Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan jiwa adalah suatu sindroma atau pola psikologis atau perilaku yang
penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distress
(misalnya, gejala nyeri) atau disabilitas (yaitu kerusakan pada satu atau lebih area
fungsi yang penting) atau disertai peningkatan risiko kematian yang menyakitkan,
nyeri, disabilitas, atau sangat kehilangan kebebasan (American Psychiatric
Association,1994). Gangguan jiwa menyebabkan penderitanya tidak sanggup menilai
dengan baik kenyataan, tidak dapat lagi menguasai dirinya untuk mencegah
mengganggu orang lain atau merusak/menyakiti dirinya sendiri (Baihaqi, 2005).
Gangguan jiwa sesungguhnya sama dengan gangguan jasmaniah lainnya. Hanya saja
gangguan jiwa bersifat lebih kompleks, mulai dari yang ringan seperti rasa cemas,
takut hingga yang tingkat berat berupa sakit jiwa atau kita kenal sebagai gila
(Hardianto, 2009).
Kecendrungan gangguan jiwa akan semakin meningkat seiring dengan terus
berubahnya situasi ekonomi dan politik kearah tidak menentu, prevalensinya bukan
saja pada kalangan menengah kebawah sebagai dampak langsung dari kesulitan
ekonomi, tetapi juga kalangan menengah keatas sebagai dampak langsung atau tidak
langsung ketidakmampuan individu dalam penyesuaian diri terhadap perubahan sosial
yang terus berubah (Rasmun, 2001).
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), jumlah penderita gangguan jiwa di
dunia pada 2001 adalah 450 juta jiwa. Dengan mengacu data tersebut, kini jumlah itu
diperkirakan sudah meningkat. Diperkirakan dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia,
ada sekitar 50 juta atau 22 persennya, mengidap gangguan kejiwaan (Hawari, 2001).

1
2

Peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa juga terjadi di Sumatera Utara, jumlah
pasien meningkat 100 persen dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.Pada awal
2008, RSJ Sumut menerima sekitar 50 penderita per hari untuk menjalani rawat inap
dan sekitar 70-80 penderita untuk rawat jalan.Sementara pada 2006-2007, RSJ hanya
menerima 25-30 penderita per hari (Sitompul, 2008).
Laporan organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) pada
2010 tentang Global Burden Disease menyebut, kini telah terjadi perubahan jenis
penyakit yang menimbulkan beban bagi negara secara global. Sebelumnya, WHO
menyebut kasus kematian ibu dan anak paling besar membebani negara, tetapi kini
bergeser ke penyakit kronis, termasuk penyakit jiwa berat, misalnya skizofrenia.
Penderita gangguan psikis dengan diagnosis skizofrenia tahun 2010 kurang lebih 24
juta jiwa di seluruh dunia. Dari jumlah 24 juta jiwa tersebut 1.928.663 juta jiwa tercatat
berada di Indonesia, dengan kasus skizofrenia. Dalam laporan tersebut terdapat dalam
pengkajian data di Indonesia dengan kasus skizofrenia mencapai 2,5% dari total
penduduk Indonesia.
Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang
signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar
35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia,
serta 47,5 juta terkena dimensia. Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis,
psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan
jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan
produktivitas manusia untuk jangka panjang.
Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional
yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke
atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia.
Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar
400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Peningkatan proporsi gangguan
3

jiwa pada data yang didapatkan Riskesdas 2018 cukup signifikan jika dibandingkan
dengan Riskesdas 2013, naik dari 1,7% menjadi 7%.
Pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa di Indonesia mempunyai rata-rata lama
hari rawat yang tinggi yaitu 54 hari, dan yang paling lama dirawat adalah pasien
dengan diagnosa skizofrenia. Data rumah sakit jiwa pusat Bogor 2001, menunjukkan
rata-rata lama hari rawat adalah 115 hari dan untuk pasien perilaku kekerasan 42 hari
(Keliat, 1992).
Tetapi kenyataannya, belum banyak keluarga memiliki kepedulian tentang ini.
Banyak keluarga yang menyerahkan sepenuhnya penyembuhan penderita kepada
petugas kesehatan. Banyak pasien gangguan jiwa justru ditelantarkan keluarganya.
Keluarga telah melupakan mereka. Banyak yang tidak mengurusnya lagi saat
dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Padahal, jika keluarga mereka rajin mengunjungi dan
memberikan dukungan bagi pasien gangguan jiwa, ini merupakan salah satu terapi
yang jitu untuk kesembuhan mereka. Namun, jika keluarga mereka tidak peduli,
tingkat kesembuhan pasien makin lama karena pasien merasa tidak diperhatikan lagi
oleh keluarganya (Yosep, 2007).
Berdasarkan penjelasan masalah yang telah diperoleh maka penulis ingin
meneliti tentang Hubungan Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Pasien Tidak Rutin
Berobat Pada Penderita Skizofrenia Yang Ada Di Wilayah Kerja Uptd Pukesmas
Benculuk Kabupaten Banyuwangi 2019

1.2 Rumusan Masalah

Apa saja faktor resiko yang mempengaruhi pasien tidak rutin berobat pada penderita
skizofrenia yang ada di wilayah kerja UPTD Pukesmas Benculuk?
4

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor resiko yang mempengaruhi pasien tidak rutin berobat

pada penderita skizofrenia yang ada di wilayah kerja UPTD Pukesmas Benculuk.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengatahui pengaruh lingkungan terhadap ketidakrutinan pasien dalam

berobat

b. Untuk mengatahui pengaruh pasien terhadap ketidakrutinan pasien dalam

berobat

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Pukesmas Benculuk

Memberikan informasi kepada pukesmas tentang faktor resiko yang

mempengaruhi pasien tidak rutin berobat pada penderita skizofrenia yang ada di

wilayah kerja UPTD Pukesmas Benculuk. Yang nantinya dapat membantu tercapainya

program UKM Kesehatan Jiwa yang ada di Pukesmas Benculuk

Anda mungkin juga menyukai