Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KEPERAWATAN

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Oleh:
Nur Annisa Fitri,S.Kep.,Ns.
NIP. 199304042017122001

KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM


KALIMANTAN SELATAN
LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA KOTABARU

1
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
PPOK adalah klasifikasi luas dari gangguan, yang mencakup bronchitis
kronis, bronkiektasis, emfisiema dan asma . PPOK merupakan kondisi irreversible
yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar
udara paru-paru. PPOK merupakan penyebab kematian ke 5 terbesar di Amerika
Serikat. Penyakit ini menyerang lebih dari 25% dari populasi dewasa.
Obstruksi jalan napas yang menyebabkan reduksi aliran udara beragam
tergantung pada penyakit. Pada bronchitis kronik dan bronkiolitis, penumpukan
lendir dan sekresi yang sangat banyak menyumbat jalan napas. Pada emfisema,
obstruksi pada pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan
dinding alveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang udara dalam paru-paru.
Pada asma, jalan napas bronchial menyempit dan membatasi jumlah udara yang
mengalir dalam paru-paru. Protocol pengobatan tertentu digunakan dalam semua
kelainan ini, meski patafisiologi dari masing-masing kelainan ini membutuhkan
pendekatan spesifik.
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhulubungan dengan interaksi
genetic dengan lingkungan. Merokok, polusi udara dan pemajanan ditempat kerja
(terhadap batu bara, kapas, padi-padian ) merupakakn factor-faktor risiko penting
yang menunjang pada terjadinya penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam rentang
lebih dari 20-30 tahunan. PPOK juga ditemukan terjadi pada individu yang tidak
mempunyai enzim yang normal mencegah panghancuran jaringan paru oleh enzim
tertentu. PPOK tampak timbul cukup dini dalam kehidupan dan merupakan kelainan
yang mempunyai kemajuan lambat yang timbul bertahun-tahun sebelum awitan
gejala-gejala klinis kerusakan fungsi paru.
PPOK sering menjadi simptomatik selama tahun-tahun usia baya, tetapi
insidennya meningkat sejalan dengan peningkatan usia. meskipun aspek-aspek paru

2
tertentu, seperti kapasitas vital dan volume ekspirasi kuat, menurun sejalan dengan
peningkatan usia, PPOK memperburuk banyak perubahan fisiologi yang berkaitan
dengan penuaan dan mengakibatkan obstruksi jalan napas (dalam bronchitis) dan
kehilangan daya kembang elastic paru (pada emfisema). Karenanya, terdapat
perubahan tambahan dalam rasio ventilasi perkusi pada pasien lansia dengan PPOK.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah makalah ini antara lain:
1. Apa pengertian PPOK?
2. Bagaimana klasifikasi dari PPOK?
3. Apa saja etiologi dari PPOK?
4. Bagaimana pathogenesis PPOK?
5. Bagaimana tanda dan gejala pasien dengan PPOK?
6. Bagaimana pemeriksaan diagnostic pada pasien PPOK?
7. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien PPOK?
8. Bagiamana asuhan keperawatan pada pasien PPOK?

3. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
 Secara umum
1. Agar menambah pengetahuan mahasiswa tentang PPOK
2. Agar mahasiswa/mahasiwi dapat menerapkan asuhan keperawatan pada
pasien dengan PPOK.

 Secara khusus
1. Menjelaskan pengertian PPOK
2. Mengklasifikasikan PPOK
3. Menyebutkan etiologi dari PPOK

3
4. Menjelaskan pathogenesis dari PPOK
5. Menjelaskan apa saja tanda dan gejala pasien dengan PPOK
6. Menjelaskan pemeriksaan diagnostic pada pasien PPOK
7. Memahami bagaimana penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien PPOK
8. Menjelaskan dan menerapkan asuhan keperawatan pada pasien PPOK

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian

Penyakit paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang


digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya. Bronchitis kronik, emfisema paru dan asma bronchial membentuk
kesatuan yang disebut PPOK. Agaknya ada hubungan etiologi dan sekuensial antara
bronchitis kronis dan emfisema, tetapi tampaknya tidak ada hubungan antara penyakit
itu dengan asma. Hubungan ini nyata sekali sehubungan dengan etiologi,
pathogenesis dan pengobatan.

