Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CEPHALGIA DI

BANGSAL SYARAF RUMAH SAKIT PENDIDIKAN UNIVERSITAS


TANJUNGPURA

OLEH:

SYAHRONI I4051191008

TEGUH AYATULLAH I4051191009

TRI MUTIARA DAYANI I4051191010

ANNISA NUR MEDINAWATI I4051191039

ENGGAR SEPTHY ARSITHA I4051191040

NADA ELIZE NURLATIFAH I4051191041

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Chepalgia merupakan masalah kesehatan yang paling sering terjadi.
Beberapa orang sering mengalami sakit kepala, sedangkan yang lainnya
hampir tidak pernah merasakan sakit kepala.
Sakit kepala menahun dan sakit kepala kambuhan bisa terasa sangat nyeri
dan mengganggu, tetapi jarang mencerminkan keadaan kesehatan yang serius.
Suatu perubahan dalam pola atau sumber sakit kepala (misalnya dari jarang
menjadi sering, sebelumnya ringan sekarang menjadi berat) bisa merupakan
pertanda yang serius dan memerlukan tindakan medis segera.
Sekarang ini banyak sekali obat-obat sakit kepala yang dijual bebas di
toko-toko obat atau apotik. Di televisi juga banyak iklan yang menawarkan
obat sebagai solusi sakit kepala. Namun hampir semua obat tersebut tidaklah
mampu mengatasi sakit kepala dengan sebenar-benarnya. Memang untuk
reaksinya sangat cepat dalam meredakan sakit kepala, namun di lain waktu ia
akan kambuh kembali. Akibatnya kita menjadi ketergantungan dan bila
dikonsumsi terus penerus dapat menyebabkan pembuluh darah kian tersumbat
sebab obat - obat tersebut sebenarnya adalah toksin bagi tubuh kita karena
terbuat dari bahan kimia.
Hampir setiap orang pernah merasakan nyerinya sakit kepala. Data
menunjukkan, 90% populasi manusia pernah mengalami penyakit yang
menimbulkan rasa nyut-nyut atau cekot-cekot ini sekali atau dua kali dalam
setahun. Sakit kepala juga menjadi alasan terbanyak kedua orang mendatangi
dokter. Untuk itu kita sebagai calon tenaga kesehatan, kita perlu mengetahui
dan memahami tanda dan gejala berbagai penyakit khususnya di sini nyeri
kepala.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana Konsep Chepalgia ?
b. Bagaimana Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Chepalgia ?

1.3 Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana asuhan kerawatan yang tepat pada
penyakit sakit kepala
b. Tujuan khusus
Untuk mengetahui konsep chepalgia
Untuk mengetahui manajemen asuhan keperawatan pada chepalgia

1.4 Manfaat
Sebagai tenaga kesehatan dapat mengetahui dan faham akan asuhan
keperawatan yang tepat untuk pasien dengan masalah sakit kepala (headache),
sehinggga di dunia rumah sakit dapat menerapkan asuhan keperawatan ke
pasien dengan masalah sakit kepala secara tepat.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cephalgia
2.1.1 Definsi

Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada daerah
kepala dengan batas bawah dari dagu sampai kedaerah belakang kepala (area
oksipital dan sebagian daerah tengkuk). International Headache Society (IHS)
pada tahun 1988 telah membagi nyeri kepala menjadi dua yaitu, nyeri kepala
primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala tanpa
disertai adanya penyebab struktural organik sedangkan nyeri kepala sekunder
adalah nyeri kepala yang disertai penyebab struktural organik (Nurwulandari,
2014).
Nyeri kepala (headache atau chepalgia) merupakan keluhan yang sangat
umum pada pasien. Chepalgia atau sakit kepala adalah salah satu keluhan fisik
paling utama pada manusia. Sakit kepala pada kenyataannya adalah gejala bukan
penyakit dan dapat menunjukkan penyakit organik (neurologi atau penyakit lain),
respon stress, vasodilatasi (migren), tegangan otot rangka (sakit kepala tegang)
atau kombinasi respon tersebut. Karena nyeri kepala sering menyertai pada
penyakit-penyakit lainnya, terkadang pasien mengobati sendiri nyeri kepalanya,
padahal banyak nyeri kepala yang disebabkan karena penyakit serius seperti
infeksi dan tumor intracranial, meningitis, infeksi akut, cedera kepala, hipoksia
serebral, atau penyakit kronis dan akut pada mata, hidung, dan tenggorokan. Nyeri
kepala terjadi ketika area sensitif pada kepala distimulus kemudian diproyeksikan
ke permukaan dan dirasakan di daerah distribusi syaraf yang bersangkutan. Area-
area tersebut diantaranya kulit kepala, periosteum, syaraf kranial V, IX, X, daerah
meningen (Tarwono,2007).
2.1.2 Etiologi
Penyebab nyeri kepala banyak sekali, meskipun kebanyakan adalah
kondisi yang tidak berbahaya (terutama bila kronik dan kambuhan), namun nyeri
kepala yang timbul pertama kali dan akut awas ini adalah manifestasi awal dari
penyakit sistemik atau suatu proses intrakranial yang memerlukan evaluasi
sistemik yang lebih teliti (Bahrudin, 2013).
Nyeri kepala bisa dirangsang karena faktor intra kranial (misalnya:
meningitis, Sub Arachnoid Haemorhage (SAH), tumor otak) atau faktor ekstra
kranial yang umumnya bukan kasus neurologi (misalnya: sinusitis, glaukoma)
yang keduanya digolongkan sebagai nyeri kepala sekunder (Bahrudin, 2013).
Secara praktis menurut Bahrudin (2013), penyebab timbulnya nyeri kepala
dapat diringkas sebagai berikut:
a. Circulation: Perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoidal.
b. Encephalomeningitis.
c. Migraine.
d. Eye: Glaucoma, radang, keratitis, anomaly refraksi.
e. Neoplasm (Tumor otak).
f. Trauma capitis: Komusio, kontusio, perdarahan ekstradural, perdarahan
subdular.
g. Ear dan nose: Mastoiditis, otitis media, sinusitis, rhinitis, vertigo
h. Dental: Gigi, gusi.
i. Cluster headache.
j. Otot: Tension headache.
k. Arteritis temporalis
l. Trigeminal neuralgia

