Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

GANGGUAN KONVERSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani


Kepanitraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh

Disusun Oleh:
Aulia Dirma
2007501010003

Pembimbing:
dr. Malawati, Sp. KJ

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BLUD RUMAH SAKIT JIWA ACEH
BANDA ACEH
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini.
Selanjutnya shalawat dan salam penulis panjatkan kepangkuan Nabi Muhammad
SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang
penuh dengan ilmu pengetahuan.
Adapun referat dengan judul “Gangguan Konversi” ini diajukan sebagai
salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada bagian/SMF
Ilmu Kedokteran Jiwa RSJ Aceh, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Malawati, Sp.KJ
yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing penulis untuk penulisan
tugas ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan rekan-
rekan yang telah memberikan dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat
selesai pada waktunya. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
referat ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca sekalian demi kesempurnaan referat ini. Harapan penulis
semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
umumnya dan profesi kedokteran khususnya. Semoga Allah SWT selalu
memberikan Rahmad dan Hidayah-Nya bagi kita semua.

Banda Aceh, Februari 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
DAFTAR TABEL...................................................................................... iv
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1
BAB II Tinjauan Pustaka
2.1. Definisi.................................................................................... 3
2.2. Epidemiologi........................................................................... 3
2.3. Etiologi.................................................................................... 4
2.4. Klasifikasi............................................................................... 5
2.5. Faktor Risiko........................................................................... 7
2.6. Gejala Klinis........................................................................... 8
2.7. Diagnosis ............................................................................... 12
2.8. Diagnosis Banding.................................................................. 14
2.9. Tatalaksana............................................................................. 16
2.10. Prognosis............................................................................... 16

BAB IIIKesimpulan.................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 19

iii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Membedakan karakteristik gejala-gejala gangguan konversi...........13

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan konversi adalah penyakit kejiwaan yang mempunyai


karakteristik gejala dan tanda yang dapat meyebabkan defisit fungsi motorik
volunter dan sensorik tubuh yang tidak dapat dijelaskan secara ilmu neurologis
maupun medis secara umum. Gangguan konversi disebut juga sebagai gangguan
gejala neurologis fungsional. Faktor-faktor psikologis seperti konflik dan stress
diketahui sebagai penyebab terjadinya defisit. Sigmund Freud merupakan orang
pertama yang menemukan istilah gangguan konversi setelah mengemukakan
hipotesa bahwa gejala-gejala tertentu ysng tidak dapat dijelaskan sebagai
gangguan organik mencerminkan konflik yang tidak disadari.Kata konversi
ditujukan pada penggantian ide atau emosi yang ditekan menjadi gejala somatik.(1)
Gangguan konversi merupakan masalah kejiwaan yang paling sering
ditemukan oleh psikiatri di negara berkembang. Pada tahun 2007, data di Pakistan
menunjukkan prevalensi gangguan konversi pasien rawat inap dan rawat jalan di
Departemen kejiwaan sebanyak 12,4% dan 4,8% sementara di India dan Turki
sebanyak 31% dan 27,2%.(2) Kasus gangguan konversi paling banyak ditemukan
pada remaja dan dewasa muda. Prevalensi ditemukan lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pria serta pada kelompok dengan penghasilan dan pendidikan lebih
rendah.(2)
Konflik dan stressor psikologis dapat secara langsung menyebabkan
gangguan konversi. Kekerasan fisik, mental, dan emosional seperti kekerasan di
tempat kerja, trauma psikis saat kecil, kehilangan orang tua saat kanak-kanak, dan
kekerasan seksual berpengaruh besar terhadap terjadinya gangguan konversi.
Penelitian sebelumnya menunjukkan pasien dengan gangguan konversi yang
mengalami trauma masa kecil dan kekerasan fisik serta seksual sebanyak 46% dan
33%.(2)
2

