Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan penyakit paru progresif
yang ditandai dengan adanya hambatan aliran udara ireversibel yang berkaitan
dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun (Anissa,
2022). PPOK merupakan penyakit yang ditandai oleh keterbatasan jalan nafas
progresif yang disebabkan oleh reaksi peradangan abnormal. Ketiga penyakit
yang membentuk satu kesatuan yang membentuk PPOK yaitu bronchitis
kronis, emfisema paru-paru dan asma (Manurung, 2016)

Pada tahun 2020 PPOK diprediksi sebagai penyebab kematian keempat di


dunia, dan menjadi tantangan bagi dunia kesehatan untuk dapat dicegah dan
diobati. Data World Health Organization (WHO), menunjukkan bahwa lebih
dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2012, yakni sebesar 6%
dari semua kematian global tahun itu dan lebih dari 90% kematian PPOK
terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah (Putra, 2017).
Prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara prevalensi tertinggi terdapat
di Vietnam(6,7%) dan China (6,5%) dari total penduduknya (Saftarina et al.,
2017). Sedangkan Di Indonesia, PPOK menempati urutan kelima sebagai
penyakit penyebab kematian dan diperkirakan akan menduduki peringkat ke-3
pada tahun 2020 mendatang (Susanti, 2015). Prevalensi PPOK di Indonesia
diperkirakan akan terus meningkat, salah satunya disebabkan oleh banyaknya
jumlah perokok di Indonesia. Secara nasional konsumsi tembakau di
Indonesia cenderung meningkat dari 27% pada tahun 1995 menjadi 36.3%
pada tahun 2013 (Kusumawardani et al., 2016).

Dari data rekam medis, jumlah kasus PPOK di Rumah Sakit Santo Antonio
berjumlaj 57 kasus. Dari data ini didapatkan sebagian besar penderita PPOK
berjenis kelamin laki-laki dan memiliki riwayat merokok.
1.2. Rumusan Masalah
“Bagaimanakah asuhan keperawatan pada Tn.M dengan diagnosa PPOK di
Ruang Fransiskus II RS. Santo Antonio”
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengidentifikasi asuhan kepeawatan pada pasien
dengan diagnosa PPOK di Ruang Fransiskus II RS. Santo Antonio
Baturaja
1.3.2. Tujuan Khusus
1.3.2.1. Mengkaji pada Tn.M dengan diagnosa PPOK diruang Fransiskus II
RS. Santo Antonio Baturaja.
1.3.2.2. Merumuskan diagnosa pada Tn.M dengan diagnosa PPOK diruang
Fransiskus II RS. Santo Antonio Baturaja.
1.3.2.3. Merencanakan asuhan keperawatan pada Tn.M dengan diagnosa
PPOK diruang Fransiskus II RS. Santo Antonio Baturaja.
1.3.2.4. Melakukan asuhan keperawatan pada Tn.M dengan diagnosa
PPOK diruang Fransiskus II RS. Santo Antonio Baturaja.
1.3.2.5. Mendokumentasi asuhan keperawatan pada Tn.M dengan diagnosa
PPOK diruang Fransiskus II RS. Santo Antonio Baturaja.

1.4. Manfaat
1.4.1. Bagi Penulis
Memberikan pengalaman laporan kasus mengenai asuhan keperawatan
pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) pada Tn.M dengan
diagnosa PPOK diruang Fransiskus II RS. Santo Antonio Baturaja
1.4.2. Bagi Institusi Rumah Sakit
Laporan kasus ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan evaluasi
pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) pada Tn.M dengan diagnosa PPOK diruang Fransiskus II
RS. Santo Antonio Baturaja Bagi Pasien dan Keluarga
1.4.3. Bagi Pasien dan Keluarga
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan informasi atau wawasan
bagi pasien dan Keluarga pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) pada Tn.M dengan diagnosa PPOK diruang Fransiskus II RS.
Santo Antonio Baturaja
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep PPOK
2.1.1. Pengertian PPOK
PPOK adalah nama yang diberikan untuk gangguan ketika dua penyakit
paru terjadi pada waktu bersamaan yaitu bronkitis kronis dan emfisema.
Asma kronis yang dikombinasikan dengan emfisema atau bronkitis juga
dapat menyebabkan PPOK (Hurst, 2016). PPOK adalah penyakit yang
dicirikan oleh keterbatasan aliran udara yang tidak dapat pulih
sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif dan di
kaitkan dengan respon inflamasi paru yang abnormal terhadap partikel
atau gas berbahaya, yang menyebabkan penyempitan jalan nafas,
hipersekresi mucus, dan perubahan pada system pembuluh darah paru.
Penyakit lain seperti kistik fibrosis, bronkiektasis, dan asama yang
sebelumnya diklasifikasiakan dalam jenis COPD kini di klasifikasikan
paru kronis, meskipun gejala tupang tindih dengan COPD lain. Merokok
singaret, polusi udara, dan pajanan di tempat kerja (batu bara, katun, biji-
bijian padi) merupakan factor penting yang menyebabkan terjadinya
COPD, yang dapat terjadi dalam rentang waktu 20-30 tahun (Suddarth,
2015).
2.1.2. Komponen PPOK
Adapun penyakit yang membentuk PPOK adalah sebagai berikut:
2.1.2.1. Bronkitis Kronik.
Bronkitis Kronis merupakan keadaan yang berkaitan dengan produksi
mukus takeobronkial yang berlebihan, sehingga cukup untuk menimbulkan
batuk dengan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun dan paling
sedikit 2 tahun secara berturut-turut (Somantri, 2012). Iritan inhalasi
menyebabkan proses inflamasi kronik dengan vasodilatasi, kongesti dan
edema mukosa bronkial. Sel goblet meningkat dalam hal ukuran dan
jumlah serta kelenjar mukosa membesar. Mukus yang tebal dan banyak
dihasilkan dalam jumlah yang bertambah banyak. Perubahan pada sel
skuamosa bronkial mengganggu kemampuan untuk membersihkan mukus
(Fishman et al., 2008 dalam LeMone et al., 2016). Penyempitan jalan
nafas dan kelebihan sekresi mengobstruksi jalan nafas. Karena fungsi silier
terganggu, mekanisme pertahanan normal tidak mampu membersihkan
mukus dan semua patogen yang diinhalasi. Infeksi berulang umum pada
bronkitis kronik (LeMone et al., 2016).
2.1.2.2. Emfisema Paru.
Emfisema adalah gangguan yang berupa dinding alveolus mengalami
kerusakan. Kerusakan tersebut menyebabkan ruang udara terdistensi
secara permanen. Aliran uadara terhambat sebagai hasil dari perubahan
tersebut, bukan produksi mucus seperti yang terjadi pada bronchitis kronis.
Seperti pada bronchitis kronik, merokok sangat berimplikasi sebagai factor
penyebab pada sebagian besar kasus emfisema (LeMone et al., 2016).
2.1.2.3. Asma Bronkial.
Asma Bronkial adalah suatu gangguan pada saluran Bronkial yang
mempunyai ciri bronkospasme periodik terutama pada percabangan
trakeobronkial yang dapat diakibatkan oleh berbagai stimulus seperti
faktor biokemikal, endokrin, infeksi, dan psikologi (Somantri, 2012).

2.1.3. Etiologi PPOK


2.1.4. Menurut Oemiati (2013) beberapa faktor risiko antara lain:
2.1.3.1. Pajanan dari partikel antara lain :
a. Merokok:
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara
berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan
obstruksi jalan napas kronik (Oemiati, 2013). Sejumlah zat iritan yang
ada di dalam rokok menstimulasi produksi mucus berlebih, batuk,
merusak fungsi silia, menyebabkan inflamasi, serta kerusakan
bronkiolus dan dinding alveolus (Elsevier). Perokok pasif juga
menyumbang terhadap symptom saluran napas dan PPOK dengan
peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-
gas berbahaya. (Oemiati, 2013)

b. Polusi indoor:
Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek
misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak
diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%. Manusia banyak
menghabiskan waktunya pada lingkungan rumah (indoor) seperti
rumah, tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas, mall, dan kendaraan.
Polutan indoor yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO yang
dihasilkan dari memasak dan kegiatan pemanasan, zat-zat organik
yang mudah menguap dari cat, karpet, dan mebelair, bahan percetakan
dan alergi dari gas dan hewan peliharaan serta perokok pasip. WHO
melaporkan bahwa polusi indoor bertanggung jawab terhadap
kematian dari 1,6 juta orang setiap tahunya16. (Oemiati, 2013).
c. Polusi outdoor:
Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang
paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu.
Bahan asap pembakaran/pabrik/tambang. Bagaimanapun peningkatan
relatif kendaraan sepeda motor di jalan raya pada dekade terakhir ini,
saat ini telah mengkhawatirkan sebagai masalah polusi udara pada
banyak kota metropolitan seluruh dunia. Pada negara dengan income
rendah dimana sebagian besar rumah tangga di masyarakat
menggunakan cara masak tradisional dengan minyak tanah dan kayu
bakar, polusi indoor dari bahan sampah biomassa telah memberi
kontribusi untuk PPOK dan penyakit kardio respiratory, khususnya
pada perempuan yang tidak merokok (Oemiati, 2013).
d. Polusi di tempat kerja:
Polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu organik (debu sayuran
dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri tekstil (debu dari
kapas) dan lingkungan industri (pertambangan, industri besi dan baja,
industri kayu, pembangunan gedung), bahan kimia pabrik cat, tinta,
sebagainya diperkirakan mencapai 19% (Oemiati, 2013).

