Anda di halaman 1dari 19

PRESENTASI KASUS PUSKESMAS

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

FOLIKULITIS

Pembimbing:
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Disusun oleh:
Tressa Sugihharti G4A016116

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
FOLIKULITIS

Oleh:
Tressa Sugihharti
G4A016116

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di
bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto.

Purwokerto, Maret 2018


Pembimbing:

dr. Ismiralda Oke P., Sp.KK


NIP. 19790622 201012 2 001
I. LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. A
Usia : 28 thn
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Purwosari RT/RW 03/06
Agama : Kristen
Pekerjaan : Pegawai swasta
Tanggal pemeriksaan : 14 Maret 2018

B. ANAMNESIS

Diambil dari autoanamnesis tanggal 14 Maret 2018


a. Keluhan Utama
Sebuah benjolan pada ketiak kanan
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke PKM Baturraden I dengan keluhan sebuah benjolan
pada ketiak kanan sejak 1 minggu yang lalu sebelum pasien datang ke PKM
Baturraden I. Benjolan dirasakan semakin membesar 3 hari belakangan.
Pada awalnya pasien tidak sadar akan adanya benjolan dan baru
menyadarinya karena terasa mengganjal dan nyeri. Ukuran benjolan yang
membesar membuat pasien sedikit kesulitan saat menggunakan tangan
kanannya. Pasien tidak memberikan salep atau obat untuk menghilangkan
benjolannya.
Delapan hari sebelumnya pasien mencukur ketiaknya menggunakan
pisau cukur. Pasien mengatakan bahwa mempunyai kebiasaan jarang
mengganti mata pisau cukurnya (baru mengganti mata pisau bila sudah
berkarat). Pasien mengatakan bahwa tidak ada anggota keluarga pasien yang
memiliki penyakit serupa.
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
1. Riwayat Penyakit ginjal : Disangkal
2. Riwayat Jantung : Disangkal
3. Riwayat Alergi : Disangkal
4. Riwayat mondok : Disangkal
5. Riwayat Pengobatan : Disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga :


1. Riwayat keluhan yang sama : Disangkal
2. Riwayat hipertensi : Disangkal
3. Riwayat DM : Disangkal
4. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
5. Riwayat alergi : Disangkal
6. Riwayat mondok : Disangkal
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama istri dan anak, pasien bekerja sebagai pegawai
swasta. Dalam kesehariannya pasien jarang mengganti mata pisau cukur
ketiaknya dan baru mengganti mata pisau bila sudah berkarat.

C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Kesan Umum : Normal
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Vital Sign :
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Suhu : 36,8 0C
RR : 20 x/menit
d. Status Generalis
1. Kepala : Simetris, mesochepal
2. Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
pupil isokor
3. Hidung : Tidak ada discharge, tidak ada deviasi septum nasi
4. Mulut : Bibir tidak pucat, lidah tidak kotor
5. Telinga : Simetris, tidak ada kelainan bentuk
6. Thoraks :
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis terlihat di SIC V LMC sinistra
Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas kiri atas SIC II LPS sinistra
Batas kanan atas SIC II LPS dekstra
Batas kiri bawah SIC V LMC sinistra
Batas kanan bawah SIC IV LPS dekstra
Auskultasi : S1 > S2, reguler, bising jantung tidak ada

Paru
Inspeksi : Dada kanan dan kiri simetris
Palpasi : Vokal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, suara tambahan tidak ada
7. Abdomen
Inspeksi : Simetris, venektasi tidak ada, sikatrik tidak ada,
masa tidak ada
Auskultasi : Bising usus normal
Perkusi : Timpani
Palpasi :Defans muskular tidak ada, nyeri tekan
epigastrium tidak ada, tidak teraba massa, hepar
tidak teraba membesar, limpa tidak teraba
8. Ekstrimitas
Superior : akral hangat, edema - /-, sianosis -/-, deformitas -/-
Infeior : akral hangat, edema - /-, sianosis -/-, deformitas -/-
e. Status Dermatologis
Regio : Axillaris Dextra
Effloresensi : Kista eritematosa