Mekanisme yang terlibat pada gangguan konversi yang telah dikemukakan


oleh Sigmund Freud meliputi peristiwa menyedihkan yang bersifat tidak dapat
diterima, konflik dan kecemasan yang tidak dapat diterima pasien sehingga
direpresentasikan oleh pasien agar konflik tersebut tidak disadari pasien.
Kecemasan yang dialami semakin meningkat dan terkonversi menjadi gejala fisik.
Pada akhirnya, gejala fisik yang dialami menguntungkan pasien karena
mendapatkan perhatian dan simpati dari lingkungan sekitar dan dapat menghindari
tugas-tugas sulit yang dipertimbangkan sebagai keuntungan sekunder.(2)
Diagnosis gangguan konversi dapat ditegakkan dengan anamnesa psikiatri
secara menyeluruh meliputi onset timbulnya gejala, keterlibatan stressor serta
adanya kondisi komorbid. Gangguan konversi biasanya dimulai dengan stressor,
trauma, atau tekanan psikologis yang bermanifestasi pada gejala fisik. Gejala yang
dapat timbul yaitu kebutaan, kelumpuhan, kesulita menelan, dan tidak bisa
berbicara.(3)
Tujuan utama penatalaksanaan gangguan konversi adalah pembentukan
ikatan terapi yang kuat dengan pasien. Pasien dengan gangguan konversi pada
umumnya tidak mengerti konflik yang ada di dalam dirinya, yang mungkin terjadi
diluar kesadaran pasien.Pasien dapat mengalami resolusi pada konflik dan gejala
fisik dengan mengetahui hubungan keduanya.(3)
Pilar-pilar penatalaksanaan gangguan konversi meliputi psikoterapi,
fisioterapi, dan medikamentosa. Psikoterapi merupakan terapi yang sangat penting
yang bertujuan untuk menjelaskan dasar-dasar emosional penyebab gejala yang
timbul. Fisioterapi bertujuan untuk mengatasi gejala fisik yang timbul agar tidak
muncul gejala sekunder seperti kelemahan dan kekakuan otot. Terapi
medikamentosa bertujuan untuk mengatasi masalah kejiwaan yang mendasari
terjadinya gangguan konversi meliputi kecemasan dan depresi. Obat yangdapat
diberikan meliputi antidepresan, antiansietas, atau obat lainnya tergantung pada
masalah kejiwaan yang menyertai.(3)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gangguan konversi merupakan gangguan yang ditandai dengan
munculnya gejala neurologis yang tidak dapat dijelaskan baik dari segi medis
maupun neurologis meliputi ingatan masa lampau, kesadaran terhadap identitas
dan penginderaan, dan kontrol gerakan tubuh yang terkait dengan faktor
psikologis seperti stres dan konflik yang dapat menimbulkan disfungsi tubuh
bermakna. Karakteristik utama pada gangguan konversi adalah berkurangnya
fungsi motorik dan sensorik seperti kehilangan penglihatan tiba-tiba, kesulitan
berbicara, kehilangan sensasi, mutisme, dan bangkitan non epileptik. Masalah
yang ditemukan pada gangguan ini bersifat dibawah kendali kesadaran. Gangguan
yang terjadi dapat berlangsung dalam hitungan jam bahkan hari.(2,4,5)

2.2 Epidemiologi

Diperkirakan bahwa 30% pasien saraf memiliki gejala fisik yang tidak
dapat dijelaskan dengan penyebab organik, dan 18% diantara pasien tersebut
selanjutnya didiagnosa dengan gangguan konversi. Prevalensi pasien yang
mengalami gejala mirip gangguan konversi diperkirakan sebanyak 20-25% pada
suatu rumah sakit, 5% diantaranya memenuhi kriteria gangguan konversi.(6)
Gangguan konversi dianggap sebagai diagnosa yang paling sering ditemukan oleh
psikiatri di Negara berkembang. Pada tahun 2007, data di Pakistan menunjukkan
prevalensi gangguan konversi pasien rawat inap dan rawat jalan di Departemen
kejiwaan sebanyak 12,4% dan 4,8% sementara di India dan Turki sebanyak 31%
dan 27,2%.(2) Selain itu, gangguan konversi lebih banyak ditemukan di asia
dibandingkan barat. Prevalensi penderita gangguan konversi di negara barat
diperkirakan sebesar 1-3% pada poliklinik psikiatri sedangkan di Asia mencapai
10%.(7)
Prevalensi gangguan konversi lebih banyak ditemukan pada wanita
daripada pria dengan perbandingan 10:1, paling banyak ditemukan pada remaja
dan dewasa muda.. Individu dengan gangguan konversi memiliki riwayat
3
4

pendidikan dan sosioekonomi lebih rendah, serta lebih banyak ditemukan di


negara berkembang dibandingkan negara maju dengan prevalensi 31%.(2)
2.3 Etiologi
- Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan bahwa gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan
timbul sebagai ekspresi terhadap dorongan terlarang, dorongan tidak sadar, juga
kebutuhan untuk mengalami penderitaan atau mendidentifikasi dengan
kehilangan. Riwayat kekerasan fisik dan seksual pada masa kanak-kanak
diketahui berhubungan dengan terjadinya gangguan konversi. Hal ini
menunjukkan trauma pada masa kecil dapat menjadi faktor risiko pada sebagian
individu. Mekanisme bagaimana stress, trauma, ancaman psikologis atau pikiran-
pikiran yang tidak dapat diterima dapat bermanifestasi pada gejala fisik belum
diketahui, namun gangguan konversi diperkirakan sebagai konsekuensi dari
mekanisme perlindungan diri yang terjadi diluar kesadaran pasien.(6)
- Teori Sosial Budaya
Teori ini memberikan penekanan pada peran jenis kelamin, kepercayaan
beragama, dan pengaruh sosial budaya lainnya yang dapat menghambat atau
menentukan cara-cara untuk mengekspresikan emosi yang dapat diterima. Saat
ini, gangguan konversi lebih banyak ditemukan pada wanita, cenderung
meningkat pada individu dengan status sosioekonomi yang rendah, daerah
pedesaan, dan memiliki pengetahuan terbatas mengenai anatomi dan fisiologi.
Penelitian menunjukkan terdapat perbedaan prevalensi gangguan konversi pada
beberapa kelompok sosial budaya. Di Turkey, Oman, dan India didapatkan gejala
gangguan konversi yang umum dijumpai adalah kejang non epilepsi dan hilang
kesadaran. Di Belanda, gejala yang umum ditemukan adalah disfungsi motorik. Di
Jepang, gejala yang umum dijumpai adalah disfungsi penglihatan.(6)
- Teori pembelajaran dan keuntungan sekunder
Teori ini memberikan penekanan pada peran lingkungan dan penguatan
perilaku. Hal paling penting dalam teori ini adalah konsep keuntungan sekunder
yaitu perilaku mengambil keuntungan dari sakit yang dialami berupa interpersonal
atau finansial yang berperan sebagai konsekuensi pada gejala yang timbul dan
5

