Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah suatu penyakit yang
ditandai dengan adanya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh bronkitis
kronis atau empisema. Obstruksi aliran udara pada umumnya progresif
kadang diikuti oleh hiperaktivitas jalan nafas dan kadangkala parsial
reversibel, sekalipun empisema dan bronkitis kronis harus didiagnosa dan
dirawat sebagai penyakit khusus, sebagian besar pasien PPOK mempunyai
tanda dan gejala kedua penyakit tersebut. Sekitar 14 juta orang Amerika
terserang PPOK dan Asma sekarang menjadi penyebab kematian keempat di
Amerika Serikat. Lebih dari 90.000 kematian dilaporkan setiap tahunnya.
Rata-rata kematian akibat PPOK meningkat cepat, terutama pada penderita
laki-laki lanjut usia. Angka penderita PPOK di Indonesia sangat tinggi.
Banyak penderita PPOK datang ke dokter saat penyakit itu sudah lanjut.
Padahal, sampai saat ini belum ditemukan cara yang efisien dan efektif untuk
mendeteksi PPOK. Menurut Dr Suradi, penyakit PPOK di Indonesia
menempati urutan ke-5 sebagai penyakit yang menyebabkan kematian.
Sementara data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pada
tahun 2010 diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan ke-4 sebagai
penyebab kematian. "Pada dekade mendatang akan meningkat ke peringkat
ketiga. Dan kondisi ini tanpa disadari, angka kematian akibat PPOK ini
makin meningkat.
Oleh karena itu penyakit PPOK haruslah mendapatkan pengobatan yang
baik dan terutama perawatan yang komprehensif, semenjak serangan sampai
dengan perawatan di rumah sakit. Dan yang lebih penting dalah perawatan
untuk memberikan pengetahuan dan pendidikan kepada pasien dan keluarga
tentang perawatan dan pencegahan serangan berulang pada pasien PPOK di
rumah. Hal ini diperlukan perawatan yang komprehensif dan paripurna saat
di Rumah Sakit.

1.2 Rumusan Makalah


1. Apa pengertian dari “Penyakit Paru Obstruksi Kronik” ?
2. Bagaimana klasifikasi “Penyakit Paru Obstruksi Kronik” ?
3. Bagaimana tanda dan gejala dari “Penyakit Paru Obstruksi Kronik” ?
4. Bagaimana patofisiologis dari “Penyakit Paru Obstruksi Kronik” ?
5. Bagaimana pemeriksaan fisik dan diagnostic pada klien yang menderita
“Penyakit Paru Obstruksi Kronik” ?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis terhadap “Penyakit Paru Obstruksi
Kronik” ?
7. Bagaimana pencegahan Penyakit Paru Obstruksi Kronik ?
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien yang menderita “Penyakit
Paru Obstruksi Kronik” ?

1.3 Tujuan Makalah


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mendapatkan perencanaan Asuhan Keperawatan pada klien
yang mengalami penyakit PPOK.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mampu melaksanakan pengkajian terhadap klien dengan
penyakit PPOK
2. Dapat menegakkan diagnosa keperawatan pada klien dengan
penyakit PPOK
3. Mampu menyusun rencana tindakan keperawatan pada klien
dengan penyakit PPOK
4. Mampu mengimplementasikan dari rencana keperawatan pada
klien dengan penyakit PPOK
5. Mendapatkan mengevaluasi hasil tindakan keperawatan pada
klien dengan Penyakit PPOK.

1.4 Manfaat Makalah


1.4.1 Perawat
Meningkatkan kemampuan dalam memberikan asuhan keperawatan
kepada klien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik

1.4.2 Klien
Meningkatkan kemampuan klien untuk dapat melakukan perawatan
mandiri di rumah
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi PPOK


PPOK ( Penyakit Paru Obstruksi Kronis) adalah klasifikasi luas
dari gangguan, yang mencangkup bronkitis kronis, bronkiestasis, emfisema,
dan asma. PPOK merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan
dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-
paru.(Brunner&Suddarth,2001).Penyakit paru obstruktif kronis merupakan
sejumlah gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan ke luar
paru. (Arif Muttaqin,2008).
Obstruksi jalan napas yang menyebabkan reduksi aliran udara
beragam tergantung pada penyakit. Pada bronkitis kronis dan bronkiolitis,
penumpukan lendir dan sekresi yang sangat banyak menyumbat jalan napas.
Pada emfisema, obstruksi pada pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi
akibat kerusakan dinding alveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang
udara dalam paru.
Pada asma, jalan napas bronkial menyempit dan membatasi jumlah
udara yang mengalir kedalam paru-paru. Sehingga menyebabkan gagal
napas. Tipe-tipe gagal napas terdiri dari tipe I disebut gagal nafas
normokapnu hipoksemia atau kegagalan oksigenasi ( PaO2 rendah dan PCO2
normal). Tipe II disebut gagal nafas hiperkapnue hipoksemia atau kegagalan
ventilasi (PaO2 rendah dan PCO2 Tinggi). Protokol pengobatan tertentu
digunakan dalam semua kelainan ini, meski patofisiologi dari masing-masing
kelaian ini membutuhkan pendekatan spesifik.

2.2 Klasifikasi PPOK/ PPOM


A. Bronkitis Kronik
Bronkitis kronik adalah sebagai adanya batuk produktif yang
berlangsung 3 bulan dalam satu tahun atau selama 2 tahun berturut-
turut. Sekresi yang menumpuk dalam bronkioles mengganggu
pernapasan. Polusi adalah penyebab utama bronkitis kronis. Pasien
dengan bronkitis kronik lebih rentan terhadap kekambuhan terhadap
infeksi saluran pernapasan bawah. Kisaran infeksi virus, bakteri,
mikoplasma yang luas dapat menyebabkan episode bronkitis akut.
Eksaserbasi bronkitis kronik hampir pasti terjadi selama musim
dingin. Menghirup udara yang dingin dapat menyebabkan
bronkospasme bagi mereka yang rentan.
B. Emfisema Paru
Emfisema Paru adalah suatu distensi abnormal ruang udara di luar
bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini
merupakan tahap akhir proses yang mengalami kemajuan dengan
lambat selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika pasien
mengalami gejala, fungsi paru sering sudah mengalami kerusakan
yang ireversibel. Dibarengi dengan bronkitis obstruksi kronik, kondisi
ini merupakan penyebab utama kecacatan.
C. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang
disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi
bronkus; aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari
saluran pernapasan atas; dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah
yang berdilatasi, dan persebaran nodus limfe. Individu mungkin
mempunyai predisposisi terhadap bronkiektasis sebagai akibat infeksi
pernapasan pada masa kanak-kanaknya, campak, influenza,
tuberkulosis, dan gangguan imunodefisiensi. Setelah pembedahan,
bronkiektasis dapat terjadi ketika pasien tidak mampu untuk batuk
secara efektif, dengan akibat lendir menyumbat bronkial dan
mengarah pada atelektasis.
D. Asma
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversible
dimana trakea dan bronki berespon dalam secara hiperaktif terhadap
stimulasi tertentu. Asma dimanifestasikan dengan penyempitan jalan
nafas, yang menyebabkan dipsnea, batuk dan mengi.

