Anda di halaman 1dari 10

Opioid Untuk Nyeri Pasca Operasi Bedah Mulut

Tujuan: Untuk menjelaskan peran opioid dalam pengelolaan nyeri pasca operasi bedah
mulut.
Bahan dan metode: Tinjauan dari literatur yang menjelaskan mengenai farmakokinetik,
manfaat dan bahaya opioid, interaksi, penggunaan pada anak-anak, ibu hamil dan menyusui.
Hasil: Dosis intramuskular morfin 10 mg dikenal sebagai analgesik yang sangat efektif untuk
penanganan nyeri pasca operasi dengan jumlah yang diperlukan untuk mengobati/Number
Needed to Treat (NNT) sebesar 2,9. Kodein 60 mg memiliki NNT sebesar 16,7 yang
menunjukkan efektivitas analgesik yang rendah, tetapi apabila dikombinasikan dengan 1 g
parasetamol akan menjadi analgesik efektif untuk penanganan nyeri pasca operasi dengan
NNT 2,2.
Kesimpulan: Morfin efektif untuk nyeri berat yang dialami oleh pasien rawat inap setelah
menjalani operasi bedah mulut, idealnya diberikan secara intravena atau alternatif lain dengan
injeksi intramuskular. Kodein sangat efektif bila dikombinasikan dengan parasetamol dan
cocok untuk pasien bedah mulut rawat jalan yang mengalami nyeri sedang sampai berat.
Relevansi klinik
Artikel ini menyajikan informasi terbaru untuk klinisi bedah mulut mengenai penggunaan
Opioid dalam penanganan nyeri pasca operasi.
Temuan Utama
Opioid efektif untuk nyeri sedang sampai berat setelah operasi bedah mulut, tetapi opioid
terkait dengan efek samping seperti mual, muntah dan konstipasi. Opioid sebaiknya dihindari
pada pasien hamil atau menyusui.
Tujuan praktis
Pasien dengan nyeri sedang sampai berat mendapat manfaat dengan menggunakan opioid.
Efek samping dapat ditangani dengan tepat melalui pemberan dosis yang tepat, konseling
pasien dan perawatan simtomatik sehingga kekhawatiran mengenai efek samping opioid tidak
mencegah ahli bedah untuk menggunakan opioid.
Pengantar
Artikel keempat ini membahas mengenai penggunaan opioid dalam penanganan nyeri pada
pasien yang menjalani prosedur bedah mulut dalam perawatan primer dan sekunder. Artikel
lain dalam seri ini menggambarkan jalur terjadinya nyeri dan penggunaan parasetamol serta
obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID) dalam penanganan nyeri setelah operasi bedah
mulut.
Tangga nyeri
Istilah tangga nyeri diciptakan oleh World Health Organization (WHO) untuk
menggambarkan pedoman mereka pada penggunaan obat dalam penanganan nyeri. Tangga