Faktor pencetus nyeri kepala misalnya: batuk, tenaga, aktivitas seksual,


manuver valsava, atau tidur). Nyeri kepala yang diperberat oleh batuk, tenaga,
aktivitas seksual, maneuver valsava, atau tidur tumor curiga akan Arterio
Venous Malformation (AVM), Sub Arachnoid Hemorrhage (SAH), atau
penyakit vaskuler (Hidayati, 2016).
2.1.3 Klasifikasi
Menurut Arif Mansjoer (2000) nyeri kepala atau cephalgia dapat primer atau
sekunder:
a. Cepalghia Primer
Migren, nyeri kepala klaster, nyeri kepala tegang otot.
b. Cephalgia Sekunder
Berupa nyeri kepala pascatrauma, nyeri kepala organik sebagai bagian penyakit
lesi desak ruang (tumor otak, abses, hematoma subdural, dll), perdarahan
subaraknoid, neuralgia trigeminus/pascaherpetik, penyakit sistemik (anemia,
polisitemia, hipertensi atau hipotensi, dll), sesudah pungsi lumbal, infeksi
untrakranial/sistemik, penyakit hidung dan sinus paranasal, akibat bahan toksik
dan penyakit mata.

Pembagian klinis nyeri kepala (Anthony, 2001):


Sakit kepala akut
a. Intrakranial
Meningitis / ensefalitis, perdarahan subaraknoid, hematoma subdural, tumor
intrakranial.
b. Ekstrakranial
Migren, sakit kepala tandan (cluster), sakit kepala post trauma,
glaucoma, neuritis optika, insufisiensi serebro-vaskuler.
Jenis –jenis nyeri kepala
Nyeri Sifat Lama
Lokasi Frekuensi Gejala Ikutan
Kepala Nyeri Nyeri
Sporadik
Unilateral Mual, muntah, malaise,
Migren umum Berdenyut 6-48 jam Beberapa kali
atau Bilateral fotobia
sebulan
Sporadik
Prodroma visual, mual,
Migren klasik Berdenyut Unilateral 3-12 jam Beberapa kali
muntah, malaise, fotobia
sebulan
Serangan
Lakrimasi ipsilateral,
Menjemu- Unilateral, berkelompok
Klaster 15-20 menit wajah merah, hidung
kan, tajam orbita dengan remisi
tersumbat, horner
lama
Tumpul, Difus, Bilate Terus
Tipe tegang Konstan Depresi, ansietas
ditekan ral menerus

