Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN

KEPERAWATAN PADA TN. J DENGAN DIAGNOSA PPOK


DAN GANGGUAN KEBUTUHAN OKSIGENASI
DI RUANG CATLEYA RSUD dr. GONDO
SUWARNO UNGARAN

Michella Putri Pohaci


523055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN TELOGOREJO
SEMARANG
2023
A. Konsep Dasar Penyakit :

1. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit respirasi kronik dengan
tanda-tanda yang muncul berupa hambatan jalan napas yang persisten dan bersifat
progresif serta adanya hubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronis pada
saluran pernapasan (Soeroto & Suryadinata, 2014). Inflamasi yang ditimbulkan
disebabkan oleh tingginya faktor resiko seperti faktor pejamu berupa gas serta partikel-
partikel iritan tertentu sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan parenkim paru
(Isnainy & Tias, 2020). PPOK mencakup sekelompok penyakit dengan gejala klinis yang
hampir sama seperti bronkitis kronis, emfisema, asma, bronkiektasis, dan bronkiolitis
(Setyoningsih, 2018).

Gangguan kebutuhan oksigenasi

2. Etiologi
Beberapa faktor resiko yang dapat memicu timbulnya PPOK seperti asap rokok (perokok
pasif), kebiasaan merokok (perokok aktif), polusi udara baik didalam ruangan dan diluar
ruangan, pajanan zat-zat berbahaya di lungkungan kerja atau tempat tinggal, genetik, usia
dan jenis kelamin, pertumbuhan dan perkembangan organ paru-paru, sosial dan ekonomi,
infeksi paru yang terjadi secara berulang, riwayat asma atau hiperreaktivitas bronkus,
serta bronkitis kronik (Arrias et al., 2019).
a. Rokok
Perilaku merokok menjadi penyebab terbesar terjadinya PPOK di negara berkembang
seperti Indonesia dengan kebiasaan merokok setiap hari sebesar 24,3 % dan perilaku
merokok kadang-kadang 4.6 % (Riskesdas, 2018). Merokok menyebabkan perubahan
pada struktur dan fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru-paru lainnya. Pada
saluran pernapasan terjadi perubahan struktur seperti hiperatrofi dan hiperplasia atau
terjadinya peningkatan jumlah kelenjar mukus. Selain itu terjadi proses inflamasi
yang mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan. Proses inflamasi ini
menimbulkan respon pada jaringan paru seperti produksi sekret yang berlebih hingga
terjadi kerusakan pada alveoli (Ghofar, 2014).
b. Polusi udara
Faktor pajanan lain yang dapat menyebabkan PPOK adalah polusi udara karena
aktivitas rumah (indoor) dan aktivitas di luar rumah (outdoor) (WHO, 2022). Polusi
yang dihasilkan dari aktivitas tersebut berupa asap biomasa yang berasal dari
pembakaran arang, kayu, dan limbah kotoran hewan, serta polusi dari pabrik atau
tambang, gas yang dihasilkan dari kendaran bermotor, dan asap rokok. Asap hasil
pembakaran mengandung zat-zat seperti SO2, NO2, CO, cadmium, zinc, dan partikel-
partikel kecil lainnya yang dapat memicu terjadinya PPOK apabila terpejan secara
terus menerus (Ratih, 2013).
c. Infeksi saluran nafas berulang
Infeksi yang terjadi pada saluran pernapasan seperti hidung, faring, laring, trakea,
bronkus, bronkiolus hingga alveolus akibat adanya patogen seperti mikroorganisme
yang memicu timbulnya peradangan pada saluran pernapasan. Infeksi ini dapat terjadi
lebih dari 6 kali selama satu tahun atau sama dengan infeksi terjadi lebih dari 1 kali
dalam satu bulan (Asyiroh, 2020).
d. Usia
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2012 didalam jurnal
penelitian Oemiati menjelaskan PPOK paling sering terjadi pada usia pertengahan
atau pada usia diatas 40 tahun. Terdapat hubungan antara penurunan fungsi seluruh
organ manusia pada usia-usia diatas 40 tahun termasuk penurunan fungsi pernapasan
(Setyoningsih, 2018).
e. Jenis kelamin
PPOK lebih sering dialami oleh laki-laki dibandingkan perempuan, berdasarkan studi
penelitian pada orang dewasa yang dilakukan di Cina mendapatkan hasil bahwa laki-
laki lebih mudah terkena masalah kesehatan PPOK, faktor pendukung lain dari gaya
hidup yang kurang sehat (merokok), konsumsi alkohol dan kurangnya aktivitas fisik
(Isnainy & Tias, 2020). Di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2018 perilaku
merokok setiap hari atau perokok aktif sebesar 24.3 % dan diketahui lebih banyak
dilakukan oleh laki-laki (Salsabila, 2021).
3. Klasifikasi
Klasifikasi PPOK menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) (2023), membagi PPOK berdasarkan tingkat keparahan penyakit dari tanda dan
gejala yang timbul, sebagai berikut :
a. GOLD 1 (Ringan)
Gejala sesak napas, produksi sputum berlebih, dan batuk muncul sebagian atau
timbul minimal, penilaian the COPD Assessment Test (CAT) skor 1 menunjukkan
resiko eksaserbasi rendah dan tidak pernah dirawat inap akibat eksaserbasi
sebelumnya, penilaian sesak napas dengan the modified Medical Research Council
(mMRC) pada grade 0-1, dan hasil nilai FEV1 ≥ 80 % dari prediksi.
b. GOLD 2 (Sedang)
Gejala sesak napas, produksi sputum berlebih, dan batuk kronis muncul lebih jelas,
skor CAT ≥ 10 dengan resiko rendah terjadi eksaserbasi akut, eksaserbasi terjadi 0 –
1 kali per tahun dan tidak pernah dirawat inap sebelumnya, penilaian sesak napas
mMRC pada grade ≥ 2, dan hasil nilai FEV1 diantara 50-80% dari prediksi.
c. GOLD 3 (Berat)
Gejala sesak napas, produksi sputum berlebih, batuk kronis, dan kelelahan muncul
sebagian atau minimal, skor CAT ≥ 10 dengan resiko tinggi terjadi eksaserbasi,
eksaserbasi per tahun terjadi sebanyak 0 - 1 kali atau ≥ 2 kali dan pernah dirawat inap
≥ 1 kali akibat eksaserbasi yang dialami sebelumnya, hasil nilai FEV1 diantara 30-
50% dari prediksi.
d. GOLD 4 (Sangat Berat)
Gejala sesak napas, produksi sputum berlebih, batuk kronis, dan kelelahan lebih sering
muncul, skor CAT ≥ 10 dengan resiko tinggi mengalami eksaserbasi per tahun
sebanyak ≥ 2 kali atau ≥ 1 kali pernah dirawat inap akibat eksaserbasi yang dialami
sebelumnya, dan hasil nilai FEV1 < 30% dari prediksi.
4. Pathways