2.1.3.2. Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin):


Faktor risiko dari genetic memberikan kontribusi 1 – 3% pada pasien
PPOK (Oemiati, 2013).
2.1.3.3. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang :
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas
PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan
secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat
pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan
gejala respirasi padasaatdewasa.Terdapat beberapa kemungkinan yang
dapat menjelaskan penyebab keadaaan ini, karena seringnya kejadian
infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperesponsif
jalan napas yang merupakan faktor risiko pada PPOK (PDPI, 2011).
2.1.3.4. Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik:
Studi pada orang dewasa di Cina14 didapatkan risiko relative pria terhadap
wanita adalah 2,80 (95% C I ; 2,64-2,98). Usia tua RR 2,71 (95% CI 2,53-
2,89). Konsumsi alkohol RR 1,77 (95% CI : 1,45 – 2,15), dan kurang
aktivitas fisik 2,66 (95% CI ; 2,34 – 3,02) (Oemiati, 2013).

2.1.4. Patofisiologi PPOK


PPOK di tandai dengan obstruksi progresif lambat pada jalan nafas.
Penyakit ini merupakan salah satu eksaserbasi periodic, sering kali
berkaitan dengan infeksi pernapasan, dengan peningkatan gejala dyspnea
dan produksi sputum. Tidak seperti proses akut yang memungkinkan
jaringan paru pulih, jalan napas dan parenkim paru tidak kembali ke
normal setelah ekserbasi; Bahkan, penyakit ini menunjukkan perubahan
destruktif yang progresif (LeMone et al., 2016).
Meskipun salah satu atau lainya dapat menonjol PPOK biasanya
mencakup komponen bronchitis kronik dan emfisema, dua proses yang
jauh berbeda. Penyakit jalan napas kecil, penyempitan bronkiola kecil,
juga merupakan bagian kompleks PPOK. Melalui mekanisme yang
berbeda, proses ini menyebabkan jalan napas menyempit, resistensi
terhadap aliran udara untuk meningkat, dan ekpirasi menjadi lambat dan
sulit (LeMone et al., 2016).
Pathway PPOK

ASMA Merokok Defisiensi


Idiopatik Polusi Udara α1-antitripsin

Asma Bronchial Bronchitis Kronis Emfisema

Penumpukan lender dan Obstruksi pada pertukaran Jalan napas bronchial menyempit
sekresi yang menyumbat oksigen dan karbondioksia terjadi dan membatasi jumlah udara yang
jalan napas akibat kerusakan dinding alveoli mengalir kedalam paru

Gangguan [ergerakan udara dari dalam dan luar paru

Peningkatan usaha dan frekuensi


Penurunan kemampuan batuk efektif pernapasan penggunaan otot
bantuan pernapasan

-Ketidakefektifan bersihan jalan napas

Respon system dan psikologis

Peningkatan kerja pernapasan hipoksemia


secara reversible Keluhan system, mual, Keluhan psikososial,
intake nutrisi tidak kecemasan,
adekuat, malaise,
ketidaktahuan akan
kelemahan dan keletihan
prognosis
-Gangguan pertukaran gas fisik
-Ketidakefektifan poa nafas

- Deficit
- Kecemasan
nutrisi Intoleran
Risiko tinggi gagal napas - Ketidaktahuan
aktivitas pemenuhan
informasi
(sumber: LeMone 2016)

2.1.5. Manifestasi Klinis PPOK Gangguan Pola Tidur


2.1.6. Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi dari tanpa gejala dan dengan
gejala dari ringan sampai berat, yaitu batuk kronis, berdahak, sesak napas
bila beraktifitas, sesak tidak hilang dengan pelega napas, memburuk pada
malam/dini hari, dan sesak napas episodic (Tana et al., 2016). Untuk dapat
menghindari kekambuhan PPOK, maka pemahaman tentang penyakit dan
cara mencegah kekambuhan PPOK menjadi dasar yang sangat penting
bagi seseorang khususnya penderita PPOK. Kekambuhan dapat terukur
dengan meliputi skala sesak berdasarkan skala MMRC (Modified Medical
Research Counci). Untuk mengeluarkan dahak dan memperlancar jalan
pernapasan pada penderita PPOK dapat dilakukan dengan cara batuk
efektif (Faisal, 2017)
2.1.7. Gejala PPOK jarang muncul pada usia muda umumnya setelah usia 50
tahun ke atas, paling tinggi pada laki-laki usia 55-74 tahun. Hal ini
dikarenakan keluhan muncul bila terpapar asap rokok yang terus menerus
dan berlangsung lama (Salawati, 2016). Tanda dan gejala penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) adalah sebagai berikut Suddarth, (2015):
a PPOK dicirikan oleh batuk kronis, produksi sputum, dan dyspnea saat
menggerakkan tenaga kerap memburuk seiring waktu.
b Penurunan berat badan sering terjadi.
c Gejala yang spesifik dengan penyakit pada “Asma”, “Bronkiektasis”,
“Bronkitis”, dan “ Emfisema”

2.1.8. Derajat PPOK


2.1.9. Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) tahun 2017, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat, yaitu:
a. Derajat 0 (tidak berisiko)
Gejala klinis: memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi
sputum, dan dispnea, terdapat paparan terhadap faktor
resiko,spirometri:normal.

b. Derajat I (PPOK ringan)


Gejala klinis: dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi
sputum, sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1,
spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.
Spirometri merupakan tes fungsi paru yang mengukur persentase dan
derajat beratmya obstruksi aliran udara. Spirometri mengukur volume
udara ketika ekspirasi dari inspirasi maksimal (force vital capacity,
FVC) dan volume udara ketika ekspirasi selama satu detik pertama
(forced expiratory volume in one second, FEV1) (A.Wisman et al.,
2015).
c. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis: dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi
sputum, sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri: FEV1 < 70%; 50%<FEV1<80%.
d. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis: sesak napas derajat sesak 3 dan 4, eksaserbasi lebih
sering terjadi, spirometri : FEV1<70%; 30% <FEV1 <50%.
e. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis: pasien derajat III dengan gagal napas kronik, disertai
komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan, spirometri:
FEV1/FVC <70%; FEV1<30%.

Skala sesak berdasarkan GOLD tahun2017:


1) 0=Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat.

2) 1 = Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat.

3) 2 = Berjalan lebih lambat karena merasa sesak.


4) 3 = Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit.

5) 4 = Sesak bila mandi atau berpakaian (Saftarina et al., 2017) .

2.1.10. Penatalaksanaan PPOK


2.1.10.1. Non Farmakologi
a. Berhenti Merokok
Menurut PDPI (2011) Strategi untuk membantu pasien berhenti
merokok adalah 5A :
1. Ask (Tanyakan).
Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
2. Advise (Nasihati).
Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti merokok.
3. Assess (Nilai).
Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30 hari
ke depan).
4. Assist (Bimbing).
Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan
konseling praktis, merekomendasikan penggunaan
farmakoterapi.
5. Arrange (Atur).
Buat jadwal kontak lebih lanjut.
b. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi keletihan
dan memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang
dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang
telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai: simptom
pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat, kualitas
hidup yang menurun. Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen
yaitu: latihan fisik, psikososial dan latihan pernapasan (PDPI,
2011).
c. Terapi Oksigen.
Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel
baik di otot maupun organ-organ lainnya (PDPI, 2011).
d. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi
yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni
menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan
menambah mortaliti PPOK karena berkorelasi dengan derajat
penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah (PDPI,
2011).
2.1.10.2. Farmakologis
a. Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk
meningkatkan FEV1 atau mengubah variable spirometri dengan
cara mempengaruhi tonus otot polos pada jalan napas.
Bronkodilator dapat diberikan dengan metered-dose inhaler (MDI),
dry powder inhaler (DPI), dengan nebulizer, atau secara oral
(LeMone et al., 2016)..
Macam-macam bronkodilator:
1. β2 Agonist (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan
napas dengan menstimulasi reseptor β2 dengan meningkatkan
C-AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap
bronkokontriksi.
Angios β2 adalah obat simtimimetik yang bekerja pada
adrenoreseptor β2 pada otot polos saluran napas dan
menyebabkan bronkodilasi. Obat ini juga membantu
pembersihan mukus dan memperbaiki kekuatan (endurance)
otot pernapasan (Black & Hawks, 2014).
2. Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium,
oxitroprium dan tiopropium bromide. Efek utamanya adalah
memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik.
b. Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini
dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun
obat ini tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia.
c. Kortikosteroid
Inhalasi yang diberikan secara regular dapat memperbaiki gejala,
fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi
pada pasien dengan FEV1 <60% prediksi.
d. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan
menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan
obat ini memiliki efek samping seperti mual, menurunnya nafsu
makan, sakit perut, diare, gangguan tidur dan sakit kepala (Soeroto
& Suryadinata, 2014).

2.1.10.3. Terapi farmakologis lain


a. Vaksin :vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien
PPOK usia > 65 tahun
b. Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien
usia muda dengan defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat.
Terapi ini sangat mahal, dan tidak tersedia di hampir semua negara
dan tidak direkomendasikan untuk pasien PPOK yang tidak ada
hubungannya dengan defisiensi alpha-1 antitripsin.
c. Antibiotik: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang
mencetuskan eksaserbasi.
d. Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan:
Ambroksol, erdostein, carbocysteine, ionated glycerol dan N-
acetylcystein dapat mengurangi gejala eksaserbasi.
e. Immunoregulators (immunostimulators, immunomodulator)
f. Antitusif: Golongan obat ini tidak direkomendasikan.
g. Vasodilator
h. Narkotik (morfin) (Soeroto & Suryadinata, 2014).