Neuralgia Ditusuk- Dermaton Singkat, 15- Beberapa kali


Zona pemicu nyeri
trigeminus tusuk saraf V 60 detik sehari

Unilateral Terus Depresi, kadang-kadang


Atipikal Tumpul Konstan
atau Bilateral menerus psikosis

Tumpul/ Sporadik atau


Sinus Di atas sinus Bervariasi Rinore
tajam konstan

Unilateral Papiledema, defisit


Lesi desak (awal), Bervariasi, Bervariasi, neurologik fokal,
bervariasi
ruang Bilateral progresif semakin sering gangguan mental atau
(lanjut) perilaku, kejang, dll
2.1.4 Manifestasi Klinis
a. Migrain
Tanda dan gejala migren bervariasi di antara penderita. Terdapat 4 fase
yang umum terjadi pada penderita migren, tetapi semuanya tidak harus selalu
dialami oleh penderita (Mansjoer, 2000).
Fase-fase tersebut antara lain :
1) Fase Prodromal
Fase ini dialami 40-60% penderita migren. Gejalanya berupa
perubahan mood, iritabel, depresi atau euforia, perasaan lemah, letih, lesu,
tidur berlebihan, menginginkan jenis makanan tertentu (coklat) dan gejala
lainnya. Gejala ini muncul beberapa jam atau hari sebelum fase nyeri
kepala. Fase in memberi pertanda kepada penderita atau keluarga bahwa
akan terjadi serangan migren
2) Fase Aura
Aura adalah gejala neurologis fokal kompleks yang mendahului atau
menyertai serangan migren. Fase ini mucul bertahap selama 5-20 menit, dan
bertahan kurang dari 60 menit. Aura ini dapat berupa sensasi visual,
sensorik, motorik, atau kombinasi dari aura-aura tersebut. Aura visual
muncul pada 64% kasus dan merupakan gejala neurologis yang paling
umum terjadi. Yang khas untuk migren adalah scintillating scotoma: tampak
bintik-bintik kecil yang banyak, gangguan visual homonim, gangguan salah
satu sisi lapangan pandang, persepsi adanya cahaya berbagai warna yang
bergerak pelan (fenomena positif). Kelainan visual lainnya adalah adnya
skotoma ( fenomena negatif) yang bisa timbul pada salah satu mata atau
kedua mata. Kedua fenomena ini bisa timbul bersamaan dan berbentuk zig-
zag. Aura pada migren biasanya hilang dalam beberapa menit dan kemudian
diikuti dengan periode laten sebelum timbul nyeri kepala. Walaupun ada
juga yang melaporkan tanpa periode laten.
3) Fase Nyeri Kepala.
Nyeri kepala migren biasanya berdenyut, unilateral dan awalnya
berlokasi di daerah frontotemporalis dan okular, kemudian setelah 1-2 jam
menyebar secara difus ke arah posterior. Serangan berlangsung selama 4-72
jam pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak berlangsung pada 1-48
jam. Intensitas nyeri nerkisar dari sedang sampai berat dan dapat
mengganggu pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
4) Fase Postdromal.
Pasien mungkin merasa lelah, iritabel, konsentrasi terganggu, dan
perubahan mood. Akan tetapi, beberapa orang merasa ‘segar’ atau euforia
setelah serangan, sedangkan yang lainnya merasa depresi dan lemas.
b. Tension type headache (Nyeri kepala tegang)
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada tension-typeheadache adalah :
1) Tidak ada gejala prodnormal ataupun aura
2) Nyeri dapat ringan hingga sedang maupun berat
3) Tumpul, seperti ditekan atau diikat. Tidak berdenyut
4) Menyeluruh atau difus (tidak hanya pada satu titik atau satu sisi), nyeri
lebih hebat di daerah kulit kepala, oksipital, dan belakang leher
5) Terjadi secara spontan
6) Memburuk atau dicetuskan oleh stres dan kelelahan
7) Adanya insomnia
8) Iritabilitas
9) Gangguan konsentrasi
10) Kadang-kadang disertai vertigo
11) Beberapa orang mengeluh rasa tidak nyaman didaerah leher, rahang, dan
temporo mandibular
c. Cluster
Tanda dan gejala kususnya adalah :
1) Sakit yang mengerikan, biasanya terdapat pada atau sekitar mata, tapi dapat
merambat pada area lain di wajah, kepala, leher dan pundak
2) Sakit pada satu sisi
3) Kegelisahan
4) Keluar air mata secara berlebihan
5) Mata merah sebagai efek samping
6) Lendir atau basah pada lubang hidung sebagai efek samping pada waja
7) Berkeringat, kulit pucat pada wajah
8) Bengkak di sekitar mata sebagai efek samping pada wajah
9) Ukuran pupil yang mengecil
10) Kelopak mata yang layu.

2.1.5 Faktor Resiko


Penelitian Tandaju, Runtuwene, Kembuan (2016), stres mencetus serangan
nyeri kepala terbanyak yaitu pada 149 orang (84,6%), sedangkan faktor pencetus
yang paling sedikit ditemukan ialah perubahan cuaca yang mempengaruhi 34
orang (19,3%) (Tabel 2.1) (Tandaju, Runtuwene, Kembuan, 2016).