nyeri WHO awalnya diterapkan pada penanganan nyeri kanker, namun kini digunakan untuk
penanganan semua jenis nyeri. Hal ini didasarkan pada konsep awal terapi nyeri dengan
'langkah pertama' yaitu obat dan kemudian naik ke tangga selanjutnya jika nyeri masih ada.
Pedoman WHO merekomendasikan pemberian obat secara peroral segera ketika nyeri terjadi,
jika pasien tidak mengalami nyeri berat dimulai dengan obat non-opioid seperti parasetamol
(acetaminophen), NSAID atau cyclooxygenase-2 inhibitor.
Jika pengurangan nyeri tidak terjadi secara sempurna, pengobatan selanjutnya, seperti
opioid ringan (kodein fosfat dihidrokodein atau Tramadol), ditambahkan ke regimen nonopioid sebelumnya. Jika hal ini masih tidak cukup, opioid ringan digantikan oleh opioid yang
lebih kuat, seperti morfin, sembari melanjutkan pengobatan non-opioid, tingkatkan dosis
opioid sampai pasien bebas dari rasa nyeri atau pada dosis maksimal yang dapat digunakan
tanpa menimbulkan efek samping. Jika gejala awal adalah nyeri yang berat, proses langkah
ini harus dilewati, dan opioid kuat harus segera diberikan dikombinasikan dengan analgesik
non-opioid.
Pasien mungkin mengalami nyeri ringan, sedang atau bahkan berat setelah menjalani
prosedur bedah mulut. Pasien-pasien ini akan membutuhkan analgesik yang efektif, aman dan
mudah digunakan (lihat Tabel 1).
Nyeri sedang sampai berat mungkin tidak dapat dikelola dengan penggunaan NSAID
atau parasetamol sendiri maupun dalam kombinasinya. Untuk pasien dengan kasus ini, ada
persyaratan untuk meresepkan analgesia lanjut. Artikel keempat dalam seri ini membahas
penggunaan analgesik opioid untuk pengelolaan nyeri pada pasien yang menjalani operasi
bedah mulut baik pada perawatan primer maupun sekunder.
Latar Belakang
Opioid adalah senyawa yang memiliki aktivitas farmakologi pada reseptor opioid. Opioid
dapat bersifat endogen atau sengaja diberikan, dapat bersifat alami atau sintetis. Opioid
berbeda dari istilah opiat, yang sekarang disediakan untuk menggambarkan alkaloid yang
secara alami diturunkan dari opium poppy (Papaver somniferum). Istilah narkotik di UK
merupakan obat adiktif yang mempengaruhi suasana hati dan perilaku, sementara narkotik di
Amerika Serikat dapat merujuk kepada opioid untuk penggunaan sebagai obat serta ada pula
penggunaan secara ilegal dengan turunan opium.
Opium merupakan ekstrak sari poppy, yang telah digunakan untuk tujuan sosial dan
tujuan medis selama ribuan tahun yang lalu sebagai agen penghasil efek analgesia, euforia
dan tidur. Saat itu diperkenalkan di Inggris pada akhir abad ke-17. Morfin merupakan opiat
yang paling banyak ditemukan di opium. Struktur morfin ditemukan pada tahun 1902, dan
sejak itu, banyak senyawa semi-sintetik dan sintetik telah dihasilkan oleh modifikasi kimia
dari morfin (kodein, diamorfin, petidin).
Di seluruh dunia, opioid adalah senyawa andalan dalam penanganan nyeri sedang
sampai akut berat dalam praktik rumah sakit. Banyak opioid yang tersedia untuk penggunaan
medis, tetapi aktivitas farmakologi dari kesemuanya sangat mirip. Mereka hanya berbeda
dalam hal keberhasilan relatifnya, farmakokinetiknya dan aktivitas lainnya. Aktivitas opioid
dilawan oleh antagonis opioid seperti nalokson.
Secara tradisional, opioid telah diklasifikasikan sebagai opioid lemah, sedang dan
kuat sesuai dengan aktivitas analgesiknya dan kecenderungan untuk kecanduan. Kodein

didefinisikan sebagai opioid lemah meskipun pada dosis tinggi dapat menyebabkan depresi
pernafasan, sehingga klasifikasi ini bukan berdasarkan tingkat keamanan.
Farmakokinetik
Analgesik opioid mengikat berbagai reseptor fisiologis yang dikenali oleh peptida
opioid endogen, seperti enkephalins dan endorfin. Ada tiga kelas utama reseptor opioid yaitu
, , (mu, kappa dan delta); jenis tipe reseptor lain juga ada tetapi belum dikarakterisasikan
dengan baik. Ketiga reseptor opioid tersebut secara luas, namun berbeda-beda,
didistribusikan ke seluruh sistem saraf pusat dan perifer serta dalam endokrin dan sel-sel
kekebalan tubuh. Respon farmakodinamik terhadap opioid tergantung pada reseptor mana
opioid tersebut terikat dan afinitasnya terhadap reseptor tersebut.
Opioid menghasilkan mayoritas efek terapeutik dan efek sampingnya dengan
bertindak sebagai agonis pada reseptor opioid . Menariknya, opioid endogen tidak
menyebabkan efek samping. Berbeda dengan non-opioid, yang menunjukkan adanya ceiling
effect, respon analgesik terhadap aktivitas opioid pada reseptor terus meningkat bersamaan
dengan meningkatnya dosis. Meskipun memiliki efektivitas analgesik yang tidak terbatas,
efek samping penggunaan opioid seringkali menghalangi penggunaan dosis yang cukup
untuk benar-benar menghilangkan nyeri berat.
Tabel 1. Rekomendasi regimen analgesik untuk bedah mulut
Nyeri ringan

