Anda di halaman 1dari 29

Diagnosis dan Terapi Febril Neutropenia

Sitti Rahmah, Tutik Harjianti

Divisi Hemato-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

I. Pendahuluan

Febril neutropenia (FN) ditetapkan sebagai kegawatdarura tan medis di

bidang onkologi yang memiliki angka mortalitas tinggi. FN merupakan salah satu

efek samping dari kemoterapi yang disebabkan oleh supresi hematopoesis yang

menyebabkan neutropenia ditambah dengan faktor pencetus lain seperti infeksi.1,2

Neutrofil berfungsi di dalam sistem imunitas tubuh untuk

mempertahankan tubuh dari infeksi mikroorganisme asing, apabila sistem

imunitas tubuh menurun karena kejadian neutropenia, risiko terjadinya infeksi

oleh bakteri dan mikroorganisme akan meningkat. Tingkat keparahan neutropenia

dan risiko infeksi berhubungan erat dengan jumlah neutrofil. Kejadian FN lebih

sering terjadi pada pasien dengan keganasan yang menginfiltrasi sumsum tulang

secara primer. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya FN. Walaupun saat ini

terdapat perkembangan besar pada pencegahan dan terapinya, FN masih

merupakan komplikasi yang paling ditakuti.2,3

1
Febril neutropenia terkait dengan berbagai kondisi dan intervensi lainnya.

Terkait dengan bidang obstetri ginekologi, onkologi, dan masih banyak lagi. Maka

dari itu penting untuk mengetahui lebih lanjut mengenai FN.

II. Definisi

Febril neutropenia merupakan suatu sindrom yang terdiri dari dua gejala,

yaitu: demam dan neutropenia. Demam pada FN yaitu diukur dengan suhu derajat

Celcius oral 38.3oC (101.4oF) atau 38.0oC (101oF) selama 1 jam terus-menerus

atau pada 2 kali pengukuran dengan jarak minimal 2 jam disertai jumlah neutrofil

kurang dari 500 neutrofil/mm3 atau kurang dari 1000 neutrofil/mm3 dengan

prediksi menurun 500/mm3 sampai 48 jam berikutnya. Neutropenia didefinisikan

sebagai penurunan jumlah neutrofil di dalam sirkulasi. Neutropenia dapat

dicirikan sebagai neutropenia ringan dengan ANC (Absolute Neutrophil Count)

dari 1.000-1.500/mcL (1.0 to 1.5 x 109/L), neutropenia sedang dengan ANC dari

500-1.000/μL (0.5 to 1.0 x 109/L); atau neutropenia berat dengan ANC

<500/μL.2–4

Derajat dan durasi neutropenia menentukan risiko infeksi. The Common

Toxicity Criteria of the National Cancer Institute digunakan untuk menilai tingkat

keparahan sitopenia yang terkait dengan kemoterapi kanker; dan hal tersebut

membagi neutropenia menjadi 4 derajat.5

Table 1. Derajat Neutropenia5

Derajat Absolut neutrophil count


(x 109/L)

2
0 Dalam batas normal
1 ≥ 1.5 - < 2.0
2 ≥ 1.0 - < 1.5
3 ≥ 0.5 - < 1.0
4 < 0.5

Pasien dengan FN memiliki kecenderungan sebesar 50% mengalami

infeksi dan mayoritas episode demam pada periode neutropenia berkaitan dengan

infeksi. Lokasi infeksi tersering adalah pada saluran pencernaan, paru, dan kulit.

Organisme yang paling banyak menyebabkan infeksi dan bakteremia adalah

bakteri batang gram negatif (seperti Escerichia coli, Klebsiella pneumoniae dan

Pseudomonas aeruginosa), diikuti oleh bakteri aerobik, kokus gram positif

(seperti Staphylococcus sp., Streptococcus sp., dan Enterococcus).2,5

III. Epidemiologi

Angka kejadian FN di Amerika Serikat meningkat menjadi 60.294 per

tahun termasuk 7,83 kasus per 1000 pasien kanker. Meningkat menjadi 43,3 kasus

per 1000 pasien dengan keganansan hematologi. Di india, seluruh kasus FN

(termasuk 75 episode FN dan 55 pasien) terjadi antara Juli hingga Desember

2011.6 Pada survei yang dilakukan di Singapura ditemukan sebanyak 3-8.8%

penderita post-kemoterapi mengalami FN. Hasil serupa juga didapatkan dari

survei di Eropa dan Amerika. Survei yang sama menunjukkan dari 333 penderita

3
FN, 299 di antaranya mengalami keganasan hematologi, dan 88% di antaranya

mengalami neutropenia derajat 4.1

Di Indonesia, penelitian deskriptif analitik di RSUP Dr. Kariadi dan RS

Telogorejo Semarang periode Juni 2005 sampai Juli 2006 dengan sampel 26 orang

(89,7%) dari RSUP Dr. Kariadi dan sisanya (10,3%) dari RS Telogorejo

menunjukkan banyak sebanyak 21 subyek (72,4%) mengalami neutropenia berat

(ANC <500/mm3). Suatu penelitian observasional deskriptif dengan pengambilan

data pasien secara retrospektif dan prospektif periode bulan Januari sampai Mei

2014 di RS Kanker Dharmais Jakarta terdapat 18 episode FN pada pasien dewasa

dengan leukemia akut setelah pemberian kemoterapi.7,8

Febril neutropenia terjadi pada 10–50% pasien setelah kemoterapi dengan

tumor padat dan lebih dari 80% setelah kemoterapi pada pasien dengan

keganasan hematologi. Berdasarkan tipe keganasan, pasien dengan keganasan

hematologi memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya neutropenia