2.1.11. Pemeriksaan Penunjang


2.1.11.1. Pengukuran Fungsi Paru
a. Kapasitas inspirasi menurun.
b. Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkhial, dan asma.
c. FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif penyakit paru
obstruktif kronis.
d. FVC awal normal menurun pada bronkhitis dan asma.
e. TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada
emfisema).
2.1.11.2. Analisa Gas Darah
PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada asma. Nilai
pH normal, asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder.
2.1.11.3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) meningkat pada polisitemia
sekunder.
b. Jumlah darah merah meningkat.
c. Pulse oksimetri SaO2 okseigenasi menurun.
d. Elektrolit menurun karena pemakaian obat deuritik.
e. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan gram kuman/kuktur adanya infeksi campuran. Kuman
pathogen yang bias ditemukan adalah Strepcoccus pneumonia,
Hemaphylus influenza, dan Moraxella catarrhalis.

2.1.11.4. Pemeriksaan Radiologi Thoraks foto (AP dan Lateral)


Menunjukkan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan
bendungan area paru. Pada emfisema paru didapatkan diafragma
dengan letak yang rendah dan mendatar ruang udara retrosternal >
(foto lateral), jantung tampak bergantung memanjang dan menyempit.
2.1.11.5. Pemeriksaan Bronkhogram
Menunjukkan dilatasi bronkhus kolap bronkhiale pada ekspirasi kuat.

2.1.11.6. EKG
Menurut Wahid & Suprapto (2013), Tekanan darah biasanya normal.
Batas jantung tidak mengalami pergeseran. Vena jugularis mungkin
mengalami distensi selama ekspirasi. Kelainan EKG yang paling awal
terjadi adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor
pulmonal, terdapat deviasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada
hantaean II,III, dan aVF. Voltase QRS rendah. Di VI rasio R/S lebih
dari 1 dan di V6 V1 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB
inkomplet (Muttaqin, 2008).

2.1.12. Komplikasi
2.1.12.1. Hipoksemia
Hipoksemia adalah kondisi turunya konsentrasi oksigen dalam darah
arteri. Beberapa kondisi dapat menyebabkan hipoksemia. Hipoksemia
dapat terjadi jika terdapat penurunan oksigen di udara (hipoksia) atau
hipoventilasi terjadi karena daya regang paru menurun atau atelektasis
(Corwin, 2009).
2.1.12.2. Asidosus Respiratori
Timbul Akibat dari penoingkatan PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang
muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, latergi, dizziness, dan
takipnea (Somantri, 2012).
Asidosis respiratorik dapat terjadi akibat depresi pusat pernapasan
misalnya (akibat obat, anestesi, penyakit neurologi) kelainan atau
penyakit yang mempengaruhi otot atau dinding dada, penurunan area
pertukaran gas, atau ketidakseimbangan ventilasi perfusi, dan obstruksi
jalan napas (Warsi et al., 2013).
2.1.12.3. Infeksi Respiratori
Infeksi Pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi
mucus dan rangsangan otot polos bronkial serta edema mukosa.
Terbatasnya aliran udara akan menyebabkan peningkatan kerja napas
dan timbulnya dyspnea.
2.1.12.4. Gagal Jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru,
harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat).
Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis,
tetapi dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
2.1.12.5. Kardiak disritmia
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratori.
2.1.12.6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma
bronkial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan,
dan sering kali tidak berspons terhadap terapi yang biasa diberikan.
Penggunaan otot bantu pernapasan dan disertai vena leher sering kali
terlihat pada klien dengan asma (Somantri, 2012).

2.2. Konsep Asuhan Keperawatan


2.2.1. Pengkajian
a. Anamnesis
1. Identitas
Sebelumnya jenis kelamin PPOK lebih sering terjadi pada laki-
laki, tetapi karena peningkatan penggunaan tembakau di kalangan
perempuan di negara maju dan risiko yang lebih tinggi dari
paparan polusi udara di dalam ruangan (misalnya bahan bakar yang
digunakan untuk memasak dan pemanas) pada negara-negara
miskin, penyakit ini sekarang mempengaruhi laki-laki dan
perempuan hampir sama (Ismail et al., 2017). Kebanyakan
penderita PPOK terjadi pada individu di atas usia 40 tahun (PDPI,
2011). Hal ini bisa dihubungkan bahwa penurunan fungsi respirasi
pada umur 30-40 tahun (Oemiati, 2013).
2. Keluhan utama
Keluhan yang sering dikeluhkan oleh orang dengan penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) adalah Sesak napas yang bertambah
berat bila aktivitas, kadang-kadang disertai mengi, batuk kering
atau dengan dahak yang produktif, rasa berat di dada (PDPI, 2011).
3. Riwayat kesehatan sekarang
Menurut Oemiati (2013) Bahwa Perokok aktif dapat mengalami
hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Perokok pasif
juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan dengan
peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan
gas-gas berbahaya. Kebiasaan memasak dengan bahan biomass
dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan asap bahan
bakar kayu dan asap bahan bakar minyak diperkirakan memberi
kontribusi sampai 35% dapat memicu terjadinya PPOK.
Produsi mukus berlebihan sehingga cukup menimbulkan batuk
dengan ekspetorasi selama beberapa hari ± 3 bulan dalam setahun
dan paling sedikit dalam dua tahun berturut-turut dapat memicu
terjadinya PPOK (Somantri, 2012).
4. Riwayat kesehatan masa lalu
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan, riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat
kerja (PDPI, 2011). Dan memiliki riwayat penyakit sebelumnya
termasuk asama bronchial, alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi
saluran nafas saat masa kanak-kanak dan penyakit respirasi lainya.
Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk
penyakit respirasi (Soeroto & Suryadinata, 2014).
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga (PDPI, 2011). Riwayat
keluarga PPOK atau penyakit respirasi lainya. (Soeroto &
Suryadinata, 2014). Riwayat alergi pada keluarga (Mutaqqin,
2008).
6. Pola Fungsi Kesehatan
Pola fungsi kesehatan yang dapat dikaji pada pasien dengan PPOK
menurut Wahid & Suprapto (2013) adalah sebagai berikut:
7. Pola Nutrisi dan Metabolik.
Gejala: Mual dan muntah, nafsu makan buruk/anoreksia,
ketidakmampuan untuk makan, penurunan atau peningkatan berat
badan.
Tanda: Turgor kulit buruk, edema dependen, berkeringat.
8. Aktivitas/Istirahat.
Gejala: Keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan sehari-hari,
ketidakmampuan untuk tidur, dispnea pada saat aktivitas atau
istirahat.
Tanda: Keletihan, gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan
massa otot.
9. Sirkulasi.
Gejala: pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda: Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi
jantung/takikardi berat, distensi vena leher, edema dependent,
bunyi jantung redup, warna kulit/membran mukosa
normal/cyanosis, pucat, dapat menunjukkan anemia.
10. Integritas Ego.
Gejala: peningkatan faktor resiko, dan perubahan pola hidup.
Tanda: Ansietas, ketakutan, peka rangsangan.
11. Hygiene.
Gejala: Penurunan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
hygiene
Tanda: Kebersihan buruk, bau badan.
12. Pernapasan.
Gejala: Batuk menetap dengan atau tanpa produksi sputum selama
minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun,
episode batuk hilang timbul.
Tanda: pernapasan bisa cepat, penggunaan otot bantu pernapasan,
bentuk dada barel chest atau normo chest, gerakan diafragma
minimal, bunyi nafas ronchi, perkusi hypersonan pada area paru,
warna pucat dengan sianosis bibir dan kuku, abu-abu keseluruhan.
13. Keamanan.
Gejala: riwayat reaksi alergi terhadap zat/faktor lingkungan,
adanya / berulangnya infeksi.
14. Seksualitas.
Gejala: Penurunan libido
15. Interaksi Sosial.
Gejala: hubungan ketergantungan, kegagalan dukungan terhadap
pasangan/orang terdekat, ketidakmampuan membaik karena
penyakit lama.
Tanda: ketidakmampuan untuk mempertahankan suara karena
disstres pernapasan, keterbatasan mobilitas fisik, kelalaian
hubungan dengan anggota keluarga lain.

16. Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan Fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan PPOK
menurut Wahid & Suprapto (2013) adalah sebagai berikut:
a. Pernafasan (B1: Breathing).
Inspeksi.
Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan
serta penggunaan otot bantu nafas. Bentuk dada barrel chest
(akibat udara yang tertangkap) atau bisa juga normo chest,
penipisan massa otot, dan pernapasan dengan bibir dirapatkan.
Pernapasan abnormal tidak fektif dan penggunaan otot-otot
bantu nafas (sternocleidomastoideus). Pada tahap lanjut,
dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan
sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk
produktif dengan sputum purulen disertai demam
mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi pernafasan.
Palpasi.
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya
menurun.
Perkusi.
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hiper sonor
sedangkan diafrgama menurun.
Auskultasi.
Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing
sesuai tingkat beratnya obstruktif pada bronkiolus. Pada
pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen yang rendah
(hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang tinggi
(hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada
waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti
membungkuk untuk mengikat tali sepatu, mengakibatkan
dispnea dan keletihan (dispnea eksersorial). Paru yang
mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan
bronkiolus tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yang
dihasilkannya. Pasien rentan terhadap reaksi inflamasi dan
infeksi akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi terjadi,
pasien mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi.
b. Kardiovaskuler (B2:Blood).
Sering didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum. Denyut
nadi takikardi. Tekanan darah biasanya normal. Batas jantung tidak
mengalami pergeseran. Vena jugularis mungkin mengalami
distensi selama ekspirasi. Kepala dan wajah jarang dilihat adanya
sianosis.
c. Persyarafan (B3: Brain).
Kesadaran biasanya compos mentis apabila tidak ada komplikasi
penyakit yang serius.
d. Perkemihan (B4: Bladder).
Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan
pada sistem perkemihan. Namun perawat perlu memonitor adanya
oliguria yang merupakan salah satu tanda awal dari syok.
e. Pencernaan (B5: Bowel).
Pasien biasanya mual, nyeri lambung dan menyebabkan pasien
tidak nafsu makan. Kadang disertai penurunan berat badan.
f. Tulang, otot dan integument (B6: Bone).
Kerena penggunaan otot bantu nafas yang lama pasien terlihat
keletihan, sering didapatkan intoleransi aktivitas dan gangguan
pemenuhan ADL (Activity Day Living).
g. Psikososial.
Pasien biasanya cemas dengan keadaan sakitnya.