2.3 Etiologi
PPOK disebabkan oleh faktor lingkungan dan gaya hidup. Yang
sebagian besar bisa dicegah. Merokok diperkirakan menjadi penyebab
timbulnya 80-90% kasus PPOK.. Laki-laki dengan usia antara 30-40 tahun
paling banyak menderita PPOK. Ada beberapa faktor resiko utama
berkembangnya penyakit ini yang dibedakan menjadi faktor paparan
lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain
adalah :
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan resiko
30 kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok,
dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-
20% perokok akan mmengalami PPOK. Kematian akibat PPOK
terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok,
dan status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun
demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. 10% orang
yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif
(tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko
menderita PPOK.
2. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik
yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan
debu gandum, toluena diisosianat, dan asbes, mempunyai resiko yang
lebih besar daripada yang bekerja ditempat yang selain yang
disebutkan diatas.
3. Polusi Udara
Pasien yang mempunyai gangguan paru akan semakin memburuk
gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari asap
dapur, asap pabrik, dll.

Sedangkan faktor resiko yang berasal dari host / pasiennya antara lain
adalah :
1. Usia
Semakin bertambah usia semakin besar resiko menderita PPOK.
Pada pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun,
kemungkinan besar dia menderita gangguan genetik berupa
defisiensi α1 antitripsin. Namun kejadian ini hanya dialami 1%
pasien PPOK.
2. Jenis Kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin
ini terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada
kecenderungan peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena
meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
3. Adanya Gangguan Fungsi Paru yang Sudah Terjadi
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupaka faktor risiko
terjadinya PPOK, misalnya defisiensi immunoglobulin A
(IgA/hypogammaglobulin) atau infeksi pada masa kanak-kanak
seperti TBC dan bronkiektasis. Individu dengan gangguan fungsi
paru-paru mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih besar
sejalan dengan waktu daripada yang fungsi parunya normal,
sehingga lebih berisiko terhadap berkembangnya PPOK. Termasuk
didalamnya adalah orang yang pertumbuhan parunya tidak normal
karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih
besar untuk mengalami PPOK.
4. Predisposisi Genetik, yaitu Defisiensi α1 Antitripsin (AAT)
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan kejadian emfisema,
yang disebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-
paru secara progresif karena adanya ketidakseimbangan antara
enzim proteolitik dan faktor protektif. Pada peristiwa inflamasi,
makrofag dan netrofil melepaskan enzim lisosomal yaitu elastase
yang dapat merusak jaringan di paru. Pada individu normal, faktor
protektif AAT akan menghambat enzim proteolitik sehingga
mencegah kerusakan. Karena itu, individu yang mengalami
defisiensi AAT akan lebih rentan terhadap kerusakan paru akibat
berkurangnya faktor proteksi ini. AAT diproduksi oleh gen
inhibitor protease (M). Satu dari 2500 orang adalah homozigot
untuk gen resesif (Z), yang menyebabkan kadar AAT dalam darah
rendah dan berakibat emfisema yang timbul lebih cepat. Orang
yang heterozigot (mempunyai gen MZ) juga berisiko menderita
emfisema, yang makin meningkat kemungkinannya dengan
merokok karena asap rokok juga dapat menginaktivasi AAT.
Wanita mempunyai kemungkinan perlindungan oleh estrogen yang
akan menstimulasi sintesis inhibitor protease seperti AAT.
Karenanya, faktor risiko pada wanita lebih rendah daripada pria

Penyakit paru obstruksi menahun adalah suatu gangguan yang


ditandai oleh uji arus ekspirasi yang abnormal yang tidak mengalami
perubahan selama beberapa bulan diobservasi, obstruksi aliran udara
mungkin bersifat struktural ataupun fungsional. Obstruksi aliran udara
yang penyebabnya spesifik seperti penyakit yang berlokalisasi di saluran
napas bagian atas bronkiektas dan ksitik fibrosis tidak dimasukkan ke
dalam PPOM (american thoracic society ). Kesimpulan PPOM (Penyakit
Paru Obstruktif Menahun) adalah suatu penyumbatan menetap pada
saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema atau bronkitis kronis
dan asma yang mengakibatkan obstruksi jalan napas yang bersifat
ireversibel dengan penyebab yang tidak diketahui dengan pasti.

2.4 Patofisiologi
Patofisiologi PPOK adalah sangat komplek dan komprehensif
sehingga mempengaruhi semua sistem tubuh artinya sama juga dengan
mempengaruhi gaya hidup manusia dalam prosesnya, penyakit ini bisa
menimbulkan kerusakan pada alveolar sehingga bisa mengubah fisiologi
pernapasan, kemudian mempengaruhi oksigenasi tubuh secara keseluruhan.
Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses
inflamasi bronkus dan juga menimbulkan kerusakan pada dinding bronkiolus
terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil
(bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase
ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat
ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara
(air trapping).
Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan
segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan
kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-
fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan
mengalami gangguan (Brannon, et al, 1993).

Abnormalitas pertukaran udara pada paru-paru terutama berhubungan dengan


tiga mekanisme berikut ini:
1. Ketidak seimbangan ventilasi-perfusi. Hal ini menjadi penyebab
utama hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dala darah.
Keseimbangan normal antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran
darah kapiler pulmo menjadi terganggu. Hubungan ventilasi dengan
perfusi didefinisikan dalam rasio ventilasi perfusi (V/Q) peningkatan
rasio V/Q terjadi ketika penyakit yang semakin berat sehingga
menyebabkan kerusakan pada alveoli dan kehilangan bed kapiler.
Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan ventilasi tetap sama.
Rasio (V/Q) yang menurun bisa dilihat pada pasien PPOK, dimana
saluran pernapasannya terhalang oleh mukus kental atau
bronchospasma. Disini penurunan ventilasi akan terjadi, akan tetapi
perfusi akan tatap sama, berkurang sedikit. Banyak diantara pasien
PPOK yang baik empisema maupun bronkitis kronis sehingga ini
menerangkan sebabnya mengapa mereka memilki bagian-bagian,
dimana terjadi rasio (v/q) yang meningkat dan ada yang menurun.
2. Mengalirnya darah kapiler pulmo. Darah yang tak mengandung
oksigen dipompa dari ventrikel kanan ke paru-paru, beberapa
diantaranya melewati bed kapiler pulmo tanpa mengambil oksigen.
Hal ini juga disebabkan oleh meningkatnya sekret pulmo yang
menghambat alveoli.
3. Difusi gas yang terhalang. Pertukaran gas yang terhalang biasanya
terjadi sebagai akibat dari satu atau dua sebab berikut ini yaitu
berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaaran udara sebagai
akibat dari penyakit empisema atau meningkatnya sekresi, sehingga
menyebabkan difusi menjadi semakin sulit.

Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni


jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan
tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya dengan arus darah ke
paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh
berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru.

