Anda di halaman 1dari 69

ASUHAN KEPERAWATAN KESEHATAN KERJA

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah


Keperawatan Komunitas II

Dosen
Susan Irawan Rifa’i S.Kep,.Ners. MAN

Disusun oleh :
Kelas A SGD Kelompok Satu

Erna Sari AK.1.16.017

Evi Siti Fatimah AK.1.16.018

Maryna Octavia S AK.1.16.035

Selma Yusriyyah AK.1.16.046

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAKTI KENCANA
BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat rahmat-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Kesehatan kerja” tepat pada waktunya.
Makalah ini kami susun untuk melengkapi tugas pada mata kuliah
Keperawatan Komunitas II, selain itu untuk memahami dan mengetahui tentang
bagaimana asuhan keeprawatan yang diberikan pada pekerja untuk meningkatkan dan
mengatasi masalah kesehataan.
Kami mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu setiap pihak diharapkan dapat memberikan masukan berupa
kritik dan saran yang bersifat membangun.

Bandung, 9 April 2019

Tim

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i


DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 2
1.3 Metode Penulisan …………………………………………………………… 2
1.4 Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
1.5 Manfaat Penulisan .......................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Konsep kesehatan Kerja.....................................…………….. .......................... 4
2.2. Model Kesehatan Kerja........................................……………… ..…............. 10
2.3. Lingkup kesehatan Kerja......................................................……………...….... 15
2.4. Penyakit yang Di sebabkan oleh Kerja............................................................. 19
2.5. Konsep Potensial Hazard............……....................................................…...... 23
2.6. Konsep Alat Perlindungan Diri............……..................................................... 39
2.7. Konsep Asuhan Keperawatan Tatanan Home Industry............……................ 59

BAB III KASUS


3.1 Kasus...............................……………… ….........…...................…....…......... 64
3.2 Asuhan Keperawatan Kesehatan Kerja........................................…....…......... 64

BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan...........… …...............……..............................……………..….... 74

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di dalam kegiatan sehari-hari dalam melakukan aktivitas, kita sering tidak
menduga akan mendapat resiko kecelakaan pada diri kita sendiri. Banyak sekali
masyarakat yang belum menyadari akan hal ini. Baik di lingkungan kerja, di
jalan raya , maupun di tempat – tempat umum dan lingkungan rumah.
Di era golbalisasi menuntut pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3) di setiap tempat kerja termasuk di sektor kesehatan. Untuk itu kita perlu
mengembangkan dan meningkatkan K3 disektor kesehatan dalam rangka
menekan serendah mungkin risiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat
hubungan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan efesiensi.
Dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari karyawan/pekerja di sector
kesehatan tidak terkecuali di maupun perkantoran, akan resiko bahaya di
tempat kerjanya. Resiko ini bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai yang
paling berat tergantung jenis pekerjaannya.
Dari hasil penelitian di sarana kesehatan Rumah Sakit, sekitar 1.505 tenaga
kerja wanita di Rumah Sakit Paris mengalami gangguan muskulos keletal (16%)
di mana 47% dari gangguan tersebut berupa nyeri di daerah tulang punggung dan
pinggang. Dan dilaporkan juga pada 5.057 perawat wanita di 18 Rumah Sakit
didapatkan 566 perawat wanita adanya hubungan kausal antara pemajanan gas
anestesi dengan gejala neoropsikologi antara lain berupa mual, kelelahan,
kesemutan, keram padalengan dan tangan.
Di perkantoran, sebuah studi mengenai bangunan kantor modern diSingapura
dilaporkan bahwa 312 responden ditemukan 33% mengalami gejala Sick
Building Syndrome (SBS). Keluhan mereka umumnya cepatlelah 45%, hidung
mampat 40%, sakit kepala 46%, kulit kemerahan 16%,tenggorokan kering 43%,

1
iritasi mata 37%, lemah 31%.Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, pasal 23 mengenai kesehatan kerja disebutkan bahwa upaya
kesehatan kerja wajib diselenggarakan pada setiap tempat kerja, khususnya
tempat kerja yang mempunyai resiko bahaya kesehatan yang besar bagi pekerja
agar dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat
sekelilingnya, untuk memperoleh produktivitas kerja yang optimal, sejalan
dengan program perlindungan tenaga kerja.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, didapatkan rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Jelaskan Konsep Kesehatan Kerja ?
2. Apa saja Model Kesehatan Kerja ?
3. Apa saja Lingkup Kesehatan Kerja ?
4. Apa saja Penyakit yang Di sebabkan oleh Kerja ?
5. Jelaskan Konsep Potensial Hazard ?
6. Jelaskan Konsep APD ?
7. Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan pada Tatanan Home Industry ?

1.3 Metode Penulisan


Metode yang kami digunakan dalam penyusunan makalah yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Kesehatan Kerja” ini adalah berdasarkan metode literature
(pustaka) dan informasi didapat dari jaringan internet.

1.4 Tujuan Penulisan


Tujuan dibuatnya makalah ini selain bertujuan untuk memenuhi tugas
makalah keperawatan komunitas II mengenai asuhan keperawatan kesehatan
kerja juga agar mahasiswa mengetahui dan lebih memahami lagi mengenai

2
bagaimana asuhan keeprawatan yang diberikan pada pekerja dalam mengatasi
masalah kesehatan dan untuk meningkatkan kesehatannya.

1.5Manfaat Penulisan
Makalah ini sekiranya dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan serta
dapat menambah wawasan mahasiswa keperawatan secara lebih dalam tentang
asuhan keperawatan kesehatan kerja yang dapat benar.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kesehatan Kerja


A. Definisi
Kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan /kedokteran
beserta prakteknya yang bertujuan, agar pekerja /masyarakat pekerja
memperoleh derajat kesehatan setinggitingginya, baik fisik, mental maupun
sosial, dengan usaha-usaha preventif dan kuratif, terhadap penyakit-penyakit
atau gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan
dan lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum
Higene perusahaan / linkungan kerja adalah spesialisasi dlm ilmu higene
beserta prakteknya yang dengan mengadakan penilaian kepada faktor-faktor
penyebab penyakit kualitatif dan kuantitatif dalam lingkungan kerja dan
perusahaan melalui pengukuran yang hasinya dipergunakan unt dasar
tindakan korektif kepada lingkungan tersebut serta bila perlu pencegahan,
agar pekerja dan masyarakat sekitar suatu perusahaan terhindar dari bahaya
akibat kerja serta dimungkinkan mengecap derajat kesehatan
setinggi-tingginya
B. Tujuan Kesehatan Kerja
1. Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pekerja di
semua lapangan pekerjaan ketingkat yang setinggi-tingginya, baik fisik,
mental maupun kesehatan sosial.
2. Mencegah timbulnya gangguan kesehatan masyarakat pekerja yang
diakibatkan oleh tindakan/kondisi lingkungan kerjanya.
3. Memberikan perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaanya dari
kemungkinan bahaya yang disebabkan olek faktor-faktor yang
membahayakan kesehatan.

4
4. Menempatkan dan memelihara pekerja di suatu lingkungan pekerjaan
yang sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis pekerjanya.
C. Landasan Hukum
1. U.U No.14 tahun.1969 tentang ketentuan Pokok Tenaga Kerja.
2. U.U No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
3. U.U No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
4. U.U No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
5. Beberapa keputusan bersama antara Departemen Kesehatan dengan
Departemen lain yang berkaitan dengan Kesehatan dan Keselamatan
Kerja.
6. P.P No.32 tahun. 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
7. Permenkes RI No 986/ 1992 dan Keputusan Dirjen P2M-PL No.
HK.00.06.44 dan No.00.06.6.598 mengenai beberapa Aspek
Persyaratan Lingkungan Rumah Sakit.
8. SK Menkes No.43 Tahun 1988 tentang cara pembuatan obat yang baik
(CPOB).
9. Konvensi No. 155/1981, ILO menetapkan kewajiban setiap negara
untuk merumuskan melaksanankan dan mengevaluasi kebijaksanaan
nasionalnya di bidang kesehatan dan keselamatan kerja serta
lingkungannya.
D. Kapasitas, Beban dan Lingkungan Kerja
Kapasitas kerja,beban kerja, dan lingkungan kerja merupakan tiga
komponen utama dalam system kesehatan kerja. Dimana hubungan interaktif
dan serasi antara ketiga komponen tersebut akan menghasilkan kesehatan
kerja yang baik dan optimal. Kapasitas kerja yang baik seperti status
kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta kemampuan fisik yang prima
diperlukan agar pekerja dapat melakukan pekerjaannya dengan baik.
Beban kerja meliputi beban kerja fisik maupun mental. Akibat beban

5
kerja terlalu berat atau kemampuan fisik yang terlalu lemah dapat
mengakibatkan seseorang pekerja menderita gangguan atau penyakit akibat
kerja. Kondisi lingkungan kerja yaitu keadaan lingkungan tempat kerja pada
saat bekerja, misalnya panas,debu,zat kimia dan lain-lain, dapat merupakan
bebam tambahan trhadap pekerja. Beban beban tambahan tersebut secara
sendiri-sendiri atau bersama sama menjadi gangguan atau penyakit akibat
kerja.
Perhatian yang baik pada kesehatan kerja dan perlindungan risiko
bahaya di tempat kerja menjadikan pekerja dapat lebih nyaman dalam
bekerja. Dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 dinyatakan bahwa
kesehatan kerja diselenggarakan agar setiap pekerja dapat bekerja secara
sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya, agar
diperoleh produktivitas kerja yang optimal sejalan dengan program
perlindungan tenaga kerja
E. Kebijakan Upaya Kesehatan Kerja (UKK)
Di Indonesia kebanyakan yang dilakukan dalam pelayanan upaya
kesehatan kerja di tempat pelayanan kerja yaitu :
1. UKK dilaksanakan secara paripurna, berjenjang dan terpadu.
2. Pelayanan kesehatan kerja merupakan kegiatan integral dari pelayanan
kesehatan pada kesehatan tingkat primer maupun rujukan.
3. Pelayanan kesehatan kerja diperkuat dengan sistem informasi, surveilans
& standar pelayanan sesuai dengan peraturan undang-undang dan
IPTEK.
4. Peningkatan mutu pelayanan kesehatan kerja paripurna
5. Promosi K3 dilaksanakan secara optimal
6. Peningkatan koordinasi pelaksanaan UKK pada Tingkat Nasional,
Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan & Kelurahan/Desa.