Pencabutan dengan forcep

Paracetamol 1 g setiap 6 jam secara teratur


(maksimum 4 g/24 jam)
gigi dengan Ibuprofen 400 mg setiap 6 jam secara teratur
(maksimum 2.4 g/24 jam) dan Paracetamol 1 g
setiap 6 jam jika diperlukan (maksimum 4
g/24 jam)
gigi
yang Ibuprofen 400 mg setiap 6 jam secara teratur
pengurangan (maksimum 2.4 g/24 jam) dan Paracetamol 1
g/ kombinasi dengan kodein 60 mg setiap 6
jam secara teratur (maksimum 4 g
paracetamol/24 jam)

Nyeri sedang

Pencabutan
operasi

Nyeri berat

Pencabutan
melibatkan
tulang

Ketika kontraindikasi obat-obatan NSAID: Paracetamol 1g atau kombinasi dengan kodein 60


mg setiap 6 jam secara teratur (maksimum 4 g Paracetamol/24 jam). Nyeri sedang untuk
pasien rawat inap. Pencabutan gigi yang sulit atau operasi mayor: Morfin dengan titrasi
intravena atau injeksi intramuskular secara intermiten. Protokol untuk dewasa ini berdasarkan
systematic review kejadian nyeri post-operatif. British National Formulary dan sumber lain
mengandung daftar analgesik yang lebih luas.
Opioid mengikat protein plasma dengan berbagai tingkat afinitas, senyawa ini
dengam cepat meninggalkan darah dan terlokalisasi dengan konsentrasi tertinggi pada
jaringan bersifat yang sangat mudah menyerap (sangat permeabel), seperti paru-paru, hati,