MK : pola napas tidak efektif MK : Gangguan


ventilasi spontan

MK : Defisit nutrisi

Merasa energi tidak cukup

MK : Keletihan

Sumber : Sukamawati, 2017; Jonathan & Antariksa, 2019; Agus, 2015


5. Patofisiologi
Penyebab penyakit paru obstruksi kronik adalah perilaku merokok dan polusi udara.
Partikel-partikel yang ada dalam asap rokok dan polusi udara terhirup oleh paru-paru
secara terus menerus merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus
sehingga mengalami disfungsional dan metaplasia bahkan terjadi kerusakan sel di paru.
Perubahan yang terjadi pada sel yang memproduksi mukus dan silia mengganggu sistem
eskalator mukosiliaris, pajanan terjadi secara berulang menyebabkan terjadinya proses
infeksi pada saluran pernapasan (Jonathan & Antariksa, 2019).

Proses inflamasi merangsang sel-sel penghasil mukus bronskus untuk memproduksi


mukus kental dalam jumlah banyak dan sulit dikeluarkan (Fernandes, 2014, hlm 35).
Mukus yang diproduksi berfungsi untuk melindungi saluran pernapasan dari infeksi yang
disebabkan oleh mikroorganisme atau bakteri. Mukus diproduksi dalam jumlah banyak
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme atau bakteri yang terjadi pada
proses infeksi yang berulang dan menjadi purulen kental sehingga terjadi kontraksi pada
otot bronkus disertai dengan cairan mukus akibat inflamasi (Asyiroh, 2020). Penyempitan
pada saluran pernapasan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran napas yang bersifat
kronis. Obstruksi dan destruksi saluran napas pada emfisema yang menyebabkan reduksi
aliran udara yang bergantung dari tingkat keparahan penyakit sehingga PPOK mengalami
penurunan kronis rasio FEV1/FVC (Sukamawati, 2017).

Proses infeksi akibat pajanan partikel, mikroorganisme ataupun bakteri mengaktifkan sel
makrofag alveolar, aktivasi sel akan menyebabkan pelepasan faktor kemotataktik
neurotofill seperti interleukin 8 dan leukotrien B4, tumour necrosis factor (TNF),
monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS). Pelepasan
senyawa-senyawa tersebut merangsang neutrofil melepaskan protase yang merusak
jaringan ikat parenkim paru sehingga menimbulkan kerusakan dinding alveolar dan
hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel menyebabkan pelepasan limfosit CD8,
selanjutnya terjadi kerusakan alveoli serta bronkus dan menyebabkan penyakit bronkitis
(Agus, 2015).
Pada bronkitis terjadi penumpukan mukus dan hipersekresi yang menyumbat jalan napas.
Emfisema terjadi obstruksi kronis karena terjadi secara berulang pada saluran napas
sehingga terjadi masalah pada proses pertukaran oksigen dengan karbon dioksida akibat
adanya kerusakan dinding alveoli. Pada asma terjadi penyempitan jalan napas sehingga
membatasi pasokan oksigen yang mengalir ke paru (Sukamawati, 2017).

Aliran udara yang terhambat akibat adanya penumpukan mukus yang berlebih pada
alveoli dan bronkus, serta inflmasi pada organ-organ paru mengakibatkan progesif
elastisitas rekoil parenkim paru menurun, sehingga mendorong aliran dan resistensi
saluran udara menurun dan resistensi terhadap aliran udara akan meningkat dan
mengurangi kapasistas paru dalam proses pertukaran gas akibatnya terjadi hipoksemia
dan hiperkapnia (Rosfadilla & Sari, 2022). Penderita PPOK akan mengalami keterbatasan
kapasitas dalam beraktivitas fisik, cepat mengalami kelelahan dan sesak napas akibat
saluran mengalami hambatan dan penurunan elastisitas rekoil parenkim paru hingga
mengakibatkan penurunan status kesehatan (Sukamawati, 2017).

6. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis pasien PPOK menurut PDPI (2016) ditandai dengan gejala-gejala klinis
seperti :
a. Batuk kronis yang hilang timbul dengan produksi sputum yang berlebih disertai
dispnea saat melakukan aktivitas fisik.
b. Berat badan yang menurun dalam jangka waktu dekat
c. Sesak napas atau dispnea yang bersifat progresif.
d. Riwayat pajanan faktor resiko, terutama pada asap rokok, debu, bahan kimia,
partikel-partikel polutan lainnya.
e. Pink puffer merupakan gambaran khas yang terjadi pada pasien PPOK dengan
emfisema, terlihat kurus, kulit kemerahan dan penapasan pursed-lips breathing.
f. Blue bloater menunjukkan gambaran pasien yang khas pada PPOK dengan bronkitis
kronik, terlihat gemuk sianosis karena edema tungkai dan rongki basah pada basal
paru, sianosis sentral dan perifer.
g. Pursed-lips breathing merupakan sikap pasien PPOK yang bernapas dengan mulut
mencucu dan ekspirasi yang memanjang, perilaku ini tejadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
h. Clubbing finger merupakan ciri khas pada pasien PPOK dengan jari tangan dan jari
kaki berbentuk gada, hipoksia kronis menjadi penyebab perubahan jaringan yang
mengubah sudut bantalan kuku (PDPI, 2016).

7. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada pasien PPOK sebagai berikut :
a. Pengukuran fungsi paru
Pada pengukuran fungsi paru pasien PPOK menunjukkan volume ekspirasi paksa
atau forced expiratory volume 1 (FEV1) dan kapasitas total paksa atau forced vital
capacity (FVC) menurun, hal ini terjadi akibat adanya penyempitan nalan napas dan
retensi terhadap aliran udara (Soeroto & Suryadinata, 2014). Pada fase awal PPOK
terjadi kenaikan PaCO2 hingga pada fase salanjutnya terjadi penurunan (Anuj et al.,
2022).
b. Analisa gas darah
Pemeriksaan analisa gas darah arteri dilakukan pada pasien dengan FEV1 kurang
dari 40% yang diprediksi ketika tanda klinis gagal napas atau gagal jantung muncul
dan terjadi sianosis sentral, pembengkakan pergelangan kaki dan peningkatan
tekanan vena jugularis (Sukamawati, 2017). Nilai analisis gas darah pada pasien
PPOK dapat berubah pada hasil pemerikasaan PaO2, PaCO2, pH, SO2 serta HCO3.
Pada umumnya terjadi peningkatan pada bikarbonat HCO3 untuk mengatur
keseimbangan asam basa, selain itu hasil pemeriksaan PaO2 menurun dan PCO2
meningkat (Chamarelza, 2019).
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan dengan mengambil sampel darah penderita PPOK untuk mengetahui
hemoglonim (Hb) dan hematokrit (Ht), jumlah darah yang terjadi peningkatan,
eosinofil dan IgE serum yang cenderung meningkat, pulse oksimetri atau oksimetri
nadi – SaO2 digunakan untuk memonitor saturasi oksigen yang cenderung turun < 95
% karena hipoksemia (Lindayani et al., 2017).
d. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan ini untuk penegakan diagnosa melalui sputum yang diperiksa secara
mikroskopis langsung yang diambil 3 kali dalam sehari yaitu sewaktu – pagi –
sewaktu. Pemeriksaan 3 spesimen sputum memerlukan waktu lebih lama sekitar 6
minggu (Hasanudin, 2017). Pasien PPOK dengan eksaserbasi akut disebabkan karena
infeksi pernapasan berulang, ciri khas sputum awal diproduksi sedikit dan berwarna
putih, selanjutnya berwarna kuning keruh dengan produksi sputum banyak dengan
pathogen yang ditemukan pada umumnya adalah Streptococcus Pneumonia,
Hemophylus influenza, dan Monawella Catamhalis (Makiyatul & Novita, 2022).
e. Pemeriksaan radiologi foto thoraks
Pemeriksaan ini menyajikan hasil gambar pada jantung, paru-paru, saluran
pernapasan, dan pembuluh darah untuk mengetahui anatomi dan fisiologi organ pada
dada, menemukan indikasi masalah kesehatan ataupun kelainan pada dada dan untuk
menegakan diagnosa (Purba, 2019). Pada pasien PPOK hasil pemeriksaan radiologi
thoraks foto dapat ditemukan kelainan seperti hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma
mendatar, bercak berawan pada lapangan paru disertai garis fibrosis meningkat,
jantung pendulum, dan ruangan retristernal melebar (Ihsan, 2019).
f. Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya leukositosis pada
eksaserbasi akut, polisitemia pada hipoksemia kronik, juga untuk melihat terjadinya
peningkatan hematokrit (Paramasivam, 2017).

8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat tejadi pada PPOK adalah :
a. Gagal nafas
1) Gagal nafas kronik: hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg dan PCO2> 60 mmHg, dan
pH normal, penatalaksanaan:
a) Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
b) Bronkodilator adekuat
c) Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktiviti atau waktu tidur
d) Antioksidan
e) Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
2) Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik, ditandai oleh:
a) Sesak nafas dengan atau tanpa sianosis
b) Sputum bertambah dan purulen
c) Demam
d) Kesadaran menurun
b. Infeksi berulang.
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman,
hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imunitas menjadi
lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
c. Kor pulmonal: ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal
jantung kanan

9. Penatalaksanaan medis dan keperawatan


Penatalaksanaan medis :
a. Bronkodilator digunakan untuk mengatasi gejala pasien PPOK yang bertujuan untuk
meningkatkan FEV1 (Sukamawati, 2017 hlm 36). Jenis obat bronkodilator yang
digunakan, sebagai berikut :
b. β 2 agonis
Prinsip kerja pada obat ini adalah untuk merelaksasikan otot polos pada jalan napas
dan menstimulus reseptor β 2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP dan
menghasilkan antagonisme fungsional pada bronkokontriksi. Apabila digunakan
secara reguler akan memperbaiki FEV1 dan gejala PPOK yang timbul (Windradini et
al., 2021).
c. Obat antikolinergik.
Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat untuk mengendalikan ukuran jalan napas.
Efek samping dari obat jenis ini adalah memblokade efek asetilkolin pada reseptor
muskarinik. Jenis-jenis obat yang termasuk golongan antikolinergik diantaranya
atropine, metilnitrat, ipratropium, oxitropium, dan tiopropium bromide (Osmon,
2015).
d. Teofilin.
Pemberian dari anjuran dokter untuk perbaikan pada laju alisan ekspirasi dan
kapasitas vital disertai dengan perbaikan kadar oksigen dan karbon dioksida arteri
pada pasien PPOK dengan derajat sedang jingga berat (Soeroto & Suryadinata, 2014).
e. Terapi Oksigen
Pemberian terapi oksigen memiliki indikasi tertentu pada pasien PPOK. Apabila
pemeriksaan PaO2 < 7,3 atau SaO2 < 88 % maka diberikan 2 kali dalam 3 minggu
dan harus dievaluasi selama 60 – 90 hari dengan analisa gas darah (Setyoningsih,
2018)
f. Terapi ventilasi
Pemberian terapi ventilasi pada pasien dengan hiperkapnia yang terjadi lebih sering
dalam satu hari, pasien pada umumnya sudah pada tingkat keparahan yang berat dan
terapi sistemik ini tidak menunjukkan perbaikan (Fernandes, 2014).

Penatalaksanaan keperawatan :
a. Latihan Batuk Efektif
Latihan Batuk efekif merupakan aktifitas untuk membersihkan sekresi pada jalan
nafas. Tujuan batuk efektif adalah meningkatkan mobilisasi sekresi, pemberian
latihan batuk efektif dilaksanakan terutama pada pasien dengan masalah keperawatan
ketidakefektifan jalan napas. Batuk efektif penting dilakukan untuk menghilangkan
gangguan pernapasan dan menjaga paru- paru agar tetap bersih. Batuk efektif dapat
di berikan pada pasien dengan cara diberikan posisi yang sesuai agar pengeluaran
dahak dapat lancer yaitu posisi semi fowler.
b. Fisioterapi dada
Fisioterapi dada merupakan teknik fisioterapi yang biasanya digunakan dalam latihan
untuk penyakit respirasi kronis serta akut, bertujuan untuk mengeluarkan sputum serta
perbaikan ventilasi pada paru-paru. Fisioterapi dada berkaitan erat dengan pemberian
postural drainase yang dikombinasikan dengan tehnik-tehnik tambahan lainnya yang
dianggap dapat meningkatkan bersihan jalan nafas.

2 KONSEP KEPERAWATAN :
a. Pengkajian
1) Identitas klien
Meliputi : nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku, bangsa, pendidikan,
pekerjaan, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa medis, nomor registrasi.
2) Keluhan utama
Pasien PPOK mengeluh sesak nafas dan batuk yang disertai sputum.
3) Riwayat kesehatan sekarang
Pasien PPOK mengeluhkan sesak napas, kelemahan fisik, batuk yang disertai dengan
adanya sputum.
4) Riwayat kesehatan dahulu
Ada riwayat paparan gas berbahaya seperti merokok, polusi udara, gas hasil
pembakaran dan mempunyai riwayat penyakit seperti asma.
5) Riwayat kesehatan keluarga
Ditemukan ada anggota keluarga yang mempunyai riwayat alergi (asma) karena asma
merupakan salah satu penyebab dari PPOK.
6) Pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi hidup sehat
Penderita PPOK terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup sehat karena
kurangnya pengetahuan tentang PPOK. Biasanya terdapat riwayat merokok
karena merokok meningkatkan risiko terjadinya PPOK 30 kali lebih besar
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Pasien PPOK terjadi penurunan nafsu makan.
c) Pola eliminasi
Pada pola eliminasi tidak ada keluhan atau gangguan
d) Pola istirahat dan tidur
Pola tidur dan istirahat terganggu karena karena sesak.
e) Pola aktifitas dan latihan
Pasien dengan PPOK mengalami penurunan toleransi terhadap aktifitas. Aktifitas
yang membutuhkan mengangkat lengan keatas setinggi toraks dapat
menyebabkan keletihan atau distress pernafasan (Suzanne, 2001).
f) Pola persepsi dan konsep diri
Pasien merasa cemas dan ketakutan dengan kondisinya.
g) Pola sensori kognitif
Tidak ditemukan gangguan pada sensori kognitif
h) Pola hubungan peran
Terjadi perubahan dalam hubungan intrapersonal maupun interpersonal
i) Pola penanggulangan stress
Proses penyakit membuat klien merasa tidak berdaya sehingga menyebabkan
pasien tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang adaptif.
j) Pola reproduksi seksual
Pola reproduksi dan seksual pada pasien yang sudah menikah akan mengalami
perubahan
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh mempengaruhi
pola ibadah pasien.