6
7. Memberdayakan Puskesmas sebagai jejaring pelayanan yang efektif
dibidang kesehatan kerja pada masyarakat pekerja utamanya di sektor
informal.
8. Pengembangan wadah partisipatif kalangan pekerja informal (Pos UKK)
sebagai mitra kerja PKM dalam rangka membudayakan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3)
F. Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja
Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan menurut Permenakertrans
No Per/03/Men/1982 tentang pelayanan kesehatan tenaga kerja adalah usaha
kesehatan yang dilaksanakan dengan tujuan:
1. Memberikan bantuan kepada tenaga kerja dalam penyesuaian diri
baik fisik maupun mental, terutama dalam penyesuaian pekerjaan
dengan tenaga kerja
2. Melindungi tenaga kerja terhadap setiap gangguan kesehatan yang
timbul dari pekerjaan atau lingkungan kerja
3. Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan
kemampuan fisik tenaga kerja
4. Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi tenaga
kerja yang menderita sakit

Setiap tenaga kerja berhak mendapatkan pelayanan kesehatan kerja.


Penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja ini dapat: diselenggarakan
sendiri oleh pengurus, diselenggarakan oleh pengurus dengan mengadakan
ikatan dengan dokter atau pelayanan kesehatan lain, dan atau pengurus dari
beberapa perusahaan secara bersama-sama menyelenggarakan suatu
pelayanan kesehatan kerja. Pelayanan kesehatan kerja ini bertugas dalam:
1. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemeriksaan berkala dan
pemeriksaan khusus

7
2. Pembinaan dan pengawasan atas penyesuaian pekerjaan terhadap tenaga
kerja
3. Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja
4. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan sanitair
5. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan untuk kesehatan tenaga kerja
6. Pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit umum dan penyakit
akibat kerja
7. Pertolongan pertama pada kecelakaan
8. Pendidikan kesehatan untuk tenaga kerja dan latihan untuk petugas
pertolongan pertama pada kecelakaanMemberikan nasehat mengenai
perencanaan dan pembuatan tempat kerja, pemilihan alat pelindung diri
yang diperlukan dan gizi serta penyelenggaraan makanan di tempat kerja
9. Membantu usaha rehabilitasi akibat kecelakaan atau penyakit akibat
kerja
10. Pembinaan dan pengawasan terhadap tenaga kerja yang mempunyai
kelainan tertentu dalam kesehatannya
11. Memberikan laporan berkala tentang pelayanan kesehatan kerja kepada
pengurus

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja ini dipimpin dan dijalankan


oleh seorang dokter yang disetujui oleh Direktur. Dokter yang menjalankan
pelayanan kesehatan ini diberikan kebebasan profesional oleh pengurus.
Selain itu mereka juga bebas memasuki tempat-tempat kerja untuk
melakukan pemeriksaan-pemeriksaan dan mendapatkan
keterangan-keterangan yang diperlukan dan jika diperlukan,
keterangan-keterangan tersebut wajib diberikan kepada pegawai pengawas
keselamatan dan kesehatan kerja (Per 03/Men/1982).
G. Pemeriksaan Kesehatan

8
Pada lingkungan kerja, pekerja dapat melakukan pemeriksaan kesehatan.
Pemeriksaan kesehatan ini dapat dilakukan sebelum kerja yaitu pemeriksaan
kesehatan yang dilakukan oleh dokter sebelum seorang tenaga kerja diterima
untuk melakukan pekerjaan. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja ini terdiri
dari pemeriksaan fisik lengkap, kesegaran jasmani, rontgen paru-paru
(bilamana mungkin) dan laboratorium rutin, serta pemeriksaan lain yang
dianggap perlu.
Setelah pekerja terpilih, mereka berhak memperoleh pemeriksaan
kesehatan secara berkala maupun secara khusus. Pemeriksaan secara berkala
adalah pemeriksaan kesehatan pada watu-waktu tertentu terhadap tenaga
kerja yang dilakukan oleh seorang dokter, pemeriksaan ini dimaksudkan
untuk mempertahankan derajat kesehatan tenaga kerjasesudah berada dalam
pekerjaannya, serta menilai kemungkinan adanya pengaruh-pengaruh dari
pekerjaan seawal mungkin yang perlu dikendalikan dengan usaha-usaha
pencegahan.
Jika pada pemeriksaan kesehatan secara berkala ini ditemukan
kelainan-kelainan atau gangguan-gangguan kesehatan pada tenaga kerja
maka pengurus wajib mengadakan tindak lanjut untuk memperbaiki
kelainan-kelainan tersebut dan sebab-sebabnya untuk menjamin
terselenggaranya keselamatan dan kesehatan kerja. Untuk menunjang agar
pemeriksaan kesehatan berkala ini mencapai sasaran yang luas, maka
pengurus dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan diluar perusahaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan pemeriksaan kesehatan khusus adalah
pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh dokter secara khusus terhadap
tenaga kerja tertentu. Pemeriksaan kesehatan ini dimaksudkan untuk menilai
adanya pengaruh-pengaruh dari pekerjaan tertentu terhadap tenaga kerja atau
golongan-golongan tenaga kerja tertentu. Akan tetapi, pemeriksaan
kesehatan khusus ini dapat dilakukan pula terhadap:

9
1. Tenaga kerja yang telah mengalami kecelakaan atau penyakit yang
memerlukan perawatan lebih dari 2 (dua minggu)
2. Tenaga kerja yang berusia diatas 40 (empat puluh) tahun atau tenaga
kerja wanita dan tenaga kerja cacat, serta tenaga kerja muda yang
melakukan pekerjaan tertentu.
3. Tenaga kerja yang terdapat dugaan-dugaan tertentu mengenai
gangguan-gangguan kesehatannya perlu dilakukan pemeriksaan khusus
sesuai dengan kebutuhan.

Pemeriksaan kesehatan khusus dapat juga diadakan bila terdapat


keluhan-keluhan diantara tenaga kerja, atau atas pengamat pegawai
pengawas keselamatan dan kesehatan kerja, atau atas penilaian Pusat Bina
Hyperkes dan keselamatan dan balai-balainya atau atas pendapat umum di
masyarakat. Dokter yang melakukan pemeriksaan-pemeriksaan kesehatan ini
adalah dokter yang ditunjuk oleh pengusaha dan telah memenuhi syarat
sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi
Nomor Per 10/Men/1976 dan syarat-syarat lain yang dibenarkan oleh
Direktur Jenderal pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan
Tenaga Kerja (Per 02/Men/1980).

2.2 Model Kesehatan Kerja


Model Integrative yang Dirumuskan oleh Fishbein dan Ajzen’s

10
Berdasarkan model pada gambar diatas, terdapat tiga faktor utama yang
menentukan intensi seseorang, yaitu sikap, persepsi normatif, dan efikasi diri.
Sikap seseorang merupakan evaluasi apakah ia akan berpihak/suka atau
tidak terhadap sesuatu yang akan dia lakukan. Persepsi normatif
(norma-norma yang dirasakan) merupakan ada atau tidaknya tekanan sosial
yang diharapkan ketika melakukan suatu perilaku, di mana ada
dua aspek, yaitu injunctive dan penggambaran dari norma tersebut.
Selanjutnya efikasi diri merupakan keyakinan seseorang pada
kemampuannya untuk mengorganisasikan dan melaksanakan serangkaian
tindakan yang dibutuhkan untuk mengelola situasi yang prospektif.
Pihak yang terlibat dalam upaya modifikasi perilaku ini adalah
tim secara multidisiplin ilmu. Adapun komposisi tim tersebut
melibatkan tenaga medis dan tenaga kesehatan non-medis, seperti
ahli gizi, ahli kebugaran fisik (exercise physiology), psikolog
(behavioral psychology), atau tenaga edukator kesehatan. Supaya target
dan tujuan WHP dapat dicapai, metode dan strategi WHP harus

11
disesuaikan dengan level sasaran intervensi, yakni sasaran primer,
sekunder maupun tersier. Dalam konteks WHP sasaran primer adalah pekerja.
Selanjutnya, sasaran sekunder adalah individu atau kelompok yang
berpengaruh atau disegani oleh sasaran primer yang diharapkan mampu
mendukung pesan yang disampaikan ke sasaran primer. Dalam
konteks WHP sasaran sekunder antara lain keluarga pekerja, tenaga
kesehatan, kelompok/serikat pekerja, dan lain-lain. Sasaran tersier adalah
para pengambil keputusan, pembuat kebijakan, para penyandang dana atau
pihak-pihak yang berpengaruh di berbagai tingakatan.
Strategi yang dapat diterapkan dalam WHP pada level primer adalah
gerakan pemberdayaan masyarakat. Gerakan ini pada hakikatnya adalah proses
pemberian informasi secara bertahap untuk mengawal proses perubahan
pada diri sasaran, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tahu menjadi
mau, dan dari mau menjadi mampu mempraktikkan perilaku yang
diharapkan. Berdasarkan strategi ini, metode WHP yang dapat
dilakukan dapat berupa edukasi perorangan (konseling, dll.) dan edukasi
berkelompok (pelatihan, ceramah, role play, dll.). Masing-masing
metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan dalam membentuk
perilaku seseorang. Namun, pemilihan strategi, metode, teknik dan
taktik yang disesuaikan dengan kondisi sumber pembelajaran, sasaran
belajar, sumber daya dalam belajar serta kondisi lingkungan adalah
menjadi prinsip yang selalu diperhatikan (Suaedy, 2011).
Strategi yang dapat dikembangkan dalam implementasi WHP
dengan level sasaran sekunder adalah bina suasana atau dukungan
sosial. Bina suasana adalah suatu upaya untuk menciptakan
lingkungan sosial yang mendorong perubahan perilaku sasaran primer. Dalam
konteks WHP, tujuan yang diharapkan dari intervensi kepada sasaran
sekunder antara lain adalah membantu mengubah perilaku pekerja dan