Gambar 1. Penampang Kulit

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

E. DIAGNOSA KERJA
Folikulitis

F. DIAGNOSIS BANDING
1) Furunkel
2) Pseudofolliculitis barbae
3) Keratosis pilaris
4) Acne vulgaris

G. PEMERIKSAAN ANJURAN
Pewarnaan gram dan Kultur bakteri
H. PENATALAKSANAAN
1. Non Farmakologi
a. Edukasi tentang penyakit folikulitis, penyebab, dan cara pengobatannya.
b. Edukasipasien agar pasien menghindari gesekan pada lesi.
c. Edukasi pasien untuk meningkatka kebersihan kulit dan menjelaskan
pentingnya menjaga kebersihan kulit.
d. Anjuran untuk tidak menggaruk untuk mencegah infeksi sekunder.
e. Menjelaskan kepada pasien untuk makan makanan bergizi dan teratur
agar imunitas tubuh baik, sehingga pasien tidak mudah terinfeksi dengan
berbagai penyakit.
2. Farmakologi
a. Antihistamin peroral : loratadin 10 mg tablet 2 kali sehari
b. Antibiotik peroral : eritromisin 4 x 250 mg tab selama 10 hari
c. Kortikosteroid topical : momethason 2x1 cream pada lesi merah

I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad kosmeticum : bonam
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Folikulitis merupakan suatu kondisi terjadinya inflamasi pada satu atau
lebih folikel rambut. Umumnya penyebab dari folikulitis ialah infeksi bakteri.
Folikulitis ditandai dengan adanya papul, pustule atau erosi pada area
berambut. Folikulitis terbagi menjadi 2, yaitu superficial terbatas di dalam
epidermis contohnya impetigo Bockhart. Klasifikasi lainnya yaitu profunda
yang lokasinya sampai ke dalam subkutan contohnya sikosis barbae (Djuanda,
2013).

B. Epidemiologi
Di Indonesia folikulitis dapat ditemukan 2 juta kasus per tahunnya.
Insidensi usia produktif merupakan jumlah terbanyak dibandingkan kelompok
usia lainnya. Kelainan ini juga sering ditemukan pada iklim tropis dengan
tempat tinggal padat dan higienitas yang buruk (Rashid et al., 2009)

C. Etiologi
Etiologi dari folikulitis antara lain (Craft et al. 2010) :
1. Staphylococcus aureus koagulase-positif merpakan penyebab tersering
2. Klabsiella, Enterobacter, atau Proteus mikroorganisme ini menyebabkan
folikulitis gram negatif pada pasien yang mendapat terapi antibiotik jangka
panjang
3. Pseudomonas aeruginosa mikroorganisme yang hidup dalam lingkungan
hangat dan memiliki PH tinggi serta kandungan klorin yang rendah

D. Faktor Predisposisi
Faktor resiko yang menjadi predisposisi folikulitis antara lain (Craft et al.
2010) :
1. Luka yang terinfeksi
2. Higiene yang buruk
3. Pakaian yang ketat
4. Pencukuran atau waxing
5. Terapi imunosupresan
6. Diabetes
7. Tinggal di iklim tropis

E. Patogenesis
Folikulitis diawali dari masuknya bakteri ke dalam tubuh melalui jaringan
kulit yang terbuka misalnya dari sebuah luka. Bakteri yang masuk dapat
menyebabkan reaksi inflamasi pada folikel rambut. Infeksi dari
Staphylococcus biasanya dapat menyebabkan abses, yang membentuk dinding
fibrin yang mengelilingi jaringan terinflamasi. Pustul yang terbentuk
mengandung gabungan antara bakteri dan leukosit (Rashid et al., 2009).
Komplikasi dapat terus berlanjut secara hematologik walau hanya dari
sebuah abses yang kecil dan dapat tersebarnya enzim proteolitik dari
Staphylococcus. Komplikasi yang dapat terjadi seperti pneumonia dan
penyakit jantung rematik. Pada pasien dengan immunocompromised dapat
berkembang menjadi sepsis (Rashid et al., 2009).