mempertahankan gangguan konversi. Dampak dari keuntungan sekunder dapat


terjadi diluar kesadaran pasien.(6)
- Korelasi neurobiologis pada gangguan konversi
Mengetahui mekanisme neurologis pada gangguan psikologis yang
berakibat gejala fisik tidak mudah. Keragaman gejala, kehadiran komorbid seperti
kecemasan dan depresi serta keuntungan sekunder menyebabkan kesulitan dalam
mengetahui mekanisme gangguan konversi. Namun, beberapa penelitian yang
menggunakan pemeriksaan MRI dan CT Scan otak menunjukkan adanya
perubahan aktivitas pada Ganglia Basalis yang fungsinya diketahui sebagai
pengatur emosi. Pola abnormal yang terdapat pada daerah tersebut dapat
menghalangi aktivasi korteks sensorik dan motorik, sehingga dapat disimpulkan
bahwa emosi yang intens dapat mengganggu fungsi otak yang berkaitan dengan
fungsi sensorik dan motorik.(6)

2.4 Klasifikasi
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia edisi ke III (PPDGJ-III), yang termasuk kedalam gangguan konversi
adalah sebagai berikut (5):
- Amnesia Disosiatif
Karakteristik utama pada amnesia disosiatif adalah kehilangan daya ingat
yang bersifat selektif yakni kejadian penting yang baru terjadi, tidak disebabkan
oleh gangguan mental organik serta kelupaan atau kelelahan yang biasa terjadi.
Anamnesis yang cermat perlu dilakukan dalam membedakan amnesia disosiatif
dengan amnesia buatan yang disebabkan oleh simulasi secara sadar atau
malingering karena keduanya paling sulit dibedakan. Oleh karena itu, diperlukan
penilaian mengenai kepribadian premorbid dan motivasi secara detail. Amnesia
buatan pada umumnya berhubungan dengan permasalahan keuangan, bahaya
kematian, serta hukuman penjara dan hukuman mati.
- Fugue Disosiatif
Fugue Disosiatif harus dapat dibedakan dari fugue pasca iktal yang terjadi
setelah bangkitan epilepsi lobus temporalis yang pada umumnya dapat dibedakan
6

dengan jelasberdasarkan riwayat penyakit, tidak ada stressor, serta tujuan


berpergian yang tidak jelas dari seorang penderita epilepsi.
- Stupor Disosiatif
Stupor Disosiatif harus dapat dibedakan dari stupor katatonik yang
terdapat pada skizofrenia dan stpor depresif atau manik pada gangguan afek.
- Gangguan Trans dan Kesurupan
Karakteristik pada gangguan ini adalah adanya kehilangan aspek
penghayatan identitas diri dan kesadaran terhadap lingkungan yang bersifat
sementara. Pada beberapa peristiwa, individu tersebut berperilaku seolah-olah
sedang dikuasai oleh kepribadian lain, kekuatan gaib, malaikat atau kekuatan
lainnya. Yang dimaksud dengan gangguan trans adalah gangguan yang bersifat
involunter, bukan merupakan aktivitas biasa, dan tidak terkait dengan kegiatan
keagamaan maupun budaya. Selain itu, gangguan jiwa tertentu seperti skizofrenia
dan gangguan kepribadian multipel serta penyebab organik seperti trauma kepala,
epilepsi lobus temporalis, dan intoksikasi zat psikoaktif harus disingkirkan.
- Gangguan Motorik Disosiatif
Bentuk yang khas pada gangguan ini adalah ketidakmampuan untuk
menggerakkan anggota gerak baik tangan atau kaki secara sebagian atau
keseluruhan.
- Konvulsi Disosiatif
Konvulsi disosiatif disebut juga sebagai Pseudoseizure yang gerakannya
sangat mirip dengan kejang pada epilepsi. Akan tetapi, pada konvulsi disosiatif
sangat jarang ditemui lidah tergigit, luka yang parah dan mengompol saat terjadi
serangan. Tidak dijumpai juga adanya penurunan kesadaran.
- Anestesia dan kehilangan sensorik disosiatif
Gangguan anestesi yang terdapat pada kulit biasanya memiliki batas tegas
yang mengekspresikan pemikiran pasien terhadap fungsi tubuhnya, bukan
merupakan kondisi yang sebenarnya. Dapat terjadi perbedaan gangguan
penginderaan yang tidak dapat dijelaskan secara neurologis seperti munculnya
parestesia yang menyertai gejala hilangnya sensasi raba. Gangguan pada
penglihatan pada umumnya bersifat parsial, jarang bersifat total misalnya
7

gangguan ketajaman penglihatan, pandangan kabur, atau tunnel vision.Fungsi


motorik dan mobilitas penderita sering masih baik meskipun terdapat gangguan
penglihatan. Gejala sensorik yang jarang ditemukan yaitu tuli disosiatif dan
anosmia.
- Gangguan disosiatif campuran
Gangguan disosiatif campuran meliputi campuran dari gejala-gejala yang
sebelumnya telah dipaparkan.
- Gangguan Disosiatif lainnya
Gangguan disosiatif lainnya meliputi Sindrom Ganser dengan ciri khas
berupa approximate answers diikuti dengan gejala disosiatif lainnya, gangguan
kepribadian multipel, gangguan disosiatif sementara ,masa kanak dan remaja,
serta gangguan disosiatif lainnya yang ditentukan termasuk psychogenic
confusion dan twilight state.