12
adanya pendampingan kepada pekerja dalam melakukan pengelolaan
penyakit.
Selanjutnya, strategi yang dapat diterapkan dalam WHP pada level
sasaran tersier adalah advokasi. Advokasi merupakan kunci dari aktivitas
WHP. Kepentingan advokasi adalah suatu upaya untuk mengingatkan
pihak penguasa (pimpinan perusahaan) untuk selalu konsisten dan
bertanggungjawab melindungi dan mensejahterakan seluruh warga
(pekerjanya). Ini berarti sebuah tanggung jawab para pelaksana
advokasi untuk ikut berperanserta dalam menjalankan fungsinya.
Bahan yang disampaikan pada saat advokasi dapat berupa resume
hasil/data survei dan naskah policy brief. Penggunaan policy brief
dalam advokasi dapat menjembatani celah antara penelitian dan para
pengambil kebijakan. Hal ini sesuai dengan fungsi utamanya yaitu
menjelaskan dan menyampaikan urgensi suatu isu tertentu,
menyajikan rekomendasi kebijakan atau implikasi suatu isu tertentu,
menyajikan fakta-fakta untuk mendukung alasan di balik rekomendasi
yang diberikan, dan menunjukkan kepada pembaca sumber-sumber pendukung
lainnya mengenai isu tersebut. Rekomendasi dari advokasi ini pada
dasarnya adalah harapan adanya peran pimpinan perusahaan untuk
membantu dan mempermudah pengelolaan PAK.
Model kesehatan kerja
1. Plan (Perencanaan)
Menetapkan sasaran dan proses yang diperlukan untuk mencapai hasil
sesuai dengan kebijakan K3 organisasi.
2. Do (Pelaksanaan)
Melaksanakan proses yang sudah dirancang.
3. Check (Pemeriksaan)

13
Memantau dan mengukur kegiatan proses terhadap kebijakan, sasaran,
peraturan perundang-undangan dan persyaratan K3 Iainnya serta melaporkan
hasilnya.
4. Act (Tindakan)
Mengambil tindakan untuk perbaikan kinerja K3 secara berkelanjutan.

Pada tahun 1990, silabus keperawatan kesehatan kerja dikembangkan dengan


menggunakan kerangka model ‘Hanasaari’, Finlandia. Model ini dibuat untuk
memungkinkan keluwesan praktik keperawatan kesehatan kerja. Model ini
disajikan dalam uraian berikut.
1. Konsep lingkungan total
Sistem lingkungan umjum yang mencapai aspek kesehatan dan
keselamatan di tamoilkan oleh lingkaran luar besar atau satu konsep global.
Didalam lingkaran luar tersebut, pengaruh yang memberikan efek global,
yang selanjutnya memberikan efek pada kesehatan, mucul dalam bentuk
faktor ekonomi, politik, sosial, ekologi, dan organisasi.
2. Konsep manusia, kerja, dan kesehatan
Diwakili oleh segitiga manusia, kerja dan kesehatan, dan berlangsung
didalam lingkungan total, aspek- aspek lingkungan total yang mempunyai
efek nyata pada kesehatan ditempat kerja. Sebagai contoh, kebijakan politik
dan sosial akan memperluas atau mempersempit pengembangan kesehatan
kerja. Budaya dan strategi organisasi dapat dipengaruhi segitiga manusia,
pekerja, dan kesehatan secara langsung dan lebih kuat.
3. Interaksi keperawatan kesehatan kerja
Perawatan kesehatan kerja, disajikan di tengah- tengah model tersebut.
Interaksi dipakai untuk menggambarkan bidang- bidang yang dikenal oleh
kelompok- kelompok sebagai peranan perawat kesehatan kerja.

14
2.3 Lingkup Kesehatan Kerja
Pelayaan kesehatan kerja yang difokuskan pada upaya promotif dan
preventif seperti yang tercantum dalam definsi Komisi Gabungan ILO/WHO
pada tahun 1950 dan 1995. Hal tersebut terutama ditekankan pada upaya
peningkatan/ promosi dan pencegahan penyakit. Pelaksanaan kesehatan kerja di
Indonesia bersifat komprehensif yang mencakup upaya promotif dan preventif
serta mencakup pula upaya kuratif dan rehabilitatif (objek empiris ilmu
kedokteran kerja). Hal tersebut sesuai dengan kerwajiban peraturan
perundang-undangan di Indonesia (Permenakertrans & Koperasi No.Per.
03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja dan UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan). Pelayanan kesehatan kerja yang komprehensif juga
tercantum dalam Basic Occupational Health Services yang diusulkan oleh ICOH
tahun 2005. Ruang lingkup atau fungsi pokok pelayanan kesehatan kerja yang
komprehensif meliput enam area promotif dan preventif ditambah satu area
kuratif dan rehabilitatif.
Pertama, penempatan pekerja pada pekerjaan/jabatan yang sesuai (fit)
dengan kapasitas kerja dan status kesehatannya, merupakan upaya preventif.
Kesesuaian tersebut adalah keserasian antara status kesehatan, kapasitas dan
kapabilitas pekerja secara fisik, mental dan sosial, dengan tuntutan kondisi kerja
yang bersumber dari lingkungan, pekerjaan, pengorganisasian pekerjaan dan
budaya kerja. Pemeriksaan kesehatan dilakukan sebelum penempatan
(pre-placement test), untuk pekerja baru dan pekerja lama yang akan dipindah
tugaskan. Untuk itu, perlu deskripsi tuntutan tugas (task demand) meliputi data
kondisi lingkungan higiene industri, kondisi ergonomi pekerjaan dan kondisi
faktor stres kerja yang bersumber dari pengorganisasian pekerjaan dan budaya
kerja
Kedua adalah promosi kesehatan di tempat kerja/PKDTK (workplace health
promotion) untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kapasitas kerja serta

15
pencegahan penyakit, merupakan upaya promotif dan preventif. PKDTK
bertujuan untuk mengendalikan faktor risiko yang bersumber dari perilaku,
misalnya pola makan, pola tidur dan istirahaat, aktivitas fisik, berat badan,
konsumsi rokok, alkohol atau narkoba, untuk mencegah penyakit degeneratif
terutama penyakit jantung koroner, stroke dan hipertensi. PKDTK adalah ilmu
dan seni yang membantu pekerja dan manajemen mengubah perilaku hidup dan
perilaku bekerja untuk mencapai kapasitas kerja dan tingkat kesehatan yang
optimal, sehingga meningkatkan kinerja. Produktivitas dan kapasitas kerja. Di
lapangan, PKDTK diaplikasikan sebagai program yang direncang melalui proses
peningkatan pengetahuan, sikap, perilaku dan keterampilan (pendidikan), dari,
oleh, untuk dan bersama masyarakat di tempat kerja. Hal tersebut sesuai dengan
kondisi dan potensi tempat kerja, dengan pendekatan pendidikan, organisasi,
masyarakat lingkungan dan keluarganya, sehingga mampu mengendalikan
kesehatan pekerja.
Ketiga adalah perbaikan lingkungan kerja, merupakan upaya preventif.
Perbaikan dilakukan dengan mengendalikan berbagai faktor risiko kontaminan
fisik, kimia, dan biologi. Faktor risiko fisik meliputi panas, bising, getaran dan
radiasi. Faktor risiko kimia antara lain meliputi merkuri, timah hitam, benzene,
kloroform, organofosfat dan parakuat. Faktor risiko biologi antara lain meliputi
virus HIV/AIDS, leptospirosis dan hepatitis B. Barbagai faktor risiko yang
bersumber dari lingkungan kerja tersebut dikendalikman agar tidak melebihi nilai
ambang batas yang diperkenankan. Upaya yang kompleks ini telah berkembang
menjadi Ilmu Higiene Industri (Industrial Hygiene).
Keempat adalah perbaikan ergonomi, merupakan upaya preventif. Perbaikan
dilakukan dengan menyesuaikan tuntutan tugas dengan kemampuan fisik dan
mental pekerja serta mengendalikan faktor risiko ergonomi yang bersumber dari
pekerjaan. Sebagai contoh, desain mesin, desain work station, posisi duduk, alat
bantu tangan, beban angkat angkut diupayakan agar pekerja terhindar dari postur

16
janggal yang dapat menimbulkan gangguan muskuloskeletal (trauma kumulatif).
Upaya yang kompleks ini ini juga telah berkembang menjadi Ilmu Ergonomi
(Ergonomy).
Kelima adalah pengembangan pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja
merupakan upaya preventif. Pengembangan dilakukan dengan memperbaiki
kondisi faktor risiko stres psikososial yang bersumber dari pengorganisasian
pekerjaan dan budaya kerja (Work Organization and Work Culture). Sebagai
contoh desentralisasi dalam perencanaan tugas, penerapan konsep tugas penuh,
otonomi tugas yang masih terintegrasi dengan tujuan ornagisasi yang lebih tinggi
tingkatannya, perbaikan beban kerja, status kepegawaian, sistem pengupahan,
gaya manajemen, komunikasi antar pekerja maupun antara pekerja dan pimpinan.
Keenam adalah surveilans kesehatan pekerja, merupakan upaya preventif.
Surveilans kesehatan kerja meliputi kegiatan a) mengumpulkan data faktor risiko
kesehatan di tempat kerja yang bersumber dari lingkungan kerja, pekerjaan,
pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja; data kesehatan (dari hasil
pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, berkala dan khusus serta data kunjungan
pengobatan/ perawatan) dan kemangkiran pekerja; b) melakukan analisis dan
interpretasi data berdasarkan kaidah epidemiologi untuk melihat frekuensi,
distribusi dan trend perkembangan faktor risiko dan gangguan kesehatan, menilai
hubungan faktor risiko dan gangguan kesehatan pekerja; c) komunikasi data dan
hasil analisis untuk digunakan dalam rencana perbaikan. Pencatatan dan
pelaporan upaya pelayanan kesehatan kerja dan kasus KAK/PAK (secara
agregat), dilaporkan kepada manajemen, serikat pekerja dan Dinas Kesehatan,
Dinas Tenaga Kerja dan Tansmigrasi. KAK/PAK secara individu (by name)
hanya dilaporkan dengan cara yang menjunjung tinggi kode etik untuk
kepentingan kompensasi. Dokumentasi termasuk rekam medik dijaga
kerahasiaannya dan dipertahankan minimal 30 tahun, bahkan ada yang
menganjurkan dipertahankan seumur hidup.