ginjal dan limpa. Opioid dikonversi menjadi metabolitnya, yang kemudian dapat
diekskresikan oleh ginjal.
Tidak seperti analgesik non-opioid, yang terutama diberikan secara oral, analgesik
opioid diberikan melalui berbagai rute. Tersedianya bentuk sediaan yang lebih terkonsentrasi,
sediaan opioid oral dengan pelepasan yang terkontrol dan sediaan opioid transdermal
merupakan beberapa penemuan terbaru yang paling penting dalam pengobatan analgesia
opioid.
Pemberian analgesik opioid secara peroral marupakan administrasi yang paling
umum. Sediaan cair opioid diserap lebih cepat daripada tablet yang solid. Meskipun
penyerapan dari saluran pencernaan mungkin cepat, bioavailabilitas beberapa senyawa yang
diambil oleh rute ini dapat sangat berkurang karena metabolisme lintas pertama yang
signifikan oleh glukuronidasi di hati. Oleh karena itu, dosis oral yang diperlukan untuk
memperoleh suatu efek terapi mungkin jauh lebih tinggi dari yang diperlukan pada pemberian
secara parenteral.
Administrasi melalui rektal dapat digunakan untuk pasien yang tidak dapat menelan
atau ketika injeksi intravena tidak tersedia. Terdapat banyak formulasi supositoria yang
tersedia.
Opioid juga dapat diberikan secara intramuskular dimana obat disuntikkan ke dalam
otot, yang paling sering pada otot deltoid atau otot vastus lateralis. Pemberian analgesik
dengan rute intramuskular tidaklah ideal sebagaimana injeksi intramuskular mungkin
menyakitkan atau tidak dapat diterima untuk beberapa pasien, selain itu penyerapan obat
secara intramuskular bervariasi dan tidak dapat ditebak. Administrasi opioid lebih baik
diberikan melalui rute intravena, meskipun mungkin perlu dilakukan pelatihan kepada
perawat. Rute pemberian secara intravena harus selalu dilakukan secara perlahan untuk
meminimalkan efek samping. Seorang pasien dengan nyeri akut berat harus menerima opioid
seperti morfin dengan titrasi intravena melawan skor nyeri yang mereka laporkan hingga skor
nyeri ini berkurang ke tingkat yang dapat diterima. Hal ini merupakan suatu praktik yang
umum pada daerah pemulihan akut dari rangkaian operasi. Penatalaksanaan ini mungkin
diikuti dengan pemberian infus meskipun umunya pasien dipindahkan ke area bangsal
dimana mereka menerima injeksi morfin intramuskular yang intermiten. Administrasi opioid
intravena membutuhkan perawat yang terampil, dukungan farmasi, serta diperlukan pompa
infus untuk administrasi yang kontinyu atau administrasi yang terkontrol.
Ketika rute transdermal digunakan, opioid diserap melalui permukaan kulit. Fentanyl
tersedia dalam sistem pelepasan obat secara transdermal yang menyediakan administrasi
opioid secara kontinyu tanpa menggunakan pompa atau jarum. Opioid transdermal memiliki
kontraindikasi untuk digunakan dalam nyeri akut pasca operasi sebagaimana obat ini bersifat
slow release dan memiliki insidensi efek samping yang tinggi.
Manfaat
Efektivitas opioid dalam penanganan nyeri akut telah dilaporkan dalam sejumlah
penelitian acak terkontrol dan tinjauan sistematik. NNT umumnya digunakan untuk
mengukur efektivitas suatu agen analgesik. NNT merupakan jumlah pasien yang mencapai
setidaknya sebanyak 50% pengurangan nyeri dibandingkan dengan plasebo. Semakin kecil
angka NNT, maka analgesik lebih efektif.

