeriksaan perut :Supel (+), SF 2X1
cembung(-), nyeri tekan(+)
siftting dullness (-), pekak sisi Diet : BIASA
dan pekak alih (-), Motivasi mobilisasi

Tindakan
-Terpasang Drain abdomen
-Aff DC
-Cek DR post transfusi PRC
dan cek Albumin
-Ganti balut

Kesepuluh (20 des 2016) KU= lemas Th/


Post operasi Pasca TAH + KT= BAB (+) BAK (+) Inf. RL 20 tpm
BSO +omentektomi A/I susp TTV Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
Ca Ovarii Stadium IIC HR=98 x/menit, Inj. Ranitidin 3x 50mg
(klinis I)+ anemia ringan RR=18 x/menit,
t= (suhu axilla) 36,C, PO
tekanan darah =100/70 Cefadroxil 2x500mg
mmHg, As. Mefenamat 3x500mg
Px fisikmata konjungtiva Vit B complex 3x1
anemis (+) SF 2X1
pemeriksaan perut : Supel Diet : ekstra Protein
(+),cembung (-), nyeri Evaluasi KU, TTV dieresis dan
tekan(-) siftting dullness (-), drain
pekak sisi dan pekak alih (-),
Tindakan
-Drain abdomen aff drain
jika < 50 cc
-DRAIN 100 cc serous
-cek DR post transfusi 2 kolf

7
Kesebelas (21 des 2016) KU= tidak ada keluhan Th/
Post operasi Pasca TAH + KT= BAB (+) BAK (+) Inf. RL 20 tpm
BSO +omentektomi A/I susp TTV Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
Ca Ovarii Stadium IIC HR=85 x/menit, Inj. Ranitidin 3x 50mg
(klinis I)+ anemia ringan RR=18 x/menit,
t= (suhu axilla) 36,5C, PO
tekanan darah =100/70 Cefadroxil 2x500mg
mmHg, As. Mefenamat 3x500mg
Px fisikmata konjungtiva Vit B complex 3x1
anemis (+) SF 2X1
pemeriksaan perut : Supel Diet : ekstra Protein
(+),cembung (-), nyeri Evaluasi KU, TTV dieresis dan
tekan(-) siftting dullness (-), drain
pekak sisi dan pekak alih (-),
Tindakan
-pro aff drain siang hari
-DRAIN 70 cc serous
-cek Hb post transfusi 2 kolf
Jika Hb 10 gr % aff
infus

Keduabelas (22 des 2016) KU= tidak ada keluhan BLPL


Post operasi Pasca TAH + KT= BAB (+) BAK (+)
BSO +omentektomi A/I susp TTV
Ca Ovarii Stadium IIC HR=85 x/menit,
(klinis I)+ anemia ringan RR=18 x/menit,
t= (suhu axilla) 36,5C,
tekanan darah =100/70
mmHg,
Px fisikmata konjungtiva
anemis (+)
pemeriksaan perut : Supel
(+),cembung (-), nyeri
tekan(-) siftting dullness (-),
pekak sisi dan pekak alih (-),
Tindakan
-pro aff drain siang hari

8
-DRAIN 110 cc serous
-saat iji sedang transfusi 6
jam post transusi cek Hb Jika
Hb 10 gr % boleh
pulang
-boleh pulang
-tunggu hasil lab PA

3. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 10 Desember 2016, pukul 10.00 WIB di ruang
Melati

Kesan umum :
Komposmentis, tampak sakit sedang.
Tanda-tanda vital ketika datang ke RS( 9 Desember 2016 jam 14.30 WIB )
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Nadi : 82 x / menit, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 20x / menit
Suhu : 38,70C (axilla)
Tanda-tanda vital ( 10 Desember 2016 jam 10.00 WIB )
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x / menit, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 22x / menit
Suhu : 360C (axilla)