17
Terakhir adalah pelayanan klinik, merupakan upaya kuratif dan rehabilitatif.
Pelayanan klinik mencakup diagnosis, terapi, rahabilitasi dan bila diperlukan
perhitungan cacat serta rujukan bagi pekerja yang sakit/cedera, serta pelayanan
P3K (cedera/penyakit akut), bahkan Medical Emergency Plan yang merupakan
upaya preventif.

1. Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja.


a. Sarana dan Prasarana.
b. Tenaga (dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja, dokter Perusahaan dan
paramedis Perusahaan).
c. Organisasi (pimpinan Unit Pelayanan Kesehatan Kerja, pengesahan
penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja).
2. Pelaksanaan Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja.
a. Awal (Sebelum Tenaga Kerja diterima untuk melakukan pekerjaan).
b. Berkala (sekali dalam setahun atau lebih).
c. Khusus (secara khusus terhadap tenaga kerja tertentu berdasarkan
tingkat resiko yang diterima).
d. Purna Bakti (dilakukan tiga bulan sebelum memasuki masa pensiun).
3. Pelaksanan P3K (petugas, kotak P3K dan Isi Kotak P3K).
4. Pelaksanaan Gizi Kerja.
a. Kantin (50-200 tenga kerja wajib menyediakan ruang makan, lebih dari
200 tenaga kerja wajib menyediakan kantin Perusahaan).
b. Katering pengelola makanan bagi Tenaga Kerja.
c. Pemeriksaan gizi dan makanan bagi Tenaga Kerja.
d. Pengelola dan Petugas Katering.
5. Pelaksanaan Pemeriksaan Syarat-Syarat Ergonomi.
a. Prinsip Ergonomi:
1) Antropometri dan sikap tubuh dalam bekerja.

18
2) Efisiensi Kerja.
3) Organisasi Kerja dan Desain Tempat Kerja
4) Faktor Manusia dalam Ergonomi.
b. Beban Kerja :
1) Mengangkat dan Mengangkut.
2) Kelelahan.
3) Pengendalian Lingkungan Kerja.
6. Pelaksanaan Pelaporan (Pelayanan Kesehatan Kerja, Pemeriksaan Kesehatan
Tenaga Kerja dan Penyakit Akibat Kerja)
a. Pemeriksaan dan seleksi calon pekerja & pekerja
b. Pemeliharaan kesehatan (promotif, preventif, kuratif & rehabilitatif)
c. Peningkatan mutu & kondisi tempat kerja
d. Penyerasian kapasitas kerja, beban kerja & lingkungan kerja
e. Pembentukan & pembinaan partisipasi masyarakat pekerja dalam
pelayanan kesehatan kerja

2.4 Penyakit-Penyakit yang Disebabkan oleh Kerja


Penyakit Akibat Kerja (PAK) menurut ILO merupakan penyakit yang
diderita sebagai akibat pemajanan faktor-faktor yang timbul dari kegiatan
pekerjaan. Beberapa Akibat dari Penyakit Akibat Kerja (PAK):
 Menurunnya produktifitas kerja yang berakibat juga terhadap turunnya
produksi
 Cacat sebagian dan cacat total untuk selama lamanya
 Menurunkan daya saing
 Sementara tidak mampu bekerja
 Biaya pengobatan dan rehabilitasi meningkat
 Pergantian tenaga kerja yang masuk dan keluar semakin meningkat
 Meninggal dunia

19
Beberapa faktor penyebab terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK):
1. Faktor Bahaya Kimia
a. Asal : Bahan baku, bahan tambahan, hasil berupa produk, sisa produksi
atau bahan buangan
b. Bentuk : Padat, cair, uap maupun partikel
c. Cara Masuk Tubuh : Melalui saluran pencernaan, pernafasan, kulit dan
mukosa
d. Efek Terhadap Tubuh : Debu (Pneumukoniosis), Zat Karsinogenik
(Cancer), Zat Teratogenik (Penyakit kongenital), Zat Mutagenik (Mutasi
genetik), Zat Iritan (Iritasi Selaput Lendir), Zat Korosif (Luka bakar)
2. Faktor Bahaya Fisik
a. Kebisingan : Penurunan pendengaran
b. Pencahayaan : Gangguan mata, pandangan menjadi kabur, mata
mudah lelah
c. Getaran : Sindroma raynaud, gangguan metabolisme, polineuritis,
gangguan persendian dan tulang
d. Iklim Kerja : Heatsress, Heat Cramp, fros bite, Hiperpireksi, Heat
Exhaustion
e. Tekanan udara tinggi: Caison’s disease
f. Radiasi sinar elektpmagnetik : Infra merah (Katarak), UV (Conjuncivitas)
dan Radioaktif (Gangguan terhadap sel tubuh manusia)
3. Faktor Bahaya Ergonomi
a. Posisi kerja yang tidak ergonomis : Penyakit muskulusketal
b. Cara kerja : Kelelahan fisik
c. Kontraksi Statis : Nyeri otot
d. Gerak Repetitif : Carpal Tunel Syndrome
4. Faktor Bahaya Biologi
a. Serangga, Binatang buas

20
b. Virus, Bakteri
c. Parasit, Jamur
5. Faktor Bahaya Psikologi
Stress kerja dan depresi akibat dari suasana kerja yang monoton dan
tidak nyaman, hubungan kerja urang baik, upah kerja kurang dll.
Beberapa Contoh penyakit Akibat Kerja (PAK) :
1. Penyakit Alergi yang disebabkan bahan kimia dan mikrobiologi. Dapat
berupa dermatitis kontak, pneumanitis, asma, penyakit jamur,
hypersensitivitas lateks, rinitis dll
2. Penyakit Hematologi yang disebabkan oleh bahan kimia. Dapat berupa
Anemia dan leukimia
3. Penyakit Hati dan Gastro Intestinal yang disebabkan bahan kimia, fisis dan
mikrobiologi. Dapat berupa kanker lambung, kanker hati
4. Penyakit Kardiovaskular yang disebabkan bahan kimia. Dapat berupa
jantung koroner dan fibrilasi ventrikel
5. Penyakit Saluran Urogenital yang disebabkan oleh bahan kimia. Dapat
berupa kanker vesika urinaria, gagal ginjal
6. Penyakit Paru yang disebabkan oleh bahan kimia, fisis dan mikrobiologi.
Dapat berupa emfisema, karsinoma, pneumonia, bronkitis kronis, TBC,
sarkoidosis dll
7. Gangguan Alat Reproduksi yang disebabkan oleh bahan kimia dan kerja fisik.
Dapat berupa infertilitas, kerusakan janin, keguguran
8. Penyakit Muskoleskeletal yang disebabkan oleh kerja fisik dan tidak
ergonomis. Dapat berupa sakit punggung, carpal tunnel syndrome, syndroma
raynaud
9. Gangguang Telinga yang disebabkan oleh faktor fisik. Dapat berupa
penurunan pendengaran

21
10. Keracunan yang disebabkan oleh bahan kimia. Dapat berupa keracunan CO,
H2S, pestisida, merkuri dll
11. Stress Kerja yang disebabkan oleh faktor psikologi. Dapat berupa
neuropsikiatrik
12. Gangguan Susunan Saraf yang disebabkan oleh bahan kimia. Dapat berupa
pusing, depresi, penyakit motor neuron
13. Infeksi yang disebabkan oleh faktor biologi. Dapat berupa leptospirosis,
antrakosis, pneumonia
14. Gangguan Mata yang disebabkan oleh kerja fisik dan tidak ergonomis. Dapat
berupa katarak, gatal, iritasi non alergi, konjuntivitis
Beberapa cara untuk menanggulangi Penyakit Akibat Kerja (PAK) :
1. Promotif
a. Pengendalian lingkungan kerja
b. Pemeliharaan kesehatan tenaga kerja
c. Hyginie sanitasi
d. Gizi yang seimbang
e. Ergonomi
2. Preventif
 Penggunaan Alat Pelindung Diri
 Pemeriksaan kesehatan kerja
 Rotasi kerja
 Pengaturan waktu kerja
3. Kuratif
 P3K
 Pengobatan
 Rawan jalan dan rawat inap
4. Rehabilitatif
 Kompensasi

22
 Alat bantu dengar
 Mutasi
Beberapa Manfaat Pencegahan Penyakit Akibat Kerja (PAK) :
1) Mengurangi risiko cacat dan kematian
2) Terciptanya tenaga kerja yang sehat dan produktif
3) Meningkatkan Image
4) Mengurangi risiko terjadinya penyakit akibat kerja
5) Biaya lebih murah
6) Kinerja dan kemajuan perusahaan meningkat

2.5 Konsep Potensial Hazard


A. Pengertian Hazard (Bahaya)
Hazard atau bahaya merupakan sumber potensi kerusakan atau situasi
yang berpotensi untuk menimbulkan kerugian.Sesuatu disebut sebagai
sumber bahaya hanya jika memiliki risiko menimbulkan hasil yang negatif
(Cross, 1998).
Bahaya diartikan sebagai potensi dari rangkaian sebuah kejadian untuk
muncul dan menimbulkan kerusakan atau kerugian. Jika salah satu bagian
dari rantai kejadian hilang, maka suatu kejadian tidak akan terjadi. Bahaya
terdapat dimana-mana baik di tempat kerja atau di lingkungan, namun
bahaya hanya akan menimbulkan efek jika terjadi sebuah kontak atau
eksposur. (tranter, 1999)
Dalam terminology keselamatan dan kesehatan kerja (K3), bahaya
diklasifikasikan menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Bahaya keselamatan kerja (safety hazard)
Merupakan jenis bahaya yang berdamak pada timbulnya kecelakaan
yang dapat menyebabkan luka (injury) hingga kematian, serta kerusakan