7) Pemeriksaan fisik
a) Kepala : rambut tidak bersih karena pasien dengan PPOK mengalami penurunan
toleransi terhadap aktifitas termasuk perawatan diri.
b) Mata : mata simetris, sklera tidak ikterik
c) Telinga : telinga cukup bersih,bentuk simetris dan fungsi pendengaran normal
d) Hidung : hidung simetris, hidung bersih
e) Leher : tidak ditemukan benjolan.
f) Paru-paru
Inspeksi : mempunya bentuk dada barrel chest penggunaan otot bantu
pernafasan
Palpasi : premitus kanan dan kiri melemah
Perkusi : hipersonor
Auskultasi : terdapat ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan obstruktif
g) Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba
Auskultasi : irama jantung teratur
h) Abdomen
Inspeksi : tidak ada asites
Palpasi : hepar tidak teraba
Perkusi : timphany
Auskultasi : bising usus normal
i) Ekstremitas : didapatkan adanya jari tabuh (clubbing finger) sebagai dampak
dari hipoksemia yang berkepanjangan.

8) Pemeriksaan diagnostik
1) Pengukuran fungsi paru
(a) Kapasitas inspirasi menurun dengan nilai normal 3500 ml
(b) Volume residu meningkat dengan nilai normal 1200 ml
(c) FEV1 (forced expired volume in one second) selalu menurun : untuk
menentukan derajat PPOK dengan nilai normal 3,2 L
(d) FVC (forced vital capacity) awalnya normal kemudian menurun dengan
nilai normal 4 L
(e) TLC (Kapasitas Paru Total) normal sampai meningkat sedang dengan nilai
normal 6000 ml
2) Analisa gas darah
PaO2 menurun dengan nilai normal 75-100 mmHg, PCO2 meningkat dengan
nilai normal 35-45 mmHg dan nilai pH normal dengan nilai normal 7,35-7,45
3) Pemeriksaan Laboratorium
(a) Hemoglobin (Hb) meningkat dengan nilai normal pada wanita 12-14 gr/dl
dan laki-laki 14-18 gr/dl , hematocrit (Ht) meningkat dengan nilai normal
pada wanita 37-43 % dan pada laki-laki 40-48 %
(b) Jumlah darah merah meningkat dengan nilai normal pada wanita 4,2-5,4
jt/mm3 dan pada laki-laki 4,6-6,2 jt/mm3
(c) Eosonofil meningkat dengan nilai normal 1-4 % dan total IgE serum
meningkat dengan nilai normal < 100 IU/ml d) Pulse oksimetri , SaO2
oksigenasi meningkat dengan nilai normal > 95 %.
4) Pemeriksaan sputum Pemeriksaan gram kuman / kultur adanya infeksi
campuran . kuman pathogen yang biasa ditemukan adalah streptococcus
pneumonia, hemophylus influenzae.
5) Pemeriksaan radiologi Thoraks foto (AP dan lateral) Menunjukkan adanya
hiperinflasi paru, pembesaran jantung dan bendungan area paru.
b. Diagnosa keperawatan dapat yang muncul
1) D.0001 Bersihan jalan nafas tidak efektif
2) D.0004 Gangguan ventilasi spontan
3) D.0005 Pola nafas tidak efektif
4) D.0019 Defisit nutrisi
5) D.0055 Gangguan pola tidur
6) D.0056 Intoleransi aktivitas
7) D.0057 Keletihan
8) D.0092 Ketidakberdayaan