Distribusi faktor pencetus nyeri kepala


Pencetus Frekuensi %
Stress 149 84,6
Perubahan pola tidur 110 62,5
Melewatkan waktu 74 42
malam Menstruasi 66 37,5
Asap rokok 68 38,6
Perubahancuaca 34 19,3
Menonton / bermain laptop 56 31,8
(Tandaju, Runtuwene, Kembuan, 2016)
Menurut penelitian Straube, Heinen, Ebinger et al (2013), secara umum,
kami dapat membagi faktor resiko ke dalam kategori pola hidup, bersekolah dan
kejiwaan. Penyebab khas yang sering ditemukan dari faktor-faktor pola hidup
yaitu meliputi:
a. Konsumsi kafein
b. Konsumsi alkohol
c. Merokok
d. Kurangnya aktivitas fisik
Menurut penelitian Straube, Heinen, Ebinger et al (2013), ditemukannya
konsumen kafein yang biasanya berhubungan dengan frekuensi terjadinya nyeri
kepala pada orang dewasa dan remaja. Sedangkan baik dari penelitian HUNT dan
survei dari pelajar SMA di Munich, Jerman, menunjukkan bahwa adanya
hubungan yang signifikan antara merokok dan terjadinya nyeri kepala. Kemudian
berbeda dengan orang dewasa, pada remaja mengkonsumsi alkohol juga
merupakan faktor resiko dari terjadinya nyeri kepala. Dan dari sebuah hubungan
yang signifikan antara minum koktail dan terjadinya nyeri kepala ditemukan di
antara pelajar SMA. Dan lagi, baik dari penelitian HUNT dan Munich
menunjukkan bahwa ditemukan adanya hubungan dengan kurangnya aktivitas
fisik dengan terjadinya nyeri kepala. Kemudian tidak mengherankan, kelebihan
berat badan juga bisa dihubungkan dengan nyeri kepala pada kalangan remaja.
Dalam sebuah penelitian di Amerika menunjukkan bahwa kehilangan berat badan
juga berhubungan dengan penurunan jumlah angka pada kasus terjadinya nyeri
kepala. Penelitian lain menunjukkan tidak ada pengaruh hubungan dengan
mengkonsumsi air mineral, melewatkan waktu makan atau riwayat meningitis dan
penggunaan komputer sehari-hari (video game, media elektronik) juga tidak
berpengaruh terhadap terjadinya nyeri kepala yang ditimbulkan.
Stres di sekolah serta harapan dan tuntutan dari orang tua yang sangat
tinggi merupakan salah satu faktor resiko untuk meningkatkan kondisi terjadinya
nyeri kepala pada pelajar. Kemudian dari penelitian menunjukkan bahwa
meluangkan waktu senggang yang efektif (meluangkan waktu yang tepat tanpa
kegiatan yang direncanakan) mengurangi faktor resiko terjadinya nyeri kepala.
Dalam sebuah survei terhadap pelajar SMA, ditemukan 80% mengeluh nyeri
kepala dan lebih dari 40%memiliki aktifitas kurang dari dua jam yang tidak
direncanakan per hari (Straube, Heinen, Ebinger et al, 2013).
Faktor resiko lain yang termasuk stres emosional yang timbul antara lain
dari kedua orang tua dan faktor kehidupan sehari-hari. Dalam sebuah penelitian
dari Lower Saxony, Negara bagian Jerman, terdapat hubungan antara adanya
konflik di dalam keluarga terhadap terjadinya nyeri kepala termasuk hal biasa,
terutama pada anak laki-laki. Dalam sebuah penelitian di Taiwan menunjukkan
bahwa pada anak- anak dengan nyeri kepala kronis, jika dibandingkan dengan
jumlah penduduk yang ada, secara signifikan memiliki jumlah yang lebih rendah
pada Angka Lingkungan Keluarga Global dan lebih sering dilaporkan terjadi
kekerasan fisik dan perceraian terhadap ke-dua orang tua mereka (Straube,
Heinen, Ebinger et al, 2013).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat adanya
hubungan antara kekerasan fisik dan dengan frekuensi nyeri kepala. Selain
kekerasan fisik, baik pelecehan seksual dan stres emosional, serta kurangnya
perhatian, merupakan faktor resiko yang signifikan berhubungan dengan onset
awal dan kronisitas terhadap terjadinya nyeri kepala. Hubungan tersebut adalah
diagnosis tersendiri dari depresi atau gangguan kecemasan. Begitu juga
sebaliknya, sebuah hubungan yang kooperatif, bukan hubungan dari keluarga
dapat terhindar terhadap terjadinya nyeri kepala (Tabel 2.2) (Straube, Heinen,
Ebinger et al, 2013).