23
property perusahaan. Dampaknya bersifat akut. Jenis bahaya
keselamatan antara lain :
a. Bahaya mekanik, disebabkan oleh mesin atau alat kerja mekanik
seperti tersayat, terjatuh, tertindih dan terpeleset.
b. Bahaya elektrik, disebabkan peralatan yang mengandung arus
listrik.
c. Bahaya kebakaran, disebabkan oleh substansi kimia yang bersifat
flammable (mudah terbakar)
d. Bahaya peledakan, disebabkan oleh substansi kimia yang sifatnya
explosive.
2. Bahaya Kesehatan Kerja (Health Hazard)
Merupakan jenis bahaya yang berdampak pada kesehatan,
menyebabkan gangguan kesehatan dan penyakit akibat
kerja.Dampaknya bersifat kronis.jenis bahaya ksehatan antara lain :
a. Bahaya fisik, antara lain kebisingan, getaran, radiasi ion dan
non-pengion, suhu dan pencahayaan.
b. Bahaya kimia, antara lain dengan materian atau bahan seperti
antiseptik, aerosol, insektisida, dust, mist, fumes, gas, vapor.
c. Bahaya Ergonomi, antara lain repetitive movement, static posture,
manual handling dan postur jaggal.
d. Bahaya Biologi, antara lain yang berkaitan dengan makhluk hidup
yang berada di lingkungan kerja yaitu bakteri, virus, protozoa dan
fungi (jamur) yang bersifat pathogen.
e. Bahaya psikologi, antara lain beban kerja yang terlalu berat,
hubungan dan kondisi kerja yang tidak nyaman.
B. Risiko
Kata risiko dipercaya berasal dari bahasa arab yaitu “rizk” yang berarti
“hadiah yang tidak terduga dari surge”. Sedangkan kamus Webster

24
memberikan pengertian negative yaitu “kemungkinan kehilangan, luka,
kerugian atau kerusakan”. Dalam IEC/TC56 (AS/NZS 3931) Analisa Risiko
Sistem Teknologi, mengartikan risiko sebagai :kombinasi dari frekuensi,
atau probabilitas munculnya, konsekuensi dari suatu kejadian berbahaya
yang spesifik”. (cross, 1998)
Pengertian risiko menurut AS/NZS 4360:2004 adalah sebagai peluang
munculnya suatu kejadian yang dapat menimbulkan efek terhadap suatu
objek.Risiko diukur berdasarkan nilai likelihood (kemungkinan munculnya
sebuahperistiwa) dan Consecuence (dampak yang ditimbulkan oleh peristiwa
tersebut).Risiko yang dinilai secara kualitatif, semi-kuantitatif atau
kuantitatif. Formula umum yang digunakan untuk melakukan perhitungan
nilai risiko dalam AS/NZS 4360:2004 adalah :
Dalam buku Risk Assesment and Manajement Handbook: For
Environmental, Health and Safety Profesional, risik dibagi menjadi 5 (lima)
macam, antara lain :
1. Risiko Keselamatan (safety Risk)
Risiko ini secara umum memiliki cirri-ciri antara lain probabilitas
rendah (low probability), tingkat pemaparan yang tinggi (high-level
exposure), tingkat konsekuensi kecelakaan yang tinggi
((high-consequenceaccident), bersifat akut, dan menimbulkan efek
secara langsung. Tindakan pengendalian yang harus dilakukan dalam
respon tanggap darurat adalah dengan mengetahui penyebabnya secara
jelas dan lebih focus pada keselamatan manusia dan pencegahan
timbulnya kerugian terutama pada area tempat kerja.
2. Risiko Kesehatan (Health Risk)
Risiko ini memiliki cirri-ciri antara lain memiliki probabilitas yang
tinggi (High probability), tingkat pemajanan yang rendah (low level
exposure), konsekuensi yang rendah (low-consequence), memiliki masa

25
laten yang panjang (long-latency), delayed effect (efek tidak langsung
terlihat) dan bersifat kronik. Hubungan sebab akibatnya tidak mudah
ditentukan. Risiko ini focus pada kesehatan manusia terutama yang
berada di luar tempat kerja atau fasilitas.
3. Risiko Lingkungan dan Ekologi (Environmental and Ecological Risk)
Risiko ini memiliki ciri-ciri antara lain melibatkan interaksi yang
beragam antara populasi dan komunitas ekosistem pada tingkat mikro
maupun makro, ada ketidakpastian yang tinggi antara sebab dan akibat,
risiko ini focus pada habitat dan dampak ekosistem yang mungkin bisa
bermanifestasi jauh dari sumber risiko.
4. Risiko Kesejahteraan Masayarakat (public Welfare/Goodwill Risk)
Ciri dari risiko ini lebih berkaitan dengan persepsi kelompok atau
umum tentang performance sebuah organisasi atau produk, nilai
property, estetika dan penggunaan sumber daya yang terbatas.Fokusnya
pada nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat dan persepsinya.
5. Risiko Keuangan (Financial Risk)
Ciri-ciri dari risiko ini antara lain memiliki risiko yang jangka
panjang dan jangka pendek dari kerugian property, yang terkait dengan
perhitungan asuransi, pengembalian investasi. Fokusnya diarahkan pada
kemudahan pengoperasian dan aspek financial. Risiko ini pada
umumnya menjadi pertimbangan utama, khususnya bagi stakeholder
seperti para pemilik perusahaan/pemegang saham dalam setiap
pengambilan keputusan dan kebijakan organisasi, dimana setiap
pertimbangan akan selalu berkaitan dengan financial dan mengacu pada
tingkat efektifitas dan efisiensi.
C. Manajemen Risiko
Manajemen risiko merupakan bagian dari sebuah system manajemen,
merupakan tahap awal dari proses peningkatan secara berkelanjutan yang

26
diterapkan pada sebuah perusahaan atau organisasi. Manajemen risiko dapat
didefinisikan sebagai proses untuk menghilangkan atau meminimalkan efek
merugikan terhadap risiko yang dimiliki oleh sebuah sitem kerja (Djunaedi,
2005)
Manajemen risiko adalah metode yang tersusun secara logis dan
sistematis, banyak terdapat teknik yang digunakan dalam melakukan
manajemen risiko tergantung terhadap tipe risiko, namun sebagian besar
memiliki rangkaian kegiatan yang sama yaitu identifikasi bahaya, evaluasi
nilai risiko dan pengendalian. Proses ini dapat diterapkan pada semua
tingkatan kegiatan, jabatan, proyek, produk maupun asset. Manajemen risiko
dapat memberikan manfaat optimal jika diterapkan sejak awal
kegiatan.Walaupun demikian manajemen risiko dapat dilakukan pada tahap
pelaksanaan maupun operasional kegiatan. (Djunaedi, 2005)
Berdasarkan AS/NZS 4360:2004 terdapat beberapa keuntungan yang
akan diperoleh perusahaan jika menerapkan manajemen risiko, antara lain:
1. Fewer surprice. Pengendalian kejadian yang tidak diinginkan adalah
dengan cara identifikasi dan melakukan usaha untuk menurunkan
probabilitas dan mengurangi efek buruk. Meskipun kejadian tidak dapat
dihindari, namun perusahaan telah mampu menghadapi dengan
perencanaan dan persiapan.
2. Exploitation of opportunity. Sikap pencarian kemungkinan akan
meningkat jika seseorang memiliki kepercayaan diri akan pengetahuan
mereka tentang risiko dan memiliki kemampuan untuk
mengendalikannya.
3. Improved planning, performance and effectiveness. Akses terhadap
informasi strategis tentang organisasi, proses serta lingkungan membuka
kesempatan untuk muncul ide baru dan perencanaan yang lebih efektif.
Hal ini dapat meningkatkan kemampuan perusahaan dalam memperbesar

27
opportunity, mengurangi hasil negatif dan mencapai performa yang lebih
baik.
4. Economy and Efficiency. Keuntungan dalam hal ekonomi dan efisiensi
akan tercapai dengan lebih fokus pada sumber daya, perlindungan aset,
dan menghindari biaya kesalahan.
5. Improved Stakeholder Relationship. Manajemen risiko mendorong
komunikasi antara organisasi dengan stakeholder mengenai alasan
pengambilan suatu keputusan sehingga tercipta komunikasi dua arah.
6. Improved information for decision making. Manajemen risiko
menyediakan informasi dan analisis akurat sebagai penunjang
pengambilan keputusan dalam hal ini investasi dan merger.
7. Enchanced reputation. Investor, pemberi dana, supplier, dan pelanggan
akan lebih tertarik terhadap perusahaan yang telah dikenal melakukan
manajemen risikio dengan baik.
8. Director protection. Dengan manajemen risiko yang baik maka pekerja
akan lebih hati-hati dan waspada terhadap risiko, maka akan
menghindarkan dari masalah.
9. Accountability, assurance and governance. Keuntungan dan
kelangsungan yang diperoleh dengan melaksanakan dan
mendokumentasikan pendekataan yang dilaksanakan perusahaan.
10. Personal wellbeing. Manajemen risikio terhadap risiko pribadi secara
umum akan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan pribadi.