2.2.2. Diagnosis Keperawatan


2.2.2.1. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas.
a. Definisi.
Ketidakmampuan untuk membersihkan sekret atau obstruksi saluran
nafas guna mempertahankan jalan nafas yang bersih (Wilkinson, 2017)
Batasan Karakteristik.
b. Batasan karakteristik yang dapat ditemukan pada ketidakefektifan
bersihan jalan napas menurut Wilkinson (2017), adalah sebagai
berikut:
c. Subjektif:
Dispnea.
d. Objektif:
- Suara nafas tambahan (misalnya, crackle, ronki, dan mengi)
- Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan
- Sianosis
- Kesulitan untuk bicara
- Penurunan suara napas
- Definisi: Suaranya lembut dengan pitch rendah
- Cara mengkaji: Teknik mendeng arkan suara nafas menggunakan
stetoskop dikenal dengan teknikauskultasi. Teknik auskultasi
merupakan teknik dasar yang digunakan oleh dokter untuk
mengevaluasi suara nafas. Teknik ini cukup sederhana dan murah,
namun memilikikelemahan yaitu hasil analisisny a yang subjektif
(Kiyokawaet al. 2013 dalam Syafria et al., 2014).
- Batuk tidak efektif atau tidak ada
- Ortopnea
- Definisi: Posisi klien duduk diatas tempat tidur dengan badan
sedikit menelung-kup di atas meja disertai bantuan dua buah
bantal.Masing-masing posisi diberlakukan selama 15menit, lalu
dicatat nilai fungsi ventilasi parunyayang terdiri dari frekuensi
nafas dan arus puncak ekspirasi (Ritianingsih et al., 2011)
- Gelisah
- Mata terbelalak.
e. Faktor yang Berhubungan:
- Faktor yang berhubungan dengan terjadinya ketidakefektifan
bersihan jalan napas menurut Wilkinson (2017), adalah sebagai
berikut:
- Lingkungan: Merokok, menghirup asap rokok, dan perokok pasif.
- Obstruksi Jalan Nafas: Spasme jalan nafas, retensi sekret, mukus
berlebih, adanya jalan nafas buatan, terdapat benda asing di jalan
napas, sekret di bronki, dan eksudat di alveoli.
- Fisiologis: Disfungsi neuromuskular, hiperplasia dinding bronkial,
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), Infeksi, Asma, Jalan
nafas alergik (trauma).
2.2.2.2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan,
hambatan upaya napas
2.2.2.3. Gangguan Pola Tidur Berhubungan Dengan Ketidaknyamanan Fisik
2.2.2.4. Intoleransi Aktivitas Berhubungan Dengan Ketidakseimbangan Antara
Suplei dan Kebutuhan Oksigen
2.2.3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1 Bersihan jalan nafas tidak efektif Setelah dilakukan intervensi keperawatan Manajemen Jalan Napas
selama ….x ….. jam diharapkan kepatenan Observasi
jalan napas meningkat. - Monitor pola napas
Dengan kriteria hasil : - Monitor bunyi napas
Batuk efektif meningkat - Monitor sputum (jumlah, warna)
Produksi sputum menurun Terapeutik
Dispnea membaik - Posisi semi fowler
Sianosis membaik - Berikan minum hangat
Gelisah membaik - Ajarkan batuk efektif
Frekuensi napas membaik - Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
Pola napas membaik - Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
- Ajarkan teknik relaksasi
Kolaborasi
- Kolaborasi dalam pemberian
bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,
jika perlu
2 Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan intervensi keperawatan Manajemen jalan napas
selama … x … diharapkan keadekuatan Observasi
vebtilasi napas membaik - Monitor pola napas
Dengan kriteria hasil : - Monitor bunyi napas
- Monitor sputum
Terapeutik
- Posisikan semi fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
- Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
- Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari,
jika tidak ada kontraindikasi
- Ajarkan Teknik batuk efektif
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, dan mukolitik
3 Gangguan pola tidur Setelah dilakukan intervensi keperawatan Dukungan tidur
selama …. X ….. jam diharapkan keadekuatan Observasi
kualitas dan kuantitas tidur membaik - Identifikasi pola aktivitas dan pola
Dengan kriteria hasil : tidur
Keluhan sulit tidur menurun - Identifikasi faktor pengganggu tidur
Keluhan sering terjaga menurun Terapeutik
Keluhan istirahat tidak cukup menurun - Modifikasi lingkungan
Kemampuan beraktivitas meningkat - Lakukan prosedur untuk
meningkatkan kenyamanan
Edukasi
- Ajarkan faktor yang berkontribusi
terhadap gangguan pola tidur
- Ajarkan teknik nonfarmakologi
lainnya.
4 Intoleran aktivitas Setelah dilakukan intervensi keperawatan Manajemen energi
selama … x …. Diharapkan respon fisiologis Observasi
terhadap aktivitas meningkat. - Identifikasi gangguan fungsi tubuh
Dengan kriteria hasil : yang mengakibatkan kelelahan
Frekuensi nadi meningkat - monitor kelelahan fisik dan emosional
Kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari- - monitor pola dan jam tidur
hari meningkat - monitor ketidanyamanan selama
Keluhan Lelah menurun melakukan aktivitas
Perasaan lemah menurun terapeutik
Tekanan darah membaik - sediakan lingkungan nyaman dan
Frekuensi napas membaik rendah stimulus
- berikan aktivitas distraksi yang
menenangkan
- fasilitasi duduk disisi tempat tidur,
jika tidak dapat berpindah atau
berjalan
edukasi
- anjurkan tirah baring
- ajurkan melakukan aktivitas secara
bertahap
- anjurkan menghubungi perawat jika
ada tanda dan gejala kelelahan yang
tidak berkurang
kolaborasi
- kolaborasi dengan ahli gizi tentang
cara meningkatkan asupan makanan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PAD TN.M DENGAN PPOK

A. PENGKAJIAN
Nama : Tn.M
Umur : 69 th
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Sungai binjai, Martapura
RM : 066758
Status Perkawinan : kawin
Agama : katolik
Suku : jawa
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Diagnosa Medik saat masuk : Dyspneu e.c Susp. PPOK
Diagnosa Medik saat ini : PPOK
Tanggal masuk RS : 2 januari 2023
Tanggal pengkajian : 2 januari 2023
Sumber informasi : klien dan keluarga

B. RIWAYAT PENYAKIT
1. Keluhan utama saat ini
Sesak nafas, batuk berdahak
2. Riwayat penyakit
a. Riwayat penyakit sekarang
2 hari SMRS klien mengatakan sesak nafas, terasa berat saat menarik
nafas, lemas, batuk berdahak sudah sejak 1 minggu yang lalu.
b. Tindakan yang telah dilakukan di poliklinik atau IGD
Pemasangan oksigen melalui nasal canul 4lpm.
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat TBC dengan pengobatan tuntas tahun 2017
d. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada
C. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Klien mengatakan penyakit sekarang hanya karena kelelahan. Penyakit
TBC sudah sembuh tahun 2017
2. Pola nutrisi/metabolic
a. Program diit dirumah sakit
BBTpRL (tinggi protein rendah lemak)
b. Intake sehari-hari
- Sehari-hari
Nasi biasa, sayur dan lauk. Porsi biasa 1 piring habis
- Saat ini (kondisi sakit)
Porsi habis ¼ dari porsi yang disediakan rumah sakit
c. Intake cairan
- Sehari-hari
Minum air mineral lebih dari 8 gelas perhari
- Saat ini (kondisi sakit)
1 hari habis 3 botol air mineral ukuran 600ml
3. Pola eliminasi
a. BAB
- Sehari – hari
1-2x/hari lunak berwarna kuning
- Saat ini (kondisi sakit)
1 kali lunak berwarna kuning
b. BAK
- Sehari – hari
2-4 kali sehari, warna kuning
- Saat ini (kondisi sakit)
Sering BAK
4. Pola aktivitas dan latihan saat ini (kondisi saat ini)
Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4
Makan / minum √
Toileting √
Berpakaian √
Mobilitas di tempat tidur √
Berpindah √
Ambulasi / ROM √
0=mandiri, 1=dengan alat bantu, 2=dibantu orang lain,
3=dibantu orang lain dan alat, 4=tergantung total
Oksigenisasi
Terasa berat saat menarik nafas
SPO2 97-98% terpasang oksigen 4 lpm via nasal canul
5. Pola tidur dan istirahat, perceptual, persepsi diri
a. Pola tidur dan istirahat
- Sehari-hari
6-8 jam sehari, saat tidur malam jam 22.00 bangun jam 05.00,
siang tidur 1 jam kadang tidak
- Saat ini (kondisi sakit)
Susah tidur karena sesak, malam sering terbangun
b. Pola perceptual
- Sehari-hari
Dalam batas normal
- Saat ini (kondisi sakit)
Dalam batas normal
c. Pola persepsi diri
- Sehari-hari
Klien mengatakan sudah sembuh pengobatan TBC tahun 2017
- Saat ini (kondisi sakit)
Klien mengatakan sakit sekarang karena kelelahan dari perjalanan
jauh
6. Pola seksualitas dan reproduksi
- Sehari-hari
Klien mengatakan jarang melakukan aktivitas seksual karena sudah tua
- Saat ini (kondisi sakit)
Klien mengatakan masih sama sebelum masuk rumah ssakit
7. Pola peran dan hubungan
- Sehari-hari
tn.M mengatakan perannya sebagai bapak dan kakek. Anak-anaknya
perduli dengan dirinya dan bersyukur dengan kehidupan yang
dimilikinya.
- Saat ini (kondisi sakit)
tn.M mengatakan bahwa penyakitnya pasti sembuh dan segera kembali
dengan keluarganya
8. Pola manajemen koping stress
- Sehari-hari
tn. M mengatakan pengambilan keputusan terkadang dibantu anak dan
cucunya
- Saat ini (kondisi sakit)
Masih sama saat sebelum sakit, hanya dirumah sakit kekuatan diri klien
betambah oleh adanya perawat dan dokter. Klien mengatakan hanya bisa
sabra, berdoa dan patuh pada pengobatan
9. System nilai dan kepercayaan
- Sehari-hari
tn. M beragama katholik. Klien rajin beribadah. Tidak terdapat
keyakinan yang bertentangan dengan kesehatan dan pengobatan yang
dijalani.
- Saat ini (kondisi sakit)
tn. M mengatakan beribadah hanya diatas tempat tidur yaitu berdoa dan
mendapat layanan pastoral care dari rumah sakit

D. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan sakit pasien
klien tampak sakit berat, sesak nafas RR 28x/menit, lemas terpasang
oksigen 4 lpm via nasal canule
2. Tingkat kesadaran
Composmentis GCS = 15, E=4 M=6 v=5
Klien sadar penuh
3. Tanda-tanda vital
TD=128/68, P=97x/menit, RR=28x/menit, T=36,3oC, SPO2=98%
TB/BB=176cm/72kg skor nyeri =-, skor jatuh=35 (sedang)
4. Pemeriksaan sistemik
a. Kepala
Tidak terdapat lesi dan benjolan, rambut berwarna putih
b. Mata
Mata bersih, pupil isokor, konjungtiva tidak anemis, diameter puil 2/2
reaksi = +/+
c. Telinga
Tidak terdapat lesi dan benjolan, bentuk normal
d. Hidung
Hidung bersih, cuping hidung tidak ada, terpasang oksigen canul 4 lpm
e. Mulut
Mulut bersih, tidak terdapat tanda-tanda sianosis, bibi kering
f. Leher
Tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid, kelenjar getah bening, dan
tidak ada kaku kuduk
g. Dada dan pernafasan
- inspeksi
Simetris, tidak terdapat deviasi trakea, tidak ada jejas, menggunakan
otot bantu nafas
- Palpasi
fokal fremitus kanan dan kiri lemah
- perkusi
dada kanan dan kiri sonor
- auskultasi
terdengar ekspirasi lebih memanjang, ada suara tambahan “ronkhi”
h. Cardiovaskuler
- Inspeksi dan palpasi
Tidak terlihat iktus kordis, iktus teraba di 2 jari RIC 5
- Perkusi
Bunyi jantung regular
- Auskultasi
Bunyi jantung terdengar, tidak ada suara tambahan
i. Abdomen
- Inspeksi : Bentuk datar
- Palpasi : supel tidak teraba benjolan
- Auskultasi : thympani
- Peristaltic : 3-5x/menit
- Perkusi : sonor
j. Inguinal, genital dan anus
Bentuk normal tidak ada kelainan
k. Perkemihan
Inspeksi : bentuk pinggang kanan kiri normal
Palpasi dan perkusi : tidak teraba fullblas dan tidak ada nyeri ketuk
Auskultasi : tidak terdengar bising
l. Musculoskeletal
Inspeksi : tidak ada bengkak, dislokasi, deformitas, dan pemendekan
Palpasi : tidak teraba krepitasi, tidak ada nyeri,, Gerakan normal, kekuatan otot
m. Integument 5 5

Inspeksi : 5 5 tidak ada luka, warna coklat


Palpasi : kulit lembab, turgor elastis
n. Persarafan
Saraf I : klien mampu mencium sensasi bau
Saraf II : persepsi visual klien normal
Saraf III : klien mampu menggerakan otot mata
Saraf IV : klien mampu menggerakan otot mata
Saraf V : klien mampu menerima rangsangan sentuhan dan dapat
menggerakan rahang
Saraf VI : abduksi mata normal
Saraf VII : sensasi rasa normal, bisa mengendalikan otot wajah dan
berekspresi
Saraf VIII : keseimbangan terkendali dan dapat menerima rangsangan
suara
Saraf IX : klien mampu menerima rangsangan rasa
Saraf X : klien mampu melakukan reflek menelan, muntah
Saraf XI : klien mampu melakukan Gerakan otot
sternocleidomastoideus, Gerakan kepala dan bahu
Saraf XII : klien mampu menggerakan lidah
Reflek fisiologis dan patologis normal

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Jenis Komponen yang
Tanggal Hasil Nilai rujukan Satuan Interpretasi
pemeriksaan diperiksa
2/1/23 Darah rutin Golongan Darah A (positif)
- Leukosit - 9300 - 5000-10000 uL
- Eritrosit - 1.80 - 3.6-5.3 jt/uL
- Hemoglobin - 5.8 - 11.3-15.7 g/dl
- Hematocrit - 16.3 - 32.6-47.5 vol %
- MCV - 90.6 - 82.0-97 fl
- MCH - 32.2 - 26.5-33.5 pg
- MCHC - 35.6 - 31.5-37.0 g/dl
- Trombosit - 206000 - 150.000-400.000 /ul
- Limfosit - 4.9 - 20-40 %
- MXD - 4.6 - 1-25 %
- Neut - 90.5 - 40-70 %
- LYM - 0.5 - 0.8-2.7 /uL
- MXD - 0.4 - 0.1-1.5 /uL
- NEUT - 8.4 - 1.2-5.3 /uL
- RDW - 15.0 - 10.5-17.7 %
- PDW - 10.1 - 10.0-18.0 %
- MPV - 8.5 - 4.3-11 Fl
- P-LCR - 15.3 - 10.7-45.0 %
- Urea - 35 - 15-39 mg/dl
- Creatinine - 0.6 - 0.9-1.3 mg/dl
- Asam Urat - 4.9 - 3.5-7.2 mg/dl
- SGOT - 20 - <35 u/l
- SGPT - 14 - <45 u/l
- GDS - 139 - 140 mg/dl
- Natrium - 138 - 136-146 mmol/L
- Kalium - 4.2 - 3.5-5.0 mmol/L
- klorida - 109 - 98-106 mmol/L
2. Radiologi dan EKG
Tanggal Jenis pemeriksaan Hasil
2/1/23 Thorax TB paru
2/1/23 EKG Sinus Rythme

F. PROGRAM THERAPI
Nama obat Dosis Indikasi Kontraindikas Alasan pasien mendapat obat
i

Baturaja, 8 Januari 2023

Santha Ade Triana N


PENGELOMPOKAN DATA

Data subyektif
Klien mengatakan sesak, batuk berdahak, lemas, makan kurang mau, sudah
seminggu susah tidur, terasa berat saat menarik nafas. Klien mengatakan riwayat
perokok berat, saat muda 1-2 bungkus sehari, kalau sekarang hanya sesekali.
Klien mengatakan riwayat TBC tahun 2017 dengan pengobatan tuntas.

Data obyektif
Klien tampak lemas, batuk berdahak, batuk tidak efektif. Klien terpasang oksigen
4lpm via nasal canule, klien tampak dibantu sebagian dalam pemenuhan ADL.
Klien tampak terjaga dengan posisi duduk.
TD=126/68mmHg, N=97x/m P=28x/m, S=36,9oC. BB/TB=72kg/176cm, skor
jatuh 35.
Klien menggunakan otot bantu napas, fokal fremitus kanan kiri lemah, suara paru
tambahan ronkhi

Baturaja, 8 Januari 2023

(Sr. Lucilla Suparni, CB. M.Kep., (Ns. Theresia Lesomar,S.Kep) (Santha Ade Triana N)
Sp.KMB) Sr. M. Avellia, FSGM
ANALISA DATA
Nama : Tn.M Ruang : Fransiskus II
No. RM : 066758 Kamar : 207 bed 5

Kemungkinan
No Data Masalah
penyebab
1 Data subyektif : Bersihan jalan Hipersekresi jalan
Klien mengatakan sesak, batuk napas tidak napas
berdahak, lemas, makan kurang efektif
mau, susah tidur, terasa berat
saat menarik nafas. Klien
mengatakan riwayat perokok
berat. Klien mengatakan riwayat
TBC tahun 2017 dengan
pengobatan tuntas.
Data Obyektif :
Klien tampak lemas, batuk
berdahak, batuk tidak efektif.
Klien terpasang oksigen 4lpm
via nasal canule, Klien
menggunakan otot bantu napas,
fokal fremitus kanan kiri lemah,
suara paru tambahan ronkhi
TD=126/68mmHg, N=97x/m
P=28x/m, S=36,9oC.
2 Data Subyektif : Gangguan pola Ketidaknyamanan
Klien mengatakan sesak, terasa tidur fisik
berat saat menarik napas, sudah
seminggu susah tidur
Data Obyektif :
Klien tampak sesak, klien
tampak terjaga dengan posisi
duduk
TD=126/68mmHg, N=97x/m
P=28x/m, S=36,9oC.
3 Data subyektif : Intoleransi Kelemahan
Klien mengatakan lemas, terasa aktivitas
berat saat menarik napas
Data obyektif :
Klien tampak dibantu dalam
pemenuhan ADL
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Nama : Tn.M Ruang : Fransiskus II
No. RM : 066758 Kamar : 207 bed 5
TANGGAL
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TTD
MUNCUL
1 2 Jan 2023 Bersihan jalan napas tidak efektif
berhubungan dengan Hipersekresi
jalan napas Santha ade