2.5 Faktor Risiko


Faktor risiko yang terlibat dalam perkembangan terjadinya gangguan
konversi adalah sebagai berikut (2,3) :
- Faktor psikologis
Gangguan konversi sangat erat kaitannya dengan stressor atau konflik
psikologis yang dialami seorang individu seperti kekerasan mental, fisik, atau
emosional misalnya kekerasan di tempat kerja, penyiksaan yang dialami pada
masa kanak-kanak, serta kekerasan seksual. Selain itu, mekanisme koping stres
yang buruk juga diketahui menjadi faktor risiko gangguan konversi.
- Faktor Sosial
Faktor sosial yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan konversi
meliputi status sosioekonomi yang rendah, hidup di pedesaan, tingkat pendidikan
yang rendah, hidup di negara berkembang, dan latar belakang budaya yang
berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki faktor sosial
tersebut cenderung lebih rentan mengalami gangguan konversi.
- Faktor biologis
8

Gangguan konversi lebih banyak dijumpai pada wanita dibandingkan pria,


serta pada umumnya berusia muda. Fungsi hemisfer serebri yang menurun serta
rangsangan korteks yang berlebihan juga memiliki peran dalam terjadinya
gangguan konversi pada seorang individu.

- Komorbiditas
Penelitian menunjukkan bahwa orang yang mengalami gangguan konversi
memiliki penyakit kejiwaan seperti depresi, gangguan cemas menyeluruh, serta
campuran dari depresi dan gangguan cemas. Orang dengan penyakit kejiwaan
tersebut cenderung lebih sensitif dan mudah stresyang menyebabkan mereka lebih
berisiko mengalami gangguan konversi.

2.6 Gejala Klinis


Gejala gangguan konversi yang paling sering ditemukan adalah paralisis,
kebutaan, dan mutisme. Terdapat beberapa gangguan kepribadian yang menyertai
seperti kepribadian pasif agresif, dependen, antisosial, dan histrionik. Selain itu,
gangguan depresi dan cemas juga dapat dijumpai pada penderita gangguan
konversi, dan biasanya memiliki risiko bunuh diri. Secara garis besar, gejala
gangguan konversi dapat dikelompokkan sebagai berikut (4):
- Gejala Sensorik
Gejala sensorik yang paling sering ditemukan pada gangguan konversi
adalah anestesia dan parestesia khususnya anggota gerak. Seluruh komponen
sensorik dapat ditemukan gangguan namun distribusinya tidak sesuai dengan
penyakit saraf pusat dan perifer pada umumnya. Oleh karena itu, keluhan yang
akan dijumpai dapat berupa anestesia sarung tangan dan kaki yang khas, atau
hemianestesia separuh tubuh yang dimulai dari garis tengah tubuh.
- Gejala Motorik
Gejala motorik yang dapat ditemukan pada penderita gangguan konversi
meliputi gerakan abnormal, gangguan berjalan, kelemahan, dan paralisis. Gejala-
gejala seperti tremor, khoreiform, tic, dan sentakan dapat menyertai dan gejala
9

tersebut biasanya lebih parah ketika diperhatikan oleh orang lain. Gangguan
berjalan yang lazim terlihat pada penderita adalah astasia-abasia yang merupakan
gerakan berjalan ataksik liar dan terhuyung-huyung disertai dengan gerakan tubuh
yang kasar, tidak eratur, menyentak, dan lengan melambai yang tidak dapat
dikendalikan. Jika pasien jatuh, ia tidak mengalami cedera. Paralisis dan paresis
dapat mengenai satu, dua, atau keempat ekstremitas. Distribusi daerah yang
terkena gangguan tidak sesuai dengan jaras saraf dan refleks dalam batas normal.
Tidak ditemukan adanya fasikulasi dan atrofi otot kecuali gangguan konversi
dialami dalam jangka waktu yang lama. Pemeriksaan elektromiografi dalam batas
normal.
- Gejala Bangkitan
Gejala lain yang terdapat pada gangguan konversi ialah kejang semu.
Kejang semu dan sungguhan sangat sulit dibedakan oleh klinisi jika hanya melihat
penampakan klinis. Apalagi, sepertiga pasien dengan kejang semu juga
mengalami epilepsi. Untuk membedakan keduanya, dapat dilihat apakah pasien
menggigit lidah, mengalami inkontinensia urin, dan cedera setelah jatuh yang
lazim ditemukan pada kejang sungguhan. Pada kejang semu, refleks pupil dan
muntah tetap ada dan kadar prolaktin tidak mengalami peningkatan setelah
kejang.