9
Status Internus
Kepala : Normocephale.
Mata : konjungtiva anemis (+/+), oedem palpebra (-/-), sklera ikterik
(-/-)
Hidung : Epistaksis (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
Telinga : Discharge (-/-)
Mulut : Bibir pucat (-), mukosa pucat (-), , bibir kering (-).
Leher : Simetris, pembesaran kelenjar limfe (-)
Thorax
Jantung
Inspeksi : Tidak terlihat pulsasi ictus cordis
Palpasi : Pulsasi ictus cordis tidak melebar, teraba di ICS V 2 cm
medial linea midclavicularis sinistra.
Perkusi : Redup
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas pinggang : ICS III linea parasternal sinistra
Batas kanan bawah: ICS V linea sternalis dextra
Batas kiri bawah : ICS V 2 cm medial linea mid clavicula sinistra
Kesan : Konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler,murmur(-), gallop(-)
Kesan : Tidak ada kelainan jantung

Paru-paru
Inspeksi : Pergerakan hemithorax dextra = hemithorax sinistra,
Retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus dextra = sinistra.
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : - Suara Dasar : vesikuler di basal paru kanan
- Suara Tambahan : rhonki (-/-), wheezing (-/-), hantaran
(-/)
Kesan : Tidak ada kelainan paru
Abdomen
Inspeksi : simetris, cembung (+), massa (-), sikatriks (-),
hiperpigmentasi linea alba (-), striae (-), caput medusa (-), gerakan
janin (-)

10
Auskultasi : peristaltik (+) 12x/ menit (normal)
Perkusi : Timpani (-), dominan pekak (+) pekak alih (+), pekak
sisi(+),
Palpasi : teraba massa di perut bagian kanan berbenjol-
benjol(+), nyeri tekan region suprapubis abdomen (+), teraba keras
dan terdistensi (+) defance muskular (-), undulasi (+)
Kulit :kulit berwarna pucat, ekskoriasi (-)
seluruh ekstremitas superior dan inferior, ikterik (-).
Ekstremitas :
Ekstremitas Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Akral sianosis -/- -/-
Oedem -/- -/-
CRT <2 <2

4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium darah

No Jenis 9-12-2016 11-12 15-12- 16-12- 18-12- 19-12- 22-12- Angka


2016 2016 2016 2016 2016 2016 Rujukan
(POST
OP)
1 Gol. darah Tidak B Rh +
dilakukan

2 Hemoglobi 8,5 8,6 7,7 8,6 8,3 10,3 12-16


n

3 Hematokri 28.5% 28,6 26,3 28,4 27,2 34,2 34-48


t

4 Leukosit 11.100 10.300 14.700 14.000 24.000 4600-


11.000

5 Trombosit 245.000 371.000 312.000 257.000 302.00 150.000


0 -
450.000

6 GDS 154 114 70-160

7 HbSAg negatif

11
8 SGOT 13

9 SGPT 9,3

10 Albumin 3,9 3,81 3,1 3,4-4,6

11 Bilirubin 0,09 0,0-1,0


total
12 Bilirubin 0,04 0,0-
direct 0,25
13 Bilirubin 0,05 0,0-
indirect 0,75
14 Anti HCV negati
f
15 ureum 51,6 10-50

16 kreatinin 1,04 0,6-1,2

17 CT 430 2-6

18 BT 230 1-6

Pemeriksaan USG Abdomen 13 Desember 2016

12
Hasil USG
Kesan : Massa bersepta dengan bagian padat pada lower abdomen suspek berasal
dari lower Abdomen

13
Pemeriksaan USG tanggal 15 Desember 2016

Hasil USG Ginekologi

Tampak VU dengan balon cateter didalamnya

Tampak uterus ukuran 3.9cmx 5cm

Tampak massa hipoekoik dengan bagian dalam hiperekoik pada adnexa ukuran > 11,1 cm x
10cm x 12cm.

Tampak cairan bebas intraabdomen

14
Laporan Hasil Operasi TAH +BSO+Omentektomi (tanggal 16 Desember
2016)

15
LANDASAN TEORI

Ca Ovarium

1. DEFINISI

Kanker ovarium adalah terjadinya pertumbuhan sel-sel tidak lazim (kanker)


yang berasal dari ovarium dengan berbagai tipe histologi, dapat mengenai pada satu
atau dua bagian indung telur dan bisa mengenai semua umur.
Indung telur juga merupakan sumber utama penghasil hormon reproduksi
perempuan, seperti hormon estrogen dan progesteron.