dibandingkan pasien dengan tumor padat, karena proses dasar penyakit dan

intensitas terapi yang dibutuhkan lebih tinggi.4

IV. Etiologi

Penyebab neutropenia bermacam-macam. Neutropenia dapat terjadi

akibat infeksi, obat-obatan, radioterapi, kemoterapi, hipersplenisme, penggantian

sumsum tulang, anemia, kegagalan sumsum tulang, anemia hipoplastik, defisiensi

4
nutrisi, vitamin B12 dan defisiensi folat, serta neutropenia siklik yang merupakan

salah satu penyakit periodik dengan infeksi berulang oleh karena adanya ritme di

dalam tubuh akibat perubahan siklik dalam produksi dan pengeluaran neutrofil di

sumsum tulang.3,9

Pada chemotherapy-induce neutropenia secara klinis, infeksi yang

terdokumentasi terjadi pada 20%-30% dari episode febril. Bakteremia terjadi pada

10%-25% dari seluruh pasien dengan episode yang paling sering terjadi adalah

prolong atau profound neutropenia (ANC <100 neutrofil/mm3).4 Bakteri gram

negatif merupakan penyebab infeksi pada neutropenia, khususnya Pseudomonas

aeruginosa. Dalam beberapa tahun ini penyebab sepsis pada pasien FN telah

berubah dari bakteri gram negatif menjadi gram positif, hal ini terjadi pada sekitar

63% dari isolat yang dilaporkan oleh American National Cancer Institute Survey.

Penyebab perubahan ini diduga karena peningkatan pemasangan kateter intravena

dan penggunaan antibiotika secara empiris, yang lebih banyak ditujukan pada

bakteri gram negatif daripada gram positif.10

Tabel 2. Jenis Bakteri Penyebab Febril Neutropenia4

Patogen gram positif Coagulase-negative staphylococci


Staphylococcus aureus, termasuk
methicillin-resistant strains Enterococcus
species, termasuk vancomycin-resistant
strains
Viridans group streptococci
Streptococcus pneumoniae
Streptococcus pyogenes
Patogen gram negatif Escherichia coli

5
Klebsiella species
Enterobacter species
Pseudomonas aeruginosa
Citrobacter species
Acinetobacter species
Stenotrophomonas maltophilia

V. Patofisiologi

Neutropenia selektif dapat terjadi setelah terapi dengan sejumlah besar

obat. Sebagian besar obat tersebut merusak prekursor sumsum tulang sehingga

menghambat replikasi normal sel-sel di sumsum tulang dengan akibat

neutropenia, trombositopenia, atau anemia. Kemoterapi pada kanker dengan obat

siklofosfamid, nitrogen mustard, metrotrexat, sitarabin dan banyak lainnya

dilaporkan sebagai penyebab neutropenia pada hampir 90% kasus. Dalam

kemoterapi menggunakan obat-obat tersebut, terjadi penurunan hematopoesis oleh

karena supresi myeloid.3,5

Episode pertama FN pada pasien yang menerima kemoterapi dihubungkan

dengan rendahnya ANC dan adanya kerusakan kulit/mukosa usus akibat

kemoterapi tersebut. Koloni mikroorganisme pada usus akan merusak mukosa,

selanjutnya terjadi translokasi bakteri dan invasi jaringan. Peneliti melaporkan

hubungan pemberian agen sitotoksik dan mukositis oral yang mengakibatkan

bakteremia S.viridans. Sumber infeksi utama adalah bakteri dari saluran cerna,

6
disusul infeksi saluran napas bawah, dan infeksi saluran kencing (ISK). Faktor

predisposisi lain meliputi pemberian kemoterapi dosis tinggi, dan kadar albumin

yang rendah.11

Febril neutropenia seringkali terjadi pada penderita dengan kemoterapi.

Sumsum tulang merupakan bagian tubuh yang paling rentan terhadap efek

samping kemoterapi. Sifat dari kemoterapi itu sendiri dapat berpengaruh

langsung pada sumsum tulang yang berakibat pada supresi hematopoesis,

dimana konsekuensinya adalah terjadinya penurunan sel-sel darah (anemia,

leukopenia dan neutropenia, dan/atau trombositopenia). Seluruh pasien yang

diterapi dengan modalitas kemoterapi memiliki risiko terjadinya komplikasi

neutropenia, akan tetapi sulit bagi tenaga medis untuk memprediksi pasien atau

populasi yang jelas memiliki risiko yang lebih tinggi.5

VI. Diagnosa

VI. 1. Investigasi dan Penilaian Awal

Penegakkan diagnosa penting dilakukan sejak anamnesa. Riwayat

menyeluruh dan detail harus ditanyakan pada penderita. Yang harus ditanyakan

adalah riwayat kemoterapi sebelumnya, konsumsi antibiotik profilaksis,

penggunaan steroid, prosedur pembedahan yang sudah dan akan dilakukan, serta

ada atau tidaknya riwayat alergi. Penting untuk memperhatikan rekam medis

sebelumnya apabila ada pemeriksaan mikrobiologi, adanya resisten antibiotik

terhadap organisme tertentu, atau pernah terdapat bakteremia.2,9

7
Penilaian awal mengenai fungsi respirasi dan sirkulasi penting dilakukan.

Penilaian awal perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan lebih lanjut terkait risiko