PPOK adalah sekresi mukoid bronchial yang bertambah secara menetap


disertai dengan kecenderungan terjadinya infeksi yang berulang dan penyempitan
saluran nafas , batuk produktif selama 3 bulan, dalam jangka waktu 2 tahun berturut-
turut (Ovedoff, 2002). Sedangkan menurut Price & Wilson (2005), COPD adalah
suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan ditandai dengan obstruksi aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya. Menurut Carpenito (1999) COPD atau yang lebih dikenal
dengan PPOM merupakan suatu kumpulan penyakit paru yang menyebabkan
obstruksi jalan napas, termasuk bronchitis, empisema, bronkietaksis dan asma. PPOM
paling sering diakibatkan dari iritasi oleh iritan kimia (industri dan tembakau), polusi
udara, atau infeksi saluran pernapasan kambuh.

2. Klasifikasi
Menurut Alsagaff & Mukty (2006), COPD dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

5
1. Asma Bronkhial: dikarakteristikkan oleh konstruksi yang dapat pulih dari otot
halus bronkhial, hipersekresi mukoid, dan inflamasi, cuaca dingin, latihan,
obat, kimia dan infeksi.
2. Bronkitis kronis: ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai
pengeluaran dahak sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu
tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Gejala ini perlu dibedakan dari
tuberkulosis paru, bronkiektasis, tumor paru, dan asma bronkial.
3. Emfisema: suatu perubahan anatomis paru-paru yang ditandai dengan
melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus terminal,
disertai kerusakan dinding alveolus.

3. Etiologi
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya COPD (Mansjoer, 1999)
adalah :
1. Kebiasaan merokok
Menurut buku report of the WHO expert comitte on smoking control, rokok
adalah penyebab utama timbulnya COPD. Secara fisiologis rokok
berhubungan langsung dengan hiperplasia kelenjar mukosa bronkus dan
metaplasia skuamulus epitel saluran pernapasan. Juga dapat menyebabkan
bronkokonstriksi akut. Menurut Crofton & Doouglas merokok menimbulkan
pula inhibisi aktivitas sel rambut getar, makrofage alveolar dan surfaktan.
a. Riwayat Perokok : 1. Perokok Aktif
2. Perokok Pasif
3. Bekas Perokok
b. Derajat berat merokok
( Indeks Brinkman = Jumlah rata-2 batang rokok /hr X lama merokok /th):
1. Ringan : 0 - 200
2. Sedang : 200 - 600
3. Berat : > 600

6
2. Polusi udara
Polusi zat-zat kimia yang dapat juga menyebabkan brokhitis adalah zat
pereduksi seperti O2, zat-zat pengoksidasi seperti N2O, hydrocarbon, aldehid
dan ozon.
a. Polusi di dalam ruangan : - asap rokok
- asap kompor
b. Polusi di luar ruangan : - Gas buang kendaranan bermotor
- Debu jalanan
c. Polusi tempat kerja ( bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)

3. Riwayat infeksi saluran nafas.


Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada seorang penderita bronchitis
koronis hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, serta
menyebabkan kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi bronchitis kronis
disangka paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudian
menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
4. Bersifat genetik yaitu defisiensi -1 antitripsin.

7
4. Patogenesis & Patofisiologi PPOK

Inhalasi bahan berbahaya

oksidan Oksidative strees


Anti oksidan

Mekanisme Mekanisme
Inflamasi
perlindungan perbaikan

Kerusakan
jaringan

Penyempitan saluran
Destruksi Parenkim Paru Hipersekresi mukus
nafas & fibrosis
Emfisema Bronkitis kronis

Patofisiologi
Walaupun COPD terdiri dari berbagai penyakit tetapi seringkali memberikan
kelainan fisiologis yang sama. Akibat infeksi dan iritasi yang menahun pada lumen
bronkus, sebagian bronkus tertutup oleh secret yang berlebihan, hal ini menimbulkan
dinding bronkus menebal, akibatnya otot-otot polos pada bronkus dan bronkiolus
berkontraksi, sehingga menyebabkan hipertrofi dari kelenjar-kelenjar mucus dan
akhirnya terjadi edema dan inflamasi. Penyempitan saluran pernapasan terutama
disebabkan elastisitas paru-paru yang berkurang. Bila sudah timbul gejala sesak,
biasanya sudah dapat dibuktikan adanya tanda-tanda obstruksi. Gangguan ventilasi
yang berhubungan dengan obstruksi jalan napas mengakibatkan hiperventilasi (napas
lambat dan dangkal) sehingga terjadai retensi CO2 (CO2 tertahan) dan menyebabkan
hiperkapnia (CO2 di dalam darah/cairan tubuh lainnya meningkat).