2. INSIDENSI

Berdasarkan data dari Survailance, Epidemiology and End Results (SEER)


usia penderita kanker ovarium rata-rata di atas 40 tahun. Dengan gambaran di bawah
usia 20 sekitar 1,3%,antara 20 dan 34 sekitar 3,6%, antara 35 dan 44 sekitar 7,4%,
antara 45 dan 54 sekitar 18,6%, antara 55 dan 64 sekitar 23,4%, antara 65 dan 74
sekitar 20,1%, antara 75 dan 84 sekitar 17,6% dan tahun 85 sekitar 8,1%. Angka ini
didasarkan kasus yang di diagnosis pada 2005-2009 dari 18 daerah menurut data
SEER.
Dalam kasus kanker, jumlah serum albumin adalah indikator prognostik
bertahan hidup yang penting, sementara probabilitas global pasien kanker ovarium
dengan serum albumin 3,6 g/dL dan 3,5 g/dL untuk bertahan hidup lima tahun
masing-masing 23% and 10%. Pada penelitian 48 orang pasien Rumah Sakit Kanker
Dharmais Jakarta ditemukan bahwa selama tahun 1996-2004 secara spesifik,
probabilitas pasien dengan serum albumin 3,6 mg/dL dan < 3,6 mg/dL untuk
bertahan hidup lima tahun masing-masing 36,1% dan 15,7%. Jika dikontrol dengan
stadium kanker, kadar asites dan hemoglobin,risiko mati pasien karena kanker
ovarium epithelial dengan kadar serum albumin < 3,6 mg/dL ternyata 2,077 kali lipat
daripada pasien dengan serumal bumin 3,6 mg/dL.

3. ETIOLOGI

16
Penyebab pasti kanker ovarium tidak diketahui, namun diduga bahwa kanker
ovarium berkaitan dengan peristiwa pelepasan sel telur (ovulasi). Adanya kerusakan
berulang pada lapisan permukaan ovarium saat ovulasi menyebabkan perubahan pada gen
yang mengatur pembelahan sel ovarium sehingga terjadi pembelahan sel yang berlebihan
dan ganas.

4. FAKTOR RESIKO
3.1. Faktor Genetik
Risiko seorang wanita untuk mengidap kanker ovarium adalah sebesar 1,6 %. Angka
risiko pada penderita yang memiliki satu saudara sebesar 5 % dan akan meningkat
menjadi 7 % bila memiliki dua saudara yang menderita kanker ovarium.
Menurut American Cancer Society (ACS), sekitar 10 % penderita kanker ovarium
ternyata memiliki anggota keluarga yang terkena penyakit yang sama. Umumnya, pasien
yang memiliki sejarah keluarga yang menderita kanker akibat gen mutasi BRCA1 dan
BRCA2 memiliki risiko sangat tinggi menderita kanker ovarium dan diperkirakan
mencapai 50-70 % pasien kanker ovarium.

3.2. Usia
Kanker ovarium pada umumnya ditemukan pada usia di atas 40 tahun. Angka

Gambar 3.2.1 Insidensi Kanker Ovarium berdasarkan Faktor Risiko di RSUP Haji Adam
Malik Tahun 2008-2011

17
kejadian akan meningkat semakin bertambahnya usia. Angka kejadian kanker
ovarium pada wanita usia di atas 40 tahun sekitar 60% penderita, sedangkan pada wanita
usia lebih muda sekitar 40%. Mayoritas kanker ovarium muncul setelah seorang
perempuan melewati masa menopause.

3.3. Paritas
Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang wanita.
Penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan paritas yang tinggi memiliki risiko
terjadinya kanker ovarium yang lebih rendah daripada nulipara, yaitu dengan risiko relati
f 0,7