adanya fokus infeksi. Infeksi penting diketahui sebelumnya (misalnya community

acquired pneumonia) karena antibiotik empiris tidak adekuat untuk mengobati

FN. Tanda dan gejala infeksi penderita neutropenia dapat terlihat minimal karena

mereka mendapat pengobatan kortikosteroid.2

Tabel 3. Investigasi dan Penilaian Awal 2

1 Perhatikan adanya pemakaian kateter intravena


2 Gejala atau tanda dengan suatu fokus infeksi
Sistem respirasi
Traktus gastrointestinal
Kulit
Regio perineal/ genitourinaria
Orofaring
Sistem saraf pusat
3 Pengetahuan tentang adanya riwayat hasil mikrobiologi
yang positif dengan memeriksa rekam medik
4 Pemeriksaan rutin
Pemeriksaan darah penting untuk menilai sumsum tulang
belakang, fungsi ginjal dan hati
Skrining factor koagulasi
C-reactive protein
Kultur darah (minimun 2 kali) termasuk kultur dari
katetera intravena
Urinalisa dan kultur
Mikroskopis sputum dan kultur
Mikroskopis feses dan kultur
Lesi kulit (aspirasi/biopsi/swab)
Radiologis thoraks

8
5 Pemeriksaan penunjang (profound/prolonged
neutropenia/following allografts)
CT thoraks resolusi tinggi (apabila demam meskipun telah
mendapat antibiotik yang sesuai selama 72 jam)
Broncho-alveolar lavage

Penilaian awal mengenai status nutrisi, gangguan fungsi ginjal dan hepar,

adanya penyakit penyerta seperti diabetes mellitus, serta penggunaan steroid

jangka panjang juga perlu dipertimbangkan. Beberapa tempat infeksi yang sering

terjadi perlu dinilai sejak awal. Sistem gastrointestinal, sinus, paru, dan traktus

genitourinarius, serta kulit juga harus diperhatikan sejak awal.3,4

VI. 2. Stratifikasi Risiko

The Multinational Association for Supportive Care in Cancer (MASCC)

dapat digunakan untuk menilai derajat risiko pada penderita FN. MASCC juga

dapat digunakan untuk menilai hasil keluaran dari pengobatan yang sudah

diberikan. Stratifikasi risiko penderita FN perlu dilakukan untuk menilai adanya

komplikasi serius, infeksi, hingga mortalitas. Risiko penderita FN

diklasifikasikan berdasarkan kriteria klinis, termasuk durasi neutropenia,

pemeriksaan ANC, adanya penyakit komorbid, gangguan renal dan hepar,

penggunaan obat-obatan medikamentosa, dan riwayat FN. Faktor tambahan yang

meningkatkan risiko komplikasi penderita FN dijelaskan pada Tabel 5.3

Nilai maksimal sistem penilaian risiko MASCC adalah 26, dan nilai

kurang dari 21 diprediksi memiliki komplikasi berat sebesar 5%, serta angka

9
mortalitas yang sangat rendah (<1%) pada penderita FN. Penderita FN memiliki

risiko kecil komplikasi apabila penderita memiliki status performa yang baik dan

sedikit kondisi komorbid, fungsi hepar dan renal baik, serta durasi neutropenia

kurang dari 7 hari. Penderita distratifikasi risiko rendah dengan Indeks Risiko

MASCC sampai 21. Penderita risiko rendah sebaiknya dimulai dengan terapi oral

atau terapi empiris intravena.4

Tabel 4. Indeks Skor The Multinational Association for Supportive Care in


Cancer (MASCC)1,3,12

Katrakteristik n (%)
Gejalan ringan atau tanpa gejala 5
Gejala sedang 3
Tanpa hipotensi 5
Tanpa penyakit paru obstruktif 4
kronis (PPOK)
Tumor solid atau tanpa riwayat 4
infeksi jamur pada keganasan
hematologi
Status rawat jalan 3
Tanpa dehidrasi 3
Usia <60 tahun 2