8
Pada orang noirmal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik
jaringan paru akan berkurang, sehingga saluran-saluran pernapasan bagian bawah
paru akan tertutup. Pada penderita COPD saluran saluran pernapasan tersebut akan
lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan
menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi
yang tidak seimbang. Tergantung dari kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan
ventilasi kurang/tidak ada, tetapi perfusi baik, sehingga penyebaran pernapasan udara
maupun aliran darah ke alveoli, antara alveoli dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang
tidak sama). Timbul hipoksia dan sesak napas, lebih jauh lagi hipoksia alveoli
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia.
Perjalanan klinis penderita PPOK terbentang mulai dari pink puffers sampai
blue bloaters adalah timbulnya dispnea tanpa disertai batuk dan produksi sputum
yang berarti. Biasanya dispnea mulai timbul antara usia 30 sampai 40 tahun dan
semakin lama semakin berat. Pada penyakit lanjut, pasien mungkin begitu kehabisan
napas sehingga tidak dapat makan lagi dan tubuhnya tampak kurus tak berotot. Pada
perjalanan penyakit lebih lanjut, pink puffers dapat berlanjut menjadi bronktis kronis
sekunder. Dada pasien berbentuk tong, diafragma terletak rendah dan bergerak tak
lancar. Polisitemia dan sianosis jarang ditemukan, sedangkan kor pulmonal (penyakit
jantung akibat hipertensi pulmonal dan penyakit paru) jarang ditemukan sebelum
penyakit sampai pada tahap terakhir. Gangguan keseimbangan ventilasi dan perfusi
minimal, sehingga dengan hiperventilasi penderita pink puffers biasanya dapat
mempertahankan gas-gas darah dalam batas normal sampai penyakit ini mencapai
tahap lanjut. Paru biasanya membesar sekali sehingga kapasitas paru total dan volume
residu sangat meningkat.
Pada keadaan PPOK ekstrim yang lain didapatkan pasien-pasien blue bloaters
(bronchitis tanpa bukti-bukti emfisema obstuktif yang jelas). Pasien ini biasanya
menderita batuk produktif dan berulang kali mengalami infeksi pernapasan yang
dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum tampak gangguan fungsi. Akan

9
tetapi, akhrnya timbul gejala dipsnea pada waktu pasien melakukan kegiatan fisik.
Pasien-pasien ini memperlihatkan gejala berkurangnya dorongan untuk bernapas;
mengalami hipoventilasi dan menjadi hipoksia dan hiperkapnia. Rasio
ventilasi/perfusi juga tampak sangat berkurang. Hipoksia yang kronik merangsang
ginjal untuk memproduksi eritrropoetin, yang akan merangsang peningkatan
pembentukan sel-sel darah merah, sehingga terjadi polisitemia sekunder. Kadar
hemoglobin dapat mencapai 20gram/ 100 ml atau lebih, dan sianosis mudah tampak
karena Hb dapat tereduksi mudah mencapai kadar 5 gram/100ml walaupun hanya
sebagian kecil Hb sirkulasi yang berada dalam bentuk Hb tereduksi. Pasien-pasien ini
tidak mengalami dispnea sewaktu istirahat sehingga mereka tampak sehat. Biasanya
berat tubuh tidak banyak menurun dan bentuk tubuh normal. Kapasitas paru total
normal dan diafrgma berada pada posisi normal. Kematian biasanya terjadi akibat kor
pulmonal atau akibat kegagalan pernapasan.
Perjalanan klinis PPOK yang khas berlangsung lama, dimulai pada usia 20-30
tahun dengan batuk “merokok”, atau “pagi” disertai pembentukan sedikit sputum
mukoid. Infeksi pernapasan ringan cenderung berlangsung lebih lama dari biasanya
pada pasien-pasien ini. Meskipun mungkin terdapat penurunan toleransi terhadap
kerja fisik, tetapi biasanya keadaan ini tidak diketahui karena berlangsung dalam
jangka waktu lama. Akhirnya, serangan bronchitis akut makin sering timbul terutama
pada musim dingin dan kemampuan kerja pasien berkurang, sehingga waktu
mencapai usia 50-60an pasien mungkin harus berhenti bekerja. Pada pasien dengan
tipe emfisema tosa yang mencolok perjalanan klinis tampaknya tidak begitu lama
yaitu tanpa riwayat batuk produktif dan dalam beberapa tahun timbul dipsnea yang
membuat pasien menjadi sangat lemah. Bila timbul hiperkapnia, hipoksemia dank or
pulmonal prognosisnya buruk dan kematian biasanya terjadi beberapa tahun sesudah
timbul penyakit. Gabungan gagal napas dan gagal jantung yang dipercepat oleh
pneumonia merupakan penyebab kematian yang lazim.
5. Tanda dan gejala

10
Tanda dan gejala PPOK adalah sebagai berikut Brunner & Suddarth (2005) :
1. Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.
2. Sputum putih,
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernapasan tambahan untuk bernapas
4. Nafas pendek dan cepat (Takipnea).
5. Anoreksia.
6. Penurunan berat badan dan kelemahan.
7. Takikardia, berkeringat.
8. Hipoksia, sesak dalam dada.

6. Pemeriksaan Diagnostik
1. Anamnesa ( Keluhan )
- Umumnya dijumpai pada usia tua ( > 45 th )
- Riwayat PEROKOK / bekas PEROKOK
- Riwayat terpajan zat iritan di tempat kerja ( waktu lama )
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Ada faktor predisposisi pada masa bayi / anak
( BBLR, infeksi nafas berulang, lingkungan asap rokok )
- Batuk berulang dengan / tanpa dahak
- Sesak dengan / tanpa bunyi mengi
- Sesak nafas bila aktivitas berat
2. Pemeriksaan fisik :
o Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shapped chest (diameter
anteroposterior dada meningkat).
o Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada.
o Perkusi pada dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati
lebih rendah, pekak jantung berkurang.
o Suara nafas berkurang.

11
3. Pemeriksaan radiologi
o Foto thoraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow berupa
bayangan garis-garis yang pararel keluar dari hilus menuju ke apeks paru
dan corakan paru yang bertambah.
o Pada emfisema paru, foto thoraks menunjukkan adanya overinflasi dengan
gambaran diafragma yang rendah yang rendah dan datar, penciutan
pembuluh darah pulmonal, dan penambahan corakan kedistal.
4. Tes fungsi paru :
Dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea untuk menentukan penyebab
dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstimulasi atau
restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek
terapi, misalnya bronkodilator.
5. Pemeriksaan gas darah.
6. Pemeriksaan EKG
7. Pemeriksaan Laboratorium darah : hitung sel darah putih.

7. Penatalaksanaan
1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi dan polusi udara.
2. Terapi eksaserbasi akut dilakukan dengan :
o Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi :
 Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia,
maka digunakan ampisilin 4 x 0,25 – 0,5 g/hari atau aritromisin 4 x 0,5
g/hari.
 Augmentin (amoxilin dan asam klavuralat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Catarhalis yang
memproduksi B. Laktamase. Pemberian antibiotic seperti kotrimoksosal,
amoksisilin atau doksisilin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut

12
terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempererat
kenaikan peak flowrate. Namun hanya dalam 7 – 10 hari selama periode
eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia,
maka dianjurkan antiobiotik yang lebih kuat.
o Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena

hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas CO2.