3.4. Faktor Hormonal


Penggunaan hormon eksogen pada terapi gejala yang berhubungan dengan
menopause berhubungan dengan peningkatan risiko kanker ovarium baik dari insiden
maupun tingkat mortalitasnya. Peningkatan risiko secara spesifik terlihat pada wanita
dengan penggunaaan hormon estrogen tanpa disertai progesteron karena peran
progesteron yaitu menginduksi terjadinya apoptosis sel epitel ovarium. Pada kehamilan,
tingginya kadar progesteron akan membantu menurunkan risiko tumor ganas ovarium.
Hormon lain yang juga mempengaruhi tingginya angka kejadian kanker ovarium
yaitu hormon gonadotropin di mana fungsinya untuk pertumbuhan.
Penekanan kadar androgen juga dapat mempengaruhi kejadian kanker ovarium.
Hal ini berkaitan dengan teori yang pertama kali dikemukakan oleh Risch pada tahun
1998 yang mengatakan bahwa androgen mempunyai peran penting dalam terbentuknya
kanker ovarium karena didasarkan pada bukti bahwa epitel ovarium mengandung reseptor
androgen dan dapat menstimulasi pertumbuhan epitel ovarium normal serta sel-sel kanker
ovarium epitel dalam kultur sel. Epitel ovarium yang selalu terpapar pada androgenik
steroid yang berasal dari ovarium itu sendiri dan kelenjar adrenal, seperti androstenedion,
dehidropiandrosteron dan testosteron
3.5. Faktor Reproduksi
Riwayat reproduksi terdahulu serta durasi dan jarak reproduksi memiliki dampak
terbesar pada penyakit ini. Infertilitas, menarche dini (sebelum usia 12 tahun), memiliki
anak setelah usia 30 tahun dan menopause yang terlambat dapat juga meningkatkan risiko
untuk berkembang menjadi kanker ovarium.

18
3.6. Pil Kontrasepsi
Penelitian dari Center for Disease Control menemukan penurunan risiko
terjadinya kanker ovarium sebesar 40% pada wanita usia 20-54 tahun yang memakai pil
kontrasepsi, yaitu dengan risiko relatif 0,6. Penelitian ini juga melaporkan bahwa
pemakaian pil kontrasepsi selama satu tahun menurunkan risiko sampai 11%, sedangkan
pemakaian pil kontrasepsi sampai lima tahun menurunkan risiko sampai 50%. Penurunan
risiko semakin nyata dengan semakin lama pemakaiannya.

3.7. Kerusakan sel epitel ovarium ( Incessant Ovulation)


Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Fathalla tahun 1972, yang menyatakan
bahwa pada saat ovulasi, terjadi kerusakan pada sel-sel epitel ovarium. Untuk
penyembuhan luka yang sempurna diperlukan waktu. Jika sebelum penyembuhan tercapai
terjadi lagi ovulasi atau trauma baru, proses penyembuhan akan terganggu dan tidak
teratur sehingga dapat menimbulkan proses transformasi menjadi sel-sel tumor.

3.8. Obat-Obat yang Meningkatkan Kesuburan (Fertility Drugs )


Obat-obat yang meningkatkan fertilitas seperti klomifen sitrat, yang diberikan
secara oral, dan obat-obat gonadotropin yang diberikan dengan suntikan seperti follicle
stimulating hormone(FSH), kombinasi FSH dengan Luteinizing hormone (LH), akan
menginduksi terjadinya ovulasi atau multiple ovulasi. Menurut hipotesis incessant
ovulationdan hipotesis gonadotropin, pemakaian obat penyubur ini jelas akan
meningkatkan risiko relatife terjadinya kanker ovarium.

3.9. Terapi Hormon Pengganti pada Masa Menopause


Pemakaian terapi hormon pengganti pada masa menopause (menopausal hormon
therapy = MHT) dengan estrogen saja selama 10 tahun meningkatkan risiko relative 2,2.
Sementara itu, jika masa pemakaian MHT selama 20 tahun atau lebih, risiko relatif
meningkat menjadi 3,2. Pemakaian MHT dengan estrogen yang kemudian diikuti dengan
pemberian progestin, ternyata masih menunjukkan meningkatnya risiko relative menjadi
1,5.Oleh karena itu, MHT, khususnya dengan estrogen saja, secara nyata meningkatkan
risiko relatif terkena kanker ovarium

19
3.10. Penggunaan Bedak Tabur
Penggunaan bedak tabur langsung pada organ genital atau tissue pembersih
bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) terhadap ovarium. Selain itu, bedak tabur
juga mengandung asbes yaitu bahan mineral penyebab kanker.