F. Gambaran Klinis
Folikulitis adalah peradangan yang disebabkan oleh proses infeksi.
Gambaran kilinis lesi folikulitis adalah pustul atau papul yang mengalami
inflamasi. Pustul berwarna kekuningan dan dikelilingi oleh eritema. Rambut
sebagai pusat lesi mungkin dapat terlihat pada bagian tengah lesi. Papul dan
pustul yang awalnya berukuran kecil dapat bertambah besar seiring dengan
aktivitas mencukur yang terus-menerus. Folikulitis profunda memiliki
gambaran lesi berupa pustul folikel yang dikelilingi oleh eritema dan
pembengkakan. Lesi folikulitis dapat ditemukan di daerah kulit kepala, wajah,
daerah janggut, aksila, badan, pantat, pubis dan ekstremitas. Lesi berupa
pustul dan papul dapat bersifat nyeri ataupun gatal. Selain itu juga terdapat
gejala sistemik seperti demam dan terdapat limpadenopati saat melibatkan
penyeberan yang luas (Falco,2000).
G. Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, gambaran klinis,
pemeriksaan fisik kulit. Pemeriksaan penunjang diperlukan pada kasus-kasus
yang resisten terhadap pengobatan. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
Antara lain: kultur, pewarnaan gram, preparat KOH, dan biopsy (Craft et al,
2010).
1. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Anamnesis akan ditemukan riwayat trauma yang berulang seperti
mencukur dan waxing. Selain itu juga dapat disebabkan oleh pakaian yang
ketat dan keringat yang berlebihan. Folikulitis yang disebabkan oleh P.
aeruginosa berasal didapatkan dari hot tub tempat umum ataupun kolam
renang umum. Pasien akan mengeluhkan rasa gatal atau nyeri pada lesi
tersebut (Liborja, 2011).
Pemeriksaan fisik kulit akan ditemukan lesi pada folikel rambut di
daerah kulit kepala, dagu, ketiak dan ektremitas. Kelainan kulit diawali
dengan papul atau pustul pada folikel rambut. Papul dan pustul yang
awalnya berukuran kecil dapat bertambah besar seiring dengan aktivitas
mencukur yang terus-menerus. Folikulitis profunda memiliki gambaran
lesi berupa pustul folikel yang dikelilingi oleh eritema dan pembengkakan.
Selain itu, pasien mungkin merasakan gejala seperti demam dan mungkin
terdapat limpadenopati saat melibatkan penyeberan yang luas (Liborja,
2011).

Gambar 2. Papul-papul eritematosa, diskret,diatasnya terdapat pustul.


2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk folikulitis yang disebabkan
oleh bakteri yaitu kultur, pewarnaan Gram dan tes sensitivitas antibiotik.
Pemerikasaan preparat KOH digunakan untuk mengidentifikasi spesies
jamur (Craft et al. 2010).
 Pemeriksaan kultur

(a) (b)
Gambar 3. Kultur (a) P. aeruginosa dan (b) S. aureus
 Pewarnaan Gram

(a) (b)
Gambar 4. Gram Staining (a) S. aureus dan (b) P .aeruginosa.
 Pemeriksaan preparat KOH

Gambar 5. preparat KOH Malassezia gambaran meat ball and spagetty.

Pemeriksaan kultur nasal anggota keluarga diperlukan untuk mencari


kolonisasi S. aureus pada kasus-kasus kronik folikulitis. Kultur virus atau
biopsi dilakukan untuk mengindentifikasi folikulitis yang disebabkan oleh
virus herpes simplex. Biopsi lesi yang aktif perlu dilakukan pada kasus
folikulitis yang atipikal atau pada pasien-pasien dengan pengobatan
standard yang resisten (Craft et al. 2010).
3. Pemeriksaan Histopatologi
Secara histologis, pada kasus folikulitis superfisial terdapat infiltrasi
sel-sel inflamasi di ostium folikuler dan di daerah folikel bagian atas.
Dalam kebanyakan kasus, peradangan awalnya terdiri dari neutrofil dan
kemudian menjadi lebih beragam dengan penambahan limfosit dan
makrofag. Apabila infeksi adalah penyebab terjadinya folikulitis, maka
berbagai organisme dapat diidentifikasi dalam folikel (William, 2010).

H. Diagnosis Banding
1. Pseudofolliculitis barbae
Pseudofolliculitis barbae (PFB) adalah kelainan akibat reaksi benda
asing terhadap rambut. Reaksi inflamasi yang terjadi lebih kecil
dibandingkan dengan folikulitis stafilokokus. Lesi kelainan ini sering
dijumpai pada pipi dan leher pada orang yang memiliki rambut yang
keriting, spiral yang tumbuh ke dalam. Kondisi ini ditemukan pada 45-
83% orang berkulit hitam dan 3-5% orang berkulit putih setelah mereka
bercukur. Papul atau pustul yang merah dan lunak muncul pada tempat
masuknya bakteri dan menetap hingga bulu rambut dihilangkan.
Umumnya masalah ini lebih berat pada area leher. Pseudofolliculitis dapat
muncul pada area aksila, genital dan kaki. Flora normal kulit dapat terganti
dengan organisme patogen apabila perlangsungan penyakit menjadi kronis
(Hay et al. 2010).

Gambar 6. Pseudofolliculitis barba.

