Anda di halaman 1dari 20

Kresna A.

Widayat
Raehani Ajeng P. N.
Pembimbing : dr. Arie Zainul Fatoni, Sp.An
Latar Belakang
■ Nyeri merupakan suatu pengalaman sensoris dan emosional tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan aktual atau
potensial pada jaringan.
■ Tidak semua pasien dapat melaporkan nyeri yang dialaminya. Contoh
khususnya adalah pada pasien kritis yang menjalani perawatan di
Intensive Care Unit (ICU).
■ Pasien yang sakit kritis di ICU mendapatkan tindakan resusitasi
jangka panjang untuk dukungan hidup bagi fungsi-fungsi vital seperti
Airway, Breathing, Circulation, Brain, dan fungsi organ lain,

(IASP, 2012; Kemenkes RI, 2011)


■ Ketidakmampuan pasien ICU dalam melaporkan nyeri yang
dialaminya dapat dikarenakan oleh terjadinya penurunan
kesadaran, penggunaan ventilasi mekanik, atau
penggunaan agen sedatif maupun neuromuscular-blocking
dalam dosis tinggi
■ 77,4% pasien yang pernah dirawat di ICU mengingat bahwa
mereka pernah mengalami nyeri selama perawatan, dan
32% diantaranya melaporkan nyeri hebat (Gellinas, 2007).
■ Nyeri hebat dapat mengganggu fisiologi kardiovaskular,
respirasi, penyembuhan pasien, serta psikologis pasien
(Sessler, 2009; Jones, 2007).
Patofisiologi Nyeri
Transduksi
■ Respon nosiseptor (reseptor nyeri) perifer terhadap trauma
atau stimulasi yang berpotensi menimbulkan kerusakan
jaringan
■ Nyeri dipicu oleh stimulus mekanik, suhu, dan kimiawi

Pelepasan ion COX2


Kerusakan
H+, K+, asam mengubah AA Inflamasi
sel
arakidonat menjadi PG
Konduksi
■ Perambatan aksi potensial dari ujung nosiseptif perifer
melalui serabut saraf bermielin dan tidak bermielin
■ Nosiseptor  akson nosiseptor aferen  neuron orde 2 di
cornu dorsalis medulla spinalis
Nyeri cepat Nyeri lambat
First pain Second pain
Onset cepat (< 1 detik) Onset lambat (detik – menit)
Tajam dan terlokalisir Tumpul dan kurang terlokalisir
Serabut A-delta Serabut C
Transmisi
■ Impuls nyeri di medulla spinalis terbagi menjadi 2 jaras:
– T. neospinothalamicus
■ Untuk nyeri cepat
■ Sebagian besar serabut berakhir di thalamus, kemudian ke
korteks somatosensoris primer
■ Sebagian serabut berakhir di formatio reticularis batang otak
– T. paleospinothalamicus
■ Untuk nyeri lambat
■ Sebagian besar serabut berakhir di batang otak (formatio
reticularis, colliculus superior, periaqueductal grey)
Modulasi
■ Mekanisme hambatan terhadap nyeri di dalam kornu
dorsalis medulla spinalis dan di tingkat yang lebih tinggi di
batang otak dan mesensefalon
■ Interneuron spinal dan ujung terminal akson melepaskan
senyawa endogen analgetik  enkephalin (ENK),
norepinefrin (NE) dan gamma aminobutyric acid (GABA)
■ Senyawa endogen mengaktivasi reseptor opioid, alfa
adrenergic, dsb  inhibisi pelepasan glutamate atau
mengurangi reaksi pos sinaptik
Persepsi
■ T. neospinothalamicus  korteks somatosensoris primer 
lokalisasi stimulus nyeri
■ T. paleospinothalamicus  batang otak  sensasi tidak
nyaman dan pedih
Penyebab nyeri di ICU
Prosedur Penyebab Akut Penyebab Kronis
Pungsi vena Infark Miokard Akut Nyeri punggung
Pengambilan sampel darah Pankreatitis Neuropati
Kateterisasi Trombosis Mesenterik Fibromyalgia
Intubasi/ ekstubasi Perforasi ulkus lambung Kanker
Laringoskopi, bronkoskopi Emboli Paru Sakit kepala
Pemasangan tube Emboli Arteri Perifer
Nasogastric/ orogastric Luka bakar
Pemasangan kateter urin Fraktur
Pemasangan chest tube Trauma
Gastroenterostomy Sindroma Paru Postoperatif Akut
X-ray dan USG
Dampak buruk nyeri di ICU