Penderita FN diklasifikasikan risiko tinggi memiliki komplikasi jika

ditemukan neutropenia dengan ANC kurang dari 100 sel per mikroliter, diikuti

kemoterapi, dan jika durasi neutropenia lebih lama dari 7 hari. Sebagai tambahan,

pasien risiko tinggi secara klinis memiliki kondisi komorbid yang banyak, seperti

hipotensi, pneumonia, onset baru nyeri abdomen, gangguan ginjal atau hati, atau

10
gangguan neurologis. Penderita juga distratifikasi ke kategori risiko tinggi jika

penderita memiliki nilai Indeks Risiko kurang dari 21. Penderita FN dengan risiko

tinggi memiliki kemungkinan komplikasi serius dan memerlukan terapi antibiotik

empiris intravena, serta dirawat inap.8-12

Tabel 5. Klasifikasi Risiko Penderita FN4

Risiko tinggi Risiko rendah


Indeks risiko MASCC <21a Indeks risiko MASCC ≥21a
Durasi neutropenia > 7 hari Durasi neutropenia ≤ 7 hari
ANC ≤100 sel/ml Kondisi klinis stabil
Kondisi klinis tidak stabil Tidak ada komorbid
Adanya komorbidb
Insufisiensi hepatik
Insufisiensi renal
Status fungsional rendah
Usia lanjut
Tipe penyakit
Intensitas kemoterapi

VI. 3. Pemeriksaan Fisik

Pada penderita FN, seringkali tanda klasik inflamasi menjadi berkurang

sehingga pemeriksaan fisik harus dilakukan secara cermat dan lengkap.

Pemeriksaan terhadap status kardiovaskular, dehidrasi, sepsis, orofaring (abses

gigi, mukositis) saluran respirasi atas (otitis media, sinusitis), saluran respirasi

bawah untuk gejala dari Pneumosistis jirovecci (batuk, takipneu, hipoksia),

11
infiltrat interstitial pada foto polos dada, abdomen (kolitis oleh Clostridium

difficle dan typhlitis), kulit (selulitis, lesi vesikular), perineum dan perianal

(fisura anal, selulitis atau abses), alat central venous access untuk infeksi dari

akses pembuluh darah, serta gejala anemia atau trombositopenia penting untuk

dilakukan.3,4

VII. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang paling awal adalah pemeriksaan darah dan

biokimia lengkap yang bertujuan untuk mendeteksi adanya komorbiditas, infeksi

atau sepsis, menentukan perlu tidaknya dilakukan modifikasi dosis antibiotik,

serta ada tidaknya kontra indikasi. Pemeriksaan laboratorium hitung sel darah

lengkap penting dilakukan. Yang juga harus diperiksa adalah jumlah leukosit dan

platelet, tingkat serum kreatinin dan urea, pemeriksaan elektrolit, enzim

transaminase, dan bilirubin total. 4,13,14

Rekomendasi pemeriksaan kultur darah dilakukan minimal 2 set. Satu set

terdiri dari 1 venipuncture atau akses kateter, mendapatkan kurang lebih 20 mL

darah yang terbagi ke dalam 1 botol aerobik dan 1 botol anaerobik. Volume

sampel darah untuk pemeriksaan kultur penting untuk menggambarkan infeksi

yang terjadi. Sampel darah diambil dari central venous catheter (CVC) bila ada.

Jika memungkinkan, sampel darah perifer diambil. Diharapkan 2 kali

pemeriksaan kultur darah diambil dari dua titik pengambilan sampel yang

berbeda. Volume darah untuk kultur sebanyak <1% total volume darah penderita

12
dengan berat <40 kg. Beberapa pusat pemeriksaan membuat standar pengambilan

darah tidak lebih dari 1% volume total darah penderita.4,14

Pemeriksaan kultur darah perlu dilakukan lagi jika penderita tetap demam

setelah pemberian antibiotik empiris. Dua set kultur darah diperlukan dua hari

setelahnya. Namun apabila demam tetap bertahan setelah pemberian antibiotik

empiris, beberapa ahli tidak menyarankan dilakukan kultur darah lagi sampai

terdapat perubahan kondisi klinis.6

Kultur spesimen lain dapat dilakukan bila terdapat kecurigaan infeksi.

Kultur spesimen lain dilakukan berdasarkan kondisi klinis penderita. Berikut

adalah beberapa spesimen yang umum diambil :4

- Spesimen Feses

Spesimen feses umum diambil pada penderita FN dengan diare. Perlu dievaluasi

adanya Clostridium difficile. Terdapat keterbatasan nilai dalam memeriksa

spesimen feses untuk patogen tertentu, terkait dengan adanya bakteri

tertentu di daerah tertentu, yang tidak diketemukan pada layanan

kesehatan tempat penderita FN diterapi.

- Spesimen Urin

Pemeriksaan kultur urin diperlukan jika terdapat tanda atau gejala infeksi traktus

urinarius, penderita menggunakan kateter, atau adanya abnormalitas dari

pemeriksaan urinalisa.

- Spesimen CSF

13
Pemeriksaan dan kultur cairan spinal ini dibutuhkan jika ada kecurigaan

meningitis. Transfusi platelet perlu diberikan terlebih dahulu sebelum

pungsi lumbal pada penderita FN dengan trombositopenia.

- Spesimen Kulit

Aspirasi atau biopsi lesi kulit dibutuhkan apabila ada kecurigaan infeksi melalui

pemeriksaan sitologi, pewarnaan gram, dan kultur.