MANFAAT OKSIGEN :

1. Mengurangi sesak
2. Memperbaiki Aktiviti
3. Mengurangi hipertensi pulmonal ( Penyakit jantung )
4. Mengurangi vasokonstriksi
5. Mengurangi hematokrit
6. Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
7. Meningkatkan kualiti hidup
INDIKASI PEMBERIAN OKSIGEN :
1. PaO2 < 60 mmHg atau SaO2 < 90 %.
2. PaO2 antara 55 – 59 mmHg atau SaO2 > 89 % +
adanya :
a. Kor Pulmonale
b. P Pulmonal
c. Hematokrit > 55%
d. tanda gagal janyung kanan
e. Sleep apneu
f. Penyakit paru lain
Macam Terapi Oksigen :
1. Pemberian oksigen jangka panjang

13
2. Pemberian Oksigen pada waktu aktiviti
3. Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
4. Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal nafas
Alat bantu pemberian Oksigen :
1. Nasal kanul
2. Sungkup venturi
3. Sungkup rebreathing
4. Sungkup Non rebreathing
o Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
o Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan nafas, termsuk didalamnya
golongan adrenergic B dan antikolinergik. Pada pasien dapat diberikan
sulbutamol 5 mg dan g diberikan tiap 6 jam dengan rebulizeratau
protropium bromide 250 atau aminofilin 0,25 – 05 g IV secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
o Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4 x 0,25 –
0,5/hari dapat menurunkan ekserbasi akut.
o Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap
pasien, maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif
fungsi foal paru.
o Fisioterapi.
o Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi akivitas fisik.
o Mukolitik dan ekspekteron.
o Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas Tip II
dengan PaO2 <>
o Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan
terisolasi, untuk itu perlu kegiatna sosialisasi agar terhindar dari depresi.
Rehabilitasi untuk pasien PPOK/COPD: a) Fisioterapi b) Rehabilitasi psikis c)
Rehabilitasi pekerjaan.

14
8. Asuhan Keperawatan pada pasien dengan COPD
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, agama/suku, warga Negara,
bahasa yang digunakan, penanggung jawap meliputi : nama, alamat,
hubungan dengan klien.
2. Pola persepsi kesehatan-pemeliharaan kesehatan.
Kaji status riwayat kesehatan yang pernah dialami klien, apa upaya dan
dimana kliwen mendapat pertolongan kesehatan, lalu apa saja yang membuat
status kesehatan klien menurun.
3. Pola nutrisi metabolik.
Tanyakan kepada klien tentang jenis, frekuensi, dan jumlah klien makan dan
minnum klien dalam sehari. Kaji selera makan berlebihan atau berkurang, kaji
adanya mual muntah ataupun adanyaterapi intravena, penggunaan selang
enteric, timbang juga berat badan, ukur tinggi badan, lingkaran lengan atas
serta hitung berat badan ideal klien untuk memperoleh gambaran status
nutrisi.

4. Pola eliminasi.
o Kaji terhadap rekuensi, karakteristik, kesulitan/masalah dan juga
pemakaian alat bantu seperti folly kateter, ukur juga intake dan output
setiap sift.
o Eliminasi proses, kaji terhadap prekuensi, karakteristik,
kesulitan/masalah defekasi dan juga pemakaian alat bantu/intervensi dalam
BAB.
5. Pola aktivitas dan latihan
Kaji kemampuan beraktivitas baik sebelum sakit atau keadaan sekarang dan
juga penggunaan alat bantu seperti tongkat, kursi roda dan lain-lain. Tanyakan

15
kepada klien tentang penggunaan waktu senggang. Adakah keluhanpada
pernapasan, jantung seperti berdebar, nyeri dada, badan lemah.
6. Pola tidur dan istirahat
Tanyakan kepada klien kebiasan tidur sehari-hari, jumlah jam tidur, tidur
siang. Apakah klien memerlukan penghantar tidur seperti mambaca, minum
susu, menulis, memdengarkan musik, menonton televise. Bagaimana suasana
tidur klien apaka terang atau gelap. Sering bangun saat tidur dikarenakan oleh
nyeri, gatal, berkemih, sesak dan lain-lain.
7. Pola persepsi kognitif
Tanyakan kepada klien apakah menggunakan alat bantu pengelihatan,
pendengaran. Adakah klien kesulitan mengingat sesuatu, bagaimana klien
mengatasi tak nyaman : nyeri. Adakah gangguan persepsi sensori seperti
pengelihatan kabur, pendengaran terganggu. Kaji tingkat orientasi terhadap
tempat waktu dan orang.
8. Pola persepsi dan konsep diri
Kaji tingkah laku mengenai dirinya, apakah klien pernah mengalami putus
asa/frustasi/stress dan bagaimana menurut klien mengenai dirinya.
9. Pola peran hubungan dengan sesame
Apakah peran klien dimasyarakat dan keluarga, bagaimana hubungan klien di
masyarakat dan keluarga dn teman sekerja. Kaji apakah ada gangguan
komunikasi verbal dan gangguan dalam interaksi dengan anggota keluarga
dan orang lain.
10. Pola produksi seksual
Tanyakan kepada klien tentang penggunaan kontrasepsi dan permasalahan
yang timbul. Berapa jumlah anak klien dan status pernikahan klien.
11. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress.
Kaji faktor yang membuat klien marah dan tidak dapat mengontrol diri,
tempat klien bertukar pendapat dan mekanisme koping yang digunakan