2.1.6 Komplikasi
a. Tension Headache
TTH berkaitan erat dengan beberapa kondisi medis dan psikiatris.
Komorbiditas yang tersering dijumpai adalah cemas atau generalized anxiety
disorder (38,5%), depresi mayor (32,7%), stres psikososial, gangguan panik;
tingginya frekuensi bunuh diri adalah fokus perhatian utama. Gangguan
depresi, cemas, dan panik lebih umum dijumpai pada penderita TTH kronis
dibandingkan dengan TTH episodik. Data ini membuktikan korelasi penyakit
psikiatris dan TTH. Masih sedikit data pendukung komorbiditas antara TTH
dan sleep apnea syndrome, nyeri kepala yang terkait dengan sleep apnea
syndrome dapat menyerupai TTH kronis karena biasanya terjadi lebih dari 15
hari per bulan, bilateral, menekan, dan tidak disertai nausea, fotofobia, atau
fonofobia. Saat ini belum dapat dikatakan ada hubungan antara TTH dan sleep
apnea syndrome. Studi terkini berhasil mengungkap bahwa fi bromyalgia
berkorelasi dengan TTH dan meningkat secara proporsional dengan
meningkatnya frekuensi nyeri kepala.
b. Migrain
1) Stroke iskemik
Dapat terjadi sebagai komplikasi yang jarang namun sangat serius dari
migren. Hal ini dipengaruhi oleh faktor risiko seperti aura, jenis kelamin
wanita, merokok, penggunaan hormon estrogen.
2) Migrain komplikata
Pada migren komplikata dapat menyebabkan hemiparesis. (Panduan Praktis
Klinis bagi Dokter di Fasyankes Primer, 2014)
3) Status Migrenosus
Serangan migren dengan fase nyeri kepala lebih dari 72 jam, mendapat
pengobatan atau tidak, dengan interval bebas nyeri kurang 4 jam (tidak
termasuk tidur) (Headache Classification Comittee of International
Headache Society ,2003).
4) Infark Migrenosus
Dahulu disebut migren komplikata.Adalah keadaan satu atau lebih gejala
aura yang tidak sepenuhnya hilang dalam waktu 7 hari dan atau didapatkan
infark iskemik pada konfirmasi pemeriksaan neuroimaging (Headache
Classification Comittee of IHS).Insidensi sangat rendah, biasanya jenis
migren ini terjadi setelah lama menderita migren dengan aura.Patogenesis
belum diketahui, tetapi faktor hiperaglutinasi dan hiperviskositas
mempunyai peran penting.
Broderick dan Swanson (1987) , selama 4 tahun diantara 5000 pasien
migren, didapatkan 20 pasien terkena stroke, 2 pasien stroke ulang setelah
7 tahun kemudian, 14 pasien penyembuhan dengan gejala sisa, dan 4 pasien
sembuh sempurna. (Disertasi K Ritarwan, FK USU 2014).
c) Cluster Headache
1) Cedera selama serangan.
2) Efek samping obat, termasuk unmasking penyakit arteri koroner.
3) Potensi untuk panyalahgunaan obat.
(Dr. Hasan Sjahrir Sp S. 2004. Mekanisme terjadinya nyeri kepala
primer dan prospek pengobatannya).

2.1.7 Patofisiologi
Menurut Akbar (2010), beberapa teori yang menyebabkan timbulnya nyeri
kepala terus berkembang hingga sekarang. Seperti, teori vasodilatasi kranial,
aktivasi trigeminal perifer, lokalisasi dan fisiologi second order trigeminovascular
neurons, cortical spreading depression, aktivasi rostral brainstem.
Rangsang nyeri bisa disebabkan oleh adanya tekanan, traksi, displacement
maupun proses kimiawi dan inflamasi terhadap nosiseptor-nosiseptor pada
struktur peka nyeri di kepala. Jika struktur tersebut yang terletak pada atau pun
diatas tentorium serebelli dirangsang maka rasa nyeri akan timbul terasa menjalar
pada daerah didepan batas garis vertikal yang ditarik dari kedua telinga kiri dan
kanan melewati puncak kepala (daerah frontotemporal dan parietal anterior). Rasa
nyeri ini ditransmisi oleh saraf trigeminus (Akbar, 2010).
Sedangkan rangsangan terhadap struktur yang peka terhadap nyeri dibawah
tentorium (pada fossa kranii posterior) radiks servikalis bagian atas dengan
cabang- cabang saraf perifernya akan menimbulkan nyeri pada daerah dibelakang
garis tersebut, yaitu daerah oksipital, suboksipital dan servikal bagian atas. Rasa
nyeri ini ditransmisi oleh saraf kranial IX, X dan saraf spinal C-1, C-2, dan C-3.
Akan tetapi kadang-kadang bisa juga radiks servikalis bagian atas dan N.
oksipitalis mayor akan menjalarkan nyerinya ke frontal dan mata pada sisi
ipsilateral. Telah dibuktikan adanya hubungan erat antara inti trigeminus dengan
radiks dorsalis segmen servikal atas. Trigemino cervical reflex dapat dibuktikan
dengan cara stimulasi n.supraorbitalis dan direkam dengan cara pemasangan
elektrode pada otot sternokleidomastoideus. Input eksteroseptif dan nosiseptif dari
trigemino-cervical reflex ditransmisikan melalui polysinaptic route, termasuk
spinal trigeminal nuklei dan mencapai servikal motorneuron. Dengan adanya
hubungan ini didapatkan bahwa nyeri didaerah leher dapat dirasakan atau
diteruskan kearah kepala dan sebaliknya (Akbar, 2010).
Menurut Kinik, Alehan, Erol et al (2010), salah satu teori yang paling
populer mengenai penyebab nyeri kepala ini adalah kontraksi otot wajah, leher,
dan bahu. Otot-otot yang biasanya terlibat antara lain m. splenius capitis, m.
temporalis, m. masseter, m. sternocleidomastoideus, m. trapezius, m. cervicalis
posterior, dan m. levator scapulae. Penelitian mengatakan bahwa para penderita
nyeri kepala ini mungkin mempunyai ketegangan otot wajah dan kepala yang
lebih besar daripada orang lain yang menyebabkan mereka lebih mudah terserang
sakit kepala setelah adanya kontraksi otot. Kontraksi ini dapat dipicu oleh posisi
tubuh yang dipertahankan lama sehingga menyebabkan ketegangan pada otot
ataupun posisi tidur yang salah. Ada juga yang mengatakan bahwa pasien dengan
sakit kepala kronis bisa sangat sensitif terhadap nyeri secara umum atau terjadi
peningkatan nyeri terhadap kontraksi otot.
Sebuah teori juga mengatakan ketegangan atau stres yang menghasilkan
kontraksi otot di sekitar tulang tengkorak menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah sehingga aliran darah berkurang yang menyebabkan terhambatnya oksigen
dan menumpuknya hasil metabolisme yang akhirnya akan menyebabkan nyeri
(Goadsby, Lipton, Ferrari, 2002; Kinik, Alehan, Erol et al, 2010).
Para peneliti sekarang mulai percaya bahwa nyeri kepala ini bisa timbul
akibat perubahan dari zat kimia tertentu di otak - serotonin, endorphin, dan
beberapa zat kimia lain - yang membantu dalam komunikasi saraf. Ini serupa
dengan perubahan biokimia yang berhubungan dengan migren. Meskipun belum
diketahui bagaimana zat-zat kimia ini berfluktuasi, ada anggapan bahwa proses ini
mengaktifkan jalur nyeri terhadap otak dan mengganggu kemampuan otak untuk
menekan nyeri. Pada satu sisi, ketegangan otot di leher dan kulit kepala bisa
menyebabkan sakit kepala pada orang dengan gangguan zat kimia (Akbar, 2010).
Menurut Sidharta (2012), “sakit kepala” timbul sebagai hasil perangsangan
terhadap bangunan-bangunan di wilayah kepala dan leher yang peka terhadap
nyeri. Bangunan-bangunan ekstrakranial yang peka-nyeri ialah otot-otot oksipital,
temporal dan frontal, kulit kepala, arteri-arteri subkutis dan periostinum. Tulang
tengkorak sendiri tidak peka-nyeri. Bangunan-bangunan intrakranial yang peka-
nyeri terdiri dari meninges, terutama dura basalis dan meninges yang mendindingi
sinus venosus serta arteri-arteri besar pada basis otak. Sebagian besar dari jaringan
otak sendiri tidak peka-nyeri.