2.5 Manifestasi Klinis


 Batuk Produktif
Batuk produktif ini disebabkan oleh inflamasi dan produksi mukus yang
berlebihan di saluran nafas.
 Dispnea
Terjadi secara bertahap dan biasanya disadari saat beraktivitas fisik.
Berhubungan dengan menurunnya fungsi paru-paru dan tidak
selalu berhubungan dengan rendahnya kadar oksigen di udara.
 Batuk Kronik
Batuk kronis umumnya diawali dengan batuk yang hanya terjadi pada
pagi hari saja kemudian berkembang menjadi batuk yang terjadi
sepanjanghari. Batuk biasanya dengan pengeluaran sputum dalam
jumlah kecil(<60ml/hari) dan sputum biasanya jernih atau keputihan.
Produksi sputum berkurang ketika pasien berhenti merokok
 Mengi
Terjadi karena obstruksi saluran nafas

 Berkurangnya Berat Badan


Pasien dengan PPOM yang parah membutuhkan kalori yang lebih besar
hanya untuk bernapas saja. Selain itu pasien juga mengalamikesulitan
bernafas pada saat makan sehingga nafsu makan berkurangdan pasien
tidak mendapat asupan kalori yang cukup untuk mengganti kalori yang
terpakai. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya berat badan pasien.
 Edema Pada Tubuh Bagian Bawah
Pada kasus CPOD yang parah, tekanan arteri pulmonary meningkatdan
ventrikel kanan tidak berkontraksi dengan baik. Ketika jantung
tidak mampu memompa cukup darah ke ginjal dan hati akan timbul edema
padakaki, kaki bagian bawah, dan telapak kaki. Kondisi ini juga dapat
menyebabkan edema pada hati atau terjadinya penimbunan cairan pada
abdomen (acites)
 Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak
mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
 Hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah.
 Penurunan daya kekuatan tubuh
 Nafas pendek dan cepat (Takipnea).
 Takikardia, berkeringat
 Hipoksia, sesak dalam dada.

2.5.1 Gejala Klinis PPOK :


 “Smoker’s cough” (batuk khas perokok), biasanya hanya diawali
sepanjang pagi yang dingin kemudian berkembang menjadi
sepanjang tahun.
 Sputum, biasanya banyak dan lengket (mucoid), berwarna kuning,
hijau, atau kekuningan bila terjadi infeksi.
 Dipsnea (sesak nafas), ekspirasi menjadi fase yang sulit pada
saluran pernafasan.

2.5.2 Gejala PPOK pada eksaserbasi akut :


 Peningkatan volume sputum
 Perburukan pernafasan secara akut
 Dada terasa berat (chest tightness)
 Peningkata purulensi sputum
 Peningkatan kebutuhan bronkodilator
 Lelah dan lesu
 Penurunan toleransi terhadap gerakan fisik (cepat lelah, terengah-
engah)

2.5.3 Gejala Pada Kasus PPOK Berat :


 Cyanosis (kulit membiru) akibat terjadi kegagalan respirasi
 Gagal jantung kanan (cor pulmonale) dan edema perifer
 Plethoric complexion, yaitu pasien menunjukkan gejala wajah yang
memerah yang disebabkan polycythemia (erythrocytosis, jumlah
eritrosit yang meningkat)

Gejala-gejala awal dari PPOM/ PPOK, yang bisa muncul


setelah 5-10 tahun merokok, adalah batuk dan adanya lendir. Batuk
biasanya ringan dan sering disalah-artikan sebagai batuk normal
perokok, walaupun sebetulnya tidak normal. Sering terjadi nyeri
kepala dan pilek. Selama pilek, dahak menjadi kuning atau hijau
karena adanya nanah. Lama-lama gejala tersebut akan semakin sering
dirasakan. Bisa juga disertai mengi/bengek. Pada umur sekitar 60
tahun, sering timbul sesak nafas waktu bekerja dan bertambah parah
secara perlahan. Akhirnya sesak nafas akan dirasakan pada saat
melakukan kegiatan rutin sehari-hari, seperti di kamar mandi,
mencuci baju, berpakaian dan menyiapkan makanan. Sepertiga
penderita mengalami penurunan berat badan, karena setelah selesai
makan mereka sering mengalami sesak yang berat sehingga penderita
menjadi malas makan. Pembengkakan pada kaki sering terjadi karena
adanya gagal jantung. Pada stadium akhir dari penyakit, sesak nafas
yang berat timbul bahkan pada saat istirahat, yang merupakan
petunjuk adanya kegagalan pernafasan akut. 30 % penderita PPOM
dengan sumbatan yang berat akan meninggal dalam waktu satu tahun
dan 95 % meninggal dalam waktu 10 tahun. Kematian bisa
disebabkan oleh kegagalan pernafasan, pneumonia, pneumotorak
(masuknya udara ke dalam rongga paru), aritmia jantung atau emboli
paru (penyumbatan arteri yang menuju ke paru-paru). Penderita
PPOM juga memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya kanker paru.

2.6 Komplikasi
 Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55
mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan
mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada
tahap lanjut timbul cyanosis.
 Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang
muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
 Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa.
Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya
dyspnea.
 Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru),
harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi
ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan
emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
 Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratory.
 Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma
bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan
seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan.
Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali
terlihat.

2.8 Pemeriksaan Fisik


 Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shapped chest (diameter
anteroposterior dada meningkat).
 Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada.
 Perkusi pada dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati
lebih rendah, pekak jantung berkurang.
 Suara nafas berkurang

2.9 Pemeriksaan Diagnostik


 Sinar X Dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya
diafragma; peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda
vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler
(bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
 JDL dan Diferensial: Hemoglobin meningkat (emfisema luas),
peningkatan eosinofil (asma)
 Kimia Darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi
dan diagnosa emfisema primer
 EKG: Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat);
disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III,
AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema)
 EKG Latihan, Tes Stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi
paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator,
perencanaan/evaluasi program latihan.
 Chest X-Ray : dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened
diafragma, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda
vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular
(bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)
 Pemeriksaan Fungsi Paru : dilakukan untuk menentukan penyebab
dari dispnea menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat
obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk
mengevaluasi efek dari terapi, misal : bronchodilator.
 TLC : meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma,
menurun pada emfisema.
 FEV1/FVC : ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan
kapasitas vital. (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.
 ABGs : menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun
dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema)
tetapi seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis,
alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema
sedang atau asthma).
 Bronchogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi,
kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran
kelenjar mukus (bronchitis).
 Darah Komplit : peningkatan hemoglobin (emfisema berat),
peningkatan eosinofil (asthma).
 Sputum Kultur : untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi
patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan
atau allergi.
 ECG : deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial
disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi
(bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema).
 Exercise ECG, Stress Test : menolong mengkaji tingkat disfungsi
pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator,
merencanakan/evaluasi program.

2.10 Penatalaksanaan Medis


Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
 Memperbaiki kemampuan penderita mengatasiu gejala tidak hanya
pada fase akut, tetapi juga fase kronik.
 Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas
harian.
 Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat
dideteksi lebih awal.
Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:
 Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera
menghentikan merokok, menghindari polusi udara.
 Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
 Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi
antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus
tepat sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji
sensitivitas atau pengobatan empirik.
 Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator.
Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi
(bronkospasme) masih controversial.
 Pengobatan simtomatik.
 Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
 Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus
diberikan dengan aliran lambat 1 – 2 liter/menit.
 Tindakan rehabilitasi yang meliputi:
a. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran
secret bronkus.
b. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa
melakukan pernapasan yang paling efektif.
c. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan
untuk memulihkan kesegaran jasmani.
d. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap
penderita dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.

Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)


 Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi
udara
 Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S.
Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari
atau eritromisin 4x0.56/hari Augmentin (amoksilin dan
asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab
infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang
memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti
kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien
yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat
penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak
flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode
eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
b. Terapi oksigen diberikan jika terdapata kegagalan
pernapasan karena hiperkapnia dan berkurangnya
sensitivitas terhadap CO2
c. Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum
dengan baik.
d. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas,
termasuk di dalamnya golongan adrenergik b dan anti
kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg
dan atau ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam
dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56 IV secara
perlahan.
Terapi jangka panjang di lakukan :
 Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin
4x0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
 Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran
napas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan
pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
 Fisioterapi
 Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
 Mukolitik dan ekspektoran
 Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal
napas tipe II dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg)
 Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar
terhindar dari depresi. Rehabilitasi untuk pasien PPOK adalah :
a. Fisioterapi
b. Rehabilitasi psikis
c. Rehabilitasi pekerjaan (Mansjoer 2001 : 481-482)

2.11 Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya PPOK dapat dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu:
1. Merubah pola hidup : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi dan
polusi udara.
2. Pencegahan Penyakit Paru Pada Usia Lanjut.
Proses penuaan pada seseorang tidak bisa dihindari. Perubahan
struktur anatomik maupun fisiologik alami juga tidak dapat dihindari.
Pencegahan terhadap timbulnya penyakit-penyakit paru pada usia
lanjut dilakukan pada prinsipnya dengan meningkatkan daya tahan
tubuhnya dengan memperbaiki keadaan gizi, menghilangkan hal-hal
yang dapat menurunkan daya tahan tubuh, misalnya menghentikan
kebiasaan merokok, minum alkohol dan sebagainya.
3. Pencegahan terhadap timbulnya beberapa macam penyakit dilakukan
dengan cara yang lazim, diantaranya:
a. Usaha pencegahan infeksi paru / saluran nafas
Usaha untuk mencegahnya dilakukan dengan jalan menghambat,
mengurangi atau meniadakan faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya infeksi. Hal positif yang dapat dilakukan misalnya
dengan melakukan vaksinasi dengan vaksin pneumokok untuk
menghindari timbulnya pneumoni, tetapi sayangnya pada usia
lanjut vaksinasi ini kurang berefek (Mangunegoro, 1992).
b. Usaha pencegahan timbulnya PPOM atau karsinoma paru
Sejak usia muda, bagi orang-orang yang beresiko tinggi terhadap
timbulnya kelainan paru (PPOM dan karsinoma paru), perlu
dilakukan pemantauan secara berkala:
 Pemeriksaan foto rontgen toraks
Pemeriksaan faal paru, paling tidak setahun sekali. Sangat
dianjurkan bagi mereka yang beresiko tinggi tadi (perokok
berat dan laki-laki) menghindari atau segera berhenti
merokok.

ASUHAN KEPERAWATAN
2.12 Pengkajian
A. Identitas Klien
Nama:
Tempat Tanggal Lahir:
Umur:
jenis Kelamin:
Agama/Suku:
Warga Negara:
Bahasa Yang Digunakan:
Penanggung Jawap Meliputi : Nama, Alamat, Hubungan dengan klien:

B. Keluhan Utama
Keluhan yang dirasakan klien pada saat pertama kali masuk Rumah Sakit.

C. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Penyakit Sekarang: Klien masuk melalui IGD dengan
keluhan sesak, sering kambuh, nyeri, tidur harus ½ duduk.
2. Riwayat Penyakit Dahulu: Klien mengatakan bahwa klien
mempunyai riwayat asma sejak kecil.
3. Riwayat Penyakit Keluarga: Orang tua dan saudarah dari klien
ada juga yang menderita penyakit seperti yang diderita klien saat
ini
4. Riwayat Psikososial – Spiritual:
 Psikologis: perasaan yang dirasakan oleh klien, apakah
cemas/ sedih ?
 Sosial: bagaimana hubungan klien dengan orang lain
maupun orang terdekat klien dan lingkungannya ?
 Spiritual: apakah klien tetap menjalankan ibadah selama
perawatan di rumah sakit ?

D. Genogram
Bagan penyakit keturunan yang diturunkan oleh keluarga klien

2.13 Pemeriksaan Fisik


a. Pernafasan ( B1: Breathing)
 Inspeksi
Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan serta
penggunaan otot bantu nafas. Bentuk dada barrel chest (akibat udara
yang terperangkap), penipisan massa otot, dan pernafasan dengan
bibir dirapatkan. Pernafasan abnormal tidak efektif dan penggunaan
otot-otot bantu nafas (sternokleidomastoideus). Pada tahap lanjut,
dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-
hari seprti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan
sputum purulen diserti demam mengindikasikan adanya tanda
pertama infeksi pernafasan.
 Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil biasanya menurun.
 Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan
diafragma menurun.
 Auskultasi
Sering didapatakan adanya bunyi nafas ronkhi dan wheezing sesuai
tingkat beratnya obstruksi pada bronkiolus. Pada pengkajian lain,
didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar
karbon dioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut
penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekali pun seperti
seperti membungkuk untuk mengikatkan tali sepatu, mengakibatkan
dispnea dan keletihan (dispnea eksersonial). Paru yang mengalami
emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkiolus tidak
dikosongkan secara efektif dari sekresi yang dihasilkannya. Klien
renta terhadap reaksi imflamasi dan infeksi akibat pegumpulan
sekresi ini. Setelah infeksi terjadi, klien mengalami mengi yang
berkepanjangan saat ekspirasi.

b. Kardiovaskuler (B2: Blood)


sering didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum. Denyut nadi
takikardi. Tekanan darah biasanya normal. Batas jantung tidak
mengalami pergeseran. Vena jungularis mungkin mengalami distensi
selama ekspirasi. Kepala dan wajah jarang dilihat adanya sianosis.

C. Persyarafan (B3: Brain)


Kesadaran biasanya compos mentis apabila tidak ada komplikasi
penyakit yang serius.

D. Perkemihan (B4: Blader)


Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada
system perkemihan. Namun perawat perlu memonitori adanya oliguria
yang merupakan salah satu tanda awal dari syok.

E.Pencernaan (B5: Bowel)


Klien biasanya mual, nyeri lambung dan menyebabkan klien tidak nafsu
makan. Kadang disertai penurunan berat badan.

F.Tulang Otot dan Integumen (B6: Bone)


Karena penggunaan otot bantu nafas yang lama klien terlihat kelelahan,
sering didapatkan intoleransi aktivitas dan gangguan pemenuhan ADL
(Ativity Day Living).

G.Psikososial
Klien biasanya cemas dengan keadaan sakitnya

2.14 Diagnosa Keperawatan


1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan
peningkatan produksi secret, sekresi tertahan, tebal dan kental.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
berkurang. (obstruksi jalan napas oleh secret, spasme bronkus).
3. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan proses peradangan
pada selaput paru-paru.

2.15 Intervensi Keperawatan


1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan
peningkatan produksi secret, sekresi tertahan, tebal dan kental.
 Tujuan : Ventilasi/oksigenisasi adekuat untuk kebutuhan
individu.
 Kriteria hasil : Mempertahankan jalan napas paten dan bunyi
napas bersih/jelas.
 Intervensi

a. Pantau frekuensi pernapasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi.