- Spesimen Respirasi

Sampel sputum dapat diambil untuk kultur bakteri rutin bila penderita memiliki

batuk produktif. Spesimen traktur respiratori bawah dengan pengambilan

broncho-alveolar lavage (BAL) direkomendasikan bagi penderita dengan

gambaran infiltrat pada pencitraan thoraks. Sampel dari nasal

direkomendasikan untuk evalusai infeksi virus, khususnya pada penderita

yang berada di musim dingin.

Analisa laboratorium lainnya diperlukan untuk mendukung diagnosa FN.

Hitung darah rutin dan serum kreatinin, serta urea nitrogen dibutuhkan untuk

mengetahui kemungkinan terjadinya toksisitas obat dan rencana pengobatan

selanjutnya. Pemeriksaan tersebut perlu dilakukan setiap 3 hari, terutama pada

saat diberikan terapi antibiotik intensif. Setidaknya dibutuhkan pemeriksaan

serum transaminase sebagai pengawasan pada penderita yang sudah mengalami

komplikasi, terutama pada penderita dengan kecurigaan gangguan hepatocellular

atau cholestatic.4,15

14
Pemeriksaan radiologi disesuaikan dengan keadaan klinis penderita.

Sebagai contoh, pemeriksaan foto thoraks polos dapat dilakukan pada penderita

dengan tanda dan gejala gangguan respirasi.4

VIII. Tata Laksana

Penundaan pemberian antibiotik pada pasien FN menyebabkan tingginya

mortalitas. Pemberian terapi antibiotik secara empirik pada pasien FN telah mulai

dilakukan sejak 1970 dan telah menurunkan angka morbiditas dan mortalitas yang

menunjukkan pentingnya kewaspadaan dan tindakan cepat serta tepat pada

pasien FN. Pemilihan modalitas tatalaksana FN ditentukan oleh besarnya risiko

terjadinya komplikasi neutropenia. Pasien dengan risiko tinggi harus diberikan

antibiotik secara intravena, sementara pasien dengan risiko rendah dan tanpa

indikasi lain cukup diberikan antibiotik oral.4,9,10

Epidemiologi pola bakteri serta resistensi sangat penting dalam

menentukan jenis antibiotik empiris yang digunakan sebagai lini pertama.

Jangkauan antibiotik sebaiknya meliputi MRSA atau bakteri gram negatif yang

resisten. Antibiotik secara empiris sesegera mungkin diberikan tanpa menunggu

konfirmasi infeksi melalui pemeriksaan laboratorium karena infeksi dapat

memburuk dengan sangat cepat pada pasien FN. Faktor-faktor yang dapat

membantu klinisi dalam memilih antibiotik, antara lain situasi epidemiologi,

keadaan klinis pasien pada onset demam, risiko yang dihubungkan dengan

perkembangan infeksi, komplikasi medis yang serius, terapi antibiotik

15
sebelumnya, riwayat alergi pengobatan oleh pasien, serta disfungsi organ yang

sudah ada sebelumnya.2,4,6

Terapi kombinasi menggunakan aminoglikosida memiliki cakupan yang

luas, potensi efek sinergik melawan basil gram negatif dan perlindungan terhadap

pasien, pada kasus terinfeksi organisme yang resistan terhadap pengobatan yang

diberikan secara empiris (biasanya beta-laktam). Terapi gabungan dengan

aminoglikosida direkomendasikan untuk pasien dengan riwayat kolonisasi

Pseudomonas aeroginosa atau penyakit yang invasif. Kerugian yang paling utama

adalah terapi tersebut kurang bereaksi terhadap beberapa bakteri gram positif,

serta memiliki efek samping nefrotoksik, ototoksik, dan hipokalemia yang

dihubungkan dengan penggunaan aminoglikosida.16

Terdapat kecenderungan pengobatan monoterapi (carbapenem, cefepime,

ceftazidime atau piperacilin/tazobactam), dimana pengobatan ini aman dan efektif

pada sebagian besar pasien dengan tumor padat. Pengobatan ini juga aman untuk

pasien yang stabil secara klinis dengan neutropenia “standar” dimana diharapkan

durasi dari neutropenia kurang lebih 7–10 hari. Monoterapi pada pasien

keganasan darah dengan FN mulai dilaporkan menggunakan cefpirome.

Dibandingkan dengan sefalosforin generasi ketiga, obat ini menunjukkan aktivitas

lebih baik dalam melawan bakteri gram positif, stabilitas lebih besar dibandingkan

beta-laktam dan dapat ditoleransi lebih baik. Dari sudut pandang ini, cefpirome

16
mungkin menjadi cocok untuk pengobatan demam pada pasien neutropenia dan

beberapa hasil uji coba memperlihatkan hasil yang menjanjikan.10

Pemberian hematopoietic growth factors (G-CSF atau GM-CSF) sudah

banyak diteliti sebagai terapi dan profilaksis pada FN. Secara umum, profilaksis

menggunakan G-CSF tidak ditentukan dengan pasti. Di Eropa, G-CSF antara

lain filgrastim, lenograstim, atau pegfilgrastim, digunakan sebagai profilaksis

dan dipercaya dapat menurunkan risiko terjadinya neutropenia yang disebabkan

oleh kemoterapi.9

Rekomendasi dari Infectious Disease Society of America (IDSA) pada

tahun 2010 adalah penggunaan myeloid CSF atau G-CSF sebagai profilaksis

pada pasien dengan risiko tinggi terjadi demam dan neutropenia sebesar >20%.