16
selama ini. Kaji keadaan klien saat ini terhadap penyesuaian diri, ugkapan,
penyangkalan/penolakan terhadap diri sendiri.
12. Pola sistem kepercayaan
Kaji apakah klien dsering beribadah, klien menganut agama apa?. Kaji apakah
ada nilai-nilai tentang agama yang klien anut bertentangan dengan kesehatan.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan peningkatan


produksi secret, sekresi tertahan, tebal dan kental.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
berkurang. (obstruksi jalan napas oleh secret, spasme bronkus).
3. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada
selaput paru-paru.
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan nafas pendek, mucus
bronkokonstriksi dan iritan jalan napas.
5. Intoleransi aktivitas akibat keletihan hipoksemia dan pola pernapasan tidak
efektif

C. Perencanaan Keperawatan.
1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan peningkatan
produksi secret, sekresi tertahan, tebal dan kental.
Tujuan : Ventilasi/oksigenisasi adekuat untuk kebutuhan
individu.
Kriteria hasil : Mempertahankan jalan napas paten dan bunyi napas
bersih/jelas.
Intervensi

17
1. Kaji/pantau frekuensi pernapasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi.
Rasional :
Takipnea biasanya ada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada
penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut. Pernapasan dapat
melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang disbanding inspirasi.
2. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat
tidur, duduk dan sandaran tempat tidur.
Rasional :
Peninggian kepala tempat tidur mempermudah pernapasan dan menggunakan
gravitasi. Namun pasien dengan distress berat akan mencari posisi yang lebih
mudah untuk bernapas. Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal dan lain-
lain membantu menurunkan kelemahan otot dan dapat sebagai alat ekspansi
dada.
3. Auskultasi bunyi napas, catat adanya bunyi napas misalnya : mengi, krokels
dan ronki.
Rasional :
Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas dan
dapat/tidak dimanifestasikan dengan adanya bunyi napas adventisius,
misalnya : penyebaran, krekels basah (bronchitis), bunyi napas redup dengan
ekspirasi mengi (emfisema), atau tidak adanya bunyi napas (asma berat).
4. Catat adanya /derajat disepnea, misalnya : keluhan “lapar udara”, gelisah,
ansietas, distress pernapasan, dan penggunaan obat bantu.
Rasional :
Disfungsi pernapasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses
kronis selain proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit,
misalnya infeksi dan reaksi alergi.
5. Dorong/bantu latihan napas abdomen atau bibir.
Rasional :

18
Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea
dan menurunkan jebakan udara.
6. Observasi karakteristik batuk, misalnya : menetap, batuk pendek, basah, bantu
tindakan untuk memperbaiki keefektifan jalan napas.
Rasional :
Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien lansia, sakit
akut, atau kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi duduk paling tinggi
atau kepala dibawah setelah perkusi dada.
7. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung.
Rasional :
Hidrasi membantu menurunkan kekentalan secret, mempermudah
pengeluaran. Penggunaan air hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
Cairan selama makan dapat meningkatkan distensi gaster dan tekanan pada
diafragma.
8. Bronkodilator, misalnya, β-agonis, efinefrin (adrenalin, vavonefrin), albuterol
(proventil, ventolin), terbutalin (brethine, brethaire), isoeetrain (brokosol,
bronkometer).
Rasional :
Merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti local, menurunkan spasme
jalan napas, mengi dan produksi mukosa. Obat-obatan mungkin per oral,
injeksi atau inhalasi. dapat meningkatkan distensi gaster dan tekanan pada
diafragma.