Rasional : Takipnea biasanya ada beberapa derajat dan
dapat ditemukan pada penerimaan atau selama
stress/adanya proses infeksi akut. Pernapasan dapat
melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang disbanding
inspirasi.

b. Arahkan pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya


peninggian kepala tempat tidur, duduk dan sandaran tempat
tidur.
Rasional : Peninggian kepala tempat tidur mempermudah
pernapasan dan menggunakan gravitasi. Namun pasien
dengan distress berat akan mencari posisi yang lebih mudah
untuk bernapas. Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal
dan lain-lain membantu menurunkan kelemahan otot dan
dapat sebagai alat ekspansi dada.

c. Auskultasi bunyi napas, catat adanya bunyi napas misalnya:


mengi, krokels dan ronki.
Rasional : Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan
obstruksi jalan napas dan dapat/tidak dimanifestasikan
dengan adanya bunyi napas adventisius, misalnya :
penyebaran, krekels basah (bronchitis), bunyi napas redup
dengan ekspirasi mengi (emfisema), atau tidak adanya
bunyi napas (asma berat).

d. Catat adanya /derajat disepnea, misalnya : keluhan “lapar


udara”, gelisah, ansietas, distress pernapasan, dan
penggunaan obat bantu.
Rasional : Disfungsi pernapasan adalah variable yang
tergantung pada tahap proses kronis selain proses akut yang
menimbulkan perawatan di rumah sakit, misalnya infeksi
dan reaksi alergi.

e. Dorong/bantu latihan napas abdomen atau bibir.


Rasional : Memberikan pasien beberapa cara untuk
mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan
jebakan udara.
f. Observasi karakteristik batuk, misalnya : menetap, batuk
pendek, basah, bantu tindakan untuk memperbaiki
keefektifan jalan napas.
Rasional : Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif,
khususnya bila pasien lansia, sakit akut, atau kelemahan.
Batuk paling efektif pada posisi duduk paling tinggi atau
kepala dibawah setelah perkusi dada.

g. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai


toleransi jantung.
Rasional : Hidrasi membantu menurunkan kekentalan
secret, mempermudah pengeluaran. Penggunaan air hangat
dapat menurunkan spasme bronkus. Cairan selama makan
dapat meningkatkan distensi gaster dan tekanan pada
diafragma.

h. Bronkodilator, misalnya, β-agonis, efinefrin (adrenalin,


vavonefrin), albuterol (proventil, ventolin), terbutalin
(brethine, brethaire), isoeetrain (brokosol, bronkometer).
Rasional : Merilekskan otot halus dan menurunkan
kongesti local, menurunkan spasme jalan napas, mengi dan
produksi mukosa. Obat-obatan mungkin per oral, injeksi
atau inhalasi. dapat meningkatkan distensi gaster dan
tekanan pada diafragma. (Doenges, 1999. hal 156).

2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen


berkurang. (obstruksi jalan napas oleh sekret, spasme bronkus).
 Tujuan : Mempertahankan tingkat oksigen yang adekuat untuk
keperluan tubuh.
 Kriteria hasil :
 Tanpa terapi oksigen, SaO2 95 % dank lien tidan
mengalami sesak napas.
 Tanda-tanda vital dalam batas normal
 Tidak ada tanda-tanda sianosis.
 Intervensi :
a. Pantau frekuensi, kedalaman pernapasan, catat
pengguanaan otot aksesorius, napas bibir, ketidakmampuan
bicara/berbincang.
Respon : Berguna dalam evaluasi derajat distress
pernapasan dan kronisnya proses penyakit.
b. Awasi secara rutin kulit dan warna membrane mukosa.
Rasional : Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku)
atau sentral (terlihat sekitar bibir atau danun telinga).
Keabu-abuan dan dianosis sentral mengindikasikan
beratnya hipoksemia.
c. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih
posisi yang mudah untuk bernapas. Dorong napas dalam
perlahan atau napas bibir sesuai dengan kebutuhan/toleransi
individu.
Rasional : Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan
posisi duduk tinggi dan laithan napas untuk menurunkan
kolaps jalan napas, dispnea dan kerja napas.
d. Dorong mengeluarkan sputum, pengisapan bila
diindikasikan.
Rasional : Kental tebal dan banyak sekresi adalah sumber
utama gangguan pertukaran gas pada jalan napas kecil, dan
pengisapan dibuthkan bila batuk tak efektif.
e. Auskultasi bunyi napas, catat area penurunan aliran udara
dan/atau bunyi tambahan.
Rasional : Bunyi napas mingkin redup karena penurrunan
aliran udara atau area konsolidasi. Adanya mengi
mengindikasikan spasme bronkus/ter-tahannya sekret.
Krekles basah menyebar menunjukan cairan pada
interstisial/dekompensasi jantung.
f. Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung.
Rasional : Takikardi, disiretmia dan perubahan tekanan
darah dapat menunjuak efek hipoksemia sistemik pada
fungsi jantung.
g. Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi
hasil GDA dan toleransi pasien.
Rasional : Dapat memperbaiki/mencegah memburuknya
hipoksia. Catatan ; emfisema koronis, mengatur pernapasan
pasien ditentikan oleh kadar CO2 dan mungkin
dikkeluarkan dengan peningkatan PaO2 berlebihan.
(Doenges, 1999. hal 158).

3. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan proses peradangan


pada selaput paru-paru.
 Tujuan : Rasa nyeri berkurang sampai hilang.
 Kriteria hasil :
 Klien mengatakan rasa nyeri berkurang/hilang.
 Ekspresi wajah rileks.
 Intervensi :
a. Tentukan karakteristik nyeri, misalnya ; tajam,
konsisten, di tusuk, selidiki perubahan
karakter/intensitasnyeri/lokasi.
Rasional : Nyeri dada biasanya ada dalam beberapa
derajat pneumonia, juga dapat timbul komplikasi
seperti perikarditis dan endokarditis.
b. Pantau tanda-tanda vital.
Rasional: Perubahan frekuensi jantung atau TD
menunjukan bahwa pasien mengalami nyeri, khususnya
bila alasan lain untuk perubahan tanda-tanda vital.
c. Berikan tindakan nyaman, misalnya ; pijatan
punggung, perubahan posisi, music
tenang/perbincangan, relaksasi/latihan napas.
Rasional : Tindakan non-analgetik diberikan dengan
sentuhan lembut dapat menghilangkan
ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapi
analgesic.
d. Tawarkan pembersihan mulut dengan sering.
Rasional : Pernapasan mulut dan terapi oksigen dapat
mengiritasi dan mengeringkan memberan mukosa,
potensial ketidaknyamanan umum.
e. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada
selama episode batuk.
Rasional : Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan
dada sementara meningkatkan keefektifan upaya batuk.
f. Berikan analgesic dan antitusif sesuai indikasi.
Rasional : Obat ini dapat digunakan untuk menekan
batuk non produktif/proksimal atau menurunkan
mukosa berlebihan, meningkatkan
kenyamanan/istirahat umum. (Doenges, 1999. hal 171).