The National Comprehensive Cancer Network, merekomendasikan pemberian

G-CSF pada pasien berusia >70 tahun untuk meningkatkan indeks terapi dari

kemoterapi yang bersifat myelosupresif, contohnya CHOP (cyclophosphamide /

doxorubicin hydrochloride / vincristine / prednisolone).9

Terapi Antibiotik Inisial

Tujuan utama memberikan terapi antibiotik inisial adalah untuk mencegah

morbiditas dan mortalitas serius karena bakteri patogen, sampai hasil kultur darah

didapatkan. Setelah hasil kultur darah didapatkan, terapi antibiotik yang sesuai

dengan bakteri patogen dapat diberikan. Pada beberapa kasus, hasil kultur darah

17
negatif. Maka dari itu antibiotik empiris dapat diberikan terus sampai ANC pulih

kembali atau sampai antimikroba alternatif dibutuhkan.4

Pasien dengan risiko tinggi membutuhkan tatalaksana dengan terapi

antibiotik broad-spectrum intravena yang dapat juga diberikan untuk

Pseudomonas aeruginosa dan patogen gram negatif lainnya. Monoterapi dengan

anti-pseudomonal beta-laktam, seperti cefepime, carpanem (imipenem-cilastin

atau meropenem) atau piperacilin-tazobactam efektif diberikan seperti kombinasi,

dan direkomendasikan sebagai terapi lini pertama.4

Pertimbangkan hal-hal berikut ketika memilih antibiotik (antibiotik harus

diberikan dalam 2 jam):13

● Hasil kultur dan sensitivitas terbaru

● Riwayat infeksi atau kolonisasi organisme yang multi-drug resistant

(MDRO)

● Infeksi saluran yang dicurigai

● Riwayat antibiotik dan profilaksis

● Sumber infeksi jika teridentifikasi

● Alergi antibiotik (alergi beta-laktam)

● Disfungsi organ

● Mukositis

Meta-analisa terbaru menemukan keuntungan yang bermakna

diberikannya monoterapi beta-laktam dibandingkan dengan kombinasi

aminoglikosida. Hal tersebut memberikan dampak kematian yang lebih sedikit

18
dengan reaksi efek samping yang minimal. Beberapa layanan kesehatan

menunjukkan bahwa ceftazidime tidak lagi reliabel untuk monoterapi empiris

pada penderita FN karena potensi menurunkan aktivitas bakteri gram negatifnya

sangat rendah. Monoterapi aminoglikosida juga sebaiknya tidak diberikan sebagai

terapi empiris untuk bakteremia karena banyak mikroba yang sudah resisten.4,17

Cefepime merupakan monoterapi empiris yang paling diterima untuk

mengatasi FN. Namun meta-analisa yang dilakukan oleh Yahav dan rekan

menunjukkan adanya peningkatan angka mortalitas dalam 30 hari pada penderita

FN, dibandingkan dengan penggunaan beta-laktam lainnya. Penggunaan obat

tersebut masih merupakan kontroversi.4

Vancomycin bukan merupakan antibiotik empiris untuk FN. Karena

predominan organisme gram negatif pada bakteremia selama demam dengan

neutropenia, penggunaan vancomycin menunjukkan regimen empiris dengan hasil

yang bermakna untuk mengurangi angka kematian dan durasi demam. Namun

penggunaan vancomycin dapat dipertimbangkan bila didapatkan keadaan alergi

terhadap golongan beta-laktam, infeksi yang jelas pada kateter intravena, kultur

pewarnaan gram menunjukkan organisme gram positif, dengan organisme yang

belum dapat diidentifikasi, diketahui merupakan kolonisasi MRSA atau S.

pneumonia resisten terhadap penisilin, hipotensi/syok, antibiotik profilaksis

dengan kuinolon, infeksi kulit dan jaringan lunak, pneumonia, hemodinamik tidak

stabil.4,6

19
Di pusat kesehatan kanker MD Anderson, terapi antibiotik pasien dengan

FN dengan memilih salah satu: 13

● Cefepime 2 gram IV setiap 8 jam atau

● Piperacillin dan tazobactam 4,5 gram IV setiap 6 jam atau

● Meropenem 1 gram IV setiap 8 jam

Bila ada indikasi dapat diberikan antibiotik gram negatif kedua (double gram

negative coverage), dapat ditambahkan salah satunya:

● Amikacin 15 mf/kg IV sekali dan kemudian diulangi sesuai dengan data

farmakokinetiknya atau

● Ciprofloxacin 400 mg IV setiap 8 jam hanya apabila tanpa profilaksis

kuinolon.

