OLEH:
SYAHRONI I4051191008
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana asuhan kerawatan yang tepat pada
penyakit sakit kepala
b. Tujuan khusus
Untuk mengetahui konsep chepalgia
Untuk mengetahui manajemen asuhan keperawatan pada chepalgia
1.4 Manfaat
Sebagai tenaga kesehatan dapat mengetahui dan faham akan asuhan
keperawatan yang tepat untuk pasien dengan masalah sakit kepala (headache),
sehinggga di dunia rumah sakit dapat menerapkan asuhan keperawatan ke
pasien dengan masalah sakit kepala secara tepat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cephalgia
2.1.1 Definsi
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada daerah
kepala dengan batas bawah dari dagu sampai kedaerah belakang kepala (area
oksipital dan sebagian daerah tengkuk). International Headache Society (IHS)
pada tahun 1988 telah membagi nyeri kepala menjadi dua yaitu, nyeri kepala
primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala tanpa
disertai adanya penyebab struktural organik sedangkan nyeri kepala sekunder
adalah nyeri kepala yang disertai penyebab struktural organik (Nurwulandari,
2014).
Nyeri kepala (headache atau chepalgia) merupakan keluhan yang sangat
umum pada pasien. Chepalgia atau sakit kepala adalah salah satu keluhan fisik
paling utama pada manusia. Sakit kepala pada kenyataannya adalah gejala bukan
penyakit dan dapat menunjukkan penyakit organik (neurologi atau penyakit lain),
respon stress, vasodilatasi (migren), tegangan otot rangka (sakit kepala tegang)
atau kombinasi respon tersebut. Karena nyeri kepala sering menyertai pada
penyakit-penyakit lainnya, terkadang pasien mengobati sendiri nyeri kepalanya,
padahal banyak nyeri kepala yang disebabkan karena penyakit serius seperti
infeksi dan tumor intracranial, meningitis, infeksi akut, cedera kepala, hipoksia
serebral, atau penyakit kronis dan akut pada mata, hidung, dan tenggorokan. Nyeri
kepala terjadi ketika area sensitif pada kepala distimulus kemudian diproyeksikan
ke permukaan dan dirasakan di daerah distribusi syaraf yang bersangkutan. Area-
area tersebut diantaranya kulit kepala, periosteum, syaraf kranial V, IX, X, daerah
meningen (Tarwono,2007).
2.1.2 Etiologi
Penyebab nyeri kepala banyak sekali, meskipun kebanyakan adalah
kondisi yang tidak berbahaya (terutama bila kronik dan kambuhan), namun nyeri
kepala yang timbul pertama kali dan akut awas ini adalah manifestasi awal dari
penyakit sistemik atau suatu proses intrakranial yang memerlukan evaluasi
sistemik yang lebih teliti (Bahrudin, 2013).
Nyeri kepala bisa dirangsang karena faktor intra kranial (misalnya:
meningitis, Sub Arachnoid Haemorhage (SAH), tumor otak) atau faktor ekstra
kranial yang umumnya bukan kasus neurologi (misalnya: sinusitis, glaukoma)
yang keduanya digolongkan sebagai nyeri kepala sekunder (Bahrudin, 2013).
Secara praktis menurut Bahrudin (2013), penyebab timbulnya nyeri kepala
dapat diringkas sebagai berikut:
a. Circulation: Perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoidal.
b. Encephalomeningitis.
c. Migraine.
d. Eye: Glaucoma, radang, keratitis, anomaly refraksi.
e. Neoplasm (Tumor otak).
f. Trauma capitis: Komusio, kontusio, perdarahan ekstradural, perdarahan
subdular.
g. Ear dan nose: Mastoiditis, otitis media, sinusitis, rhinitis, vertigo
h. Dental: Gigi, gusi.
i. Cluster headache.
j. Otot: Tension headache.
k. Arteritis temporalis
l. Trigeminal neuralgia
2.1.6 Komplikasi
a. Tension Headache
TTH berkaitan erat dengan beberapa kondisi medis dan psikiatris.
Komorbiditas yang tersering dijumpai adalah cemas atau generalized anxiety
disorder (38,5%), depresi mayor (32,7%), stres psikososial, gangguan panik;
tingginya frekuensi bunuh diri adalah fokus perhatian utama. Gangguan
depresi, cemas, dan panik lebih umum dijumpai pada penderita TTH kronis
dibandingkan dengan TTH episodik. Data ini membuktikan korelasi penyakit
psikiatris dan TTH. Masih sedikit data pendukung komorbiditas antara TTH
dan sleep apnea syndrome, nyeri kepala yang terkait dengan sleep apnea
syndrome dapat menyerupai TTH kronis karena biasanya terjadi lebih dari 15
hari per bulan, bilateral, menekan, dan tidak disertai nausea, fotofobia, atau
fonofobia. Saat ini belum dapat dikatakan ada hubungan antara TTH dan sleep
apnea syndrome. Studi terkini berhasil mengungkap bahwa fi bromyalgia
berkorelasi dengan TTH dan meningkat secara proporsional dengan
meningkatnya frekuensi nyeri kepala.
b. Migrain
1) Stroke iskemik
Dapat terjadi sebagai komplikasi yang jarang namun sangat serius dari
migren. Hal ini dipengaruhi oleh faktor risiko seperti aura, jenis kelamin
wanita, merokok, penggunaan hormon estrogen.