BAB III
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.Z DENGAN PENYAKIT PARU
OBSTRUKSI KRONIK DI RUANG PARU RSUD. DR SOETOMO
SURABAYA

3.1 Pengkajian
Tgl Masuk Rumah Sakit: 20 September 2013 Jam 16.00 WIB
Tgl Kaji: 22 September 2013 Jam 12.15 WIB
1. Identitas Klien
Nama: Tn.Z
Umur: 49 thn
Jenis Kelamin: Laki-Laki
Alamat: Gedangan, Probolingo
Agama: Islam
Pendidikan: SMA
Pekerjaan: Karyawan Pabrik
No Tlpn: 085700013900
Dx Medis: PPOK

2. Keluhan Utama: Klien mengatakan sesak di dada dan nafas terasa


berat
3. Riwayat Kesehatan:
 Riwayat Penyakit Sekarang
Klien mengatakan batuk-batuk disertai dahak dan dada terasa
berat kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu. Selama sakit klien
memeriksakannya ke puskesmas dan diberi obat kemudian
sembuh, namun selang beberapa bulan kambuh lagi. Saat
kambuh klien tidak mengobatinya lagi ke puskesmas karena
klien bilang batuknya akan hilang dengan sendirinya. Hingga
2 hari yang lalu pada tanggal 20 September 2013 klien
mengatakan sesak dan dibawah ke IRD RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. Kemudian klien mengalami opname diruang Paru
RSUD Dr. Soetomo.
 Riwayat Penyakit Dahulu
TB Paru (-), asma (-), dan penyakit pernafasan/ paru yang
lainnya (-).
 Riwayat Penyakit Keluarga
Klien mengatakan anggota keluarga tidak ada yang
mempunyai penyakit paru sebelumnya.

4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmhg
Suhu : 37 derajat celcius
Respiratory Rate : 29 x/menit
b. Pernafasan (B1: Breathing)
1. Inspeksi
Pola Nafas : Tidak teratur
Jenis : dispnea
RR : 29x/menit
Batuk : ya (Tidak Efektif)
Adanya retreksi otot bantu nafas, reflek batuk (+)
2. Palpasi
Ekspansi meningkat dan taktil fremitus menurun
3. Perkusi
Sonor dan diafragma menurun
4. Auskultasi
Bunyi nafas wheezing
MK: Ketidak efektifan bersihan jalan nafas
c. Kardiovaskuler (B2:Blood)
1. inspeksi
Tidak ada pembesaran jantung. Kepala dan wajah tidak
ada sianosi.
2. Palpasi
N: 103 x/mnt
Irama tidak teratur
Akral: hangat, kering, merah
CRT: 1 detik
3. Auskultasi
Tekanan Darah :110/70 mmhg
MK: tidak ada masalah kesehatan
d. Persyarafan (B3: Brain)
GCS : 456
Kesadaran : Compos Mentis
MK : tidak ada masalah keperawatan
e. Perkemihan ( B4: Blader)
Klien minum 7-8 gelas perhari, BAK lancer produksi urin
kurang lebih 1800cc/24 jam dan tidak ada keluhan pada
system perkemihan
MK: tidak ada masalah kesehatan
f. Bowel (B5: Pencernaan)
Makan 3x/hari. Porsi makan tidak habis, makan hanya 1-2
sendok makan. Klien mual (+), muntah (-), dan tidak nafsu
makan, BB turun dari 56 kg menjadi 53 kg. Selama di rumah
sakit belum pernah BAB.
MK: Gangguan Pemenuhan kebutuhan nutrisi
g. Tulang, otot dan integument (B6: Bone)
Klien mampu melakukan aktivitas dengan baik, klien terlihat
kelelahan. Tidak ada edema
MK: tidak ada masalah kesehatan

h. Psikososial
Klien mengatakan dirinya adalah seorang yang sering sakit.
Orang – orang terdekatnya sanagat perhatian dengan klien.
Jika ada masalah klien selalu memusyawarakan dengan
keluarga. Klien juga mengatakan sudah terbiasa dengan
sakitnya.
MK: tidak ada masalah kesehatan

5. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pengukuran Fungsi Paru (Spirometri)


Kapasitas paru (TLC) dan volume residu (RV) meningkat.
Kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi paksa (FEV) menurun
b. Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 12.3 (14-16 g/dl)
Leukosit : 7000 (5000-10000/UL)
Trombosit : 204.000 (150.000-400000/UL)
Eritrosit : 4.90 juta (4.5-5.5 juta)
GDA : 157 mg/dl (<200)

Elektrolit
Na : 138.1 (135-147 mEq)
K : 3.9 (3.5-5.5 mEq)
Cl : 98.2 (100-106 mEq)

Analisa Gas Darah (BGA):


Ph : 7,40 (7.35-7.45)
pO2 : 68 (80-104 mmHg)
pCO2 : 43 (25-45 mmHg)
HCO3 : 4,2 (<4.25 mmol/L)
O2 Saturasi : 97,4%
CO2 Saturasi : 20,2 mmol/L
c. Pemeriksaan Radiologi
Rontegen thorax menunjukan adanya hiperinflasi, pendataran
diafragma, dan pelebaran margin interkosta

6. Terapi Pengobatan
 Oksigen Masker 6 lpm
 RL: D5 = 1:2
 Cefotaxim 3 x lg
 Antrain 3 x lg
 Ranitidin 3 x 50 mg
 Bronkodilator :fenoterol HBr O,1% solution
 Mulokitik : ventolin 2,5 mg
 Kortikosteroid

3.2 Analis Data


Pengelompokan Data Kemungkinan Masalah
Penyebab
S: Klien mengatakan Obstruksi pada
sesak di dada dan nafas pertukaran O2 dan
terasa berat CO2 akibat kerusakan
dinding alveoli
O:
 Klien tidak Ketidakefektifan
Gangguan pergerakan
mampu batuk bersihan jalan nafas
udara dari dalam ke
efektif luar paru
 Whezzing (+)
 RR: 29 x/menit Penurunan
 Adanya retraksi
kemampuan batuk
otot bantu napas
efektif

Ketidakefektifan
S: klien mengatakan bersihan jalan nafas
sesak di dada
dan nafas terasa berat Obstruksi pada
pertukaran O2 dan
O:
 RR: 29 x/ menit CO2 akibat kerusakan Gangguan Pertukaran
 Nadi: 103 dinding alveoli
Gas
x/menit
Gangguan pergerakan
 Dispnea saat
udara dari dalam ke
aktivitas
 Warna kulit luar paru
normal:
Peningkatan usaha dan
sianosis(-)
frekuensi pernafasan
 Ph: 7.40
 Pco2: 68 mmHg penggunaan otot bantu
 Po2: 43 mmHg pernafasan

Peningkatan kerja
pernafasan hipoksemia
secara reversible
S: Klien mengatakan Gangguan pertukaran
tidak nafsu makan. gas Gangguan pemenuhan
Belum pernah BAB kebutuhan nutrisi:
selama di rumah sakit kurang dari kebutuhan
PPOK
tubuh
O: Respon sistemik dan
 Porsi makan
psikologis
tidak habis (1-2
sendok) Keluhan sistemik,
 Mual (+) mual, intake nutrisi
 BB turun: 56 kg
53 kg tidak adekuat, malaise,
 KU: lemah kelemahan, dan
3.3 Diagnosa Keperawatan
N Diagnosa Keperawatan
O

1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan peningkatan


produksi secret, sekresi tertahan, tebal dan kental. Ditandai dengan:
 Klien mengatakan sesak di dada dan nafas terasa berat
 Klien tidak mampu batuk efektif
 Whezzing (+)
 RR: 29 x/ menit
 Adanya retraksi otot bantu nafas
2
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
berkurang. (obstruksi jalan napas oleh secret, spasme bronkus). Ditandai
dengan:
 Klien mengatakan sesak di dada dan nafas terasa berat
 RR: 29 x/ menit
 Nadi: 103 x/menit
 Dispnea saat aktivitas
 Warna kulit normal: sianosis (-)
 Ph: 7,40
 Pco2: 68 mmHg
3.
 Po2: 43 mmHg

Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan penurunan nafsu makan. Ditandai dengan:
 Klien mengatakan tidak nafsu makan
 Porsi makan tidak habis (1-2 sendok)
 Mual (+)
 BB turun: 56 53 kg
 Belum pernah BAB selama masuk rumah sakit
 KU: Lemah
3.4 INTERVENSI
TGL/JAM NO TUJUAN KRITERIA HASIL RENCANA TINDAKAN RASIONAL
DX
KEP
22 1 Tujuan: 1. Atur posisi semi fowler. 1. Meningkatkan ekspansi dada.
Septembe Dalam waktu 15 menit setelah 2. Ajarkan cara batuk efektif. 2. Batuk yang terkontrol dan efektif dapat
r 2013 diberikan intervensi jalan memudahkan pengeluaran dari secret yang
napas kembali efektif ditandai melekat dijalan napas.
dengan berkurangnya 3. Bantu klien latihan napas dalam. 3. Ventilasi maksimal membuka lumen jalan
kuantitas dan viskositas napas dan meningkatkan gerakan secret
sputum untuk kedalam jalan napas besar untuk dikeluarkan.
memperbaiki ventilasi paru 4. Pertahankan intake cairan 4. Hidrasi yang adekuat membantu
dan pertukaran gas. sedikitnya 1500 ml/hari kecuali mengencerkan secret dan mengefektifkan
tidak diindikasikan. pembersihan jalan napas.
Kriteria Evaluasi: 5. Lakukan fisioterapi dad dengan 5. Postural drainase dengan perkusi dan
Dapat menyatakan dan teknik postural drainase dan fibrasi vibrasi menggunakan bantuan gaya gravitasi
mendemontrasikan batuk dada. untuk membantu menaikkan sekresi sehingga
efektif,dan pernapasan dapat dikeluarkan atau dihisap dengan
klien normal 6. Berikan obat : mudah.
(16-20 x/menit) tanpa ada Bronkolidator,nebulizer (via 6. Pemberian bronkodilator via inhalasi akan
penggunaan otot bantu inhalasi): fenoterol HBr 0,1%. langsung menuju area bronchus yang
napas. mengalami spasme sehingga lebih cepat
7. Agen mukolitik dan berdilatasi.
ekspektoran: ventolin 2,5 mg. 7. Agen mukolitik menurunkan kekentalan
dan perlengketan secret paru untuk
memudahkan pembersihan. Agen
ekspektoran akan memudahkan secret lepas
8. Berikan kortikosteroid. dari perlengketan dari jalan napas.
8. Kortikosteroid berguna dengan
keterlibatan luas pada hipoksemia dan
menurunkan reaksi inflamasi akibat edema
mukosa dan dinding bronchus.
2 1.Kolaborasi pemberian oksigen
Tujuan : via nasal. 1. Oksigen diberikan saat terjadi hipoksemia.
Dalam waktu 3x24 jam Perawat harus memantau kemanjuran terapi
setelah diberikan oksigen dan memastikan bahwa klien patuh
intervensi pertukaran gas 2. Kolaborasi untuk pemberian dalam penggunaan alat pemberi oksigen.
membaik. bronkodilator secara aerosol. 2. Terapi aerosol membantu mengencerkan
sekresi sehingga dapat dibuang.
Kriteria Evaluasi: Bronkodilator yang dihirup sering
 Frekuensi napas ditambahkan dalam nebulizer untuk
16-20 x/menit. memberikan aksi bronkodilator langsung
 Frekuensi nadi 3. Kolaborasi untuk pemantauan pada jalan napas,dengan demikian
70-90 x/menit. analisis gas arteri. memperbaiki pertukaran gas.
 Warna kulit 4. Kaji keefektifan jalan napas. 3. Sebagai bahan evaluasi setelah melakukan
normal. intervensi.
 pH normal 4. Bronkhospasme dideteksi ketika terdengar
(7.35-7.45). mengi saat diauskultasi dengan stetoskop.
 pO2 normal Peningkatan pembekuan mucus sejalan
(80-104 mmHg). dengan penurunan aksi mukosiliaris
 pCO2 normal menunjang penurunan lebih lanjut diameter
(25-45 mmHg). bronchi dan mengakibatkan penurunan aliran
udara serta penurunan pertukaran gas, yang
diperburuk oleh kehilangan daya elastisitas
paru.
3 1. Fasilitasi klien untuk
Tujuan : memperoleh diet biasa yang
Dalam waktu 3x24 jam disukai klien.
setelah diberikan tindakan 2. Fasilitasi pemberian diet TKTP, 1. Memperhitungkan keinginan individu
keperawatan,intake nutrisi berikan dalam porsi kecil tapi dapat memperbaiki intake gizi.
klien terpenuhi. sering.
3. Lakukan dan ajarkan perawatan 2. Memaksimalkan intake nutrisi tanpa
Kriteria Evaluasi : mulut sebelum dan sesudah makan kelelahan dan energi besar serta menurunkan
 Klien dapat serta sebelum dan sesudah iritasi saluran cerna.
mempertahankan status intervensi/pemeriksaan per oral. 3. Mengurangi rasa tidak enak karena sisa
gizinya dari yang 4. Kolaborasi dengan ahli gizi makanan atau obat pada pengobatan sistem
semula kurang menjadi untuk menetapkan komposisi dan pernapasan yang merangsang pusat mutah.
adekuat. jenis diet yang tepat.
 Pernyataan motivasi 4. Merencanakan diet dengan kandungan gizi
kuat untuk memenuhi 5. Kolaborasi untuk pemberian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
kebutuhan nutrisinya. obat antimual : Ranitidien 3x50 energi dan kalori sehubung dengan status
 Porsi makan habis. mg. hipermetabolik klien.
 Mual (-) 6. Pantau intake dan output, 5. Mengurangi rasa mual.
timbang berat badan secara
periodik (sekali seminggu). 6. Berguna dalam mengukur keefektifan
intake gizi dan dukungan cairan.
3.5 IMPLEMENTASI
NO DX TGL JAM TINDAKAN KEPERAWATAN PELAKSANA
KEP
1 23-09-2013 09:0 1. Mengatur posisi semifowler. Ners
0 2. Mengajarkan cara batuk efektif.
3. Membantu klien latihan napas dalam
mempertahankan intake cairan
sedikitnya 1500 ml/hari kecuali tidak
diindikasikan.
4. Melakukan fisioterapi dada dengan
teknik postural drainase dan fibrasi
dada.
5. Memberikan obat :
Bronkodilator,nebulizer (via inhalasi)
fenoterol HBr 0,1% solution,
6. Memberikan mukotitik dan
ekspektoran
7. Memberikan Kortikosteroid.

2 23-09-2013 1. Berkolaborasi pemberian oksigen via Ners


10:0 nasal.
0 2. Berkolaborasi untuk pemberian
Bronkodilator secara aerosol.
3. Berkolaborasi untuk pemantauan
analisis gas arteri.
4. Mengkaji keefektifan jalan napas.