Komponen utama yang terdapat dalam manajemen risiko yang


dikeluarkan oleh AS/NZS 4360:2004 antara lain:
a. Komunikasi dan Konsultasi
Melakukan komunikasi dan konsultasi dengan pengambilan
keputusan internal maupun eksternal terkait dengan proses manajemen

28
risiko secara keseluruhan. Selain itu komunikasi dan konsultasi juga
dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil manajemen risiko yang telah
dilakukan untuk langkah pengembangan.
b. Penetapan Tujuan
Merupakan langkah awal dari aktivitas manajemen risiko, tujuannya
untuk menentukan parameter proses termasuk kriteria risiko yang akan
dilakukan penilaian. Hal-hal yang dilakukan meliputi menetapkan
strategi, kebijakan organisasi dan ruang lingkup manajemen risiko yang
akan dilaksanakan.
c. Indentifikasi Risiko
Mengidentifikasikan dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya risiko untuk analisa lebih
lanjut.
d. Analisis Risiko
Mengidentifikasikan dan mengevaluasi pengendalian yang sudah
ada. Menentukan tingkatan probabilitas dan konsekuensi yang akan
terjadi, kemudian menentukan tingkatan risiko yang ada.
e. Evaluasi Risiko
Membandingkan tingkat risiko yang ada dengan kriteria standar.Hal
ini memungkinkan untuk melakukan penentuan prioritas dalam
pengambilan keputusan pengendalian.
f. Pengendalian Risiko
Melakukan penuruan derajat probabilitas dan konsekuensi yang ada
dengan berbagai alternative metode pengendalian.
g. Monitor dan Review
Monitor dan review terhadap hasil sistem manajemen risiko yang
dilakukan serta mengidentifikasikan perubahan yang perlu dilakukan.
D. Identifikasi Risiko

29
Tujuan dari dilakukannya indentifikasi risiko adalah untuk
mengembangkan daftar komprehensif tentang sumber risiko dan kejadian
yang mengikutinya yang dapat menghambat pencapaian tujuan. Dalam
proses identifikasi risiko terdapat beberapa hal yang memiliki keterkaitan
dengan sebuah risiko, antara lain: sumber risiko, insiden, konsekuensi,
penyebab kejadian, pengendalian, waktu dan tempat.
Informasi yang baik dan berkualitas penting dalam indentifikasi risiko.
Titik awal identifikasi dapat diperoleh dari informasi masa lalu tentang
organisasi serupa, kemudian dilakukan diskusi dengan stakeholder mengenai
isu yang terkait saat ini. Sumber informasi yang dapat digunakan sebagai
dasar identifikasi risiko yaitu: pengalaman, saran para ahli, wawancara,
diskusi, laporan klaim asuransi, survei, kuisionr, checklist, dan incient
database.
Metode identifikasi merupakan teknik yang dikembangkan untuk
mengenal dan mengevaluasi berbagai bahaya yang terdapat dalam proses
kerja. Beberapa metode yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi
potensi bahaya dalam kegiatan industri adalah sebagai berikut:
1. What if/check list
Dalam metode ini setiap proses dipelajari melalui pendekatan
brainstorming untuk memformulasikan setiap pertanyaan meliputi
kejadian yang akan menimbulkan konsekuansi yang tidak diinginkan.
Masing-masing pertanyaan dibagi kedalam tahapan operasi, teknik,
pemeliharaan dan inspeksi.
Setiap pertanyaan tersebut mempertimbangkan skenario terjadinya
insiden, identifikasi konsekuensi, menggunakan penilaian kualitatid
untuk menentukan tingkat keparahan konsekuensi, kemungkinan dari
semua risiko yang ada dan membuat rekomendasi untuk mengurangi
bahaya. Metode what-if/checklist dapat digunakan untuk

30
mengidentifikasi bahaya potensial dari setiap tahapan proses. Metode ini
akan efektif bila dilakukan oleh tim yang berpengalaman untuk evaluasi
suatu proses.
2. HAZOPS
Hazard and Operability Study (HAZOPS) digunakan untuk
mengidentifikasikan permasalahan dari operasional proses yang dapat
mempengaruhi efisiensi produksi dan keselamatan. HAZOPS
merupakan metode identifikasi risiko yang berfokus pada analisis
terstruktur mengenai operasi yang berlangsung.
Tidak pernah terjadi
kecelakaan dalam
Conceivable tahun-tahun 0,5
pemaparan tetapi
mungkin terjadi
Practily Sangat tidak mungkin
0,1
Impossible terjadi
Risk = Consecuence x Exposure x Likelihood
Tabel Level/Prioritas resiko fine
Tingkat Resiko Coment Action
>350 Very high Penghentian aktifitas
hingga resiko dikurangi
mencapai batas yang
diterima
180 – 350 Priority 1 Perlu dilakukan
penanganan secepatnya
70 – 180 Substantional Mengharuskan ada
perbaikan secara teknis
20 – 70 Priority 3 Perlu diawasi dan

31
diperhatikan secara
berkesinambungan
<20 Acceptable Intensitas kegiatan yang
menimbulkan resiko
dikurangi seminimal
mungkin
(Sumber : Study Notes Prof. Jean Cross, 1998)

E. Herarki Pengendalian
Pengendalian adalah proses, peraturan, alat, pelakdanaan atau tindakan
yang berfungsi untuk meminimalisasi efek negatif atau meningkatkan
peluang positif (AS/NZS 4360:2004). Hierarki pengendalian merupakan
daftar pilihan pengendalian yang telah diurutkan sesuai dengan mekanisme
pengurangan paparan, dengan urutan sebagai berikut : (Tranter, 1999)
1. Eliminasi
Merupakan langkah awal dan merupakan solusi terbaik dalam
mengendalikan paparan, namun juga merupakan langkah yang paling
sulit untuk dilaksanakan. Kecil kemungkinan bagi sebuah perusahaan
untuk mengeliminasi substansi atau proses tanpa mengganggu
kelangsungan produksi secara keseluruhan. Sebagai contoh
penghilangan timbal secara perlahan pada produksi bahan bakar.
2. Substansi
Pada saat suatu sumber bahaya tidak dapat dihilangkan secara
keseluruhan, maka pilihan kedua sebagai pencegahan adalah dengan
mempertimbangkan alternatif proses atau material. Proses substitusi
umumnya membutuhkan banya trial and error untuk mengetahui apakah
teknik atau substansi alternatif dapat berfungsi sama efektif dengan yang
sebelumnya.

32
Penting unutk memastikan bahwa agen pengganti sudah diketaui
dan memiliki bahaya atau tingkat toksisitas yang lebih rendah.Sebagai
contoh penggunaan minyak daripada merkuri dalam barometer,
penyapuan dengan sistem basah pada debu timbal dibandingkan dengan
penyapuan kering.
3. Pengendalian Enginerring
Tipe pengendalian ini merupakan yang paling umum
digunakan.Karena mempunyai kemampuan unutk mengubah jalur
tranmisi bahaya atau mengisolasi pekerja dari bahaya. Tiga macam
alternative pengendalian enginering antara lain dengan isolas, guarding
dan ventilasi.
a. Isolasi, prinsip dari sistem ini adalah menghalangi pergerakan
bahaya dengan memberikan pembatas atau pemisah terhadap bahaya
maupun pekerja.
b. Guarding, prinsip dari sistem ini adalah mengurangi jarak atau
kesempatan kontak antara sumber bahaya dengan pekerja.
c. Ventilasi, cara ini paling efektif untuk mengurangi kontaminasi
udara, berfungsi unutk kenyamanan, kestabilan suhu dan
mengontrol kontamina,.
4. Pengendalian Administratif
Umumnya pengendalian ini merupakan salah satu pilihan terakhir,
karena pengendalian ini mengandalkan sikap dan kesadaran dari
pekerja.Pengendalian ini baik unutk jenis resiko yang rendah, sedangkan
untuk tipe resiko yang signifikan harus disertai dengan pengawasan dan
peringatan. Dengan kata lain sebelumnya harus dilakukan pengendalian
unutk mengurangi resiko bahaya serenfah mungkin. Unutk situasi
lingkungan kerja dengan tingkat paparan rendah/jarang, maka beberapa

33
pengendalian yang berfokus terhadap pekerja lebih tepat diberikan,
antara lain :
a. Rotasi dan penempatan pekerja, metde ini bertujuan untuk
mengurangi tingkat paparan yang diterima pekerja dengan membagi
waktu kerja dengan pekerja yang lain. Penempatan pekerja terkait
dengan masalah fitness-for-work dan kemampuan seseorang untuk
melakukan pekerjaan.
b. Pendidikan dan pelatihan, sebagai pendukung pekerja dalam rangka
melakuka pekerjaan secara aman. Dengan pengetahuan dan
pengertian terhadap bahaya pekerjaan, maka akan membantu
pekerjauntuk mengambil keputusan dalam menghadapi bahaya.
c. Penataan dan kebersihan tidak hanya meminimalkan insiden terkait
dengan keselamatan, melainkan juga mengurangi debu dan
kontaminan lain yang bisa menjadi jalur pemajan. Kebesihan pribadi
juga penting karena dapat mengarah kepada kontaminasi melalui
ingesti, maupun kontaminasi silang antara tempat kerja dan tempat
tinggal.
d. Perawatan secara berkala terhadap peralatan penting untuk
meminimalkan penurunan performance dan memperbaiki kerusakan
secara lebih dini.
e. Jadwal kerja, metode ini menggunakan prinsip wktu keraj,
pekerjaan dengan resiko tinggi dapat dilakukan saat jumlah pekerja
yang terpapar paling sedikit.
f. Memonitoring dan surveilan kesehatan, metode yang digunakan
untuk menilai resiko dan memonitor efektivitas pengnedalian yang
sudah dijalankan.
5. PPE (Personal Protective Equipment)

34
Merupakan cara terakhir yang dipilih dalam menghadapi bahaya.
Umumnya menggunakan alat seperti : respirator, sarung tangan, overall
dan apron, boots, kacamata, helm, alat pelindung pendengaran (ear plug,
earmuff) dll.
F. Kegiatan pengoperasionalan
Aktivitas dalam industri minyak dan gas bumi (MIGAS) terbagi menjadi
2 tahapan utama yaitu :
1. Tahap eksplorasi, merupakan kegitan yang dilakukan dalam rangka
mencari cadangan MIGAS.
Pada tahap eksploitasi, terutama pada proses pengeboran terdapat
beberapa tahapan pekerjaan, antara lain : (HSE Officer OJT, 2008)
a. Persipan lokasi pengeboran sumur antara lain :
1) Pembukaan jalur akses dan lokasi
2) Pembukaan kolam lumpur
3) Pembuatan cellar (pondasi rig)
4) Persiapan sumber air
b. Rig moving, yaitu proses pemindahan seluruh perlengkapan
pengeboran ke lokasi sumuryang akan di bor.
c. Rigging up, yaitu proses perakitan berabagai macam bagian
penyusun sebuah rig pengeboran.
d. Final check, pemeriksaan kesiapan semua sistem, yaitu hoising,
circulating, rotating, BOP dan peralatan penunjang lainnya.
e. Kick off meeting, rapat semua pihak yang terkait pada operasi untuk
mengetahui semua program pengeboran yaitu company man,
perwakilan drilling contractor dan semua perusahaan servis
penunjang.
f. Spud in, pembuatan lubang sumur awal untuk dipasang pipa
konduktor sebagai tempat dudukan BOP.