2 2 jan 2023 Gangguan pola tidur berhubungan


dengan ketidaknyamanan fisik Santha ade
3 2 Jan 2023 Intoleransi aktivitas berhubungan
dengan kelemahan Santha ade

Baturaja, 8 Januari 2023

(Sr. Lucilla Suparni, CB. M.Kep., (Ns. Theresia Lesomar,S.Kep) (Santha Ade Triana N)
Sp.KMB) Sr. M. Avellia, FSGM
RENCANA KEPERAWATAN
Nama : Tn. M Ruang : Fransiskus II
No. RM : 066758 Kamar : 207 bed 5

No Tanggal Tujuan Intervensi Rasional TTD


1 02/01/23 Setelah dilakukan intervensi Manajemen Jalan Napas
keperawatan selama 1 x 24 Observasi
jam diharapkan kepatenan - Monitor pola napas Untuk mengetahui kriteria
jalan napas meningkat. - Monitor bunyi napas napas
Dengan kriteria hasil : - Monitor sputum (jumlah, warna) Untuk mengetahui jumlah
Batuk efektif meningkat Terapeutik secret dan kriterianya
Produksi sputum menurun - Posisi semi fowler Mengurangi sesak napas
Dispnea membaik - Berikan minum hangat Membantu mengencerkan
Sianosis membaik - Ajarkan batuk efektif dahak santha
Gelisah membaik - Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
Frekuensi napas membaik - Berikan oksigen, jika perlu Menambah asupan oksigen
Pola napas membaik Edukasi
- Ajarkan teknik relaksasi Mengurangi sesak
Kolaborasi
- Kolaborasi dalam pemberian Membantu mengencerkan
bronkodilator, ekspektoran, dahak
mukolitik, jika perlu
2 02/01/23 Setelah dilakukan intervensi Dukungan tidur
keperawatan selama 1 x 24 Observasi
jam diharapkan keadekuatan - Identifikasi pola aktivitas dan pola Mengetahui pola tidur
kualitas dan kuantitas tidur tidur sebelum dan sesudah sakit
membaik - Identifikasi faktor pengganggu tidur Mengetahui penghambat tidur
Dengan kriteria hasil : Terapeutik Memberikan lingkungan yang santha
Keluhan sulit tidur menurun - Modifikasi lingkungan nyaman
Keluhan sering terjaga - Lakukan prosedur untuk
menurun meningkatkan kenyamanan
Keluhan istirahat tidak cukup Edukasi
menurun - Ajarkan faktor yang berkontribusi
Kemampuan beraktivitas terhadap gangguan pola tidur Memberikan kenyamanan
meningkat - Ajarkan teknik nonfarmakologi klien untuk tidur
lainnya.
3 02/01/23 Setelah dilakukan intervensi Manajemen energi
keperawatan selama 1 x 24 Observasi
jam Diharapkan respon - Identifikasi gangguan fungsi tubuh Mengetahui hambatan fisik
fisiologis terhadap aktivitas yang mengakibatkan kelelahan yang mengakibatkan
meningkat. - monitor kelelahan fisik dan kelelahan
Dengan kriteria hasil : emosional
Frekuensi nadi meningkat - monitor pola dan jam tidur
Kemudahan dalam melakukan - monitor ketidanyamanan selama
aktivitas sehari-hari meningkat melakukan aktivitas Mengetahui pola tidur Santha
Keluhan Lelah menurun terapeutik sesudah sakit
Perasaan lemah menurun - sediakan lingkungan nyaman dan Mengetahui hambatan tidur
Tekanan darah membaik rendah stimulus
Frekuensi napas membaik - berikan aktivitas distraksi yang Memberikan kenyamanan
menenangkan klien
- fasilitasi duduk disisi tempat tidur,
jika tidak dapat berpindah atau Mempermudah mobilisasi
berjalan klien
edukasi
- anjurkan tirah baring Membatasi aktivitas yang
- ajurkan melakukan aktivitas secara menambah kelelahan
bertahap
- anjurkan keluarga terlibat dalam Mempermudah klien dalam
pemenuhan ADL ADL
- anjurkan menghubungi perawat jika
ada tanda dan gejala kelelahan yang
tidak berkurang
kolaborasi Untuk menambah sumber
- kolaborasi dengan ahli gizi tentang energi yang berasal dari
cara meningkatkan asupan makanan
makanan.
PELAKSANAAN KEPERAWATAN
Nama : Tn. M Ruang : Fransiskus II
No. RM : 066758 Kamar : 207 bed 5

NO TANGGAL TINDAKAN KEPERAWATAN TT/ TANGGAL/ EVALUASI TT/


DP /JAM NAMA JAM NAMA
1 2/1/23 Manajemen Jalan Napas 2/1/23 S:
Observasi Klien mengatakan masih sesak, susah saat
15.00 20.30
- Memonitor pola napas Tarik napas, susah mengeluarkan dahak,
RR: 28x/menit, SPO2: 98%, ekspirasi klien mengatakan lebih nyaman dengan
memanjang posisi duduk
- Memonitor bunyi napas O:
Terdengar ronkhi Klien tampak sesak, lemas, klien dalam
- Memonitor sputum (jumlah, warna) posisi duduk, terdengar ekspirasi memanjang,
Klien susah mengeluarkan dahak kllien terpasang oksigen 4 lpm via nasal
Terapeutik kanul, RR : 28 x/m, SPO2 98%, klien
- Memberikan posisi semi fowler mendapakan therapy nebu lasal/8 jam sudah
- Memberikan minum hangat terpasang jam 19.30.
- Mengajarkan batuk efektif A:
- Memberikan oksigen, Bersihan Jalan napas tidak efektif belum
Klien terpasang oksigen 4 lpm Santha teratasi Santha
Edukasi P : intervensi dilanjutkan
- Mengjarkan teknik relaksasi - Monitor pola nafas dan jumlah sputum
Klien mengatakan nyaman dengan posisi - Berikan posisi semi fowler
fowler - Berikan minum hangat
Kolaborasi - Ajarkan batuk efektif
Berkolaborasi dalam pemberian - Berikan oksigen sesuai advis DPJP
bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, - Berikan bronkodilator, ekspektoran,
Klien mendapat terapi nebu lasal/8 jam, mukolitik sesuai advis DPJP
Spiriva 1x2 puff
2 2/1/23 Dukungan tidur 2/1/23 S:
Observasi Klien mengatakan masih sesak, susah saat
15.00 20.30
- Mengidentifikasi pola aktivitas dan pola Tarik napas, susah mengeluarkan dahak,
tidur klien mengatakan lebih nyaman dengan
Klien mengatakan sebelum sakit tidur 8 posisi duduk, klien mengatakan sebelum
jam, sekarang sulit karena sesak sakit tidurnya +/- 8 jam sehari
- Identifikasi faktor pengganggu tidur O:
Klien mengatakan sesak Klien tampak sesak, lemas, klien dalam
Terapeutik posisi duduk, terdengar ekspirasi memanjang,
- Memodifikasi lingkungan kllien terpasang oksigen 4 lpm via nasal
- Melakukan prosedur untuk meningkatkan Santha kanul, RR : 28 x/m, SPO2 98%, tampak Santha
kenyamanan kamar tenang dan minim pengunjung
Memberikan lingkungan tenang, A:
membatasi kebisingan Gangguan pola tidur belum teratasi
Edukasi P : intervensi dilanjutkan
- Mengajarkan teknik nonfarmakologi - Identifikasi penghambat tidur
lainnya. - Berikan lingkungan nyaman
Memberikan relaksasi napas dalam dan - Ajarkan Teknik relaksasi
batuk efektif untuk mengurangi sesak
3 2/1/23 Manajemen energi 2/1/23 S:
Observasi Klien mengatakan masih sesak, susah untuk
15.00 20.30
- Mengidentifikasi gangguan fungsi tubuh Tarik napas, susah tidur, lebih enak posisi
yang mengakibatkan kelelahan duduk
klien mengatakan sesak, susah menarik O:
napas Klien tampak sesak dengan posisi duduk,
- Memonitor kelelahan fisik dan emosional terpasang oksigen 4 lpm,
- Memonitor pola dan jam tidur keluarga tampak aktiv dalam membantu
- Memonitor ketidanyamanan selama ADL, tersedia kursi bel dan urinal di sisi
melakukan aktivitas tempat tidur,
terapeutik A:
- Menyediakan lingkungan nyaman dan Intoleransi aktivitas belum teratasi
rendah stimulus P : intervensi dilanjutkan
Memberikan lingkungan nyaman dan - Monitor kelelahan fisik dan emosional
mengurangi kebisingan Santha - Monitor ketidaknyamanan dalam Santha
- Memberikan aktivitas distraksi yang aktivitas
menenangkan - Sediakan lingkungan nyaman
- Memfasilitasi duduk disisi tempat tidur, - Anjurkan tirah baring
jika tidak dapat berpindah atau berjalan - Anjurkan keluarga terlibat dalam ADL
Menyediakan kursi dan urinal disisi - Anjurkan menghubungi perawat jika ada
tempat tidur untuk mengurangi aktivitas tanda dan gejala kelelahan tidak
edukasi berkurang
- Menganjurkan tirah baring - Kolaborasi dengan ahli gizi dalam
- Menganjurkan melakukan aktivitas pemberian diit
secara bertahap
- Menganjurkan keluarga terlibat dalam
pemenuhan ADL
- Menganjurkan menghubungi perawat jika
ada tanda dan gejala kelelahan yang tidak
berkurang
Mendekatkan bel disisi klien
kolaborasi
- Berkolaborasi dengan ahli gizi tentang
cara meningkatkan asupan makanan.
Klien mendapat diet TPRL
1 3/1/23 Manajemen Jalan Napas 3/1/23 S:
Observasi Klien mengatakan sesak mulai berkurang,
- Memonitor pola napas sudah mulai bisa mengeluarkan dahak, klien
RR: 24x/menit, SPO2: 98%, ekspirasi sudah mulai nyaman dengan posisi semi
memanjang berkurang fowler
- Memonitor bunyi napas O:
Terdengar ronkhi Klien tampak masih sesak, RR: 24x/m,
- Memonitor sputum (jumlah, warna) SPO2:98%, terdengar ronkhi, klien tampak
Klien sudah bisa mengeluarkan dahak batuk efektif dan mampu mengeluarkan
Terapeutik dahak, klien terpasang oksigen 3 lpm, klien
- Memberikan posisi semi fowler Santha mendapatkan therapi nebu lasal /8 jam, Santha
- Memberikan minum hangat Spiriva 1x 2puff
- Mengajarkan batuk efektif A:
- Memberikan oksigen, Bersihan jalan napas teratasi sebagian
Klien terpasang oksigen 3 lpm P : intervensi dilanjutkan
Edukasi - Monitor pola napas dan bunyi napas
- Mengjarkan teknik relaksasi - Monitor sputum
Klien mengatakan nyaman dengan semi - Berikan posisi semi fowler
fowler - Berikan minum hangat
- Ajarkan batuk efektif
Kolaborasi - Kolaborasi dalam pemberian oksigen,
- Berkolaborasi dalam pemberian bronkodilator, ekspektoran dan mukolitik
bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,
Klien mendapat terapi nebu lasal/8 jam,
Spiriva 1x2 puff
2 3/1/23 Dukungan tidur 3/1/23 S:
Observasi Klien mengatakan mulai bisa tidur 3-4 jam
- Mengidentifikasi pola aktivitas dan pola semalam, masih sesak, klien nyaman dengan
tidur posisi semi fowler
Klien mengatakan mulai bisa tidur 3-4 0:
jam saat malam Klien tampak posisi semi fowler, lingkungan
- Mengidentifikasi faktor pengganggu tidur sedikit pengunjung,
Klien mengatakan sesak A:
Terapeutik Gangguan pola tidur teratasi sebagian
- Memodifikasi lingkungan P : intervensi lanjut
- Melakukan prosedur untuk meningkatkan Santha - Identifikais pola aktivitas dan pola tidur Santha
kenyamanan - Identifikasi factor yang mengganggu tidur
Memberikan lingkungan tenang, - Berikan lingkungan nyaman
membatasi kebisingan - Ajarkan Teknik relaksasi
Edukasi
- Mengajarkan teknik nonfarmakologi
lainnya.
Memberikan relaksasi napas dalam dan
batuk efektif untuk mengurangi sesak

3 3/1/23 Manajemen energi 3/1/23 S:


Observasi Klilen mengatakan masih sesak, klien mulai
- Mengidentifikasi gangguan fungsi tubuh bisa tidur 3-4 jam semalam, klien
yang mengakibatkan kelelahan mengatakan bisa BAB dan BAK di toilet
klien mengatakan sesak berkurang O:
- Memonitor kelelahan fisik dan emosional Klien tampak BAK di toilet, klien masih
- Memonitor pola dan jam tidur terpasang oksigen 3 lpm, klien dalam posisi
- Memonitor ketidanyamanan selama semi fowler
melakukan aktivitas A:
klien mulai mampu BAB dan BAK di Intoleransi aktivitas teratasi sebagian
toilet P : intervensi dilanjutkan
terapeutik - Monitor pola aktivitas dan pola tidur Santha
- Menyediakan lingkungan nyaman dan - Identifikasi sumber kelelahan
rendah stimulus - Anjurkan aktivitas bertahap
Memberikan lingkungan nyaman dan Santha - Anjurkan keluarga terlibat dalam ADL
mengurangi kebisingan klien
- Memberikan aktivitas distraksi yang
menenangkan
- Memfasilitasi duduk disisi tempat tidur,
jika tidak dapat berpindah atau berjalan
Menyediakan kursi dan urinal disisi
tempat tidur untuk mengurangi aktivitas
edukasi
- Menganjurkan tirah baring
- Menganjurkan melakukan aktivitas
secara bertahap
- Menganjurkan keluarga terlibat dalam
pemenuhan ADL
- Menganjurkan menghubungi perawat jika
ada tanda dan gejala kelelahan yang tidak
berkurang
Mendekatkan bel disisi klien
kolaborasi
- Berkolaborasi dengan ahli gizi tentang
cara meningkatkan asupan makanan.
Klien mendapat diet TPRL

Baturaja, 8 Januari 2023

(Sr. Lucilla Suparni, CB. M.Kep., Sp.KMB) (Ns. Theresia Lesomar,S.Kep) (Santha Ade Triana N)
Sr. M. Avellia, FSGM
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Pengkajian
Dari hasil pengkajian didapatkan data, Tn.M berjenis kelamin laki-laki dan
berumur 69 tahun. Klien mengatakan sesak napas, susah untuk melakukan
inspirasi, batuk berdahak, riwayat menderita TBC tahun 2017 dengan
pengobatan tuntas. Klien riwayat perokok berat. Klien mengatakan susah
tidur dalam seminggu ini,

Menurut asumsi penulis, pada kasus PPOK ada kecenderungan jenis kelamin
dan usia penderita dalam kasus PPOK. Pada PPOK lebih sering terjadi pada
laki-laki. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Ikawati (2012)
yang mengatakan bahwalaki-laki lebih beresiko terkena PPOK daripada
wanita terkait dengan kebiasaan merokok pada pria dan menurut Francis
(2011) PPOK jarang mulai menyebabkan gejala yang dikenali secara klinis
sebelum usia 40 tahun sehingga penderita PPOK biasanya berusia di atas 40
tahun.

Berdasarkan teori yang di kemukakan oleh Sidabutar (2012) Sesak napas


merupakan keluhan utama penderita PPOK. Terjadinyapenyempitan aliran
napas menyulitkan penderita untuk bernapas. Batuk terjadi karena adanya
peningkatan reaktivitas terhadap sel-sel yang sudah mati yang akan
dikeluarkan dan meningkatnya produksi sputum. Gejala lain juga akan
menyertai gejala ini, akan tetapi gejala yang paling sering muncul adalah
sesak napas dan batuk.

Hal ini sesuai dengan teori Ikawati (2016) menyebutkan manifestasi klinis dari
PPOK adalah peningkatan volume sputum, perburukan pernafasan secara
akut, lelah dan lesu, penurunan toleransi terhadap gerakan fisik dan cepat
Lelah.
Hasil pengkajian menunjukkan ke dua pasien mempunyai riwayat perokok
berat dimana hal ini sesuai dengan teori menurut Ikawati (2016) merokok
merupakan penyebab utama terjadinya PPOK dengan risiko 30 kali lebih besar
pada perokok dibanding dengan bukan perokok dan merupakan penyebab dari
85-90 % kasus PPOK. Kurang lebih 15-20 % perokok akan mengalami PPOK.
Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur
mulai merokok dan status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang.
Kurang lebih 10 % orang yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK.
Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok juga beresiko
menderita PPOK.

Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan didapatkan data paru terlihat paru
simetris, penggunaan otot bantu pernafasan (+). pemeriksaan premitus dada
kanan = dada kiri (melemah). Pada perkusi dada kanan dan kiri terdengar
sonor dan pada auskultasi terdengar ekspirasi lebih panjang dari pada inspirasi
(bronkial), terdengar suara ronkhi. Berdasarkan teori muttaqin (2012) pada
pemeriksaan paru penderita PPOK biasanya akan di temukan keadaan paru
pada pemeriksaan inspeksi biasanya terlihat penggunaan otot bantu pernafasan
pada pemeriksaan palpasi biasanya premitus kanan dan kiri melemah pada
pemeriksaan perkusi biasanya hipersonor dan pada auskultasi biasanya
terdapat ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan obstruktif.

4.2. Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang didapatkan dari hasil pengkajian ada tiga yaitu,
bersihan jalan napas tidak efektif, gangguan pola tidur, dan intoleran aktivitas.
Pada diagnosa pertama bersihan jalan napas tidak efektif, menurut SDKI
2017, memiliki penyebab seperti hipersekresi jalan napas, benda asing di jalan
napas, perokok, dan terpajan polutan. Hal ini ditandai dengan gejala batuk
tidak efektif, sputum berlebih, mengi wheezing, dan/atau ronkhi, gelisah,
sianosis, frekuensi napas berubah dan pola napas berubah. Pada diagnose
kedua yaitu, gangguan pola tidur dengan penyebab ketidaknyamanan fisik.
Hal ini ditandai dengan klien mengeluh susah tidur, sering terjaga, pola tidur
berubah dan kemampuan aktivitas berkurang.