5. KLASIFIKASI
a. Tipe Epitelial. Merupakan tipe yang paling sering pada neoplasma ovarium.Jenis
kanker ovarium yang menyerang jaringan yang membungkus ovarium. Sebanyak
75% dari tipe borderline muncul pada stadium awal dan ditemukan pada decade
ke-4 hingga 5. Terdapat lima subtype dari tumor epitel, yaitu serosa,
musin,endometrioid, clear cell, dan tumor Brener. Selain itu, tipe epithelial
ovarium juga dapat disebabkan karena metastasis kanker lain, seperti payudara,
kolon, gaster, dan pancreas.
b. Tipe non-epitelial, dibagi menjadi :
I. Tipe germ-cell, Jika sel kanker menyerang sel-sel penghasil telur, lebih
banyak menyerang wanita usia muda, misalnya disgerminoma dan
teratoma immature
II. Tipe sex cord-stromal cell, Tumor stromal muncul ketika sel kanker
menyerang jaringan yang mengandung sel-sel penghasil hormone
misalnya tumor sel granulose, tumor Sertoli-Leydig, dan sebagainya

6. PATOGENESIS

Kanker di ovarium terdiri dari berbagai jenis dan multi kompleks. Hal ini akan
menjadi sulit dalam hal menentukan histogenesisnya. Kanker yang berasal dari epitel,
dimulai dengan adanya inklusi epitel permukaan pada stroma yang berkembang
menjadi kista.Selain itu, letak tumor yang tersembunyi dalam rongga perut dan sangat
berbahaya itu dapat menjadi besar tanpa disadari oleh penderita, makanya diperlukan
stadium kanker agar kita mengetahui seberapa jauh penyebaran kanker tersebut.
Stadium kanker ovarium ditentukan berdasarkan pemeriksaan sesudah
laparatomi. Penentuan stadium dengan laparatomi lebih akurat, oleh karena perluasan
tumor dapat dilihat dan ditentukan berdasarkan pemeriksaan patologi (sitologi atau
histopatologi ), sehingga terapi dan prognosis dapat ditentukan lebih akurat.

7. MANIFESTASI KLINIS
20
Kanker ovarium yang masih terlokalisasi biasanya tidak menimbulkan keluhan
sehingga pasien biasanya terdiagnosis saat kanker telah menyebar hingga pelvis.
Tumor yang membesar akan mendesak organ-organ disekitarnya, sehingga muncul
keluhan saluran cerna seperti mual, kembung dan perubahan pola buang air besar
(konstipasi atau diare). Akan tetapi, keluhan bisa muncul pada stadium awal apabila
terjadi torsio pada masa ovarium yang mengakibatkan nyeri hebat, rasa tidak nyaman
pada dubur dan ketidakmampuan buang air besar atau buang air kecil. Pada
pemeriksaan fisik dapat teraba massa adneksa dengan karakteristik keras, irregular
dan sulit digerakkan. Jika tumor besar menekan pembuluh darah balik dari tungkai,
maka dapat ditemui pembengkakan tungkai. Penyebaran sel tumor pada lapisan
rongga perut (peritoneum) menyebabkan terkumpulnya cairan pada rongga perut
(acites). Kemudian pada USG akan tampak kista dengan elemen solid. Gejala dari
kanker ovarium non epithelial adalah nyeri pelvis subakut dan rasa tekanan pada
pelvis karena massa pada pelvis dan irregularitas menstruasi

8. KLASIFIKASI TINGKAT KEGANASAN


KLASIFIKASI FIGO 2014

Primary
tumor (T)
TNM FIGO
TX tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak ada bukti tumor primer
T1 I Tumor terbatas pada ovarium (salah satu atau kedua ovarium)
Tumor terbatas pada satu ovarium; kapsul utuh, tidak ada tumor
T1a IA di permukaan ovarium; tidak ada sel-sel ganas di asites atau
pencucian peritoneal
Tumor terbatas pada kedua ovarium; kapsul utuh, tidak ada
T1b IB tumor di permukaan ovarium; tidak ada sel-sel ganas di asites atau
pencucian peritoneal
Tumor terbatas pada satu atau kedua ovarium dengan salah satu
T1c IC* dari berikut: kapsul pecah, tumor pada permukaan ovarium, sel-sel
ganas di asites atau pencucian peritoneal
Tumor melibatkan satu atau kedua ovarium dan perluasan ke
T2 II
panggul
T2a IIA Uterus dan / atau tuba, tanpa acites
T2b IIB Jaringan panggul lainnya tanpa acites
T2c IIC* Jaringan panggul lainnya dengan acites
T3 III* Tumor melibatkan satu atau kedua ovarium dengan mikroskopis
metastasis peritoneal luar pelvis (perluasan ke usus halus, omentum