Perangsangan terhadap bangunan-bangunan itu dapat berupa:

a. Infeksi selaput otak: meningitis, ensefalitis.


b. Iritasi kimiawi terhadap selaput otak seperti pada perdarahan subdural atau
setelah dilakukan pneumo atau zat kontras-ensefalografi.
c. Peregangan selaput otak akibat proses desak ruang intrakranial, penyumbatan
jalan lintasan likwor, trombosis sinus venosus, edema serebri atau tekanan
intrakranial yang menurun secara tiba-tiba dan cepat.

d. Vasodilatasi arteri intrakranial akibat keadaan toksik (seperti pada infeksi


umum, intoksikasi alkohol, intoksikasi CO, reaksi alergik), gangguan
metabolik (seperti hipoksemia, hipoglikemia dan hiperkapnia), pemakaian
obat vasodilatasi, keadaan pasca kontusio serebri, insufisiensi serebrovaskuler
akut, tekanan darah sistemik yang melonjak secara tiba-tiba (seperti pada
nefritis akut, feokhromositoma dan intoksikasi karena kombinasi
“monoamine oxydase inhibitor” dengan tyramine).

e. Gangguan pembuluh darah darah ekstrakranial, misalnya vasodilatasi


(migraine dan “cluster headache”) dan radang (arteritis temporalis).

f. Gangguan terhadap otot-otot yang mempunyai hubungan dengan kepala,


seperti pada spondiloartrosis deformans servikalis.

g. Penjalaran nyeri (referred pain) dari daerah mata (glaukoma, iritis), sinus
(sinusitis), baseos kranii (karsinoma nasofarings), gigi-geligi (pulpids dan
molar III yang mendesak gigi) dan daerah leher (spondiloartrosis deformans
servikalis).

h. Ketegangan otot kepala-leher-bahu sebagai manifestasi psiko-organik pada


keadaan depresi dan “streess”. Dalam hal ini “sakit kepala” merupakan
sinonim dari “pusing kepala”.