Morfin dianggap sebagai gold standard untuk pengelolaan nyeri akut. 10 mg dosis
morfin intramuskular diakui sebagai analgesik yang sangat efektif untuk nyeri pasca operasi
dengan NNT 2,9 (2,6-3,6).
Pasien dapat mengontrol nyeri pasca operasi dengan administrasi mandiri opioid
(seperti morfin) secara intravena, menggunakan perangkat yang dirancang untuk tujuan ini.
Hal ini dikenal sebagai analgesia yang dikendalikan pasien (Patient-Controlled Analgesia)
atau PCA. Penanganan nyeri pasca operasi dengan PCA melibatkan administrasi mandiri
opioid intravena dosis rendah dengan menggunakan pompa yang dapat diprogram, yang
dirancang khusus untuk tujuan ini. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa
seringkali pasien lebih memilih PCA daripada penanganan nyeri dengan metode
konvensional seperti administrasi analgesik oleh perawat atas permintaan pasien.
Sebuah review sistematis Cochrane oleh Hudcova dkk. menunjukkan bahwa PCA
memungkinkan kontrol nyeri yang sedikit lebih baik dan meningkatkan kepuasan pasien
dibandingkan dengan metode konvensional. Pasien cenderung menggunakan dosis yang lebih
tinggi dengan PCA dan meningkatkan terjadinya rasa gatal, tetapi di sisi lain kedua kelompok
memiliki adverse effect yang hampir sama. Namun PCA jarang diperlukan untuk menyertai
prosedur bedah mulut.
Dosis oral tunggal 30 mg dihidrokodein memiliki NNT 8,1 (4,1-540) dan tidak
menghasilkan efek analgesia yang efektif untuk nyeri akut pasca operasi. Dihidrokodein dosis
30 mg juga telah terbukti kurang efektif secara signifikan dari 400 mg ibuprofen dengan NNT
2,5 (2,4-2,7). Data ini namun berdasarkan review sistematis Cochrane yang hanya melibatkan
tiga percobaan.
Sebuah review Cochrane oleh Derry et al. mempelajari bahwa kasus yang diperiksa
dari 2.411 orang dewasa dengan nyeri sedang sampai berat pasca operasi dalam penelitian
yang membandingkan dosis tunggal kodein 60 mg dengan plasebo. Jumlah individu yang
mencapai jumlah yang berhasil secara klinis pada pengurangan rasa nyeri (setidaknya 50%)
dengan kodein dibandingkan dengan plasebo hanyalah sedikit. Dalam semua jenis operasi, 12
peserta akan memerlukan pengobatan dengan kodein 60 mg untuk mengurangi rasa nyeri,
yang tidak akan terjadi pada penggunaan plasebo. Para penulis memisahkan uji dengan
memanfaatkan model nyeri gigi. Menyertai operasi gigi, NNT nya adalah 21 (12-96) (15
penelitian, 1146 peserta). Para penulis menyimpulkan bahwa dosis tunggal kodein 60 mg
memberikan efek analgesia yang baik untuk beberapa individu, tetapi tidak lebih
menguntungkan dibandingkan dengan alternatif yang umum digunakan seperti parasetamol,
NSAID dan kombinasinya dengan kodein, khususnya setelah operasi gigi.
Kodein yang dikombinasikan dengan parasetamol merupakan analgesik yang efektif
untuk manajemen nyeri pasca operasi dengan NNT untuk dosis tunggal 1000 mg parasetamol
dengan 60g kodein adalah 2,2 (1,8-2,9) berdasarkan data dari 197 pasien.
Tramadol telah terbukti menjadi analgesik yang efektif mengendalikan nyeri pasca
operasi. Dosis tunggal 100 mg tramadol peroral setara dengan 1000 mg parasetamol. Dosis
100 mg ditemukan memiliki NNT sebesar 4,6 (3.6-6.4). Dalam uji coba ekstraksi gigi,
tampaknya terjadi peningkatan pelaporan efek samping seperti muntah, mual dan pusing.