21
dalam panggul, atau penyebaran intraperitoneal/kelenjar
retropritoneal
Metastasis peritoneal mikroskopis di luar pelvis (tidak ada tumor
T3a IIIA*
makroskopik)
Metastasis peritoneal makroskopis di luar pelvis 2 cm atau kurang
T3b IIIB*
dalam dimensi terbesar
Metastasis peritoneal makroskopis di luar pelvis> 2 cm dalam
T3c IIIC*
dimensi terbesar dan / atau regional metastasis kelenjar getah bening
Regional
lymph nodes
(N)
TNM FIGO
NX kelenjar getah bening regional tidak bisa dinilai
N0 Tidak ada daerah metastasis kelenjar getah bening regional
N1 IIIC Metastasis kelenjar getah bening regional
Distant
metastasis
(M)
TNM FIGO
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 IV* Metastasis jauh (tidak termasuk metastasis peritoneal )

9. DIAGNOSIS

Laparotomi merupakan prosedur primer yang digunakan untuk menemukan


diagnosis dan memberikan staging yang akurat. Pemeriksaan yang non invasive
seperti X-ray toraks, CT scan, atau MRI abdomen dan sonografi abdomen serta pelvis
dapat untuk membantu prediksi penyebaran tumor. Gejala dari kandung kemih atau
disfungsi ginjal dapat dievaluasi dengan sistoskopi atau pielogravi intravena.

Pada kanker ovarium non-epitelial dilakukan pemeriksaan USG pada pelvis. CT


scan pada abdomen dan pelvis, serta X-ray pada thorak. Pada pasien yang muda,
dianjurkan agar melakukan pemeriksaan serum Hcg, titer - fetoprotein (AFP),LDH,
dan darah perifer lengkap, dan tes fungsi hati serta ginjal.

10. TATALAKSANA
a. Penatalaksanaan operatif kanker ovarium stadium 1
Pengobatan utama untuk kanker ovarium stadium I adalah operasi yang terdiri atas
histerektomi totalis prabdominalis, salpingooforektomi bilateralis, apendektomi, dan
surgical staging. Surgical staging adalah suatu tindakan bedah laparotomi eksplorasi
yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana perluasan suatu kanker ovarium

22
dengan melakukan evaluasi daerah-daerah yang potensial akan dikenai perluasaan
atau penyebaran kanker ovarium. Temuan pada surgical staging akan menentukan
stadium penyakit dan pengobatan adjuvant yang perlu diberikan.

1. Sitologi
Jika pada surgical staging ditemukan cairan peritoneum atau asites, cairan
tersebut harus diambil untuk pemeriksaan sitologi. Sebaliknya, jika cairan peritoneum
atau asites tidak ada, harus dilakukan pembilasan kavum abdomen dan cairan bilasan
tersebut diambil sebagian untuk pemeriksaan sitologi.
2. Apendektomi
Tindakan apendektomi yang rutin masih controversial. Metastasis ke apendiks
jarang terjadi pada kasus kanker ovarium stadium awal (<4%). Pada kanker ovarium
epithelial jenis musinosum, ditemukan metastasis pada 8% kasus. Oleh karena itu,
apendektomi harus dilakukan secara rutin pada kasus kanker ovarium epithelial jenis
musinosum.
3. Limfadenektomi
Limfadenektomi merupakan suatu tindakan dalam surgical staging.

b. Penatalaksanaan kanker ovarium stadium lanjut (II, III, IV)

Pendekatan terapi pada stadium lanjut ini mirip dengan penatalaksanaan kasus
stadium I dengan sedikit modifikasi bergantung pada penyebaran metastasis dan
keadaan umum penderita. Tindakan operasi pengangkatan tumor primer dan
metastasisnya di omentum, usus, dan peritoneum disebut operasi debulking atau
operasi sitoreduksi dimana teknik ini dilakukan operasi luas dengan mengambil
sebanyak mungkin tumor dan organ sekitar yang terkena . Tindakan operasi ini tidak
kuratif sehingga diperlukan terapi adjuvant untuk mencapai kesembuhan.