3 23-09-2013 1.Memfasilitasi klien untuk Ners


memperoleh diet biasa yang disukai
11:00 klien.
2. Memfasilitasi pemberian diet TKTP,
berikan dalam porsi kecil tapi sering.
3. Melakukan dan mengajarkan
perawatan mulut sebelum dan sesudah
makan serta sebelum dan sesudah
intervensi/pemeriksaan per oral.
4. Berkolaborasi dengan ahli gizi untuk
menetapkan komposisi dan jenis diet
yang tepat.
5. Berkolaborasi untuk pemberian obat
anti mual : Ranitidine 3x50 mg.
6. Memantau intake dan output,
timbang berat badan secara periodik
(sekali seminggu).
3.6 EVALUASI
TANGGAL NO DX CATATAN PERKEMBANGAN PELAKSANA
JAM KEP
24 1 S : Klien mengatakan tidak sesak lagi Ners
September O:
2013  Klien mampu melakukan batuk efektif
10:00 WIB  Whezzing (-)
 RR : 18 x/menit
 Retraksi otot bantu napas (-)
A: Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan

2 S : Klien mengatakan tidak sesak lagi Ners


O:
 RR : 18 x/menit
 Nadi : 90 x/menit
 Dispnea saat aktivitas
 Warna kulit normal tidak sianosis
 PH : 7.40
 pO2 : 68 mmHg
 pCO2 : 43 mmHg
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi 1-4

3 S : Klien mengatakan tidak napsu makan Ners


O:
 Porsi makan tidak habis
 Mual (+)
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi 1-6

25 2 S : Klien mengatakan tidak sesak lagi Ners


September O:
2013  RR : 20 x/menit
 Nadi : 88 x/menit
 Dispnea saat aktivitas
 Warna kulit normal tidak sianosis
 pH : 7.41
 pO2 : 88 mmHg
 pCO2 : 29 mmHg
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan

3 S : Klien mengatakan tidak napsu makan Ners


O:
 Porsi makan tidak habis
 Mual (+)
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi 1-6

26 3 S : Klien mengatakan sudah enak saat makan Ners


September O:
2013  Porsi makan habis
 Mual (-)
A : Mual teratasi
P : Hentikan intervensi

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
PPOK merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat
aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru. ( Penyakit Paru
Obstruksi Kronis) adalah klasifikasi luas dari gangguan, yang mencangkup bronkitis
kronis, bronkiestasis, emfisema, dan asma. PPOK disebabkan oleh factor lingkungan dan
gaya hidup. Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOM adalah
malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya yaitu sesak napas.
Batuk-batuk dan produksi dahak khusunya yang makin menjadi di saat pagi hari.
Kehilangan berat badan yang cukup drastis. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara
fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Hilangnya nafsu makan
karena produksi dahak yang makin melimpah.Penurunan daya kekuatan tubuh.
4.2 Saran
Di dalam masalah PPOK, sebaiknya terlebih dahulu mencegah faktor pencetus
seperti asap rokok, polusi udara dan lain-lain agar tidak terkena PPOK. Karena mengingat
penderita akan mengalami sakit yang berkepanjangan dan hal ini sangat merugikan
penderita.
1. Untuk Penderita PPOK
Menghindari faktor resiko :
 Anjurkan klien untuk tidak merokok
 Anjurkan klien untuk cukup istirahat
 Anjurkan klien untuk menghindari allergen
 Anjurkan klien untuk mengurangi aktifitas
 Anjurkan klien untuk mendapatkan asupan gizi yang cukup
2. Untuk Keluarga
 Memberikan dukungan: Anjurkan keluarga untuk memberi perhatian pada klien
 Anjurkan keluarga untuk memantau kondisi klien
 Anjurkan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang kondusif
DAFTAR PUSTAKA

Grainger, Allison : Diagnostic Raddiology An Anglo American Textbook of Imaging, second


edition, Churchil Livingstone, page :122.

Horrison : Principle of Internal Medicine, 15th edition, McGraw-Hill, page : 1491-1493.

G.Simon : Diagnostik Rontgen, cetakan ke-2, Erlangga, 1981, hal :310-312.

Meschan : Analysis of Rontgen Signs in General Radiology, Volume II, page : 954,990-993.

Danu Santoso Halim,Dr.SpP : Ilmu Penyakit Paru, Jakarta 1998, hal :169-192.

Gofton, Douglas : Respiratory Disease, 3rd edition, PG Publishing Pte Ltd, 1984, page : 346-
379.

Harrison : Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume ketiga, Jakarta 20003, hal :
1347-1353.
Lothar, Wicke, Atlas Radiologi, edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran 1985, page: 157.

Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Media Aesculapius 1999, Jakarta, hal : 480-482.

Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, alih
bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC

Long Barbara C. (1996) Perawatan medical Bedah Suatu pendekatan Proses keperawatan, alih
bahasa: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung,
Bandung.

Darmojo; Martono (1999) Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Jakarta: Balai
penerbit FKUI

Price Sylvia Anderson (1997) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, alih bahasa:
Peter Anugerah, Buku Kedua, edisi 4, Jakarta: EGC

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2001) Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II, edisi ketiga, Jakarta: balai Penerbit FKUI

Nugroho, Wahjudi (2000) Keperawatan Gerontik, edisi 2, Jakarta: EGC

Doenges, Marilynn E. (1999) Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, edisi
3, Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Juall (1997) Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa: Yasmin Asih,
edisi 6, Jakarta: EGC
MAKALAH
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)
KELOMPOK I

Dessi Melda Siti Khodijah


Dewi Anggraini Trio Supriadi
Nailati Azhar Yetnawilis
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
AL - INSYIRAH PEKANBARU

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)”.
Adapun harapan kami kepada para pembaca atau semua kalangan yang telah
membaca makalah ini yaitu dapat menambah wawasan / pengetahuan dalam
kehidurpan sehari-hari
Namun kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan yang disebabkan karena terbatasnya kemampuan yang kami
miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan partisipasi dalam penyempurnaannya
dengan memberikan kritik dan saran agar makalah ini dapat lebih terkonsep dengan
baik.
Kami sangat mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Kritik &
saran anda sangat kami harapkan dalam penyempurnaan makalah ini. Sekian & terima
kasih.

Dumai, September 2019


Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………… i

DAFTAR ISI………………………………………………………………... ii

BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………….. 1

1.1 LatarBelakang………………………………………………… 1
………
1.2 Rumusan Masalah………………………………………….. 2

1.3 Tujuan Masalah ………………………………………….. 2


1.4 Manfaat ……………………………………………........... 3

BAB II. PEMBAHASAN………………………………………………….. 4

2.1 Defenisi PPOK…………………………………………... … 4


2.2 Klasifikasi PPOK ………………………………………….. .. 4
2.3 Etiologi……………………………………….......……….. 6

2.4 Patofisiologi ……………………………………………… 8

2.5 Manifestasi Klinis ……………………............................... 10

2.6 Komplikasi ………………………………………………. 13

2.7 Pemeriksaan Fisik ………………………………………. 14

2.8 Pemeriksaan Diagnostik …………………………………. 14

2.9 Penatalaksanaa Medis ……………………………………. 15

2.10 Pencegahan ………………………………………………… 18


BAB III. PENUTUP………………………………………………………
29

4.1 Kesimpulan……………………………………………… … 29

4.2 Saran………………………………………………………... 29

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai