Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN PPOM/COPD :


BRONKITIS KRONIK, BRONKIEKTASIS, EMFISEMA PARU

Dosen Pengampu : Dr. Andina Setyawati S.Kep.,Ns.,M.Kep

DISUSUN OLEH :

Kelompok 5

1. Carina Liora S Sinae R011221021


2. Fatihatul Hidayah R011221095
3. Sahril Usman R011221033
4. Maghfiratunnisa Syarifuddin R011221071
5. Nanda Fergie Rania Belvani R011221113
6. Ufahira Yasmin. MR R011221087

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah, dengan judul “Makalah Asuhan Keperawatan
Klien dengan PPOM\COPD : Bronkitis Kronis, Bronkiektasis, dan Emfisema
paru”.
Dalam penyusunan makalah ini, kami mengumpulkan data dari berbagai
sumber, melakukan analisis, dan menyajikan informasi dengan sebaik mungkin.
Namun, kami menyadari bahwa makalah ini tidak sempurna dan masih memiliki
kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat menghargai kritik dan saran yang dapat
membantu kami meningkatkan kualitas makalah ini di masa yang akan datang.
Terakhir, kami ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam penyelesaian makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca dan dapat menjadi sumbangan kecil kami dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Akhir kata, kami mohon maaf atas segala
kekurangan dalam makalah ini.

Makassar, 27 September 2023


Penyusun
Kelompok 5
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) adalah klasifikasi luas dari
gangguan yang mencakup bronchitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan
asma. (Bruner & Suddart, 2002).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik atau Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk
sekelomok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya. Ketiga Penyakit yang membentuk satu kesatuan
yang dikenal dengan COPD adalah bronchitis kronis, bronkiektasis, dan
emfisema paru.
PPOM merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispena saat
aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar PPOM\COPD : bronchitis kronis,
bronkiektasis, dan emfisema paru?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan PPOM\COPD :
bronchitis kronis, bronkiektasis, dan emfisema paru?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dasar PPOM\COPD : bronchitis kronis,
bronkiektasis, dan emfisema paru
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan PPOM\
COPD : bronchitis kronis, bronkiektasis, dan emfisema paru
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar PPOM\COPD : Bronkitis Kronis, Bronkiektasis,
Emfisema Paru
1. Definisi
a. Bronkitis kronis
Bronkits kronis merupakan keadaan yang berkaitan dengan
produksi mukus trakeobronkial yang berlebihan, sehingga cukup
untuk menimbulkan batuk dan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan
dalam setahun dan paling sedikit 2 tahun secara berturut-turut.
b. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah penyakit paru-paru kronis yang ditandai
dengan pelebaran saluran napas bronkus yang persisten dan
seumur hidup serta melemahnya fungsi mekanisme transpor
mukosiliar karena infeksi berulang yang berkontribusi terhadap
invasi bakteri dan pengumpulan lendir di seluruh cabang
bronkus. Kegiatan ini meninjau evaluasi dan penatalaksanaan
bronkiektasis dan meninjau peran tim interprofesional dalam
meningkatkan perawatan pasien dengan kondisi ini.
c. Emfisema Paru
Menurut WHO, emfisema merupakan gangguan pengembangan
paru yang ditandai dengan pelebaran ruang di dalam paru-paru
disertai destruktif jaringan.
Sesuai dengan definisi tersebut, jika ditemukan kelainan berupa
pelebaran ruang udara(alveolus) tanpa disertai adanya
destruktif jaringan maka keadaan ini sebenamya tidak termasuk
emfisema, melainkan hanya sebagai overinflation. Sebagai
salah satu bentuk penyakit paru obstruktif menahun, emfisema
merupakan pelebaran asinus yang abnormal, permanen, dan
disertai destruktif dinding alveoli paru. Obstruktif pada
emfisema lebih disebabkan oleh perubahan jaringan daripada
produksi mukus, seperti yang terjadi pada asma
bronkitis kronis.
2. Etiologi
a. Bronkitis Kronis
Ada banyak penyebab bronkitis kronis yang diketahui, namun
faktor penyebab terpenting adalah paparan rokok, baik akibat
merokok aktif maupun inhalasi pasif. Banyak bahan pengiritasi
yang terhirup pada saluran pernapasan, seperti kabut asap,
polutan industri, dan bahan kimia beracun, dapat menyebabkan
bronkitis kronis. Meskipun infeksi bakteri dan virus biasanya
menyebabkan bronkitis akut, paparan infeksi berulang kali dapat
menyebabkan bronkitis kronis. Virus dominan yang menjadi
penyebab adalah Influenza tipe A dan B, dan agen bakteri
dominan adalah Staphylococcus, Streptococcus, dan
Mycoplasma pneumonia. Orang yang mempunyai latar belakang
penyakit pernafasan seperti asma. fibrosis kistik, atau
bronkiektasis memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk
mengembangkan bronkitis kronis. Orang yang berulang kali
terpapar polutan lingkungan seperti debu atau bahan kimia di
udara seperti amonia dan sulfur dioksida memiliki risiko lebih
tinggi terkena bronkitis kronis. Refluks gastroesofageal kronis
merupakan penyebab bronkitis kronis yang terdokumentasi
dengan baik namun jarang terjadi.
b. Bronkiektasis
Secara historis, penyebab paling umum dari bronkiektasis
dianggap sebagai infeksi pernapasan yang sudah ada
sebelumnya, seringkali pada masa kanak-kanak. Penyebabnya
bersifat idiopatik, didapat, atau berhubungan dengan infeksi.
1) Infeksi Bakteri :
 Mycobacterium: Tuberkulosis dan atipikal
 Haemophilus influenzae
 Pseudomonas aeruginosa
 Stafilokokus aureus
 Mikoplasma dan HIV
2) Infeksi Virus
 Virus syncytial pernapasan dan campak
 Infeksi jamur
 Obstruksi bronkus
 Lembaga asing
 Sumbat lender
 Tumor
 Limfadenopati hilar (sindrom lobus tengah kanan:
kompresi ekstrinsik akibat adenopati pasca infeksi)

3) Pneumonitis pasca inflamasi

 Sinusitis kronis
 Cedera inhalasi
 Gangguan aspirasi/refluks gastroesofageal kronis

4) Bawaan/Genetik

 Fibrosis kistik
 Sindrom muda
 PCD: diskinesia silia primer (Sindrom Kartenger)
 Imunodefisiensi (hipogammaglobulinemia)
 Defisiensi alfa1-antitripsin (AAT)
 Sindrom Mounier-Kuhn

5) Penyakit radang

 Kolitis ulseratif
 Artritis rheumatoid
 Sindrom Sjögren

6) Penyakit Paru-Paru

 Asma
 Bronkomalasia
 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) (dilaporkan
pada 50% pasien PPOK sedang hingga berat)
 Panbronkiolitis difus

 Fibrosis paru idiopatik (traksi bronkiektasis)

7) Perubahan respon imun

 Aspergillosis Bronkopulmoner Alergi


 Pneumonitis hipersensitivitas

c. Emfisema Paru
Emfisema disebabkan oleh paparan gas berbahaya yang kronis
dan signifikan, dimana merokok tetap menjadi penyebab paling
umum, dan 80% hingga 90% pasien PPOK adalah perokok,
dengan 10% hingga 15% perokok mengalami PPOK. Namun,
pada perokok, gejalanya juga bergantung pada intensitas
merokok, tahun paparan, dan fungsi paru-paru awal. Gejala
biasanya dimulai setelah setidaknya 20 bungkus tembakau per
tahun.
Bahan bakar biomassa dan polutan lingkungan lainnya seperti
sulfur dioksida dan bahan partikulat diakui sebagai penyebab
penting di negara-negara berkembang yang sangat
mempengaruhi perempuan dan anak-anak. Penyakit resesif
autosomal herediter yang langka, defisiensi antitripsin alfa satu,
juga dapat menyebabkan emfisema dan kelainan hati. Namun,
hal ini hanya berkontribusi pada 1% hingga 2% kasus PPOK. Ini
merupakan faktor risiko yang terbukti dan dapat muncul pada
emfisema pan-asinar bibasilar di awal kehidupan.
Faktor etiologi lainnya adalah perokok pasif, infeksi paru-paru,
dan alergi. Selain itu, berat badan lahir rendah saat baru lahir
membuat seseorang lebih rentan terkena PPOK di kemudian
hari.
3. Patofisiologi
a. Bronkitis Kronis
Bronkitis kronis diduga disebabkan oleh produksi lendir yang
berlebihan dan hipersekresi oleh sel goblet. Sel-sel epitel yang
melapisi saluran napas merespons rangsangan toksik dan
infeksius dengan melepaskan mediator inflamasi seperti
interleukin 8, faktor perangsang koloni, dan sitokin proinflamasi
lainnya. Ada juga penurunan terkait pelepasan zat pengatur
seperti enzim pengubah angiotensin dan endopeptidase
netral. Epitel alveolar merupakan target sekaligus inisiator
proses inflamasi pada bronkitis kronis. Selama eksaserbasi akut
bronkitis kronis, membran mukosa bronkus menjadi hiperemik
dan edema dengan berkurangnya fungsi mukosiliar bronkus. Hal
ini, pada gilirannya, menyebabkan hambatan aliran udara karena
penyumbatan lumen pada saluran udara kecil. Saluran udara
tersumbat oleh puing-puing, dan ini semakin meningkatkan
iritasi. Ciri khas batuk bronkitis disebabkan oleh keluarnya
lendir yang berlebihan pada bronkitis kronis.

Web of Caution (WOC)


b. Bronkiektasis
Tiga mekanisme terpenting yang berkontribusi terhadap
patogenesis bronkiektasis adalah infeksi berulang, obstruksi
saluran napas, dan fibrosis peribronkial.
Neutrofil mendominasi peradangan saluran napas pada
bronkiektasis, didorong oleh konsentrasi tinggi kemoatraktan
neutrofil seperti interleukin-8 (CXCL-8), dan leukotrien
B4. Kolonisasi bakteri di saluran napas terjadi karena gangguan
pembersihan mukosiliar dan kegagalan pembunuhan neutrofil
opsonophagocytic. Mekanisme disfungsi imun lainnya termasuk
ketidakmampuan untuk membersihkan sel-sel apoptosis dan
invasi sel T, dengan laporan terbaru yang menunjukkan bahwa
sel Th17 memainkan peran penting. Perubahan histologis pada
bronkiektasis meliputi kerusakan dan fibrosis tulang rawan,
hiperplasia kelenjar mukosa dan mukosa, infiltrasi sel inflamasi,
serta peningkatan mukosa dan eksudat.

Web of Caution (WOC)


c. Emfisema Paru

Patofisiologi emfisema merupakan akibat kerusakan


saluran napas distal bronkiolus terminal, yang meliputi
bronkiolus respiratorik, kantung alveolar, saluran alveolar, dan
alveoli yang secara kolektif dikenal sebagai asinus. Terdapat
dilatasi permanen yang tidak normal pada ruang udara dan
kerusakan dindingnya akibat kerja proteinase. Hal ini
mengakibatkan penurunan luas permukaan alveolar dan kapiler,
sehingga menurunkan pertukaran gas. Bagian asinus yang
terkena menentukan subtipenya.

Secara patologis dapat dibagi menjadi berikut ini:

 Sentrilobular (asinar proksimal) adalah jenis yang paling


umum dan umumnya dikaitkan dengan kebiasaan
merokok. Hal ini juga dapat dilihat pada pneumokoniosis
pekerja batubara.
 Panacinar paling sering terlihat dengan defisiensi
antitripsin alfa satu.
 Paraseptal (asinar distal) dapat terjadi sendiri atau
bersamaan dengan dua gejala di atas. Bila terjadi
sendirian, hubungan yang biasa terjadi adalah
pneumotoraks spontan pada orang dewasa muda.