Bahaya
Ketakutan tenaga kesehatan dan pasien mengenai kecanduan opioid ataupun efek
sampingnya merupakan faktor yang menyebabkan keengganan untuk mengkonsumsi atau
menggunakan opioid meskipun sudah tepat dosis. Seperti halnya obat lain, opioid juga
memiliki efek samping. Hal yang penting untuk disadari bahwa efek samping ini dapat
dikelola dengan tepat melalui pemberian dosis yang teliti dan hati-hati, konseling pasien dan
pengobatan gejala simtomatik. Ketakutan terhadap efek samping opioid seharusnya tidak
berarti harus meniadakan penanganan nyeri yang memadai.
Mual dan muntah merupakan efek samping yang dapat diprediksi dan terjadi pada
banyak pasien, terutama mereka yang menderita nyeri akut. Mekanisme ini dianggap sebagai
stimulasi reseptor opioid dalam zona pemicu kemoreseptor di area postrema medula. Namun,
profilaksis antiemetik dapat diresepkan untuk melawan efek samping ini.
Efek opioid pada sistem pencernaan dalam menunda pengosongan lambung dan
mengubah tonus usus dan motilitasnya juga dapat menambah efek mual dan muntah. Tonus
usus meningkat dan kontraksi menurun, sehingga terjadi konstipasi. Untuk terapi opioid
jangka pendek, pasien harus dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi air dan asupan serat
dalam tubuh; pencahar juga dapat diresepkan. Secara umum dapat diketahui bahwa morfin
tidak boleh digunakan untuk pasien dengan operasi yang selesai dalam satu hari karena
potensi untuk mual dan muntah yang tinggi.
Gatal cenderung tidak menjadi masalah berat ketika opioid digunakan untuk
menghilangkan nyeri akut, tetapi jika diperlukan, maka antihistamin berguna untuk mengatasi
ini. Antihistamin tanpa sedatif/penenang dianjurkan untuk menghindari peningkatan opioid
menyebabkan kantuk.
Beberapa pasien mungkin mengeluh mengantuk saat menjalani perawatan opioid,
meskipun respon masing-masing individu sangatlah bervariasi. Opioid tertentu, seperti
morfin, bisa lebih bersifat sedatif/menenangkan daripada yang lain. Kantuk dapat
mempengaruhi kinerja aktivitas yang memerlukan keterampilan seperti mengemudi, karena
adanya peningkatan efek alkohol.
Euphoria sering dilaporkan meskipun dysphoria juga dapat terjadi. Morfin dan
sebagian besar agonis dan menyebabkan konstriksi pupil oleh aksi rangsang pada inervasi
saraf parasimpatik.
Opioid menyebabkan penghambatan pusat batang otak respiratori yang menyebabkan
penurunan laju pernapasan dan volume tidal. Depresi pernafasan dapat menjadi parah apabila
pusat pernapasan menjadi kurang responsif terhadap karbon dioksida. Dosis terapi opioid
memiliki sedikit efek pada tekanan darah, denyut atau irama jantung pada pasien yang sedang
dalam posisi supine. Tetapi hipotensi mungkin timbul pada pasien yang sedang dalam posisi
berdiri. Overdosis opioid dapat dikelola dengan memberikan nalokson intravena. Nalokson
adalah antagonis reseptor opioid ; blokade yang cepat dari reseptor tersebut menghasilkan
pembalikan cepat pada gejala.
Interaksi
Analgesik opioid memiliki interaksi dengan obat resep dan non-resep lainnya,
termasuk alkohol. Dokter disarankan untuk berkonsultasi dengan British National Formulary

atau forum internasional lain yang setara untuk menentukan pentingnya dan sifat potensial
interaksi obat untuk pasien.
Terapi
Pilihan opioid sebagian besar dipengaruhi oleh praktik resep tradisional yang berlaku di
setiap negara. Diamorfin, misalnya, tidak pernah digunakan secara medis di negara-negara
Eropa dan Amerika Serikat tapi digunakan di Inggris. Namun, opioid yang lebih umum
digunakan di Inggris dan bagian lain dari dunia adalah kodein, dihidrokodein, tramadol dan
morfin.
Kodein
Kodein (3-methylmorphine) berguna dalam mengendalikan nyeri ringan sampai sedang. Obat
ini diserap dengan baik secara peroral bila dibandingkan dengan morfin yang memiliki
afinitas rendah terhadap reseptor opioid. Kira-kira, 10% dari obat didemetilasi di hati menjadi
morfin, yang bertanggung jawab untuk efek analgesik. Kodein dijual baik sebagai sediaan
tunggal maupun dalam sediaan kombinasi dengan parasetamol sebagai co-codamol,
ibuprofen sebagai Neurofen-Plus. Kombinasi ini memberikan pengurangan nyeri yang lebih
baik daripada agen-agen tersebut sendiri. Efek analgesik tidak meningkat pada dosis yang
lebih tinggi. Tidak seperti morfin, kodein menyebabkan hanya sedikit atau tanpa adanya
euforia dan jarang bersifat adiktif. Kodein memiliki bioavailabilitas oral sekitar 50%, jauh
lebih tinggi dari morfin yaitu 25% tetapi tidak setinggi tramadol yaitu 75%. Beberapa obat
memiliki kemampuan untuk memblokir konversi kodein menjadi morfin di dalam hati; hal ini
termasuk inhibitor reuptake serotonin selektif dan beberapa antihistamin (diphenhydramine).
Di Inggris, kodein dan kombinasi kodein dengan kekuatan yang lebih tinggi, seperti
30/500 co-codamol (30 mg kodein fosfat dikombinasikan dengan 500 mg parasetamol)
merupakan obat khusus dengan resep dokter. Kombinasi dengan kekuatan yang lebih rendah,
seperti 8/500 atau 12,8/500 tersedia sebagai obat farmasi. Kodein juga digunakan sebagai
antitusif dan sebagai agen antidiare (tidak umum digunakan).
Depresi pernafasan tidak signifikan secara klinis dengan dosis normal; Namun,
kodein dikaitkan dengan konstipasi. Waktu paruh eliminasi kodein adalah 2,9 jam.
Dosis dewasa untuk kodein adalah 30-60 mg setiap 4 jam secara peroral sampai
maksimal 240 mg sehari. Kodein juga bisa diberikan melalui suntikan intramuskular dengan
dosis 30-60 mg setiap 4 jam.
Dihidrokodein
Dihydrocodeine secara farmakologi sangat mirip dengan kodein sehingga tidak memiliki
keuntungan besar atau kerugian yang mendasar dibanding kodein. Paruh waktu obat ini
adalah 4 jam
Dosis: oral 30 mg setiap 4-6 jam. Anak diatas 4 tahun 0,5-1 mg/kg setiap 4-6 jam.
Subkutan/Intramuskular (SC/IM): Dewasa 50 mg setiap 4-6 jam. Anak diatas 4 tahun 0,5-1
mg/kg setiap 4-6 jam.

