Anda di halaman 1dari 6

A.

DEFINISI PSIKOFARMAKOLOGI
Dalam bahasa Yunani Pharmako berarti obat. Psikofarmakologi adalah
bidang yang mempelajari efek obat-obatan terhadap system syaraf dan perilaku. Kata
obat sendiri memiliki beberapa arti yang berbeda, namun yang akan dibahas dengan
artian obat adalah zat kimia eksogen yang tidak dibutuhkan untuk berfungsinya sel
secara normal dan secara signifikan mengubah fungsi sel-sel tertentu ditubuh sewaktu
diterima dalam dosis relative rendah.
Obat memiliki efek dan tempat kerja. Efek obat-obatan adalah perubahan-
perubahan yang teramati pada proses-proses fisiologis dan perilaku hewan.
Selanjutnya, tempat kerja adalah lokasi dimana molekul-molekul obat berinteraksi
dengan molekul-molekul yang terletak pada atau di dalam sel-sel tubuh, sehingga
memengaruhi sejumlah proses biokimiawi sel-sel ini.
B. PRINSIP-PRINSIP PSIKOFARMAKOLOGI
a) Farmakokinetika
Obat-obatan yang masuk kedalam tubuh harus mencapai tempat
kerjanya agar dapat bekerja dengan efektif, proses penyerapan, penyebaran
dalam tubuh, metabolisasi, dan ekskresi obat-obatan disebut sebagai
farmakokinetika (‘pergerakan obat-obatan’).
Rute penerimaan Obat
Bagi hewan-hewan laboratorium, rute paling umum adalah
penyuntikan. Obat dilarutkan dalam cairan (atau, dalam beberapa kasus,
disuspensi dalam cairan dalam bentuk partikel halus) dan disuntikkan melalui
sebuah jarum hipodermik.
1. Suntikan Intravena (IV) yaitu penyuntikan ke dalam vena dan merupakan rute
tercepat.
2. Suntikan Intraperitoneal (IP) yaitu penyuntikan zat ke dalam rongga
peritoneal-rongga yang mengelilingi lambung, usus, hati, dan Organ-organ
perut lain, namun tidak secepat suntikan IV.
3. Suntikan Intramuskular (IM) yaitu penyuntikan zat dalam otot.
4. Suntikan Subkutan (SK) yaitu penyuntikan zat ke dalam rongga di bawah
kulit.
Rute penerimaan obat lainnya adalah pemberian secara oral yang
merupakan bentuk pemberian obat yang paling umum pada manusia. Lalu,
pemberian secara sublingual, yaitu pemberian zat dengan cara menempatkan
di bawah lidah. Ada pula pemberian obat secara Intrarektal, yaitu pemberian
zat kedalam rectum. Paru-paru juga menyediakan rute dalam pemberian obat
yaitu Inhalasi. Sejumlah obat dapat diserap langsung melalui kulit sehingga
dapat diberikat secara topikal.
Obat dapat diberikan secara langung ke dalam otak, sebagaimana
perintang darah-otak mencegah zat-zat tertentu memasuki otak. Bila kita ingin
obat-obatan ini mencapai otak, mereka harus diberikan secara langsung ke
dalam otak atau kedalam cairan serebrospinal dalam system ventrikular otak.
Pemberian zat secara langsung ke otak tersebut disebut sebagai pemberian
oabt secara intraserebral. Agar obat menyebar luas di otak, peneliti akan
melewati perintang darah otak dengan cara menyuntikan obat itu ke dalam
ventrikel selebrum. Obat itu kemudian diserap ke dalam jaringan otak dan
menimbulkan efek-efeknya disitum rute ini, pemberian secara
intraserebroventikular (ISV), sangat jarang digunakan pada manusi terutama
untuk memberikan antibiotic secara langsung ke otak guna menangani
beberapa tipe infeksi tertentu.
Masuknya Obat Ke Dalam Otak
Obat akan memberikan efek hanya ketika mencapai tempat kerjanya,
dimana kebanyakan dalam kasus obat-obatan yang memengaruhi perilaku,
kebanyakan tempat ini berlokasi pada atau di dalam sel-sel tertentu system
syaraf pusat. Dengan kekecualian pemberian obat secara Intraserebral atau
Intraserebroventrikular , rute-rute pemberian obat berbeda hanya dalam hal
kecepatan obat mencapai plasma darah (bagian cair darah).Faktor terpenting
yang menentukan laju obat dalam aliran darah mencapai tempat kerja di
dalam otak adalah kelarutannya dalam lipid. Perintang darah-otak adalah
perintang hanya bagi molekul-molekul terlarut air. Molekul-molekul terlarut-
air. Molekul-molekul yang terlarut dalam lipid melewati sel-sel yang melapisi
kapiler-kapiler di sistem syaraf pusat dan mereka menyebar cepat ke seluruh
otak.
Inaktivasi Dan Ekskresi
Perlu kita ketahui bahwa obat-obatan tidak selamanya berada di dalam
tubuh kita. Banya yang telah dideaktivasi oleh enzim dan semua pada
akhirnya dieksresikan, terutama oleh ginjal. Hati memainkan peran yang
sangat aktif dalam deaktifasi enzimatik obat-obatan, tetapi sebagian enzim
pendeaktivasi juga ditemukan dalam darah. Otak juga mengandung enzim-
enzim yang menghancurkan sebagian otak. Dalam beberapa kasus, enzim-
enzim mengubah molekul-molekul obat menjadi bentuk-bentuk yang juga
aktif secara biologis. Terkadang, molekul hasil perubahan itu bahkan lebih
aktif daripada yang diberikan. Dalam kasus-kasus semacam itu, efek obat
mungkin bertahan lebih lama.
b) Keefektifan Obat
Obat memiliki keefektifan yang bervariasi. Efek dari dosis kecil suatu
obat yang relatif efektif dapat menyamai atau melebihi efek dari dosis besar
suatu obat yang relatif tidak efektif. Cara terbaik mengukur keefektifan suatu
obat adalah memplot kurva dosis-respons. Kebanyakan obat memiliki lebih
dari satu efek. Dokter yang meresepkan obat opiat untuk mengurangi nyeri
pasien perlu memberikan dosis yang cukup besar untuk menyebabkan
analgesia, tetapi tidak boleh cukup besar agar detak jantung dan pernapasan
tidak terdepresi ¾efek-efek yang dapat mematikan. Selisih anatara kurva
dosis-respon untuk efek analgesik dan kurva dosis-respon untuk efek depresif
menjadi indikasi margin keselamatan obat tersebut, dan obat yang paling
dikehendaki adalah yang memiliki margin keselamatan besar. Salah satu
pengukur marjin keselamatan obat adalah indeks terapiutik-nya, yaitu rasio
antara dosis yang mrnghasilkan efek yang diingikan pada 50 persen hewan
dan dosis yang menghasilkan efek toksik pada 50 persen hewan.
Alasan mengapa keefektifan obat dapat berbeda-beda yaitu, pertama,
obat yang ¾berbeda-beda bahkan memiliki efek-efek perilaku yang
sama¾mungkin bekerja di tempat yang berbeda, yang kedua, keefektifan obat
berbeda-beda ada kaitannya dengan afinitas obat terhadap tempat kerjanya.
Kebanyakan obat yang menjadi perhatian psikofarmakolog memberikan efek
dengan cara berkaitan dnegan molekul-molekul lain yang terletak di system
saraf pusat¾dengan reseptor-reseptor prasinapsis atau pascasinapsis, dengan
molekul-molekul transporter, atau dengan enzim-enzim yang terlibat dalam
produksi atau deakivasi neurotransmiteter.
Obat-obatan sangat berbeda-beda dalam hal afinitas terhadap molekul-
molekul yang mereka lekati ¾kemudahan kedua molekul itu bergabung. Obat
dengan afinitas yang tinggi sudah memberikan efek pada dosis rendah,
sementara obat dengan afinitas yang rendah harus diberikan dalam dosis yang
lebih tinggi. Dengan demikian, bahkan dua oabt dengan tempat kerja yang
persis sama dapat sangat berbeda dalam hal keefektifan apabila afinitas
masing-masing berbeda-beda terdapat situs pengikatan. Sebagai tambahan,
oleh karena kebanyakan obat memiliki efek majemuk, obat dapat saja
memiliki afinitas tinggi terhadap sebagian tempat kerjanya, tetapi afinitas
rendah terhadap tempat kerja lain. Obat yang paling dikehendaki adalah yang
berafinitas tinggi terhadap tempat kerjanya yang menimbulkan efek-efek
terapeutik, tetapi afinitas rendah terhadap tempat kerjanya yang menimbulkan
efek-efek samping berbahaya.
c) Efek Pemberian Obat Berulang-ulang
Obat yang diberikan secara berulang-ulang, efeknya tidak akan selalu
sama dan pada kebanyakan kasus efeknya akan berkurang, yaitu fenomena di
kenal sebagai toleransi. Dan pada kasus-kasus lain obat justru menjadi
semakin efektif, yaitu fenomena yang dikenal sebagai sensitisasi.
Toleransi teramati pada banyak obat yang kerap disalahgunakan
(sebagai contoh orang yang mengkonsumsi heroin). Begitu orang itu telah
menggunakan heroin secara cukup teratur sehingga terbentuk toleransi, oreng
itu akan mengalami gejala-gejala putus obat (withdrawal, atau ketagihan) bila
ia mendadak berhenti menggunakan obat itu. Gejala-gejala putus obat
disebabkan oleh mekanisme yang sama dengan yang menyebabkan toleransi.
Toleransi adalah akibat usaha tubuh mengompensasi efek-efek obat. Dengan
kata lain, kebanyakan system tubuh, termasuk yang dikendalikan oleh otak,
diregulasi sehingga bertahan pada nilai optimal. Sewaktu efek-efek suatu obat
mengubah system-sistem ini untuk waktu lama, mekanisme kompensasi mulai
menghasilkan reaksi yang berlawanan, setidaknya mengompensasi sebagian
gangguan dari nilai optimal. Mekanisme-mekanisme ini menyebabkan
semakin banyak obat yang harus digunakan untuk mencapai tigkat efek
tertentu. Ketika orang tersebut berhenti menggunakan obat itu, mekanisme
kompensasi pun terasa dengan hebat karena tidak ada kerja obat yang
melawannya.
Penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa jenis mekanisme
kompensasi. Seperti yang kita ketahui, banyak obat yang mempengaruhi otak
dengan cara berikatan dengan reseptor-reseptor dan mengaktivasi mereka.
Mekanisme kompensasi pertama melibatkan penurunan keefektifan
pengikatan semacam itu entah itu reseptor menjadi kurang peka terhadap obat
(dengan kata lain afinitasnya terhadap obat iru berkurang) atau jumlah
reseptor berkurang. Mekanisme kompensasi kedua melibatkan proses yang
memasangkan reseptor dengan saluran ion di membrane atau dengan produksi
duta kedua. Setelah stimulasi lama terhadap reseptor-reseptor itu, satu atau
lebih langkah dalam proses berpasangan menjadi kurang efektif. Tentu saja
kedua mekanisme ini bisa saja terjadi bersamaan.
Seperti yang kita ketahui, banyak obat memiliki beberapa tempat kerja
berbeda sehingga menyebabkan bebberapa efek berbeda. Ini berarti, sebagia
efek obat itu mungkin di toleransi, sementara sebagian lagi tidak. Misalnya,
barbiturate menyebabkan sedasi sekaligus mendepresi neuron-neuron yang
mengendalikan pernapasan. Efek-efek sedasi menunjukkan toleransi, tetapi
depresi pernapasan tidak. Ini berarti, bila semakin besar dosis barbiturate yang
digunakan demi mencapai tingkat sedasi yang sama, orang itu beresiko
menggunakan obat tersebut pada dosis yang membahayakan. Sensitisasi, tentu
saja, merupakan kebalikan dari pada toleransi: Dosis berulang-ulang suatu
obat menyebabkan efek yang semakin besar. Oleh karena itu mekanisme
kompensasi cenderung membenarkan peyimpangan yang menjauhi nilai-nilai
optimal proses-proses fisiologis, sensitisasi lebih jarang dari pada toleransi.
d) Efek Plasebo
Plasebo adalah zat tidak berbahaya yang tidak memiliki efek
fisiologis. Kata itu berasal dari kata latin Placere, ‘membuat senang’. Namun
walaupun placebo tidak memiliki efek placebo spesifik, bukan berarti placebo
tidak punya efek. Bila seseorang berpikir placebo itu memiliki efek fisiologis,
maka pemberian placebo dapat betul-betul mengahasilkan efek tersebut.

Anda mungkin juga menyukai