Menurut Bahrudin (2013), banyak faktor yang berperan dalam mekanisme


patofisiologi nyeri kepala primer ini, akan tetapi pada secara umum
patofisiologisnya hampir mirip satu sama lainnya disertai adanya sedikit
perbedaan spesifik yang masing-masing belum diketahui dengan benar.
2.1.8 Pathway
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dengan alat sangat tergantung pada hasil pemeriksaan klinis
dan ada atau tidaknya defisit neurologis. Pemeriksaan tambahan tidak selalu
diperlukan. Pada kebanyakan kasus diagnosis cukup ditegakkan dengan
pemeriksaan klinis saja. Beberapa alat yang bisa digunakan antara lain:
a. Elektroensefalografi (EEG)
Menurut Bahrudin (2013), pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui
lokasi dari proses, bukan untuk mengetahui etiologisnya. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan serial, dan biaya masih dapat dijangkau oleh sebagaian besar
masyarakat. Indikasi untuk EEG:
1. Bila terdapat gangguan lapangan penglihatan.
2. Bila terdapat gangguan fungsi saraf otak.
3. Bila pasien mengeluh black-out (epilepsi, sinkope).
4. Nyeri kepala yang menetap pada satu sisi disertai dengan gangguan saraf
otak ringan.
5. Perubahan dari lamanya dan sifat nyeri kepala.
6. Bila setelah diberikan pengobatan tidak ada perbaikan dari nyeri kepala.

b. CT scan
Menurut Bahrudin (2013), dengan pemeriksaan ini dapat diketahui tidak
hanya letak dari proses tapi sering juga etiologi dari proses tersebut.
Sayangnya, biaya pemeriksaan masih mahal.
Menurut Bahrudin (2013), indikasi terdapat kejang fokus:
1. Bila terdapat kejang fokal.
2. Bila terdapat defisit neurologis yang persisten.
3. Nyeri kepala pada satu sisi yang tidak berubah disertai dengan kelainan
neurologis kontralateral dengan adanya suatu bruit.
4. Perubahan dari pola nyeri kepala baik mengenai frekuensi, sifat, dan
lamanya.
5. Penurunan kesadaran yang lebih lama dari satu jam disertai gangguan
saraf otak
c. Pemeriksaan Laboratorium
Menurut Bahrudin (2013), pemeriksaan ini dikerjakan hanya bila ada indikasi:
1. Darah, bila diduga adanya infeksi atau gangguan penyakit dalam
(anemia, gangguan metabolik).
2. Cairan serebro spinal (CSS) bila pada pemeriksaan klinis dicurigai
adanya meningitis.
Secara ringkas dapat disimpulkan bila pasien mengeluh nyeri
kepala pastikan ada tanda meningeal atau tidak bila ada tanda meningeal
lakukan pemeriksaan CT scan (Bahrudin, 2013).