c. Rencana keperawatan
1) D.0001 Bersihan jalan nafas tidak efektif
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan jalan napas
meningkat
Intervensi Utama : Latihan Batuk Efektif
- Identifikasi kemampuan batuk
- Monitor adanya retensi sputum
- Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
- Monitor input dan output cairan
- Atur posisi semi fowler atau fowler
- Buang sekret pada tempat sputum
- Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
- Anjurkan tarik napas dalam melalu hidung selama 4 detik, ditahan selama 2
detik, kemudian keluarkan dari mulut
- Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali
- Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu
2) D.0004 Gangguan ventilasi spontan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan ventilasi spontan
meningkat
Intervensi Utama : Dukungan ventilasi
- Monitor status respirasi dan oksigenasi
- Pertahankan kepatenan jalan
- Berikan posisi semi fowler atau fowler
- Fasilitasnya mengubah posisi senyaman mungkin
- Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan
- Ajarkan melakukan teknik relaksasi nafas dalam
- Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
- Ajarkan teknik batuk efektif
- Kolaborasi pemberian bronkodilator Jika perlu

3) D.0005 Pola nafas tidak efektif


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola nafas membaik
Intervensi utama : Manajemen jalan napas
- Monitor pola nafas (frekuensi kedalaman usaha nafas)
- Monitor bunyi nafas tambahan
- Monitor sputum jumlah warna dan aroma
- Posisikan semi fowler atau fowler
- Berikan Minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada jika perlu
- Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
- Berikan oksigen Jika perlu
- Kolaborasi pemberian bronkodilator, expectoran, mukolitik Jika perlu
4) D.0019 Defisit nutrisi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nafsu makan
membaik
Intervensi Utama : Manajemen Nutrisi
- Identifikasi status nutrisi
- Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
- Identifikasi makanan yang disukai
- Monitor asupan makanan
- Lakukan oral hygiene sebelum makan
- Berikan makanan tinggi serat, tinggi kalori dan tinggi protein
- Anjurkan posisi duduk
- Ajarkan diet yang diprogramkan
- Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan

5) D.0055 Gangguan pola tidur


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola tidur membaik
Intervensi utama : Dukungan tidur
- Identifikasi faktor pengganggu tidur
- Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi
- Modifikasi lingkungan batasi waktu tidur siang Jika perlu
- Fasilitasi menghilangkan stres sebelum tidur
- Tetapkan jadwal tidur rutin
- Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan
- Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
- Ajarkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap gangguan pola tidur
- Ajarkan relaksasi otot autogenik atau cara nonformakologi lainnya

6) D.0056 Intoleransi aktivitas


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan toleransi terhadap
aktivitas membaik
Intervensi Utama : Manajemen Energi
- Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
- Monitor kelelahan fisik dan fungsional
- Monitor pola dan jam tidur
- Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
- Sediakan lingkungan yaman dan rendah stimulus
- Lakukan latihan rentang gerak pasif atau aktif
- Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
- Anjurkan tirah baring
- Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan

7) D.0057 Keletihan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keletihan menurun
Intervensi utama : Edukasi aktivitas dan istirahat
- Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
- Sediakan materi dan media pengaturan aktivitas dan istirahat
- Jadwalkan pemberian pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
- Berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk bertanya
- Anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan istirahat
- Ajarkan cara mengidentifikasi kebutuhan istirahat
- Ajarkan cara mengidentifikasi target dan jenis aktivitas sesuai kemampuan
Daftar Pustaka