Setelah paparan asap berbahaya dalam jangka panjang, sel-sel


inflamasi seperti makrofag, neutrofil, dan limfosit T direkrut,
yang berperan penting dalam perkembangan emfisema. Pertama,
makrofag diaktifkan, yang melepaskan faktor kemotaktik
neutrofil seperti leukotrien B4 dan interleukin-8. Setelah
neutrofil direkrut, makrofag akan melepaskan banyak proteinase
dan menyebabkan hipersekresi mukus.
Elastin merupakan komponen penting dari matriks
ekstraseluler yang diperlukan untuk menjaga integritas parenkim
paru dan saluran udara kecil. Ketidakseimbangan elastase/anti-
elastase meningkatkan kerentanan terhadap kerusakan paru-paru
yang menyebabkan perluasan wilayah udara. Katepsin dan
protease turunan neutrofil (yaitu elastase dan proteinase) bekerja
melawan elastin dan menghancurkan jaringan ikat parenkim
paru. Sel T sitotoksik melepaskan TNF-a dan perforin, yang
menghancurkan sel epitel dinding alveolar.

Merokok tidak hanya menyebabkan hipersekresi lendir dan


pelepasan enzim proteolitik neutrofilik, tetapi juga menghambat
enzim anti-proteolitik dan makrofag alveolar. Polimorfisme
genetik berperan dalam produksi antiprotease yang tidak
memadai pada perokok. Semua ini berkontribusi terhadap
perkembangan emfisema.

Parenkim paru menghasilkan alpha one antitrypsin (AAT), yang


menghambat trypsinize dan neutrofil elastase di paru. Defisiensi
AAT dapat menyebabkan emfisema panacinar.
Web of Caution (WOC)
4. Manifestasi klinis
a. Bronkitis Kronis
Gejala paling umum yang dialami penderita bronkitis
kronis adalah batuk. Riwayat batuk khas bronkitis kronis
ditandai hampir setiap hari dalam sebulan, berlangsung selama 3
bulan, dengan minimal 2 episode serupa terjadi selama 2 tahun
berturut-turut. Batuk produktif disertai dahak terjadi pada sekitar
50% pasien. Warna dahak dapat bervariasi, mulai dari bening,
kuning, hijau, atau terkadang berlumuran darah. Warna dahak
mungkin bergantung pada adanya infeksi bakteri
sekunder. Seringkali, perubahan warna dahak bisa disebabkan
oleh peroksidase yang dilepaskan oleh leukosit dalam
dahak. Oleh karena itu, warna saja bukanlah indikasi pasti
adanya infeksi bakteri.
Sangatlah penting untuk memperoleh riwayat lengkap dari
pasien, termasuk informasi mengenai kemungkinan paparan
terhadap bahan iritan atau bahan kimia yang dihirup, serta
rincian lengkap mengenai kebiasaan merokok. Demam jarang
terjadi pada bronkitis kronis dan, bila ada, dapat menandakan
adanya influenza atau pneumonia. Rasa tidak enak badan secara
umum adalah gejala yang sering dikaitkan. Jarang sekali pasien
mengeluhkan nyeri dada atau nyeri otot perut yang disebabkan
oleh batuk terus menerus. Jika terjadi peradangan pada saluran
napas, dapat terjadi mengi yang menyertainya.
Bronkitis kronis tanpa komplikasi muncul dengan batuk,
dan tidak ada bukti adanya penyumbatan saluran napas secara
fisiologis. Ketika pasien menderita bronkitis asma kronis,
biasanya timbul mengi karena saluran napas hiperaktif yang
menyebabkan bronkospasme intermiten. Bila ada bronkitis
obstruktif yang merupakan spektrum penyakit paling parah, ada
penyakit saluran napas kecil yang terkadang menyebabkan
emfisema
b. Bronkiektasis

Riwayat batuk berkepanjangan disertai nanah merupakan


ciri khas bronkiektasis. Pasien mungkin melaporkan infeksi paru
berulang yang memerlukan antibiotik selama beberapa
tahun. Pasien juga dapat mengalami dispnea progresif, mengi
intermiten, hemoptisis, nyeri dada pleuritik, dan kelelahan serta
penurunan berat badan yang terkait. Hemoptisisnya ringan dan
ditandai dengan bercak darah pada dahak pasien yang bernanah,
yang kadang-kadang mengancam jiwa. Seringkali pasien
didiagnosis setelah bertahun-tahun mengalami gejala ketika
batuk kronis atau hemoptisis menjadi melemahkan.

Batuk: 98%, sputum: 78% (dahak biasanya berlendir dan relatif


tidak berbau), dispnea: 62%, hemoptisis: 56% hingga 92%, dan

c. Emfisema Paru
Kebanyakan pasien datang dengan gejala yang sangat tidak
spesifik berupa sesak napas kronis dan batuk dengan atau tanpa
produksi dahak. Seiring berkembangnya proses penyakit, sesak
napas dan batuk semakin memburuk. Awalnya, terdapat dispnea
saat aktivitas dengan aktivitas fisik yang signifikan, terutama
kerja lengan setinggi atau di atas bahu, yang kemudian
berkembang menjadi dispnea dengan aktivitas sederhana sehari-
hari dan bahkan saat istirahat. Beberapa pasien mungkin
mengalami mengi karena hambatan aliran udara.
Seiring berkembangnya PPOK, pasien dapat kehilangan berat
badan secara signifikan karena peradangan sistemik dan
peningkatan energi yang dihabiskan untuk kerja
pernapasan. Selain itu, sering terjadi eksaserbasi intermiten
seiring dengan meningkatnya penyumbatan saluran
napas. Episode eksaserbasi PPOK dapat ditandai dengan
peningkatan sesak napas, peningkatan keparahan batuk, dan
peningkatan dahak, yang biasanya disebabkan oleh infeksi atau
faktor lingkungan.

Riwayat merokok merupakan hal yang penting, dengan


penekanan pada usia orang tersebut mulai merokok dan jumlah
tahun merokok. Jika orang tersebut telah berhenti merokok,
penting untuk mengetahui berapa tahun telah berlalu sejak
terakhir kali dia merokok. Riwayat paparan lingkungan dan
pekerjaan serta riwayat keluarga dengan kondisi pernapasan
kronis dan PPOK sangat penting.

Pada tahap awal penyakit, pemeriksaan fisik mungkin


normal. Pasien dengan emfisema biasanya disebut sebagai “pink
puffers, yang berarti cachectic dan non-cyanotic. Ekspirasi
melalui bibir yang mengerucut meningkatkan tekanan saluran
napas dan mencegah kolaps saluran napas selama pernapasan,
dan penggunaan otot bantu pernapasan mengindikasikan
penyakit lanjut. Jari tabuh bukan tipikal PPOK. Banyak penyakit
penyerta lainnya yang mungkin terjadi. Perokok saat ini
mungkin memiliki bau asap dan noda nikotin pada tangan dan
kuku.

Perkusi mungkin normal pada awal penyakit. Pemeriksaan


selanjutnya dapat berkisar dari ekspirasi berkepanjangan atau
mengi saat ekspirasi paksa hingga peningkatan resonansi, yang
menunjukkan hiperinflasi seiring dengan meningkatnya
obstruksi jalan napas. Pada auskultasi terdengar bunyi nafas
jauh, mengi, ronki pada dasar paru, dan/atau bunyi jantung jauh.

5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Bronkitis Kronis
Faktor paling penting dalam diagnosis bronkitis kronis
adalah riwayat penyakit yang khas untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain pada saluran pernapasan bagian
bawah.
Pemeriksaan penunjang yang membantu dalam memastikan
diagnosis bronkitis kronis adalah pemeriksaan darah lengkap
dengan diferensial. Tingkat prokalsitonin serum dapat
membantu membedakan infeksi bakteri dan non-bakteri
terkait. Rontgen dada pada orang lanjut usia dan bila temuan
fisik menunjukkan pneumonia adalah hal yang penting. Kultur
dahak bila dicurigai adanya infeksi bakteri
diindikasikan. Pemeriksaan tambahan ini berguna untuk
mengukur saturasi oksigen dan tes fungsi paru.
b. Bronkiektasis

1. Pemeriksaan Fisik: melakukan pemeriksaan fisik


termasuk mendengarkan bunyi pernapasan dengan
stetoskop untuk mencari tanda-tanda khas bronkiektasis,
seperti ronki (bunyi menggerutu) atau wheezing.

2. Tes Fungsi Paru: Tes fungsi paru, seperti spirometri,


dapat membantu menilai kapasitas paru-paru dan sejauh
mana fungsi paru-paru telah terpengaruh
oleh bronkiektasis

3. CT Scan Dada: Pemeriksaan sinar-X biasa mungkin


tidak cukup untuk melihat detail bronkiektasis. Dokter
mungkin merujuk Anda untuk menjalani computed
tomography (CT) scan dada, yang memberikan
gambaran yang lebih rinci tentang saluran bronkus dan
kerusakan yang mungkin terjadi.
4. Bronkoskopi: Ini adalah prosedur medis di mana dokter
memasukkan tabung lentur yang disebut bronkoskop
melalui mulut atau hidung Anda dan ke dalam saluran
bronkus untuk melihat secara langsung dan mengambil
sampel jaringan jika diperlukan. Bronkoskopi dapat
membantu dalam mengidentifikasi penyebab
bronkiektasis, seperti infeksi, obstruksi, atau kelainan
struktural.

5. Kultur Dahak: Jika Anda menghasilkan dahak berlebih,


dokter mungkin akan memeriksa sampel dahak Anda
untuk mengidentifikasi jenis bakteri, virus, atau jamur
yang munakin ada, sehingga dapat memandu
pengobatan yang tepat.

c. Emfisema Paru
Tes fungsi paru (PFT), khususnya spirometri, adalah diagnosis
utama. Pengukuran volume paru-paru yang menunjukkan
adanya perangkap udara pada emfisema menunjukkan
peningkatan volume residu dan kapasitas total paru-
paru. Kapasitas difusi karbon monoksida berkurang karena
kerusakan emfisematous pada membran paru kapiler alveolar.
Rontgen dada hanya membantu dalam diagnosis jika emfisema
parah, namun biasanya merupakan langkah pertama ketika
mencurigai adanya PPOK untuk menyingkirkan penyebab
lainnya. Penghancuran alveoli dan terperangkapnya udara
menyebabkan hiperinflasi paru-paru dengan mendatarnya
diafragma, dan jantung tampak memanjang dan berbentuk
tabung.
Gas darah arteri biasanya tidak diperlukan pada PPOK ringan
sampai sedang. Hal ini dilakukan ketika saturasi oksigen berada
di bawah 92% atau ketika penilaian hiperkapnia diperlukan pada
obstruksi aliran udara yang parah.
6. Farmakologis
a. Bronkitis Kronis
Tujuan utama pengobatan bronkitis kronis adalah untuk
meredakan gejala, mencegah komplikasi, dan memperlambat
perkembangan penyakit. Tujuan utama terapi ditujukan untuk
mengurangi produksi lendir yang berlebihan, mengendalikan
peradangan, dan menurunkan batuk. Hal ini dicapai melalui
intervensi farmakologis dan nonfarmakologis.
Intervensi farmakologis andalan adalah sebagai berikut:
1. Bronkodilator: Agonis reseptor β-adrenergik kerja
pendek dan panjang, serta antikolinergik, membantu
dengan meningkatkan lumen saluran napas,
meningkatkan fungsi silia, dan meningkatkan hidrasi
mukosa.
2. Glukokortikoid: Mengurangi peradangan dan produksi
lendir. Kortikosteroid inhalasi mengurangi eksaserbasi
dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, obat ini
diberikan di bawah pengawasan medis dan untuk
jangka waktu singkat, karena penggunaan jangka
panjang dapat menyebabkan osteoporosis, diabetes, dan
hipertensi.
3. Terapi antibiotik: tidak diindikasikan dalam pengobatan
bronkitis kronis; Namun, terapi makrolida telah terbukti
memiliki sifat anti-inflamasi dan karenanya mungkin
berperan dalam pengobatan bronkitis kronis.
4. Inhibitor fosfodiesterase-4: mengurangi peradangan dan
meningkatkan relaksasi otot polos saluran napas dengan
mencegah hidrolisis siklik adenosin monofosfat, suatu
zat yang bila terdegradasi akan menyebabkan pelepasan
mediator inflamasi.

Tindakan Non Farmakologis

Intervensi nonfarmakologis yang paling penting adalah berhenti


merokok. Berhenti merokok meningkatkan fungsi mukosiliar
dan menurunkan hiperplasia sel goblet. Berhenti merokok juga
terbukti mengurangi cedera saluran napas yang mengakibatkan
penurunan kadar lendir yang terkelupas di sel trakeobronkial.