Adapun pemberian antibiotik lainnya bila ditemukan alergi terhadap beta-laktam:

● Aztreonam 2 gram IV setiap 6 jam

Ditambahkan:

● Amikacin 15 mg/kg IV sekali dan kemudian diulangi sesuai dengan data

farmakokinetiknya atau

● Ciprofloxacin 400 mg IV setiap 8 jam hanya apabila tidak ada profilaksis

kuinolon

Ditambahkan:

20
● Vancomicyn 15 mg/kg (sekitar mendekati dosis 250 mg) IV setiap 12 jam

atau

● Linezolid 600 mg IV setiap 12 jam.

Adanya isu MRSA di banyak rumah sakit dan komunitas, penggunaan

vancomycin sebagai bagian dari regimen empiris dipertimbangkan. Infeksi serius

yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus seringkali berakhir pada syok

sespsis, dibandingkan dengan infeksi yang diakibatkan oleh Staphylococci.

Penderita FN yang terdeteksi MRSA bisa mendapatkan keuntungan dari

pemberian vancomycin sejak dini. Namun demikian, vancomycin tidak

direkomendasikan sebagai regimen antibiotik empiris rutin.4

Gambar 1. Algoritma Tatalaksana Inisial untuk Demam dan Neutropenia4

21
Antibiotik inisial untuk penderita risiko rendah juga perlu diberikan.

Komplikasi selama neutropenia pada penderita risiko rendah perlu diperhatikan.

Tatalaksana yang diberikan pada awal adalah antibiotik oral spektrum luas. Secara

umum, penggunaan antibiotik oral dapat dipertimbangkan hanya pada penderita

yang telah memenuhi kriteria risiko rendah.4

Sebuah penelitian dengan plasebo dilakukan untuk menguji kombinasi

antibiotik empiris ciprofloxacin dan amoxicillin-clavulanate, dibandingkan

dengan penderita yang diberikan regimen antibiotik intravena. Ciprofloxacin tidak

seharusnya diberikan sendiri karena kurang baik mengatasi organisme gram

positif. Levofloxacin memiliki aktivitas melawan organisme gram positif dengan

lebih baik, tetapi kurang poten untuk aktivitas anti-pseudomonal dibandingkan

ciprofloxacin. Survei terbaru menemukan banyak ahli onkologi yang

menggunakan terapi empiris oral levofloxacin pada penderita dengan risiko

rendah untuk demam dan neutropenia. Monoterapi levofloxacin memberikan hasil

yang baik berdasarkan uji klinis. Aktivitas anti-pseudomonal levofloxacin 500 mg

satu kali sehari kurang adekuat. Hasil yang lebih baik didapatkan pada pemberian

levofloxacin 750 mg per hari. Namun hingga saat ini belum ada data yang adekuat

untuk mendukung monoterapi levofloxacin.11

22
Gambar 2. Algoritma Pengawasan Pemberian Antibiotik Empiris (dalam 2-4

hari)4

Setelah pemberian antibiotik empiris inisial, semua penderita dengan

neutropenia harus diawasi dengan ketat. Terutama untuk kejadian demam, efek

samping, dan adanya infeksi sekunder, serta adanya resisten obat. Hal tersebut

memerlukan pemeriksaan fisik, pengamatan gejala baru yang mungkin terjadi,

kultur spesimen jika dibutuhkan pada area yang terlibat, dan/atau pemeriksaan

pencitraan tambahan. Walaupun sudah diberikan antibiotik empiris, masih ada

kemungkinan penderita masih tetap mengalami demam setelahnya. Keadaan

demam yang menetap walaupun penderita dalam kondisi stabil, penggantian

regimen antibiotik perlu dipertimbangkan. Tambahan antimikroba spesifik atau

23
pemberian antibiotik baru perlu disesuaikan dengan panduan klinis atau hasil

kultur.4

Durasi pemberian terapi tergantung dari kondisi klinis penderita dan

dokumentasi infeksi mikrobiologi. Pemberian antibiotik dikatakan cukup adekuat

apabila ANC ≥500 sel/mm3. Pemberian antibiotik dapat diberikan lebih lama.

Pendekatan terapi antibiotik empiris yang diikuti dengan antibiotik spektrum luas