Tramadol
Tramadol hidroklorid adalah analgesik opioid sintetik yang bekerja secara terpusat,
digunakan untuk mengobati nyeri sedang sampai berat. Di Eropa, obat ini telah digunakan
sejak tahun 1970-an untuk berbagai range kondisi nyeri, dan di Amerika Serikat sejak 1980an akhir.
Tramadol memiliki selektivitas untuk reseptor dan inhibitor lemah dari reuptake
noradrenalin dan serotonin. Hal ini menyerupai aksi antidepresan trisiklik dan tramadol
berpotensi menurunkan jalur penghambatan. Aksi ini sudah terbukti berkhasiat dalam
penanganan nyeri kronis.
Tramadol tidak memiliki efek depresan respiratori klinis yang signifikan, dan
meskipun umumnya ditoleransi dengan baik, tramadol tetap dapat menyebabkan mual dan
muntah, pusing dan mengantuk. Di banyak negara, tramadol bukanlah obat yang perlu
dikendalikan karena memiliki potensi rendah untuk penyalahgunaan dan kecanduan.
Tramadol telah digunakan untuk nyeri pasca bedah mulut. Tramadol mengalami metabolisme
di hati, dengan metabolit yang diekskresikan oleh ginjal. Ia memiliki waktu paruh 7 jam.
Dosis: Dewasa/Anak diatas 12 tahun
Peroral 50-100 mg tidak lebih sering dari setiap 4 jam
IM/intravena (IV) 50-100 mg setiap 4-6 jam
Untuk penanganan nyeri pasca operasi, British Notational Formularium merekomendasikan
100 mg pada awalnya kemudian 50 mg setiap 10-20 menit jika perlu selama jam pertama
dengan total maksimum 250 mg (termasuk dosis awal) di jam pertama, kemudian 50-100 mg
setiap 4-6 jam; max 600 mg sehari.
Morfin
Morfin merupakan opioid yang paling umum digunakan untuk nyeri akut. Nama ini berasal
dari Morpheus, dewa mimpi Yunani. Morfin tetap merupakan gold standard dibandingkan
dengan opioid yang lainnya.
Penyerapan morfin melalui peroral bervariasi; oleh karena itu, biasanya diberikan
melalui suntikan intravena ataupun intramuskular. Kebanyakan obat-obatan seperti morfin
melalui first pass metabolism, oleh karenanya memiliki efektivitas yang kurang poten bila
digunakan secara peroral dibandingkan dengan injeksi. Waktu paruh morfin adalah 2-3 jam.
Metabolisme hati merupakan mode utama untuk inaktivasi, sementara metabolit
diekskresikan melalui urin.
PCA mengacu pada metode penghilang nyeri yang menggunakan perangkat
elektronik atau perangkat disposable dan memungkinkan pasien untuk mengadministrasikan
obat analgesik secara mandiri. Sementara PCA dapat digunakan untuk berbagai kelompok
analgesik, PCA paling umum digunakan untuk morfin. Konsumsi opioid mungkin lebih
tinggi ketika menggunakan PCA dengan administrasi konvensional tetapi insidensi efek
samping akan sama.
Dosis
IM/SC - 10 mg setiap 4 jam. (5 mg pada lansia/individu lemah)