2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen


berkurang. (obstruksi jalan napas oleh sekret, spasme bronkus).
Tujuan : Mempertahankan tingkat oksigen yang adekuat untuk
keperluan tubuh.
Kriteria hasil :

19
o Tanpa terapi oksigen, SaO2 95 % dank lien tidan mengalami sesak napas.
o Tanda-tanda vital dalam batas normal
o Tidak ada tanda-tanda sianosis.
Intervensi :
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan, catat pengguanaan otot aksesorius,
napas bibir, ketidakmampuan bicara/berbincang.
Respon :
Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan kronisnya proses
penyakit.
2. Kaji/awasi secara rutin kulit dan warna membrane mukosa.
Rasional :
Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sekitar
bibir atau danun telinga). Keabu-abuan dan dianosis sentral mengindikasikan
beratnya hipoksemia.
3. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang
mudah untuk bernapas. Dorong napas dalam perlahan atau napas bibir sesuai
dengan kebutuhan/toleransi individu.
Rasional :
Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan laithan
napas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea dan kerja napas.
4. Dorong mengeluarkan sputum, pengisapan bila diindikasikan.
Rasional :
Kental tebal dan banyak sekresi adalah sumber utama gangguan pertukaran
gas pada jalan napas kecil, dan pengisapan dibuthkan bila batuk tak efektif.
5. Auskultasi bunyi napas, catat area penurunan aliran udara dan/atau bunyi
tambahan.
Rasional :

20
Bunyi napas mingkin redup karena penurrunan aliran udara atau area
konsolidasi. Adanya mengi mengindikasikan spasme bronkus/ter-tahannya
sekret. Krekles basah menyebar menunjukan cairan pada
interstisial/dekompensasi jantung.
6. Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung.
Rasional :
Takikardi, disiretmia dan perubahan tekanan darah dapat menunjuak efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
7. Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan
toleransi pasien.
Rasional :
Dapat memperbaiki/mencegah memburuknya hipoksia. Catatan ; emfisema
koronis, mengatur pernapasan pasien ditentikan oleh kadar CO2 dan mungkin
dikkeluarkan dengan peningkatan PaO2 berlebihan.

3. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada


selaput paru-paru.
Tujuan : Rasa nyeri berkurang sampai hilang.
Kriteria hasil :
o Klien mengatakan rasa nyeri berkurang/hilang.
o Ekspresi wajah rileks.
Intervensi :
1. Tentukan karakteristik nyeri, miaalnya ; tajam, konsisten, di tusuk, selidiki
perubahan karakter/intensitasnyeri/lokasi.
Rasional :
Nyeri dada biasanya ada dalam beberapa derajat pneumonia, juga dapat
timbul komplikasi seperti perikarditis dan endokarditis.
2. Pantau tanda-tanda vital.

21
Rasional :
Perubahan frekuensi jantung atau TD menunjukan bahwa pasien mengalami
nyeri, khususnya bila alasan lain untuk perubahan tanda-tanda vital.
3. Berikan tindakan nyaman, misalnya ; pijatan punggung, perubahan posisi,
musik tenang/perbincangan, relaksasi/latihan napas.
Rasional :
Tindakan non-analgetik diberikan dengan sentuhan lembut dapat
menghilangkan ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapi analgesic.
4. Tawarkan pembersihan mulut dengan sering.
Rasional :
Pernapasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan
memberan mukosa, potensial ketidaknyamanan umum.
5. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk.
Rasional :
Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan
keefektifan upaya batuk.
6. Berikan analgesic dan antitusif sesuai indikasi.
Rasional :
Obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk non produktif/proksimal atau
menurunkan mukosa berlebihan, meningkatkan kenyamanan/istirahat umum.

4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan nafas pendek, mucus


bronkokonstriksi dan iritan jalan napas.
Tujuan: perbaikan dalam pola pernapasan
Kriteria Hasil:
o Melatih pernapasan bibir dirapatkan dan diafragmatik serta menggunakannya
ketika sesak nafas dan saat melakukan aktivitas

22
o Memperlihatkan tanda-tanda penurunan upaya bernapas dan membuat jarak
dalam aktivitas
o Menggunakan pelatihan oto-otot inspirasi seperti yang diharuskan selama 10
menit setiap hari
Intervensi:
1. Ajarkan pasien pernapasan diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan
Rasional:
Membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi. Dengan teknik ini pasien
akan bernapas dengan efisien dan lebih efektif
2. Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat.
Biarkan pasien membuat beberapa keputusan ( mandi, bercukur) tentang
perawatannya berdasarkan tingkat toleransi pasien.
Rasional:
Memberikan jeda aktivitas akan memungkinkan pasien untuk melakukan
aktivitas tanpa distress berlebihan.
3. Berikan dorongan penggunaan otot pernapasan jika diharuskan
Rasional:
Menguatkan dan mengkondisikan otot-otot pernapasan.