pada penderita yang belum memiliki hasil kultur dapat diberikan setidaknya

sampai 2 hari kondisi tanpa demam. Kriteria lain adalah jumlah neutrofil >500

sel/mm3 setidaknya satu kali dari hasil pemeriksaan setelahnya. Bertahun-tahun

pengalaman telah membuktikan pendekatan tersebut efektif dan aman bagi

penderita.4

Profilaksis dengan CSF juga penting untuk pemulihan hematologi

penderita. Hal tersebut dibutuhkan untuk membuat keputusan menghentikan

pemberian antibiotik secara aman.4-6

24
Gambar 3. Algoritma Pemberian Antibiotik pada Penderita Risiko Tinggi dengan

Demam Berkepanjangan4

IX. Prognosis

Angka kematian berkisar 5% pada penderita tumor solid dengan FN dan

dapat mencapai 11% pada penderita FN dengan keganasan hematologi. Prognosis

semakin buruk terjadi pada penderita FN yang telah terbukti mengalami

bakteremia, dengan angka kematian sebesar 18% pada bakteremia karena bakteri

gram negatif dan 5% pada bakteremia karena bakteri gram positif. Penderita usia

lanjut yang melakukan kemoterapi memiliki risiko tinggi FN dan angka

morbiditas dan mortalitas juga meningkat.2

25
X. Kesimpulan

Febril neutropenia (FN) ditetapkan sebagai kegawatdaruratan medis dan

onkologi yang memiliki angka mortalitas tinggi. Demam neutropenia

didefinisikan sebagai keadaan dengan suhu oral 38.3oC (101.4oF) atau 38.0oC

(101oF) selama 1 jam dengan jumlah kurang dari 500 neutrofil/mm3 atau kurang

dari 1000 neutrofil/mm3 dengan prediksi menurun 500/mm3 sampai 48 jam

berikutnya.

Diagnosis FN dapat dilakukan dengan penilaian awal, pemeriksaan fisik,

hingga pemeriksaan penunjang yang mendukung. Stratifikasi risiko penderita FN

penting dilakukan untuk mengetahui rencana tata laksana dan kemungkinan

komplikasi yang timbul.

Tata laksana FN dapat dilakukan dengan menilai risiko penderita. Terapi

yang diberikan pada penderita risiko rendah dan tinggi berbeda. Baik antibiotik

maupun antifungal diberikan berdasarkan hasil kultur yang didapatkan. Pemberian

terapi empiris inisial dapat dilakukan pada penderita yang belum memiliki hasil

kultur.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Krishnamani K, Gandhi L, Sadashivudu G, et al. Epidemiologic, clinical

profile and factors affecting the outcome in febrile neutropenia. South

Asian J Cancer. 2017;6(1):25.

2. de Naurois J, Novitzky-Basso I, Gill MJ, et al. Management of febrile

neutropenia: ESMO clinical practice guidelines. Ann Oncol.

2010;21(SUPPL. 5):252-256.

3. Kar M, Rakesh R. Indian Guidelines for Febrile Neutropenia.

2002:350-353.

4. Freifeld AG, Bow EJ, SAepkowitz KA, et al. Clinical practice guideline

for the use of antimicrobial agents in neutropenic patients with cancer :

2010 update by the infectious diseases society of america.

2011;52:427-431.

5. Crawford J, Dale DC, Lyman GH. Chemotherapy-induced neutropenia.

Cancer. 2003;100(2):228-237.

6. Rasmy A, Amal A, Fotih S, Selwi W. Febrile neutropenia in cancer

patient : epidemiology, microbiology, pathophysiology and management. J

Cancer Prev Curr Ress. 2016;5(3):1-8.

7. Nurbaety B, Perwitasari DA, Andalusia R. Penggunaan antibiotik pada

pasien leukimia akut dewasa dengan febrile neutropenia setelah pemberian

27
kemoterapi agresif di rumah sakit kanker Dharmais Jakarta. Media

Farmasi. 2014;11(2):179-188.

8. Kholis FN. Penilaian risiko infeksi dengan skor MASCC pada penderita

demam neutropenia di rumah sakit Dr. Kariadi dan Telogorejo Semarang.

Media Medika Muda. 2017;2(1):1-7.

9. Aapro MS, Bohlius J, Cameron DA, et al. 2010 update of EORTC

guidelines for the use of granulocyte- colony stimulating factor to reduce

the incidence of chemotherapy-induced febrile neutropenia in adult

patients with lymphoproliferative disorders and solid tumours. Eur J

Cancer. 2010;47(1):8-32.

10. Nakagawa Y, Suzuki K, Ohta K, et al. Prospective randomized study of

cefepime, panipenem, or meropenem monotherapy for patients with

hematological disorders and febrile neutropenia. J Infect Chemother.

2013;19(1):103-111.

11. Lucas AJ, Olin JL, Coleman MD. Management and preventive measures

for febrile neutropenia. P&T. 2018;43(4):228-232.

12. Taj M, Nadeem M, Maqsood S, Shah T, Farzana T, Shamsi TS. Validation

of MASCC score for risk stratification in patients of hematological

disorders with febrile neutropenia. Indian J Hematol Blood Transfus.

2017;33(3):355-360.

13. Adachi J, Heredia EA, Aitken, et al. Neutropenic fever inpatient adult

treatment (Hematologic Cancers) including lymphoma/myeloma). MD

Anderson Cancer Centre. 2019; 1-9.

28
14. Albertha Health Service. Management of febrile neutropenia in adult

cancer patients. Albertha Heal Serv. 2014;3(4):2-19.

15. Wang XJ, Chan A, Chan A. Optimizing symptoms and management of

febrile neutropenia among cancer patients : Current Status and Future

Directions. 2017.

16. Cameron D. Management of chemotherapy-associated febrile neutropenia.

Br J Cancer. 2009;101(S1):S18-S22.

17. Paul M, Dickstein Y, Schlesinger A, Leibovici L. Beta-lactam versus

beta-lactam-aminoglycoside combination therapy in cancer patients with

neutropenia. The Cochrane Collaboration. 2013;(6):1-102.

29

Anda mungkin juga menyukai