2. Keratosis pilaris
Keratosis pilaris sering ditemukan pada bagian posterolateral dari
lengan atas dan anterior paha. Puncak insidens penyakit ini pada usia
remaja dan membaik setelah melewati masa tersebut. Erupsi penyakit ini
berkaitan dengan keadaan atopi. Gambaran klinis yang tampak adalah
pustul folikular kecil yang berkelompok yang menetap pada area yang
sama sepanjang tahun (Craft et al. 2010).
Gambaran histologi menunjukkan inflamasi hanya terjadi pada bagian
luar folikel rambut. Garukan, memakai pakaian yang ketat, dan proses
pengobatan yang bersifat abrasif dapat menyebabkan infeksi pada pustul
yang steril dan menyebabkan erupsi yang bersifat difus. Keratosis pilaris
resisten terhadap segala jenis pengobatan. Antibiotik oral digunakan
apabila muncul folikulitis akibat S. Aureus. Steroid topikal digunakan
apabila area lesi berubah menjadi kering dan meradang. Krim urea
(vanamide) dan pelembab asam lactic (Lac-Hydrin, AmLactin) digunakan
untuk menghaluskan kulit (Craft et al. 2010).

Gambar 7. Keratosis Pilaris

3. Acne vulgaris
Acne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel
pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh
sendiri. Defenisi lain Acne vulgaris adalah penyakit radang menahun dari
apparatus pilosebasea, lesi paling sering di jumpai pada wajah, dada dan
punggung. Kelenjar yang meradang dapat membentuk papul kecil
berwarna merah muda, yang kadang kala mengelilingi komedo sehingga
tampak hitam pada bagian tengahnya, atau membentuk pustul atau kista;
penyebab tak diketahui, tetapi telah dikemukakan banyak faktor, termasuk
stress, faktor herediter, hormon, obat dan bakteri, khususnya
Propionibacterium acnes, Staphylococcus albus, dan Malassezia furfur,
bearperan dalam etiologi (Craft et al. 2010).
Gambar 8. Acne vulgaris
I. Tatalaksana
Folikulitis superfisial yang ringan sering sembuh sendiri tanpa pengobatan
atau dengan pembersih antiseptik atau antiseptik topikal dan menghindari
faktor-faktor predisposisi yang memicu terjadinya folikulitis. Pada kasus yang
berat, dibutuhkan penggunaan antibiotik topikal atau sistemik (Fred. 2009).
Folikulitis superfisial yang dapat diobati dengan antibakterial yang
mengandung chlorhexidine. Ointment antibakteri (bacitracin atau mupirocin
2%) juga digunakan selama 7-10 hari terbatas pada daerah lesi. Apabila terjadi
kasus folikulitis stafilokokus yang menyebar luas pada tubuh atau rekuran
mupirocin ointment pada vestibulum hidung 2 kali sehari selama 5 hari dapat
mengeliminasi S. aureus carrier. Anggota keluarga juga dapat menjadi
carrier S. aureus sehingga perlu juga pemberian ointment mupirocin atau
rifampin 600 mg/hari secara oral selama 10 hari. Jika diperlukan antibiotik,
dikloksasilin atau golongan sefalosporin merupakan antibiotik lini pertama.
MRSA dapat diterapi dengan antibiotik klindamisin, trimethoprim-
sulfamethoxazole, minocycline, atau linezolid (Fred, 2009).
Folikulitis fungal dapat diobati dengan pengobatan antifungal sistemik.
Pengobatan antifungal sistemik diantaranya adalah ketokonazol oral 200 mg
perhari selama 4 minggu, flukonazol oral 150 mg per minggu selama 2-4
minggu, dan itrakonazol 200 mg perhari selama 2 minggu (Fred, 2009).

J. Prognosis
Folikulitis sering sembuh sendiri tanpa pengobatan atau dengan pembersih
antiseptik atau antiseptik topikal dan menghindari faktor-faktor predisposisi
yang memicu terjadinya folikulitis. Namun pada kasus yang berat dibutuhkan
penggunaan antibiotik topikal ataupun sistemik (Hay et al. 2010).
III. PEMBAHASAN