5. Intoleransi aktivitas akibat keletihan hipoksemia dan pola pernapasan tidak


efektif
Tujuan: perbaikan daalam toleransi aktivitas
Kriteria Hasil:
o Melakukan aktivitas dengan napas pendek lebih sedikit.
o Mengungkapkan perlunya untuk melakukan latihan setiap hari
o Berjalan secara bertahap meningkatkan waktu dan jarak berjalan untuk
memprbaiki kondisi fisik
Intervensi:

23
Mendukung pasien menegakkan regimen latihan teratur dengan menggunakan
treadmill dan exercycle, berjalan atau latihan lainnya yang sesuai seperti
berjalan perlahan.
a. Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana
latihan berdasarkan pada status fungsi dasar
b. Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan program
latihan spesifik terhadap kemampuan pasien. Siapkan unit oksigen portable
untuk berjaga-jaga jika diperlukan selama latihan.
Rasional:
Otot-otot yang mengalami kontaminasi membutuhkan lebih bnyak oksigen
dan memberikan beban tambahan pada paru-paru. Melalui latihan yang
teratur, bertahap, kelompok otot ini menjadi lebih terkondisi, dan pasien dapat
melakukan lebih banyak tanpa mengalami napas pendek. Latihan yang
bertahap memutus siklus yang melemahkan ini.

24
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

COPD atau yang lebih dikenal dengan PPOM merupakan suatu kumpulan
penyakit paru yang menyebabkan obstruksi jalan napas, termasuk bronchitis,
emfisema, bronkietaksis dan asma. PPOM paling sering diakibatkan dari iritasi oleh
iritan kimia (industri dan tembakau), polusi udara, atau infeksi saluran pernapasan
kambuh. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya merokok, polusi,
infeksi saluran napas dan bersifat genetik yaitu defisiensi -1 antitripsin. Tanda dan
gejala dari PPOK antara lain batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin,
batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak,
dispnea, nafas pendek dan cepat (Takipnea). Penatalaksanaan pasien PPOK diberikan
terapi sesuai dengan gejala yang dialami misalnya terapi oksigen. Dan asuhan
keperawatan dimulai dari mengkaji keadaan fisik, memperoleh data subjektif dan
objektif dari pasien, kemudian menetukan diagnose berdasarkan dari data-data yang
telah diperoleh yaitu bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan
peningkatan produksi secret, sekresi tertahan, tebal dan kental dan kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen berkurang. (obstruksi
jalan napas oleh secret, spasme bronkus), kemudian melakukan intervensi sampai
dengan evaluasi.

2. Saran
Dari paparan makalah tentang PPOK, telah diketahui bagaiamana manifestasi
klinis dan penyebab dari PPOK, diharapkan kepada masyarakat agar menghindari
atau mencegah dari factor-faktor yang dapat menyebabkan PPOK.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Smeltzer SC dan Bare BG. Buku Ajar keperawatan medikal-bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Volume 1. Jakarta: EGC, 2001.
2. Price SA & Wilson LM. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit.
Jakarta: EGC, 2005
3. NANDA Interbational. 2009. Nursing Diagnosis: Definition and Classification
2009-2011. USA: Willey Blackwell Publication.
4. Bulecheck, Gloria M, et all. 2008. Nursing intervention Classification (NIC) Fifth
Edition. USA: Mosbie Elsevier.
5. Moorhead, Sue, et all. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth
Edition. USA: Mosbie Elsevier.
6. Mansjoer Arif, dkk. Kapita selekta kedokteran edisi 3 jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.
7. Alsagaff H & Mukty HM. Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya: Airlangga
University Press, 2006.

26

Anda mungkin juga menyukai