2) Migrain komplikata
Pada migren komplikata dapat menyebabkan hemiparesis. (Panduan Praktis
Klinis bagi Dokter di Fasyankes Primer, 2014)
3) Status Migrenosus
Serangan migren dengan fase nyeri kepala lebih dari 72 jam, mendapat
pengobatan atau tidak, dengan interval bebas nyeri kurang 4 jam (tidak
termasuk tidur) (Headache Classification Comittee of International
Headache Society ,2003).
4) Infark Migrenosus
Dahulu disebut migren komplikata.Adalah keadaan satu atau lebih gejala
aura yang tidak sepenuhnya hilang dalam waktu 7 hari dan atau didapatkan
infark iskemik pada konfirmasi pemeriksaan neuroimaging (Headache
Classification Comittee of IHS).Insidensi sangat rendah, biasanya jenis
migren ini terjadi setelah lama menderita migren dengan aura.Patogenesis
belum diketahui, tetapi faktor hiperaglutinasi dan hiperviskositas
mempunyai peran penting.
Broderick dan Swanson (1987) , selama 4 tahun diantara 5000 pasien
migren, didapatkan 20 pasien terkena stroke, 2 pasien stroke ulang setelah
7 tahun kemudian, 14 pasien penyembuhan dengan gejala sisa, dan 4 pasien
sembuh sempurna. (Disertasi K Ritarwan, FK USU 2014).
c) Cluster Headache
1) Cedera selama serangan.
2) Efek samping obat, termasuk unmasking penyakit arteri koroner.
3) Potensi untuk panyalahgunaan obat.
(Dr. Hasan Sjahrir Sp S. 2004. Mekanisme terjadinya nyeri kepala
primer dan prospek pengobatannya).
2.1.7 Patofisiologi
Menurut Akbar (2010), beberapa teori yang menyebabkan timbulnya nyeri
kepala terus berkembang hingga sekarang. Seperti, teori vasodilatasi kranial,
aktivasi trigeminal perifer, lokalisasi dan fisiologi second order trigeminovascular
neurons, cortical spreading depression, aktivasi rostral brainstem.
Rangsang nyeri bisa disebabkan oleh adanya tekanan, traksi, displacement
maupun proses kimiawi dan inflamasi terhadap nosiseptor-nosiseptor pada
struktur peka nyeri di kepala. Jika struktur tersebut yang terletak pada atau pun
diatas tentorium serebelli dirangsang maka rasa nyeri akan timbul terasa menjalar
pada daerah didepan batas garis vertikal yang ditarik dari kedua telinga kiri dan
kanan melewati puncak kepala (daerah frontotemporal dan parietal anterior). Rasa
nyeri ini ditransmisi oleh saraf trigeminus (Akbar, 2010).
Sedangkan rangsangan terhadap struktur yang peka terhadap nyeri dibawah
tentorium (pada fossa kranii posterior) radiks servikalis bagian atas dengan
cabang- cabang saraf perifernya akan menimbulkan nyeri pada daerah dibelakang
garis tersebut, yaitu daerah oksipital, suboksipital dan servikal bagian atas. Rasa
nyeri ini ditransmisi oleh saraf kranial IX, X dan saraf spinal C-1, C-2, dan C-3.
Akan tetapi kadang-kadang bisa juga radiks servikalis bagian atas dan N.
oksipitalis mayor akan menjalarkan nyerinya ke frontal dan mata pada sisi
ipsilateral. Telah dibuktikan adanya hubungan erat antara inti trigeminus dengan
radiks dorsalis segmen servikal atas. Trigemino cervical reflex dapat dibuktikan
dengan cara stimulasi n.supraorbitalis dan direkam dengan cara pemasangan
elektrode pada otot sternokleidomastoideus. Input eksteroseptif dan nosiseptif dari
trigemino-cervical reflex ditransmisikan melalui polysinaptic route, termasuk
spinal trigeminal nuklei dan mencapai servikal motorneuron. Dengan adanya
hubungan ini didapatkan bahwa nyeri didaerah leher dapat dirasakan atau
diteruskan kearah kepala dan sebaliknya (Akbar, 2010).