■ Mempengaruhi fisiologi kardiovaskular dan respirasi


■ Kecemasan, depresi, gangguan stress pasca trauma (PTSD)
■ Kebutuhan bantuan ventilasi lebih lama
Penilaian Nyeri di ICU
■ Asesmen nyeri dilakukan ≥4 kali setiap shift pada seluruh
pasien yang dirawat di ICU.
■ Asesmen dapat dilakukan dengan menggunakan NRS
apabila pasien dapat melakukan laporan mandiri.

(Barr, et al.,2013)
■ Jika pasien tidak dapat berkomunikasi secara verbal,
digunakan BPS atau CPOT.

■ Pasien mengalami nyeri yang signifikan apabila skor NRS ≥ 4,


BPS > 5, atau CPOT ≥ 3. (Barr, et al.,2013)
Manajemen Nyeri di ICU
Pada umumnya, pendekatan secara langkah untuk manajemen nyeri
adalah sebagai berikut:
1. Mengenali nyeri
2. Menghilangkan penyebab jika mampu
3. Terapi non farmakologis, seperti menenangkan pasien dan
mengubah posisi pasien. Selanjutnya diikuti terapi farmakologis
dengan analgesik sederhana, yaitu paracetamol dan NSAID.
4. Analgesik opioid lemah (tramadol), analgesik opioid kuat (fentanil,
morfin), dan analgesik tambahan (misalnya gabapetin)
5. Teknik anestesi regional
6. Pengkajian oleh tim spesialis
Manajemen Nyeri di ICU
Fentanyl, hydromorphone,
morphine, etc.
■ Opioid merupakan pengobatan utama
■ Anestesi regional dan NSAID dapat membantu memperbaiki fungsi
respirasi dan pencernaan, status mental, dan kenyamanan pasien Lidocaine
RA: Bupivacaine,
NSAID: Ketorolac, Paracetamol
karena meminimalisir efek penggunaan opioid.
■ Anestesi regional di ICU yang paling sering adalah melalui epidural
■ Anestesi regional harus dievaluasi resiko dan manfaatnya, dan
indikasi penggunaannya harus dinilai dengan hati-hati terkait kondisi
klinis pasien.
■ Gabapentin atau carbamazepine, dengan tambahan opioid intravena,
digunakan untuk terapi nyeri neuropatik
(Barr, et al.,2013; Adam, et al., 2015)
Kesimpulan
■ Pasien di ICU berpotensi memiliki banyak sebab nyeri. Nyeri dapat
disebabkan atau diperburuk oleh prosedur medis rutin, asuhan
keperawatan, atau lingkungan ICU itu sendiri.
■ Pendekatan secara lengkah yang pertama dalam manajemen nyeri
adalah mengenali nyeri. Kemudian dilanjutkan dengan
menghilangkan penyebab jika mampu. Lalu diberikan terapi non
farmakologis, seperti menenangkan pasien dan mengubah posisi
pasien. Selanjutnya diikuti terapi farmakologis dengan analgesik.
■ Analgesik pilihan utama untuk nyeri pada pasien ICU adalah Opioid.
TERIMAKASIH
Obat Dosis Intermiten IV Infusion Rates Indikasi Kontra Indikasi Keterangan
Opioid
Fentanyl 0,7–10 μg/kg/jam Lebih tidak menimbulkan hipotensi
0,35–0,5 μg/kg Nyeri sedang-berat
Depresi respirasi berat, penyakit paru dibandingkan morfin
IV Nyeri kanker
obstruktif, ileus paralitik Akumulasi pada kelainan hepar
setiap 0.5–1 jam Nyeri kronik

Hydromorphone 0,5–3 mg/jam Depresi respirasi tanpa alat resusitasi, Pilihan terapi pada pasien yang toleransi
0,2–0,6 mg IV peningkatan TIK, cedera kepala, penyakit morfin atau fentanil
Nyeri sedang-berat
setiap 1–2 hr dengan konvulsi, ileus paralitik, menyusui, Akumulasi pada kelainan hepar dan ginjal
kelainan hepar berat
Morphine 2–30 mg/jam Depresi respirasi, obstruksi jalan napas, Akumulasi pada kelainan hepar dan ginjal
2–4 mg IV
Nyeri sedang-berat pengosongan lambung lambat, ileus Bisa menyebabkan pelepasan histamin
setiap 1–2 jam
paralitik, feokromositoma
Methadone IV/PO: Tidak Dapat digunakan untuk memperlambat
10–40 mg direkomendasikan terjadinya toleransi jika dibutuhkan
Depresi respirasi akut, asam akut, peningkatan dosis opioid lainnya.
setiap 6–12 jam Nyeri sedang-berat
alkoholism, ileus paralitik, peningkatan Farmakokinetik dan farmakdinamik tidak
IV: Nyeri neuropatik
TIK, cedera kepala dapat diprediksi
2.5–10 mg
setiap 8–12 jam
Remifentanil N/A Loading dose: Tidak terakumulasi pada kelainan hepar atau
1,5 μg/kg IV Analgesia untuk renal
Maintenance pasien dengan Hipersensitivitas terhadap analog fentanyl Gunakan IBW untuk penghitungan dosis jika
dose: 0,5–15 ventilasi berat badan > 130% IBW
μg/kg/jam IV
Tramadol 100 mg bolus Akumulasi pada gangguan hepar dan ginjal
dan 50 mg tiap
30 menit hingga Nyeri sedang-berat Epilepsi, pasien dalam terapi MAOI
250 mg
Analgesik Non-opioid
Ketorolac
30 mg IM/IV, dilanjutkan
15–30 mg IM/IV setiap 6
jam selama
Nyeri pasca operasi
5 hari; Hindari pada:
max dose = 120 mg/hari Gangguan fungsi renal; perdarahan
selama 5 hari gastrointestinal; abnormalitas platelet;
terapi concomitant angiotensin converting
Ibuprofen enzyme inhibitor, congestive heart failure,
IV: sirosis, asma.
400–800 mg setiap 6 jam
diinfuskan selama > 30 Kontraindikasi untuk terapi nyeri
menit; perioperatif pada coronary artery bypass
Nyeri ringan-sedang
max dose = 3,2 g/hari graft surgery.
PO:
400 mg setiap 4 jam;
max dose = 2,4 g/hari

Paracetamol Dapat menyebabkan hipotensi jika diberikan


PO/PR:
dengan infus dan bisa menyebabkan
325–1000 mg setiap 4–6
kerusakan hepar dan ginjal jika overdosis
jam;
max dose ≤ 4 g/jam)
Nyeri ringan-sedang Pasien dengan gangguan hepar.
IV:
650 mg IV setiap 4 jam –
1000 mg IV setiap 6 jam;
max dose ≤ 4 g/hari

Ketamine IV: loading dose 0,1-0,5 Hipertensi, eklampsia, preeklampsia, Menyebabkan toleransi akut terhadap opioid
0.5-2
mg/kg diikuti 0,05-0,4 Induksi anestesia penyakit koroner atau miokard berat, CVA, Bisa menyebabkan halusinasi dan gangguan
mg/kg/jam
mg/kg/jam trauma otak psikologis
Anestesia Lokal
Bupivacaine 0,25%
konsentrasi Penyakit CNS yang aktif (meningitis,
Anestesia regional
(maksimal 175 perdarahan intrakranial)
mg)
Lidocaine 4 mg/kg (IV
regional Aritmia, CHF, CAD, Adams-Stokes, blok
Anestesia regional
anesthesia); 4.5 jantung
mg/kg (infiltrasi)
Antikonvulsan
Gabapentin Starting dose = Menyebabkan sedasi, kebingungan, pusing,
100 mg PO tiga ataxia.
kali sehari; Sesuaikan dosis pada gagal ginjal
maintenance Jika dihentikan tiba-tiba, akan
Hipersensitivitas menyebabkan withdrawal syndrome dan
dose = 900–
3600 mg/hari kejang
dalam 3 dosis
terbagi
Nyeri neuropatik
Carbamazepine Starting dose = Menyebabkan nystagmus, pusing, diplopia,
immediate 50–100 mg PO rasa melayang, letargi, anemia aplastik,
release dua kali sehari; agranulositosis, SJS, TEN.
maintenance A/V blok, riwayat depresi sumsum tulang, Menginduksi enzim hepar.
dose = 100–200 riwayat porfiria hepatik
mg setiap 4–6
jam; max dose =
1200 mg/hari

Anda mungkin juga menyukai