Rehabilitasi paru yang merupakan bagian penting dari


pengobatan bronkitis kronis adalah rehabilitasi paru yang terdiri
dari edukasi, modifikasi gaya hidup, aktivitas fisik secara
teratur, dan menghindari paparan terhadap polutan yang
diketahui baik di tempat kerja maupun lingkungan tempat
tinggal

Penatalaksanaan bronkitis kronis bersifat kompleks dan bersifat


seumur hidup. Belum ada obat yang dapat menyembuhkan
kelainan ini, dan pasien rentan mengalami banyak
komplikasi. Oleh karena itu, kondisi ini paling baik ditangani
oleh tim interprofesional yang terdiri dari dokter layanan primer,
fisioterapis pernafasan, praktisi perawat, ahli paru, ahli penyakit
menular, ahli radiologi, dan ahli penyakit dalam. Bronkitis
kronis mempunyai dampak signifikan terhadap morbiditas dan
kualitas hidup. Merokok merupakan kontributor utama; oleh
karena itu berhenti merokok perlu menjadi strategi pencegahan
yang penting. Perubahan gaya hidup dan vaksinasi rutin
terhadap influenza serta pneumonia dapat mengurangi angka
kesakitan pada penderita bronkitis kronis. Prognosis keseluruhan
untuk sebagian besar pasien buruk, dengan banyak pasien
menjadi cacat karena sesak napas yang progresif.
b. Bronkiektasis
Pengobatan farmakologis untuk bronkiektasis bertujuan untuk
mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi (pemburukan), dan
memperlambat perkembangan penyakit. Terapi farmakologis
untuk bronkiektasis umumnya mencakup:
1. Antibiotik: Karena bronkiektasis seringkali berhubungan
dengan infeksi bakteri kronis dalam saluran pernapasan,
penggunaan antibiotik sering kali diperlukan. Dokter
akan meresepkan antibiotik yang sesuai berdasarkan
hasil tes dahak dan jenis bakteri yang terdeteksi.
Beberapa pasien mungkin perlu mengonsumsi antibiotik
jangka panjang atau secara berkala.
2. Bronkodilator. Bronkodilator adalah obat-obatan yang
membantu melebarkan saluran udara dan memfasilitasi
pernapasan. Mereka dapat membantu mengatasi gejala
sesak napas yang sering terjadi pada bronkiektasis.
3. Kortikosteroid: Dapat meresepkan kortikosteroid
inhalasi atau oral dalam kasus eksaserbasi yang parah
atau jika terdapat komponen inflamasi yang signifikan
dalam penyakit ini.
4. Mukolitik: Obat-obatan mukolitik membantu
melunakkan dan mengencerkan dahak, sehingga
memudahkan pengeluarannya. Ini dapat membantu
mengurangi gejala seperti batuk produktif.