2.7 Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan psikiatri yang menyeluruh sangat diperlukan
dalam mendiagnosis gangguan konversi agar didapatkan data yang jelas mengenai
onset munculnya gejala, adanya stressor dan komorbid penyerta. (3) Diagnosis
gangguan konversi dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit organik,
menemukan gejala positif yaitu fungsi tubuh yang terganggu, dan terdapat
penjelasan psikologis untuk gejala yang dialami.(8)
Kriteria diagnosis untuk gangguan konversi menurut DSM-5 adalah sebagai
berikut(9) :
1. Terdapat satu atau lebih gejala perubahan fungsi sensorik atau motorik
10

2. Terdapat adanya bukti ketidaksesuaian antara gejala dengan kondisi medis


atau neurologis yang diketahui
3. Gejala atau defisit tidak dapat dijelaskan oleh gangguan medis dan mental
lainnya
4. Gejala yang dialami menyebabkan gangguan yang bermakna pada fungsi
sosial, pekerjaan, dan fungsi kehidupan lainnya atau memerlukan evaluasi
medis

Berdasarkan PPDGJ-III, berikut adalah kriteria diagnostik gangguan konversi (5):


- Amnesia Disosiatif
Kriteria diagnosis pasti amnesia disosiatif adalah sebagai berikut :
1. Adanya amnesia mengenai peristiwa sulit atau traumatik yang baru terjadi,
dapat bersifat keseluruhan atau sebagian (memerlukan saksi sebagai
sumber informasi)
2. Tidak ditemukan adanya gangguan mental organik, keracunan, atau
kelelahan berlebihan
- Fugue Disosiatif
Kriteria diagnosis pasti fugue disosiatif adalah sebagai berikut :
1. Karakteristik amnesia disosiatif
2. Melakukan perjalanan yang melewati hal yang biasa dilakukannya sehari-
hari
3. Individu tetap mampu mengurus diri yang dasar seperti makan dan mandi
serta dapat melakukan interaksi dengan orang yang belum dikenalnya.
- Stupor Disosiatif
Kriteria diagnosis pasti stupor disosiatif adalah sebagai berikut :
1. Adanya stupor, yaitu keadaan berkurangnya atau hilangnya gerakan sadar
dan respon normal terhadap rangsangan luar, sebagai contohnya cahaya,
suara, dan raba namun kesadaran tidak hilang
2. Tidak terdapat penyakit fisik atau kejiwaan yang dapat menjelaskan
keadaan tersebut
11

3. Terdapat penyebab psikogenik atau peristiwa sulit yang baru saja dialami

- Gangguan Trans dan Kesurupan


Pedoman diagnosis gangguan trans dan kesurupan adalah sebagai berikut :
1. Terdapat adanya kehilangan aspek penghayatan identitas diri dan
kesadaran atas lingkungannya yang bersifat sementara. Dalam beberapa
peristiwa, individu tersebut seakan-akan sedang dikendalikan oleh pribadi
lain, kekuatan gaib, atau malaikat.
2. Bersifat diluar kesadaran individu. Tidak berkaitan dengan aktivitas
keagamaan maupun budaya.
3. Tidak disertai dengan penyebab organik seperti epilepsi lobus temporalis,
trauma kepala, atau keracunan zat narkotika serta bukan bagian dari
penyakit kejiwaan tertentu seperti skizofrenia atau gangguan kepribadian
ganda
- Gangguan Motorik Disosiatif
Pedoman diagnosis gangguan motorik disosiatif adalah sebagai berikut :
1. Gejala yang paling sering ditemukan pada gangguan ini adalah
ketidakmampuan untuk menggerakkan anggota gerak baik sebagian
maupun keseluruhan
2. Terdapat ketidakcocokan antara gangguan fisik dengan prinsip fisiologis
dan anatomis tubuh
- Konvulsi Disosiatif
Pedoman diagnosis konvulsi disosiatif adalah sebagai berikut :
1. Konvulsi disosiatif disebut juga kejang semu yang gerakannya sangat
mirip dengan kejang sungguhan (epileptik). Namun, kejang semu jarang
disertai lidah tergigit, cedera saat jatuh, dan inkontinensia urin. Kehilangan
kesadaran tidak dijumpai atau dapat digantikan dengan stupor atau trans
- Anestesia Disosiatif
Pedoman diagnosis anestesia disosiatif adalah sebagai berikut :
12

1. Gejala anestesia pada gangguan konversi memiliki batas yang amat jelas
yang pada umumnya merupakan gambaran pemikiran pasien terhadap
fungsi tubuhnya.
2. Terdapat ketidakcocokan antara hilang rasa dengan modalitas
penginderaan neurologis lain misalnya hilang rasa yang disertai parestesia
3. Kehilangan penglihatan pada gangguan konversi jarang bersifat total,
umumnya berupa penurunan ketajaman penglihatan, pandangan kabur,
atau tunnel vision. Kemampuan motorik masih baik meskipun ada
gangguan penglihatan
4. Gangguan penghidu serta tuli disosiatif jarang sekali ditemukan