Diamorfin
Diamorfin (heroin) merupakan opioid semi sintetik tanpa aktivitas reseptor . Obat ini
dikonversi secara cepat menjadi metabolit aktif yang selanjutnya dimetabolisme menjadi
morfin. Diamorfin tidak digunakan untuk keperluan medis di Amerika Serikat maupun
beberapa negara Eropa, akan tetapi digunakan di Inggris. Perbedaan ini murni berdasarkan
kebiasaan saja.
Anak-anak
Kodein 1-12 tahun 3 mg/kg sehari dibagi dalam beberapa dosis.
Dihidrokodein Oral: anak diatas 4 tahun 0,5-1 mg/kg setiap 4-6 jam.
SC/IM: Anak diatas 4 tahun 0,5-1 mg/kg setiap 4-6 jam
Tramadol tidak dianjurkan untuk anak di bawah 12 tahun
Morfin 12-18 tahun - 2,5-10 mg setiap 4 jam.
Hamil dan menyusui
Opioid harus dihindari pada pasien hamil atau menyusui.
Opioid harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan fungsi pernapasan yang
terganggu, harus dihindari pada pasien dengan PPOK dan pasien dengan cedera kepala
sebelum pemeriksaan neurologis lengkap.
Opioid harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan hipotensi, stenosis
uretra, myasthenia gravis, hipertrofi prostat, gangguan usus obstruktif atau inflamasi usus,
penyakit pada saluran empedu dan gangguan kejang. Pengurangan dosis dianjurkan pada
pasien usia lanjut, hipotiroidisme dan insufisiensi adrenokortikal. Dosis opioid sebaiknya
dikurangi pada pasien dengan gangguan ginjal/hati atau bahkan dihindari sama sekali.
Penggunaan ulang analgesik opioid terkait dengan perkembangan ketergantungan
psikologis dan fisik; Namun, jarang terjadi masalah mengenai penggunaan terapeutik dan
tidak ada masalah dengan penanganan nyeri pasca operasi. Kehati-hatian disarankan jika
meresepkan pasien dengan riwayat ketergantungan obat.
Ringkasan
Pasien dengan nyeri sedang hingga berat seringkali kurang penanganan di negara
berkembang karena opioid, yang merupakan andalan sebagai pereda nyeri dalam kasus
tersebut, sebagian besar tidak dapat diakses. Opioid dikategorikan sebagai zat yang
dikendalikan, karena itu dilakukan kontrol ketat pada zat ini. Hal ini menimbulkan tantangan
kesehatan masyarakat yang besar.
Terbentuknya kecanduan pada pasien yang mengonsumsi opioid untuk nyeri akut
sangatlah jarang, dan penggunaannya tidak harus dibatasi karena kekhawatiran ini. Pasien
mungkin memerlukan kepastian tentang hal ini.
Morfin sangat tepat untuk nyeri berat yang dialami oleh pasien rawat inap yang
menjalani operasi bedah mulut, idealnya diberikan secara intravena atau alternatif dengan
injeksi intramuskular. Kodein sangat efektif bila dikombinasikan dengan parasetamol dan
cocok untuk kasus bedah mulut rawat jalan yang mengalami nyeri sedang sampai berat.

Anda mungkin juga menyukai