Selain pengobatan farmakologis, terdapat juga pendekatan


nonfarmakologis yang dapat membantu mengelola bronkiektasis
dan meningkatkan kualitas hidup. Beberapa langkah
nonfarmakologis yang dapat diterapkan sebagai bagian dari
pengobatan bronkiektasis adalah:
1. Latihan Fisik: Program latihan fisik yang sesuai dengan
kondisi pasien dapat membantu meningkatkan daya
tahan, kekuatan otot pernapasan, dan fungsi paru-paru.
Ini dapat membantu mengurangi gejala sesak napas dan
meningkatkan kualitas hidup. Konsultasikan dengan
fisioterapis atau ahli rehabilitasi paru-paru untuk
merancang program latihan yang tepat.
2. Terapi Fisioterapi Pernapasan: Terapi fisioterapi
pernapasan melibatkan teknik pernapasan khusus dan
latihan batuk yang dapat membantu dalam
membersihkan dahak dari saluran pernapasan. Ini adalah
metode penting untuk mengurangi risiko infeksi dan
eksaserbasi.
3. Manajemen Cairan: Minum cukup air untuk membantu
melunakkan dahak dan memudahkan pengeluarannya.
Terlalu sedikit cairan dalam tubuh dapat membuat dahak
menjadi lebih kental.
c. Emfisema Paru
1. Terapi Medis
Terapi medis mencakup penggunaan bronkodilator saja
atau dikombinasikan dengan obat antiinflamasi seperti
kortikosteroid dan inhibitor fosfodiesterase-4.
Bronkodilator : Mekanisme kerja utama dapat dibagi
menjadi dua kategori yaitu agonis beta2 dan obat
antikolinergik. Mereka adalah obat lini pertama untuk
COPD dan diberikan melalui inhalasi. Bronkodilator
biasanya diberikan secara teratur untuk mencegah dan
mengurangi gejala, eksaserbasi, dan rawat inap.
Kortikosteroid inhalasi (ICS) adalah terapi tambahan
untuk bronkodilator dalam terapi bertahap. ICS termasuk
beclomethasone, budesonide, fluticasone, dll.
2. Terapi Suportif
Terapi suportif meliputi terapi oksigen dan dukungan
ventilasi, rehabilitasi paru, dan perawatan paliatif.
Oksigen tambahan rutin tidak meningkatkan kualitas
hidup atau hasil klinis pada pasien stabil. Pemberian
oksigen tambahan jangka panjang secara terus menerus,
yaitu lebih dari 15 jam, direkomendasikan pada pasien
PPOK dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg (atau saturasi
oksigen kurang dari 88%) atau PaO2 kurang dari 59 mm
Hg pada kasus kor pulmonal. Tujuannya adalah untuk
menjaga saturasi oksigen lebih besar dari 90%.
3. Terapi Intervensi
Intervensi Tambahan : Identifikasi dan pengurangan
paparan faktor risiko. Konseling tentang berhenti
merokok adalah satu-satunya intervensi terpenting yang
memperlambat perkembangan penyakit ini. Mengurangi
paparan terhadap api terbuka untuk memasak dan
meningkatkan ventilasi yang efisien juga bermanfaat.

B. Asuhan Keperawatan pada Klien Bronkitis Kronis, Bronkiektasis,


Emfisema
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pasien dengan bronkitis kronis memerlukan perawatan jangka
panjang untuk mengurangi gejala seperti batuk, produksi lendir berlebih,
dan kesulitan bernapas. Pengelolaan kondisi ini melibatkan pemberian
obat bronkodilator, terapi oksigen, dan edukasi pasien tentang pentingnya
perubahan gaya hidup, termasuk berhenti merokok. Memonitoring ketat
terhadap perubahan gejala dan penyesuaian rencana perawatan perlu
dilakukan untuk mencegah eksaserbasi.
Perawatan pasien dengan bronkiectasis melibatkan upaya untuk
mengurangi infeksi saluran pernapasan dan memfasilitasi pengeluaran
lendir. Terapi antibiotik mungkin diperlukan untuk mengobati atau
mencegah infeksi. Fisioterapi pernapasan dan teknik pengeluaran lendir
dapat membantu mengoptimalkan fungsi paru-paru.
Pasien dengan emfisema paru memerlukan strategi perawatan yang
fokus pada mengelola gejala dan meningkatkan fungsi pernapasan. Terapi
oksigen mungkin diperlukan untuk mengatasi hipoksia kronis. Pendidikan
pasien tentang latihan pernapasan, pengelolaan stres, dan perencanaan
aktivitas sehari-hari untuk menghindari kelelahan berlebihan dapat
membantu meningkatkan kualitas hidup. Pengelolaan aspek psikososial
juga penting, mengingat dampak emfisema pada kesehatan mental dan
kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA
Bird K, Memon J. Bronkiektasis. [Diperbarui 2023 22 Mei]. Di: StatPearls
[Internet]. Pulau Harta Karun (FL): Penerbitan StatPearls; 2023 Januari-. Tersedia
dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430810/
Pahal P, Avula A, Sharma S. Emfisema. [Diperbarui 26 Januari 2023]. Di:
StatPearls [Internet]. Pulau Harta Karun (FL): Penerbitan StatPearls; 2023
Januari-. Tersedia dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482217/
Widysanto A, Mathew G. Chronic Bronchitis. [Updated 2022 Nov 28]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482437/

Anda mungkin juga menyukai