35
g. Drilling operation, proses pembuatan sumur.
h. Perforating and testing, pemasangn pipa untuk proses produksi.
i. Drilling completion, setelah sumur mencapai kedalaman yang
diinginkan maka sumur ditutup dengan memasang chrismas tre.
j. Rigging down, pembongkaran struktur rig untuk dipindahkan ke
lokasi sumur baru.
k. Demobilisation, proses pemindahan alat-alat dari lokasi sumur.

Seluruh kegiatan tersebut dilakukan oleh beberapa perusahaan yang


bekerja sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Perusahaan
kontraktor pengeboran bertanggung jawab terhadap proses
pembangunan rig dan pengeboran sumur, perusahan servis pendukung
bertugas menyediakan alat pendukung wellcompletion, casing dan
perforating, serta perusahaan yang berperan dalam tahap eksplorasi.
2. Tahap eksploitasi, merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
memproduksi cadangan MIGAS yang telah ditemukan. Dalam tahap
kedua tahapan di atas, kegiatan pengeboran hampir selalu dilakukan,
selain sebagai alat untuk membuktikan adanya cadangan MIGAS,
kegiatan pengeboran juga dilakukan pada masa eksploitasi untuk
memproduksi MIGAS.

G. Bahaya Khusus Pengeboran


Pada area dan kedalaman tertentu dalam industri pengeboran, jika tidak
dilakukan tindakan pencegahan yang tepat dan tidak dilaksanakan metode
pengendalian maka akan timbul dua buah kondisi yang dapat menimbulkan
sebuah bencana besar, yaitu timbulnya blowout dan muncul dan tersebarnya
gas H2S. (NIOSH, 1983).
1. Blowout

36
Blowout adalah keluarnya gas, minyak atau cairan formasi
secaratidak terkonrol dari dalam lubang sumur yang data memicu
terjadinya kebakaran, ledakan, kerusakan rig pegeboran, luka dan
kematian.
Blowout muncul jika tekanan cairan formasi di annulus melebihi
tekanan hidrostatik cairan sirkulasi, perbedaan tekanan yang besar
terjadi secara tiba-tiba karena metode kontrol yang diterapkan gagal atau
tidak berfungsi.Seleme operasi pengeboran, lumpur berfungsi sebagai
metode kontrol awal. Jika terjadi peningkatan jumlah lumpur di mud pit
maka itu sebagai tanda bahwa tekanan formasimelebihi tekanan cairan
sirkulasi. Pertanda awal disebut sebagai kick.Yang merupakan awal
mula sebelum terjadinya blowout.Jika terjadikick maka langkah yang
harus diambil oleh driller adalah menutup BOP, kemudian menambah
berat lumpur sehingga tekanan bias seimbang kembali.
Jika kejadian kick tidak disadari secara dini atau teknik
pengendalian tekanan yang dilaksanakan tidak mampu menanggulangi
maka akan timbul blowout. Blowout yang kemudian diikuti dengan
kebakaran dikategorikan sebagai major hazard karena dapat
mengakibatkn kerusakan peralatan dan kehilangan waktu, serta dapat
mengakibatkan pekerja terapar kondisi yang sangat berbahaya.
2. H2S
Gas Hydrogen Sulphide (H2S) merupakan gas tidak berwarna yang
sangat beracun. Gas ini dikategorikan hazard industry yang sangat
berbahaya karena dua alas an, yaitu: tidak bias mengendalikan
penciuman sebagai peringatan awal dan serangan kerusakan indera
secara tiba-tiba. Hydrogen disulfide telah diidentifikasi oleh NIOSH
sebagai penyebab utama kematian secara tiba-tiba ditempat kerja.

37
Jalur pemaparan utama H2S adalah melalui jalur pernapasan. Pada
konsentrasi rendah (0,02 ppm) H2S memiliki bau seperti telur busuk.
Pada konsentrasi >10 ppm, dapat menyebabkan iritasi mata, membrane
hidung, tenggorokan dan paru-paru.Pada konsentrasi 100-150 ppm H2S
dapat mematikan saraf penciuman (kerusakan saraf dapat lebih cepat
pada konsentrasi tinggi dan waktu terpapar yang lama). Pada konsentrasi
200 ppm dn terpapar selama 30 menit, akan mengakibatkan tertimbulnya
cairan di paru-paru (lung oedema). Pada konsentrasi diatas 500 ppm,
pemaparan dalam waktu singkat akan mengakibatkn kehilangan
keseimbangan dan kesadaran dalam waktu yang cepat tanpa ada
tandatanda dan gejala awal. Terpapar H2S pada 500 ppm dalam waktu
sebntar atau lama akan mengakibatkan kematian, karena nafas berhenti
akan menjadi beberapa saat kemudian. (Rudledge, 2009)
Batas standard paparan H2S untuk bekerja yang aman sudah dibuat
oleh ACGIH(American Counsel of Government Industrian Hygienist),
secara umum pekerja yang fit dapat bekerja dengan aman di udara yang
mengandung H2S tanpa ada efek fisiologis dengan parameter sbb :
a. Threshold limit value (TLV)
Orang biasa bekerja Selma 8 jam sehari dengan terpapar H2S
10 ppm (Time Weighted Average – TWA)
b. Short Term Explosure Limit (STEL)
Orang biasa bekerja dengan aman selama 15 menit dengan
terpapar H2S 15 ppm. Dalam shift normal diperbolehkan kontak
dengan H2S maksimal 4 kali, namun dengan jarak waku kontak
minilal 60 menit.

Gas H2S memiliki berat jenis lebih besar 1.2 kali dari udra, dan
pada konsentrasi yang lebih inggi akan terkumpul pada tempat/ilayah

38
yang lebih rendah. Jika bercampur diudara dengan konsentrasi antara
4,3% - 4,6% memiliki sifat yang eksplosif. Akan terbakar dengan nyala
biru dan menghasilkan gas yang tidak kalah beracun yaitu gas SO2.
Pada industry pengeboran kemungkinan tersebarnya gas H2S di
udara pertama kali adalah melalui shale shaker, kemudian melalui jalur
sirkulasi. Terdapat terdaat pula kemungkinan muncul gas H2S saat
proses memasukkan dan mengeluarkan pipa dari dalam sumur. (NIOSH.
1983)

2.6 Konsep APD


A. Pengertian Alat Pelindung Diri.
Alat Pelindung Diri (APD) merupakan kelengkapan yang wajib
digunakan saat bekerja sesuai bahaya dan risiko kerja untuk menjaga
keselamatan pekerja itu sendiri dan orang di sekelilingnya. Kewajiban itu
sudah disepakati oleh pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja
Republik Indonesia. Semua jenis APD harus digunakan sebagaimana
mestinya, gunakan pedoman yang benar-benar sesuai dengan standar
keselamatan kerja (K3L' Kesehatan, Keselamatan Kerja dan Lingkungan').
Hukum yang mendasari adalah :
1. Undang-undang No.1 tahun 1970.
a. Pasal 3 ayat (1) butir f: Dengan peraturan perundangan ditetapkan
syarat syarat untuk memberikan APD
b. Pasal 9 ayat (1) butir c: Pengurus diwajibkan menunjukkan dan
menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang APD.
c. Pasal 12 butir b: Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban
dan atau hak tenaga kerja untuk memakai APD.
d. Pasal 14 butir c: Pengurus diwajibkan menyediakan APD secara
cuma-cuma

39
2. Permenakertrans No.Per.01/MEN/1981
Pasal 4 ayat (3) menyebutkan kewajiban pengurus menyediakan alat
pelindung diri dan wajib bagi tenaga kerja untuk menggunakannya
untuk pencegahan penyakit akibat kerja.
3. Permenakertrans No.Per.03/MEN/1982
Pasal 2 butir I menyebutkan memberikan nasehat mengenai
perencanaan 4 dan pembuatan tempat kerja, pemilihan alat pelindung
diri yang diperlukan dan gizi serta penyelenggaraan makanan di tempat
kerja.
4. Permenakertrans No.Per.03/Men/1986
Pasal 2 ayat (2) menyebutkan tenaga kerja yang mengelola Pestisida
harus memakai alat-alat pelindung diri yg berupa pakaian kerja, sepatu
lars tinggi, sarung tangan, kacamata pelindung atau pelindung muka dan
pelindung pernafasan.
5. Intisari Permenaker No.08 thn 2010 ttg APD
6. Peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi republik indonesia
nomor per.08/men/vii/2010 tentang alat pelindung diri
Pasal 1 :
a. Alat Pelindung Diri selanjutnya disingkat APD adalah suatu alat
yangmempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang
fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi
bahaya di tempat kerja.
b. Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah tenaga teknis
berkeahlian khusus dari luar Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi yang ditunjuk oleh Menteri.
Pasal 2 :
a. Pengusaha wajib menyediakan APD bagi pekerja/buruh di tempat
kerja.

40
b. APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan
Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar yang berlaku.
c. APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh
pengusaha secara cuma-cuma.
Pasal 3 :
a. APD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:
a) Pelindung kepala;
b) Pelindung mata dan muka;
c) Pelindung telinga;
d) Pelindung pernapasan beserta perlengkapannya;
e) Pelindung tangan; dan/atau
f) Pelindung kaki.
b. Selain APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk APD:
a) Pakaian pelindung;
b) Alat pelindung jatuh perorangan; dan/atau
c) Pelampung.
c. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan atau Ahli Keselamatan dan
Kesehatan Kerja dapat mewajibkan penggunaan APD di tempat
kerja selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 5 :
Pengusaha atau Pengurus wajib mengumumkan secara tertulis dan
memasang rambu¬rambu mengenai kewajiban penggunaan APD di
tempat kerja.
Pasal 6 :
1. Pekerja/buruh dan orang lain yang memasuki tempat kerja wajib
memakai atau menggunakan APD sesuai dengan potensi bahaya dan
risiko.