Menurut Kinik, Alehan, Erol et al (2010), salah satu teori yang paling
populer mengenai penyebab nyeri kepala ini adalah kontraksi otot wajah, leher,
dan bahu. Otot-otot yang biasanya terlibat antara lain m. splenius capitis, m.
temporalis, m. masseter, m. sternocleidomastoideus, m. trapezius, m. cervicalis
posterior, dan m. levator scapulae. Penelitian mengatakan bahwa para penderita
nyeri kepala ini mungkin mempunyai ketegangan otot wajah dan kepala yang
lebih besar daripada orang lain yang menyebabkan mereka lebih mudah terserang
sakit kepala setelah adanya kontraksi otot. Kontraksi ini dapat dipicu oleh posisi
tubuh yang dipertahankan lama sehingga menyebabkan ketegangan pada otot
ataupun posisi tidur yang salah. Ada juga yang mengatakan bahwa pasien dengan
sakit kepala kronis bisa sangat sensitif terhadap nyeri secara umum atau terjadi
peningkatan nyeri terhadap kontraksi otot.
Sebuah teori juga mengatakan ketegangan atau stres yang menghasilkan
kontraksi otot di sekitar tulang tengkorak menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah sehingga aliran darah berkurang yang menyebabkan terhambatnya oksigen
dan menumpuknya hasil metabolisme yang akhirnya akan menyebabkan nyeri
(Goadsby, Lipton, Ferrari, 2002; Kinik, Alehan, Erol et al, 2010).
Para peneliti sekarang mulai percaya bahwa nyeri kepala ini bisa timbul
akibat perubahan dari zat kimia tertentu di otak - serotonin, endorphin, dan
beberapa zat kimia lain - yang membantu dalam komunikasi saraf. Ini serupa
dengan perubahan biokimia yang berhubungan dengan migren. Meskipun belum
diketahui bagaimana zat-zat kimia ini berfluktuasi, ada anggapan bahwa proses ini
mengaktifkan jalur nyeri terhadap otak dan mengganggu kemampuan otak untuk
menekan nyeri. Pada satu sisi, ketegangan otot di leher dan kulit kepala bisa
menyebabkan sakit kepala pada orang dengan gangguan zat kimia (Akbar, 2010).
Menurut Sidharta (2012), “sakit kepala” timbul sebagai hasil perangsangan
terhadap bangunan-bangunan di wilayah kepala dan leher yang peka terhadap
nyeri. Bangunan-bangunan ekstrakranial yang peka-nyeri ialah otot-otot oksipital,
temporal dan frontal, kulit kepala, arteri-arteri subkutis dan periostinum. Tulang
tengkorak sendiri tidak peka-nyeri. Bangunan-bangunan intrakranial yang peka-
nyeri terdiri dari meninges, terutama dura basalis dan meninges yang mendindingi
sinus venosus serta arteri-arteri besar pada basis otak. Sebagian besar dari jaringan
otak sendiri tidak peka-nyeri.
g. Penjalaran nyeri (referred pain) dari daerah mata (glaukoma, iritis), sinus
(sinusitis), baseos kranii (karsinoma nasofarings), gigi-geligi (pulpids dan
molar III yang mendesak gigi) dan daerah leher (spondiloartrosis deformans
servikalis).
b. CT scan
Menurut Bahrudin (2013), dengan pemeriksaan ini dapat diketahui tidak
hanya letak dari proses tapi sering juga etiologi dari proses tersebut.
Sayangnya, biaya pemeriksaan masih mahal.
Menurut Bahrudin (2013), indikasi terdapat kejang fokus:
1. Bila terdapat kejang fokal.
2. Bila terdapat defisit neurologis yang persisten.
3. Nyeri kepala pada satu sisi yang tidak berubah disertai dengan kelainan
neurologis kontralateral dengan adanya suatu bruit.
4. Perubahan dari pola nyeri kepala baik mengenai frekuensi, sifat, dan
lamanya.
5. Penurunan kesadaran yang lebih lama dari satu jam disertai gangguan
saraf otak
c. Pemeriksaan Laboratorium
Menurut Bahrudin (2013), pemeriksaan ini dikerjakan hanya bila ada indikasi:
1. Darah, bila diduga adanya infeksi atau gangguan penyakit dalam
(anemia, gangguan metabolik).
2. Cairan serebro spinal (CSS) bila pada pemeriksaan klinis dicurigai
adanya meningitis.
Secara ringkas dapat disimpulkan bila pasien mengeluh nyeri
kepala pastikan ada tanda meningeal atau tidak bila ada tanda meningeal
lakukan pemeriksaan CT scan (Bahrudin, 2013).