2.8 Diagnosis Banding


Gejala yang dapat dialami pasien pada gangguan konversi dapat berupa
gangguan penglihatan, pendengaran, kejang semu, paralisis, sinkop, atau gejala
neurologis lainnya. Gejala yang timbul tergantung pada latar belakang budaya,
penyakit kejiwaan yang menyertai, dan tingkatan pengetahuan pasien mengenai
medis. Sebagai contoh, individu dengan pengetahuan yang luas mengenai medis
cenderung memiliki gejala yang tidak kentara, sementara individu yang memiliki
pengetahuan yang sedikit tentang medis memiliki gejala yang lebih parah.(2)
Dalam menegakkan diagnosis gangguan konversi, gejala harus dapat
dibedakan dengan penyakit organik. Tabel berikut ini akan memaparkan
bagaimana membedakan gejala konversi dengan gejala yang timbul akibat
penyebab organik.(3)
Tabel 2.1 Perbedaan karakteristik gejala pada gangguan konversi dengan
penyebab organik (3)
Gejala Karakteristik gejala
Kebutaan Pada pasien dengan gangguan konversi, kebutaan
yang dikeluhkan terjadi tiba-tiba dan tanpa sebab
yang jelas (trauma, kecelakan kerja). Refleks pupil
masih ada, yang menggambarkan saraf optikus,
13

kiasma, badan genikulatum lateral, dan


mesensefalon masih baik.
Ketulian Pada pasien dengan gangguan konversi yang
mengalami ketulian, terdapat refleks berkedip saat
mendengar suara yang keras dan tidak terduga yang
menunjukkan fungsi batang otak yang baik.
Kejang psikogenik Pasien dengan kejang semu pada umumnya tidak
nonepileptik (kejang berespon pada obat anti kejang. Tidak terdapat
semu) adanya riwayat trauma atau inkontinensia urin.
Tremor Pasien dengan tremor fungsional, amplitudo tremor
cenderung meningkat ketika diberikan beban pada
anggota gerak yang terkena. Sedangan pada tremor
organik, amplitudo tremor cenderung berkurang
bahkan menghilang.
Distonia Perbedaan yang dapat ditemukan adalah pada
gangguan konversi adanya kaki terbalik atau
genggaman tangan, onset saat dewasa, postur yang
terfiksasi yang tampak saat tidur, dan munculnya
nyeri yang hebat.
Paralisis Paralisis pada gangguan konversi, keluhan dapat
terjadi pada sebelah tubuh atau salah satu anggota
gerak. Paralisis tidak mengikuti distribusi anatomi
pada normalnya dan berubah-ubah pada saat
pemeriksaan berulang dilakukan.
Sinkop Sinkop pada gangguan konversi tidak disertai pucat
dan cedera.
Afonia Berbeda dengan afonia pada umumnya, pada saat
diminta untuk batuk, pasien afonia pada gangguan
konversi dapat batuk dengan keras.
Anestesia Anestesia pada gangguan konversi dapat ditemukan
pada bagian tubuh manapun, namun yang paling
lazim dijumpai pada anggota gerak. Yang paling
khas adalah glove and stocking anestesia. Untuk
membedakannya dengan polineuropati, anestesia
14

pada gangguan konversi berbatas sangat tegas,


paling sering mengenai daerah persendian.
Paraplegia Paraplegia pada gangguan konversi, refleks normal,
refleks babinski tidak dijumpai. Pada kasus yang
meragukan,dapat dilakukan prosedur motor evoked
potentials dan keluhan umumnya akan membaik.

Menurut DSM 5, seorang individu tidak dapat didiagnosis dengan


gangguan konversi apabila gejala-gejala fisik yang dialami dapat dijelaskan
dengan gangguan-gangguan dibawah ini :
- Penyakit Neurologis
Pada gejala fisik yang muncul akibat penyakit neurologis, umumnya akan
terdapat perburukan gejala. Pasien dengan gangguan konversi dapat datang
dengan keluhan yang mirip dengan penyakit organik seperti kelemahan otot pada
myasthenia gravis, stroke, distonia, degenerasi pada ganglia basalis, serta multiple
sklerosis.(6)
- Gangguan Depresi
Pada beberapa individu, gangguan depresi dapat menyebabkan perasaan
berat pada anggota gerak yang mirip dengan keluhan gangguan konversi. Untuk
membedakannya, kelemahan anggota gerak pada gangguan konversi biasanya
bersifat terlokalisir.(6)
- Gangguan Panik
Gejala-gejala neurologis seperti tremor dan parestesia dapat ditemukan
pada gangguan konversi dan serangan panik. Namun, pada serangan panik gejala
bersifat akut dan cepat menghilang.(6)
- Hipokondriasis
Hipokondriasis merupakan preokupasi atau kekhawatiran berlebihan
seorang individu terhadap satu atau lebih penyakit yang serius. Kondisi ini adalah
konsekuensi dari persepsi yang salah mengenai kondisi tubuh dan pikiran
15

disamping tidak adanya kondisi medis yang menyertai. Sebagai contoh, seorang
individu merasakan bahwa ia mengalami kanker namun sebenarnya hal tersebut
tidak ada.(3)
- Gangguan Buatan
Gangguan buatan merupakan kondisi dimana seorang individu bertingkah
seolah-olah ia mengalami penyakit fisik atau kejiwaan yang pada kenyataannya
individu tersebut tidak benar-benar sakit. Gangguan ini termasuk kedalam
gangguan jiwa karena melibatkan kesulitan emosional yang berat. Individu
dengan gangguan buatan dengan sengaja membuat atau memperberat gejala-gejala
suatu penyakit dalam beberapa cara. Sebagai contohnya, mereka bisa berbohong
atau memalsukan suatu gejala penyakit, melukai diri sendiri untuk menjadi sakit,
atau merubah hasil pemeriksaan lab untuk membuat seolah-olah ia atau orang
yang didekatnya terlihat sakit. Individu dengan gangguan buatan mempunyai
suatu keinginan di dalam dirinya untuk terlihat sakit atau terluka tanpa kebutuhan
untuk mencapai keuntungan personal atau finansial.(3)
- Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan dengan kondisi medis atau neurologis
yang telah ada. Individu yang mengalami gangguan ini memiliki preokupasi
terhadap gejala-gejala tersebut yang dapat menyebabkan distress yang berlebihan
pada diri pasien.(3)
- Malingering
Malingering atau berpura-pura sakit sesungguhnya tidak termasuk dalam
gangguan kejiwaan. Akan tetapi, psikiater dan ahli saraf akan menemukan seorang
individu berpura-pura mengalami gangguan penyakit kejiwaan atau saraf pada
saat praktik. Malingering dapat didefinisikan sebagai berpura-pura memiliki
penyakit fisik, psikiatri, atau neurologis dengan sengaja dan maksud tertentu
untuk memperoleh keuntungan baik secara personal maupun finansial. Individu
yang mengalami gangguan ini sadar sepenuhnya dan mengetahui sebab ia
melakukannya.(3)

2.9 Tatalaksana
16

Pada umumnya, gejala gangguan konversi dapat membaik secara spontan.


Namun, perbaikan dapat terjadi lebih cepat dan mudah dengan terapi perilaku atau
supportif yang berorientasi untuk memperbaiki tilikan. Hal yang paling penting
dalam penatalaksanaan gangguan konversi adalah pembentukan hubungan yang
baik antara terapis dan pasien. Sebagian pasien mengalami resistensi terhadap
psikoterapi. sehingga fokus pengobatan dialihkan pada stres dan koping. Klinisi
harus mampu menyampaikan kepada pasien mengenai gejala yang dialami secara
tepat. Memberitahukan pasien bahwa gejala tersebut adalah hasil khayalan mereka
akan memperburuk gejala tersebut.(4) Pasien dengan gangguan konversi pada
umumnya tidak mengerti konflik yang terjadi di dalam dirinya. Berikut adalah cara
memberikan edukasi kepada pasien mengenai diagnosis gangguan konversi yang
dialami(3) :
1. Hindari untuk memberitahukan diagnosis pasien pada pertemuan pertama
2. Meyakinkan pasien bahwa gejala yang dialami sangat nyata walaupun tidak
ada penyebab organik
3. Memberikan contoh penyakit yang sering dianggap berkaitan dengan stress
seperti hipertensi dan penyakit peptik
4. Memberikan contoh yang lazim mengenai gejala fisik yang dapat timbul
pada keadaan tertentu misalnya rasa mual pada saat berbicara di depan
publik
5. Memberikan contoh mengenai perilaku yang dilakukan sedikit dibawah
kesadaran misalnya menggigit kuku, mondar-mandir, dan mengetuk kaki
6. Memberikan penekanan bahwa gejala yang dialami dapat hilang
sepenuhnya. Pasien dapat diberitahukan bahwa perbaikan pada gejala dapat
dialami karena tidak terdapat kerusakan struktural pada sistem tubuh.
7. Memberikan penjelasan bahwa menerima diagnosis dengan sepenuhnya
dapat mengarah pada perbaikan gejala karena dapat membuat efek
rehabilitasi menjadi lebih maksimal daripada menerka atau
mengkhawatirkan apa yang salah.
Secara garis besar, tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien gangguan
konversi mencakup psikoterapi, fisoterapi, dan farmakoterapi.
17

- Psikoterapi
Terapi yang dahulu biasa diberikan pada pasien gangguan konversi yaitu
hipnotis dan psikoanalisis. Namun, angka keberhasilan kedua terapi tersebut
terbilang rendah. Saat ini, terapi yang dinilai lebih efektif adalah Cognitive
Behavioral Therapy (CBT) yang bertujuan untuk mengubah pola pikiran pasien
yang tidak biasa mengenai gejala neurologis semu yang dialami. Keberhasilan
psikoterapi bergantung pada kesadaran pasien akan adanya stressor psikologis
yang berhubungan dengan gejala konversi. Dengan tercapainya metode tersebut,
maka gejala dapat hilang. Namun, banyak pasien yang resisten terhadap
psikoterapi. Hal ini disebabkan oleh penolakan pasien untuk mengakui bahwa
terdapat dasar psikologis dalam timbulnya gejala. Pencapaian dalam keberhasilan
psikoterapi harus mencakup dua hal yaitu membuat pasien paham terhadap dasar
psikologis penyebab timbulnya gejala serta mengedukasi pasien mengenai
penanganan stress serta pikiran yang dapat mempengaruhi tubuh.
- Fisioterapi
Terapi fisik dapat menjadi pilihan yang efektif pada gangguan konversi
dalam mengatasi gejala fisik dan komplikasi sekunder seperti kelemahan dan
kekakuan otot yang dapat terjadi akibat tidak beraktivitas. Latihan dapat dimulai
dari tugas yang mudah yang semakin lama semakin sulit terbukti efektif pada
penanganan gangguan konversi.(3)
- Farmakoterapi
Pasien gangguan konversi yang memiliki penyakit kejiwaan penyerta
seperti gangguan cemas dan depresi, terapi dengan obat-obatan juga perlu
diberikan. Obat yang digunakan dalam terapi gangguan konversi meliputi anti
depresi, anti ansietas, atau obat lainnya tergantung jenis penyakit kejiwaan yang
menyertai.(3)

2.10 Prognosis
Prognosis baik jika gejala yang muncul bersifat akut, terutama gejala yang
memiliki pemicu yang jelas dapat mengalami resolusi sempurna (70-90% pasien).
Gejala yang sudah lama menetap mempunyai prognosis yang lebih buruk.(8)
18

Diagnosis yang ditemukan lebih awal pada usia muda akan memperbaiki outcome
di masa yang akan datang. Prediktor dari prognosis yang buruk pada gangguan
konversi adalah kepercayaan pasien akan penyakitnya yang tidak akan sembuh,
faktor psikologis yang menyertai, serta keuntungan personal dan finansial yang
diterima pasien.(9)
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan konversi merupakan gangguan yang ditandai dengan munculnya


gejala neurologis yang tidak dapat dijelaskan baik dari segi medis maupun
neurologis meliputi ingatan masa lampau, kesadaran terhadap identitas dan
penginderaan, dan kontrol gerakan tubuh yang terkait dengan faktor psikologis
seperti stres dan konflik yang dapat menimbulkan disfungsi tubuh bermakna.
Masalah yang ditemukan pada gangguan ini bersifat dibawah kendali kesadaran.
Gangguan yang terjadi dapat berlangsung dalam hitungan jam bahkan hari.
Gejala gangguan konversi yang paling sering ditemukan adalah paralisis,
kebutaan, dan mutisme. Terdapat beberapa gangguan kepribadian yang menyertai
seperti kepribadian pasif agresif, dependen, antisosial, dan histrionik. Selain itu,
gangguan depresi dan cemas juga dapat dijumpai pada penderita gangguan
konversi, dan biasanya memiliki risiko bunuh diri.
Anamnesis dan pemeriksaan psikiatri yang menyeluruh sangat diperlukan
dalam mendiagnosis gangguan konversi agar didapatkan data yang jelas mengenai
onset munculnya gejala, adanya stressor dan komorbid penyerta.(3) Diagnosis
gangguan konversi dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit organik,
menemukan gejala positif yaitu fungsi tubuh yang terganggu, dan terdapat
penjelasan psikologis untuk gejala yang dialami.
Terdapat tiga modalitas terapi pada gangguan konversi yaitu psikoterapi,
fisioterapi, dan obat-obatan. Hal yang paling penting dalam penatalaksanaan
gangguan konversi adalah pembentukan hubungan yang baik antara terapis dan
pasien. Klinisi harus mampu menyampaikan kepada pasien mengenai gejala yang
dialami secara tepat. Terapi fisik dapat menjadi pilihan terapi yang efektif pada
gangguan konversi dalam mengatasi gejala fisik dan komplikasi sekunder seperti
kelemahan dan kekakuan otot yang dapat terjadi akibat tidak beraktivitas. Obat
yang digunakan dalam terapi gangguan konversi meliputi anti depresi, anti
ansietas, atau obat lainnya tergantung jenis penyakit kejiwaan yang menyertai.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Vroege L De, Khasho D, Foruz A, Cornelis CM van der F. Cognitive


rehabilitation treatment for mental slowness in conversion disorder : A case
report. Cogent Psychol [Internet]. 2017;16(1):1–12. Available from:
http://doi.org/10.1080/23311908.2017.1348328
2. Dayani KS, Soomar SM, Dossa KS. MATHEWS JOURNAL OF
PSYCHIATRY & MENTAL HEALTH Conversion Disorders in Mental
Health Care – A Basic Review of Literature. 2019;1–3.
3. Shahid Ali. Conversion Disorder - Mind versus Body. 2015;12(5):27–33.
4. Sadock BJ, Sadock VA. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis Jilid 1. Jakarta: EGC; 2010. 723 p.
5. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasan dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika
Atmajaya; 2016.
6. Yakobov E, Jurcik T, Sullivan MJL. Conversion Disorder. 2017;
7. Deveci A, Taskin ÆO, Dinc ÆG, Yilmaz ÆH, Demet ÆMM. Prevalence
of pseudoneurologic conversion disorder in an urban community in
Manisa , Turkey. 2013;857–64.
8. Semple D, Smyth R. Oxford Handbook of Psychiatry. 3rd ed. Oxfordshire:
Oxford University Press; 2013.
9. Burton R, Harvey W, Willis T, Sydenham T, Cullen W, Pinel P, et al.
Conversion Disorder. 2018;861–72.

19

Anda mungkin juga menyukai