1. Operasi sitoreduksi
Ada dua teknik operasi sitoreduksi, yaitu :
a. Sitoreduksi konvensional
Sitoreduksi konvensional ini adalah sitoreduksi yang biasa dilakukan, yaitu operasi
yang bertujuan membuang massa tumor sebanyak mungkin dengan menggunakan
alat-alat operasi yang lazim seperti pisau, gunting, dan jarum jahit.
b. Sitoreduksi teknik baru
Sitoreduksi teknik baru sangat berbeda dengan sitoreduksi konvensional yang
memakai pisau, gunting, dan jarum jahit. Dengan teknik baru tersebut dapat dilakukan

23
sitoreduksi dari massa tumor yang berukuran beberapa milimeter sampai hilang sama
sekali.

2. Kemoterapi
Keganasan ovarium tidak dapat disembuhkan tuntas hanya dengan operasi,
kemoterapi anti kanker merupakan tindakan penting yang tidak boleh absent dalam
prinsip terapi gabungan terhadap kanker ovarium, lebih efektif untuk pasien yang
sudah berhasil menjalani operasi sitoreduksi.

3. Radioterapi
Sebagai pengobatan lanjutan umumnya digunakan pada tingkat klinik T1 dan T2
(FIGO: tingkat I dan II), yang diberikan kepada panggul saja atau seluruh rongga
perut. Juga radioterapi dapat diberikan kepada penyakit yang tingkatnya agak lanjut,
tetapi akhir-akhir ini banyak diberikan bersama khemoterapi, baik sebelum atau
sesudahnya sebagai adjuvan, radiosensitizer maupun radioenhancer. Di banyak
senter, radioterapi dianggap tidak lagi mempunyai tempat dalam penanganan tumor
ganas ovarium. Radiasi untuk membunuh sel-sel tumor yang tersisa, hanya efektif
pada jenis tumor yang peka terhadap sinar (radiosensitif) seperti disgerminoma dan
tumor sel granulosa.

11. PROGNOSIS
Faktor prognostic pada kanker ovarium dipengaruhi oleh residu penyakit dan derajat
histologist. Pasien yang positif didiagnosis kanker ovarium stadium I dan II memiliki
angka harapan hidup dalam 5 tahun sebesar 60-70%; stadium III sebesar 30-60%; dan
stadium IV hampir 0%. Kadar dari CA-125 pre dan pascaoperasi juga dapat
digunakan sebagai salah satu factor prognostic meskipun sampai sekarang peranannya
masih kurang jelas. Peningkatan kadar p53 berhubungan dengan prognostic yang
lebih buruk

12. SKRINING
Skrining sangat penting dilakukan karena pada perempuan dengan kanker ovarium
stadium awal (I dan II) karena memiliki hasil yang baik dengan terapi konvensional.
Pemeriksaan yang digunakan untuk skrining adalah USG transvaginal, meskipun
dapat memberikan hasil positif palsu pada perempuan premenaupouse. Penggunaan
Doppler dikombinasikan dengan USG transvaginal dapat menurunkan kemungkinan
hasil positif palsu dan meningkatkan akurasi. Selain USG transvaginal, marker darah
Ca 12, AFP, b HCG juga perlu dilakukan.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 2013, Cancer of the Ovaries, California Department of Health Care Services
& California Department of Public Health.
2. Johari A.B., Siregar F.G., 2011, Insidensi Kanker Ovarium berdasarkan Faktor
Risiko di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2008-2011.
3. Liwang F., Purbandi S., 2014, Kanker Ovarium, Kapita Selekta Ed.IV jilid I.Hal 493-
496, Jakarta Pusat
4. Prat J, 2014, Staging classification for cancer of the ovary, fallopian tube, and
peritoneum, FIGO Committee on Gynecologic Oncology. FIGO Guidelines.. Int J
Gynaecol Obstet. 124 (1):1-5.
5. Prawirohardjo S., 2008, Tumor Ganas Ovarium dalam Ilmu Kandungan. Edisi Kedua.
Jakarta PT. Bina Pustaka.
6. Trihandini D.I., Nurrika D, 2010, Analisis Ketahanan Hidup Lima Tahun Penderita
Kanker Ovarium Epithelial di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta, Departemen
Biostatistik dan Ilmu Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia,Sekolah Tinggi Ilmu. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 5, No. 3,
Desember 2010

25
26

Anda mungkin juga menyukai