Agus, F. (2012). COPD (Chronic Obstructive Pulmo Disease) (Vol. 3, Issue September).
Anuj, K. A., Raja, A., & Brandon, D. B. (2022). Chronic Obstructive Pulmonary Disease. National
Library of Medicine.
Arrias, J. C., Alvarado, D., & Calderón, M. (2019). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
Laksana Penyakit Paru Obstruktif Kronik. In KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA (pp. 5–10).
Asyiroh, H. (2020). Infeksi Saluran Pernapasan Atas. UNIVERSITAS AIRLANGGA, 5–22.
Chamarelza, S. (2019). Gambaran Analisa Gas Darah Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK). Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1, 29–30.
Fernandes, H. P. (2014). Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
Ghofar, A. (2014). Hubungan Perilaku Merokok Dengan Kejadian PPOK Di Paviliun Cempaka RSUD
Jombang. Jurnal Edu Health, 4(1), 19–23.
https://mail.journal.unipdu.ac.id/index.php/eduhealth/article/view/448/395
GOLD. (2023). Global Strategy For The Diagnosis, Management, And Prevention Of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (2023 Report). GLOBAL INITIATIVE FOR CHRONIC
OBSTRUCTIVE LUNG DISEASE, 205.
Hasanudin. (2017). Buku Panduan Pemeriksaan Sputum.
Ihsan, M. (2019). Karakteristik Foto Thorax Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Di RS
UNHAS Makassar. UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR.
Isnainy, U. C. A. S., & Tias, S. A. (2020). Pengaruh posisi condong kedepan dan terapi pursed lips
breathing terhadap derajat sesak napas penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Holistik
Jurnal Kesehatan, 13(4), 389–395. https://doi.org/10.33024/hjk.v13i4.1670
Jonathan, S., & Antariksa, B. (2019). Penyakit Sistem Pernapasan : Emfisema. Jurnal Respirologi
Indonesia, 39(1).
Lindayani, L. P., Tedjamartono, & Dharma, T. (2017). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia, 1302006137, 32.
Makiyatul, M., & Novita, S. (2022). Seorang Laki-Laki 64 Tahun Dengan Penyakit Obstruksi Kronik
(PPOK). CONTINUING MEDICAL EDUCATION, 2721–2882, 314–329.
Osmon, D. (2015). Infectious Diseases Society of America (IDSA) Clinical Practice Guidelines for the
Diagnosis and Treatment of Native Vertebral Osteomyelitis in Adultsa. Clinical Infectious Diseases,
vol.61(no.6), 26–46.
Paramasivam, K. (2017). Pengalaman Belajar Lapangan Penyakit Paru Obstruksi Kronis ( Ppok ).
Pengalaman Belajar Lapangan, 1102005208, 1–44.
PDPI. (2016). Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di
Indonesia. In Perhimpunan Doter Paru Indonesia.
Purba, J., S. (2019). Teknik Pemeriksaan Thorax Proyeksi PA ( Posterior- Anterior ) dengan Kasus TB
( Tuberculosis ) Militer Di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Efarina Etaham Berastagi. Morenal
Unefa: Jurnal Radiologi, 7(1), 1–10.
Ratih, O. (2013). Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Media Litbangkes,
23(2), 82–88.
Riskesdas. (2018). Laporan Nasional Rikesdas 2018. In Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(p. 674).
Rosfadilla, P., & Sari, A. P. (2022). Asma Bronkial Eksaserbasi Ringan-Sedang Pada Pasien Perempuan
Usia 46 Tahun. AVERROUS: Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan Malikussaleh, 8(1), 17.
https://doi.org/10.29103/averrous.v8i1.7115
Salsabila, A. (2021). Hubungan Derajat Merokok dengan Gejala Gangguan Sistem Pernapasan pada
Pegawai Universitas Islam Bandung. Journal Riset Kedokteran, Volume 1, Hal: 100-106.
Setyoningsih, L. A. (2018). Asuhan Keperawatan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Pada Tn. J & Tn. S
Dengan Masalah Keperawatan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas Di Ruang Melati Rsud Dr.
Haryoto Lumajang. Digital Repository Universitas Jember, September 2019, 2019–2022.
Soeroto, A. Y., & Suryadinata, H. (2014). Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Ina J Chest Crit and
Emergency Medic, 1(2), 83–84.
Sukamawati, D. (2017). Efektivitas Lean Forward Position dan Mobilisasi Sangkar Thorak terhadap
Perubahan Frekuensi Pernapasan Pasien PPOK Di RS Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga. STIKES
TELOGOREJO SEMARANGPembiming Utama : Mugi Hartoyo; Pembimbing Pendamping : Ulfa
Nurullita.
WHO. (2022). Chronic obstructive pulmonary disease (COPD). In World Health Organization.
Windradini, F. L., Mubarokah, A. I., Widya, J., Maharani, & Lusiwati, R. (2021). Fisioterapi Dada pada
Penderita PPOK. Publikasi Ilmiah, 831–844.

Anda mungkin juga menyukai