A. Penegakkan Diagnosis
Berdasarkan tinjauan pustaka pasien Tn. A telah memenuhi kriteria
diagnosis untuk folikulitis. Hal ini dibuktikan dengan hasil anamnesis yang
memenuhi, yaitu terdapat benjolan, riwayat trauma berulang akibat mencukur
dan juga higienitas yang kurang. Tn. A jarang mengganti mata pisau cukurnya
dan baru mengganti bila sudah berkarat. Keluhan tersebut dirasakan sejak 1
minggu yang lalu. Keluhan dirasakan semakin membesar, sehingga
menimbulkan rasa mengganjal dan terbatasnya gerakan tangan kanan pasien.
Keluhan demam, batuk, pilek sebelumnya disangkal, serta menyangkal adanya
riwayat gigitan serangga atau alergi.
Pemeriksaan fisik kulit akan ditemukan lesi pada folikel rambut di
daerah ketiak kanan pasien. Kelainan kulit diawali dengan papul atau pustul
pada folikel rambut. Papul dan pustul yang awalnya berukuran kecil dapat
bertambah besar seiring dengan aktivitas mencukur yang terus-menerus.
Efloresensi dari kelainan kulit yang timbul berupa kista eritematosa, terdapat
kemungkinan lesi ini akan menjadi furunkel di kemudian hari.

B. Penatalaksanaan
Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan
memberikan obat secara topikal dan sistemik. Obat topikal yang diberikan
adalah momethason cream sebagai kortikosteroid. Antibiotik yang diberikan
sebagai lini utama yaitu eritromisin. Loratadin tablet diberikan sebagai
antihistamin untuk mengurangi rasa gatal. Pengobatan yang diberikan sudah
cukup tepat untuk mengobati folikulitis pada pasien Tn. A.
d. Antihistamin peroral : loratadin 10 mg tablet 2 kali sehari
e. Antibiotik peroral : eritromisin 4 x 250 mg tab selama 10 hari
f. Kortikosteroid topical : momethason 2x1 cream pada lesi merah
IV. KESIMPULAN

1. Folikulitis adalah peradangan yang disebabkan oleh proses infeksi. Gambaran


kilinis lesi folikulitis adalah pustul atau papul yang mengalami inflamasi.
Pustul berwarna kekuningan dan dikelilingi oleh eritema. Rambut sebagai
pusat lesi mungkin dapat terlihat pada bagian tengah lesi. Papul dan pustul
yang awalnya berukuran kecil dapat bertambah besar seiring dengan aktivitas
mencukur yang terus-menerus.
2. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, gambaran klinis, pemeriksaan
fisik kulit. Pemeriksaan penunjang diperlukan pada kasus-kasus yang resisten
terhadap pengobatan. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan Antara lain:
kultur, pewarnaan gram, preparat KOH, dan biopsy.
3. Diagnosis banding Pseudofolliculitis barbae, acne vulgaris, keratosis pilaris.
4. Folikulitis superfisial yang ringan sering sembuh sendiri tanpa pengobatan
atau dengan pembersih antiseptik atau antiseptik topikal dan menghindari
faktor-faktor predisposisi yang memicu terjadinya folikulitis. Pada kasus yang
berat, dibutuhkan penggunaan antibiotik topikal atau sistemik.
5. Folikulitis sering sembuh sendiri tanpa pengobatan atau dengan pembersih
antiseptik atau antiseptik topikal dan menghindari faktor-faktor predisposisi
yang memicu terjadinya folikulitis. Namun pada kasus yang berat dibutuhkan
penggunaan antibiotik topikal ataupun sistemik
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Adi. 2013. Folikulitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-6.
Jakarta : FKUI

Falco B, Plewing G. 2000. Dermatology and Venerologie. 4th edition. Spinger


Verlag Berlin Heidelberg New York. p 140-151

Craft N, Lindy P. 2010. VisualDx: Essential adult dermatology. Philadelpia:


Lippincott Williams & Wilkins. p. 152-4.

Liborija LM. 2011. Diferential Diagnosis Of The Scalp Hair Folliculitis. Acta
Clin Croat.; 50:395-402
William RS, 2010. Inflamatory Diseases of the Dermis and Epidermis. United
Stase of America. p 76-78

Hay RJ. Adriaans BM. 2010. Bacterial Infections in Rook’s Textbook of


Dermatology 8th Edition. London: Wiley-Blackwell. P: 30.7-8, 30.22-3.

Fred FF. 2009. Bacterial Skin Infection In Ferri’s Color Atlas and Text of Clinical
Medicine. London: Saundes Elsevier. P. 139

Rashid, R, Hymes S. 2009. Folliculitis, Follicular Mucinosis, and Papular


Mucinosis as a Presentation of Chronic Myelomonocytic Leukemia.
Dermatol Online Journal Vol.15 (5). USA

Anda mungkin juga menyukai