Gambar: Tanda-Tanda Meningeal


2.1.10 Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaannya dapat dilakukan secara farmakologis maupun non
farmakologis (Mansjoer, 2002) :
1. Secara Farmakologis
a. Penggunaan obat analgesic
Metode pengobatan yang paling umum kronis adalah penggunaan
obat. Banyak orang mencoba untuk mencari bantuan dari obat-obatan
analgesik nyeri seperti aspirin, asetaminofen, senyawa aspirin, ibuprofen,
dan narkotika. Namun demikian ada beberapa jenis obat seperti Ergotamin
(Cafergot), triptans (Imitrex), dan prednisone (Deltasone) bila digunakan
dalam jangka panjang dapat mengakibatkan peningkatan sakit kepala.
Obat penghilang rasa sakit tersebut hanya membantu sementara, tetapi
sakit kepala menjadi lebih re-aktif dan tumbuh dalam intensitas bila
digunakan terus-menerus (sakit kepala rebound). Ini benar-benar dapat
membuat tubuh kurang responsif terhadap pengobatan pencegahan. Oleh
karena itu, obat analgesik sering disarankan untuk sakit kepala yang tidak
kronis di alami.
b. Profilaksis (pencegahan) obat
Obat-obatan yang umum yang paling sering digunakan untuk
mengobati chepalgia kronis disebut obat-obatan profilaksis, yang
digunakan untuk mencegah sakit kepala. Obat-obatan profilaksis
direkomendasikan untuk pasien sakit kepala kronis karena percobaan
bervariasi membuktikan bahwa obat mengurangi frekuensi, keparahan,
dan kecacatan yang berhubungan dengan sakit kepala kronis. Mayoritas
obat profilaksis bekerja dengan menghambat atau meningkat
neurotransmissions di otak, sering mencegah otak dari menafsirkan sinyal
rasa sakit.
Pencegahan obat-obatan termasuk gabapentin (gabapentin),
Tizanidine (Zanaflex), fluoxetine (Prozac), amitriptyline (Elavil), dan
topiramate (Topamax). Dalam pengujian, gabapentin ditemukan untuk
mengurangi jumlah hari sakit kepala per bulan sebesar 9,1% . Tizanidine
ditemukan untuk mengurangi frekuensi sakit kepala rata-rata per minggu,
intensitas sakit kepala, dan durasi sakit kepala berarti. Melalui penelitian,
Fluoxetine menghasilkan peringkat suasana hati lebih baik dan
“peningkatan yang signifikan dalam-bebas hari sakit kepala.” Satu studi
menemukan bahwa frekuensi sakit kepala selama jangka waktu 28 hari
menurunkan untuk pasien sakit kepala kronis pada penggunaan
topiramate. Obat lain untuk mencegah sakit kepala adalah toksin
botulinum tipe A (BoNTA atau BOTOX), yang diberikan melalui
suntikan.
2. Secara Non farmakologis
a. Terapi Fisik
Dalam terapi fisik, pasien bekerja sama dengan ahli terapi untuk
membantu mengidentifikasi dan mengubah kebiasaan fisik atau
kondisi yang mempengaruhi sakit kepala kronis. Terapi fisik untuk
sakit kepala harian kronis berfokus pada tubuh bagian atas, termasuk
punggung atas, leher, dan wajah. Therapist menilai dan meningkatkan
tubuh postur pasien, yang dapat memperburuk sakit kepala. Selama
sesi latihan, terapis menggunakan terapi manual, seperti pijat,
peregangan, atau gerakan bersama untuk melepaskan ketegangan otot.
Metode lain untuk mengendurkan otot termasuk penggunaan
rangsangan panas, kantong es, dan “rangsangan listrik.” Terapis juga
mengajarkan penderita sakit kepala kronis-latihan di rumah untuk
memperkuat dan peregangan otot-otot yang dapat memicu sakit
kepala. Dalam terapi fisik, pasien harus mengambil peran aktif untuk
berlatih latihan dan melakukan perubahan atau dia gaya hidupnya
untuk itu menjadi perbaikan.
b. Akupunktur
Studi akupunktur di Jerman menemukan bahwa 52,6% pasien
melaporkan penurunan frekuensi sakit kepala.
c. Relaksasi
Relaksasi membantu untuk mengurangi ketegangan internal, yang
memungkinkan seseorang untuk mengendalikan sakit kepala yang
dipicu oleh stres.Latihan relaksasi mencakup 2 metode yaitu :
d. Metode Fisik
Relaksasi otot progresif dan teknik pernapasan dalam.
e. Metode Mental
Meditasi, relaksasi membantu tubuh untuk melepas lelah, mencegah
pembentukan sakit kepala.
f. Biofeedback
Biofeedback sering digunakan untuk mengevaluasi efektivitas
pelatihan relaksasi. Salah satu biofeedback tes paling umum adalah
electromyograph (EMG), yang mengevaluasi aktivitas listrik yang
dihasilkan oleh otot. Biofeedback juga dapat mengukur aktivitas otak
listrik melalui uji yang disebut electroencephalograph (EEG). Tes lain,
yang disebut termograf, mengukur suhu kulit, karena ketika seseorang
santai mereka telah meningkatkan aliran darah dan temperatur yang
lebih tinggi. Cara lain adalah BVP biofeedback, yang mengajar pasien
bagaimana mengatur dan mengurangi amplitudo nadi dengan
membatasi arteri. Ketika tegang, seseorang meningkatkan aktivitas
kelenjar keringat, yang diukur dengan pengujian electrodermograph
tangan. Metode Biofeedback telah terbukti dapat digunakan. Sebuah
penelitian yang melibatkan lima belas sesi perawatan ditemukan
bahwa biofeedback berhasil dalam mengurangi baik frekuensi dan
tingkat keparahan sakit kepala di debit dan dari waktu ke waktu.
Biofeedback memungkinkan penderita sakit kepala untuk
mengidentifikasi masalah dan kemudian berusaha untuk
menguranginya.
g. Perubahan dalam diet
Banyak penderita sakit kepala kronis gagal untuk mengenali
makanan atau minuman sebagai faktor sakit kepala, karena konsumsi
mungkin tidak konsisten menyebabkan sakit kepala atau sakit kepala
bisa tertunda. Banyak bahan kimia dalam makanan tertentu dapat
menyebabkan sakit kepala kronis, termasuk kafein, monosodium
glutamat ( MSG), nitrit, nitrat, tyramine, dan alkohol. Beberapa
makanan dan minuman yang penderita sakit kepala kronis disarankan
untuk menghindari termasuk minuman berkafein, coklat, daging
olahan, keju dan produk susu fermentasi, kacang, dan alkohol.
h. Terapi perilaku dan terapi psikologis
Psikologi dan terapi perilaku mengidentifikasi situasi stress dan
mengajarkan pasien dengan sakit kepala kronis bereaksi berbeda,
mengubah perilaku mereka, atau menyesuaikan sikap untuk
mengurangi ketegangan yang mengarah ke sakit kepala. Perlakuan
terutama berfokus pada “emosional, mental, perilaku, dan faktor-faktor
sosial” sebagai dampak sakit kepala mereka. Pasien hanya disarankan
untuk menghindari stres ketika mereka berbagi beban atau masuk akal
dengan orang lain.

2.1.11 Discharge Planning


a. Istirahat yang cukup
b. Diet MSG ( penyedap rasa), caffein dan garam
c. Banyak makan sayur dan buah
d. Rajin berolahraga
e. Minum obat sesuai dosis
f. Control sesuai jadwal

Anda mungkin juga menyukai