Pada diagnosa ketiga yaitu, intoleran aktivitas berhubungan dengan


kelemahan. Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit sistemik
yang mempunyai hubungan antara keterlibatan metabolik, otot rangka dan
molekuler genetik. Keterbatasan aktivitas merupakan keluhan utama
penderita PPOK yang sangat mempengaruhi kualitas hidup. Disfungsi
otot rangka merupakan hal utama yang berperan dalam keterbatasan
aktivitas penderita PPOK (Daifria & akbar, 2017). Adapun gejala yang
timbul yaitu, klien mengelu Lelah, sesak, tidak nyaman setelah aktivitas.

4.3. Intervensi dan Implementasi Keperawatan


Intervensi pada diagnosa bersihan jalan napas menurut SIKI (2017) yang
dilakukan pada Tn. M yaitu, manajemen jalan napas dengan cara monitor pola
dan bunyi napas, monitor sputum, posisikan jalan semi fowler tetapi klien
lebih nyaman dengan posisi duduk, berikan minum hangat, lakukan
fisiotherapi dada (jika perlu), berikan oksigen sesuai advis DPJP 4 lpm via
nasal canul, ajarkan Teknik batuk efektif, dan kolaborasi pemberian
bronkodilator berupa nebu lasal/8 jam dan spiriva 1x2 puff.

Salah satu tindakan mandiri keperawatan guna mempertahankan pertukaran


gas adalah mengatur posisi klien. Pengaturan posisi ini dapat membantu paru
mengembang secara maksimal sehingga membantu meningkatkan pertukaran
gas (Black & Hawks dalam Albar M, 2017). Posisi yang tepat juga dapat
meningkatkan relaksasi otot-otot tambahan sehingga dapat mengurangi usaha
bernafas/ dyspnea. Kadangkala klien PPOK pada kondisi dyspnea diatur
posisinya dalam posisi yang beragam. Umumnya mereka akan diposisikan
dalam keadaan duduk tegak (high fowler position), setengah duduk (semi
fowler position), posisi duduk menelungkup (sitting forward leaning/
orthopneic position), bahkan kepala yang hanya disangga beberapa bantal saja
(ekstensi kepala 30o -40º). Posisi fowler atau setengah duduk adalah posisi
tidur pasien dengan kepala dan dada lebih tinggi daripada posisi panggul dan
kaki. Pada posisi semi fowler kepala dan dada dinaikan dengan sudut 30-45
derajat sedangkan pada posisi high fowler atau fowler tinggi , posisi kepala
dan dada dinaikkan hingga 45-80 derajat. Posisi ini dilakukan untuk
mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi pernafasan pasien
Intervensi pada diagnosa gangguan pola tidur menurut SIKI (2017) yang
dilakukan pada Tn.M yaitu, identifikasi pola aktivitas dan tidur, identifikasi
factor pengganggu tidur, modifikasi lingkungan, dan ajarkan relaksasi atau
cara nonfarmakologi.

Intervensi pada diagnosa intoleransi aktivitas menurut SIKI (2017) yang


dilakukan pada Tn. M yaitu, monitor kelelahan fisik dan emosional, monitor
pola dan jam tidur, sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus, beri
aktivitas distraksi yang menenangkan, anjurkan tirah baring, anjurkan
melakukan aktivitas secara bertahap, anjurkan menghubungi perawat jika ada
tanda dan gejala kelelahan yang tidak berkurang serta kolaborasi dengan ahli
gizi tentang cara menigkatkan asupan makanan.

Intervensi yang dilaksanakan menurut yaitu observasi adanya pembatasan


klien dalam melakukan aktivitas, kaji adanya factor yang menyebabkan
kelelahan, monitor status nutrisi dan sumber energi yang adekuat, monitor
pola dan lamanya waktu tidur atau istirahat pasien, kolaborasi dengan tim
medis dalam membuat rencana program terapi yang tepat, bantu klien
mengidentifikasi aktivitas yang masih mampu untuk dilakukan, bantu klien
membuat jadwal latihan ROM di waktu luang dan dukung peningkatan status
nutrisi sebagai manajemen energi (Suparjo, 2022)

4.4. Evaluasi
Evaluasi dilaksanakan dalam waktu 1 x 24 jam dengan melaksanakan
implementasi sesuai dengan intervensi keperawatan dan mengacu pada kriteria
hasil yang akan dicapai. Pada diagnosa bersihan jalan napas kriteria hasil yang
akan dicapai yaitu, batuk efektif meningkat, produksi sputum menurun, ronkhi
menurun, dispnea menurun, frekuensi napas membaik, pola napas membaik.
Kriteria hasil yang telah dicapai pada tn.M yaitu klien mulai bisa batuk efektif.
Klien masih sesak tetapi freuensi napas berkurang dengan RR=24x/m,
SPO2=98%, klien mulai nyaman dengan posisi semi fowler. Pada
pemeriksaan fisik paru masih ada suara tambahan ronkhi. Klien mampu
mengeluarkan dahak. Klien mendapatkan therapi oksigen 3 lpm, nebu
lasal/8jam dan Spiriva 1x2puff. Evaluasi dari implementasi diagnosa pertama
yaitu masalah teratasi sebagian.

Pada diagnosa gangguan pola tidur kriteria yang akan di capai yaitu, keluhan
sulit tidur menurun, keluhan saling terjaga dan tidak puas tidur menurun,
keluhan istirahat tidak cukup menurun dan kemampuan beraktivitas
meningkat. Pada diagnosa ini masalah teratasi sebagian dimana Tn. M
mengatakan mulai nyaman dengan posisi semi fowler yang sebelumnya hanya
nyaman dengan posisi duduk. Klien mulai mampu tidur 3-4 jam saat malam
hari. Keluarga menciptakan lingkungan yang nyaman dengan pengunjung
terbatas.

- Pada diagnosa ketiga intoleransi aktivitas memiliki kriteria hasil yaitu


berpartisipasi dalam aktivitas fisik, maupun melaksanakan aktivitas sehari-hari
secara mandiri, dan keseimbangan aktivitas dan istirahat. Tn.M mengatakan
sudah mulai BAB dan BAK di toilet dengan bantuan keluarga. Klien mampu
posisi semi fowler dan mampu tidur 3-4 jam saat malam hari. Evaluasi dari
implementasi diagnosa ketiga masalah teratasi sebagian. Tindak lanjut
intervensi dilanjutkan yaitu, Monitor pola aktivitas dan pola tidur, Identifikasi
sumber kelelahan, Anjurkan aktivitas bertahap dan Anjurkan keluarga terlibat
dalam ADL klien.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan asuhan keperawatan pada Tn.M dengan diagnosa medis
PPOK di ruang Fransiskus II RS. Santo Antonio Baturaja dapat
disimpulkan bahwa:
5.1.1. Hasil pengkajian pada Tn.M didapatkan data klien sesak nafas, batuk
berdahak, dahak tampak susah keluar, lemas, susah tidur sejak seminggu
yang lalu, klien hanya nyaman dengan posisi duduk, klien tampak dibantu
dalam ADL. Klien bedrest di tempat tidur.
5.1.2. Diagnose keperawatan pada klien Tn. M yaitu bersihan jalan napas tidak
efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan napas, gangguan pola tidur
berhubungan dengan ketidaknyamanan, intoleran aktivitas berhubungan
dengan kelemahan.
5.1.3. Rencana keperawatan pada klien Tn.M yaitu manajemen jalan napas
untuk masalah bersihan jalan napas tidak efektif, dukungan tidur untuk
masalah gangguan pola tidur dan manajemen energi untuk intoleransi
aktivitas.
5.1.4. Implementasi keperawatan pada klien Tn.M dilakukan selama 2 hari
yaitu, memposisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi,
menginstruksikan bagaimana agar bisa melakukan batuk efektif,
memberikan oksigen tambahan seperti yang diperintahkan, memonitor
pola tidur dan menyediakan lingkungan yang nyaman untuk dukungan
tidur. Meningkatkan tirah baring dan waktu istirahat klien dan
menganjurkan keluarga untuk membantu klien dalam ADL.
5.1.5. Tahap evaluasi selama 2 hari atau 2 kali shift dalam bentuk SOAP. Hasil
yang dicapai berdasarkan SLKI yaitu Batuk efektif meningkat, Produksi
sputum menurun, Dispnea membaik, Sianosis membaik, Gelisah
membaik, Frekuensi napas membaik, Pola napas membaik, Keluhan sulit
tidur menurun, Keluhan sering terjaga menurun, Keluhan istirahat tidak
cukup menurun, Kemampuan beraktivitas meningkat, Frekuensi nadi
meningkat, Kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
meningkat, Keluhan Lelah menurun, Perasaan lemah menurun, Tekanan
darah membaik, Frekuensi napas membaik.

5.2. Saran
5.2.1. Bagi rumah sakit
Diharapkan diadakan pelatihan atau sosialisasi tentang metode asuhan
keperawatan pada pasien penyakit paru obstruksi kronis kepada perawat
seperti fisiotherapi dada untuk update ilmu agar proses asuhan
keperawatan lebih maksimal.
5.2.2. Bagi perawat
Dengan adanya laporan kasus ini diharapkan perawat dapat
mengaplikasikan tindakan keperawatan yaiu dengan mengajarkan teknik
relaksasi (nafas dalam) dan batuk efektif untuk menurunkan terjadinya
sesak dan mengurangi produksi sputum berlebih yang terjadi pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
(Anggraini, 2013) (Herdman & Kamitsuru, 2015) (Huda, 2016), (Ikawati, 2016)

Anda mungkin juga menyukai