41
2. Pekerja/buruh berhak menyatakan keberatan untuk melakukan
pekerjaan apabila APD yang disediakan tidak memenuhi ketentuan
danpersyaratan.
Pasal 7 :
1. Pengusaha atau Pengurus wajib melaksanakan manajemen APD
ditempat kerja.
2. Manajemen APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. Identifikasi kebutuhan dan syarat APD;
b. Pemilihan APD yang sesuai dengan jenis bahaya dan
kebutuhan/kenyamanan pekerja/buruh;
c. Pelatihan;
d. Penggunaan, perawatan, dan penyimpanan;
e. Penatalaksanaan pembuangan atau pemusnahan;
f. Pembinaan;
g. Inspeksi; dan
h. Evaluasi dan pelaporan.
Pasal 8 :
1. APD yang rusak, retak atau tidak dapat berfungsi dengan baik harus
dibuang dan atau dimusnahkan.
2. APD yang habis masa pakainya/kadaluarsa serta mengandung bahan
berbahaya, harus dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang
undangan.
3. Pemusnahan APD yang mengandung bahan berbahaya harus
dilengkapi dengan berita acara pemusnahan.

B. Kelebihan dan Kekurangan APD


Kekurangan :

42
1) Kemampuan perlindungan yang tak sempurna karena memakai APD
yang kurang tepat dan perawatannya yang tidak baik.
2) Fungsi dari ADP ini hanya untuk mengurangi akibat dari kondisi yang
berpotensi menimbulkan bahaya bukan untuk menyelamatkan nyawa.
3) Tidak menjamin pemakainya bebas kecelakaan karena hanya melindungi
bukan mencegah.
4) Cara pemakaian APD yang salah karena kurangnya pengetahuan tentang
penggunaan APD yang baik dan benar, APD tak memenuhi persyaratan
standar karena perawatannya tidak baik dan kualitasnya buruk.
5) APD yang sangat sensitive terhadap perubahan tertentu.
6) APD yang mempunyai masa kerja tertentu seperti kanister, filter
(digunakan untuk menahan frekuensi tertentu pada tahanan yang
berubahubahdan lain-lain) dan penyerap (cartridge).
7) APD dapat menularkan penyakit bila dipakai berganti-ganti.
Kelebihan :
1) Mengurangi resiko akibat kecelakan kerja yang terjadi baik
sengajamaupun tidak sengaja
2) Melindungi seluruh/sebagian tubuhnya pada kecelakaan
3) Sebagai usaha terakhir apabila sistem pengendalian teknik dan
administrasi tidak berfungsi dengan baik.
4) Memberikan perlindungan bagi tenaga kerja di tempat kerja agar
terlindungi dari bahaya kerja.

C. MACAM-MACAM ALAT PELINDUNG DIRI


1. Safety Helmet

43
Safety Helmet merupakan alat pelindung kepala yang melindungi
kepala dari benda-benda yang bisa mengenai kepala secara langsung.

2. Tali Keselamatan (safety belt)

Berfungsi sebagai alat pengaman ketika menggunakan alat


transportasi ataupun peralatan lain yang serupa (mobil, pesawat, alat
berat, dan lain-lain). Sehingga saat kita terjatuh, ada tali pengaman yang
menyangga tubuh kita.
3. Sepatu Karet (sepatu boot)

Berfugsi sebagai alat pengaman saat bekerja di tempat yang becek


ataupun berlumpur. Kebanyakan di lapisi dengan metal untuk

44
melindungi kaki dari benda tajam atau berat, benda panas, cairan kimia,
dsb.
4. Sepatu pelindung (safety shoes)

Seperti sepatu biasa, tapi dari bahan kulit dilapisi metal dengan
soldari karet tebal dan kuat. Berfungsi untuk mencegah kecelakaan fatal
yang menimpa kaki karena tertimpa benda tajam atau berat, benda panas,
cairan kimia, dsb.
5. Sarung Tangan

Berfungsi sebagai alat pelindung tangan pada saat bekerja di tempat


atau situasi yang dapat mengakibatkan cedera tangan.Bahan dan bentuk
sarung tangan di sesuaikan dengan fungsi masing-masing pekerjaan.
6. Tali Pengaman (Safety Harness)

45
Berfungsi sebagai pengaman saat bekerja di ketinggian. Diwajibkan
menggunakan alat ini di ketinggian lebih dari 1,8 meter. Berguna untuk
melindungi tubuh dari kemungkinan terjatuh, biasanya digunakan pada
pekerjaan konstruksi dan memanjat serta tempat tertutup atau boiler.
Harus dapat menahan beban sebesar 80 Kg. Jenis :
a. Penggantung unifilar
b. Penggantung berbentuk U
c. Gabungan penggantung unifilar dan bentuk U
d. Penunjang dada (chest harness)
e. Penunjang dada dan punggung (chest waist harness)
f. Penunjang seluruh tubuh (full body harness)
7. Penutup Telinga (Ear Plug / Ear Muff)

Berfungsi sebagai pelindung telinga pada saat bekerja di tempat


yang bising. Sumbat telinga yang baik adalah menahan frekuensi
tertentu saja, sedangkan frekuensi untuk bicara biasanya (komunikasi)
tak terganggu. Kelemahan: tidak tepat ukurannya dengan lobang telinga

46
pemakai kadang-kadang lobang telinga kanan tak sama dengan yang
kiri.
Bahan sumbat telinga : Karet, plastik keras, plastik yang lunak, lilin,
kapas yang disenangi adalah jenis karet dan plastic lunak,karena bisa
menyusaikan bentuk dengan lobang telinga. Daya atenuasi (daya
lindung) : 25-30 dB. Ada kebocoran dapat mengurangi atenuasi + 15 dB
dari lilin :
a. Bisa lilin murni
b. Dilapisi kertas
c. Kapas
Kelemahan:
a) Kurang nyaman
b) Lekas kotor.
c) Dari kapas: daya atenuasi paling kecil antara 2 – 12 dB.
Tutup Telinga Ada beberapa jenis:
Atenuasinya: pada frekuensi 2800–4000 Hz sampai 42 dB (35–45
dB), untuk frekuensi biasa 25-30 dB.
Untuk keadaan khusus dapat dikombinasikan antara tutup telinga
dan sumbat telinga sehingga dapat atenuasi yang lebih tinggi; tapi tak
lebih dari 50 dB, karena hantaran suara melalui tulang masih ada.
8. Kaca Mata Pengaman (Safety Glasses)

Berfungsi sebagai pelindung mata ketika bekerja (misalnyamengelas)


agar tidak terkena benda-benda.
Syarat optis tertentu

47
Lensa tidak boleh mempunyai efek distorsi/ efek prisma lebih dari
1/16 prisma dioptri; artinya perbedaan refraksi,harus lebih kecil dari
1/16 dioptri. Prinsipnya kacamata yang hanya tahan terhadap panjang
gelombang tertentu.
9. Masker (Respirator)

Berfungsi sebagai penyaring udara yang dihirup saat bekerja


ditempat dengan kualitas udara buruk (misal berdebu, beracun, dsb).
10. Pelindung wajah (Face Shield)

Berfungsi sebagai pelindung wajah dari percikan benda asing saat


bekerja (misal pekerjaan menggerinda).
11. Jas Hujan (Rain Coat)

48
Berfungsi melindungi dari percikan air saat bekerja (misal
bekerjapada waktu hujan atau sedang mencuci alat).

Kelayakan APD
a. Membeli dan memakai APD harus sesuai dengan kelayakn SNI atau
terjamin mutu dan kualitasnya.
b. APD akan berkembang dengan menstandarisasikan kemungkinan yang
ada dalam berbagai bidang.
c. APD harus sesuai dengan fungsi dan kegunaan tugas kita.
d. APD dapat menularkan penyakit bila dipakai bergantian,

D. Ketersediaan APD
Dalam UU No. 1 tahun 1970 pasal 14 butir c menyatakan
bahwa”pengurus (pengusaha) diwajibkan untuk menyediakan secara
cuma-cuma semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada pekerja yang
berada dibawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain
yangmemasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk
yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli-ahli
keselamatankerja.”
APD harus tersedia sesuai dengan risiko bahaya yang ada di tempat
kerja.Contohnya di pengelasan risiko bahaya yang ada seperti infrared dan
radiasi, maka APD yang harus digunakan adalah face shield dan goggles
untuk perlindungan mata dan wajah (Wentz, 1998).

Goggles face shield

49
Kenyamanan APD
APD adalah alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi
seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi pekerja dari
bahayadi tempat kerja.Karena itu adalah penting APD bisa digunakan oleh
pekerja secara nyamandan tidak menimbulkan bahaya baru (Imamkhasani,
1991).Banyak alasan pekerja enggan menggunakan APD salah satunya
adalahkarena faktor kenyamanan. Contohnya safety shoes yang terlalu
kebesaranatau kekecilan, tidak akan melindungi pekerja secara efektif namun
tidakmenutup kemungkinan untuk muncul kejadian baru karena memakai
safetyshoes yang tidak sesuai ukuran.Untuk memberikan perlindungan yang
baik maka pakaian harus pas dansesuai. APD biasanya didisain berdasarkan
rata-rata ukuran orang AmerikaUtara atau Eropa, dan akan menjadi masalah
jika digunakan oleh pekerjayang ukurannya berada diatas atau dibawah
ukuran tersebut (Rosskam,1996).

E. Cara Merawat APD yang Baik dan Benar


1. Meletakkan APD pada tempatnya setelah selesai digunakan,Letakkanlah
APD pada tempatnya setelah digunakan agar tetap terjagakelayakannya
dan supaya tetap awet, tahan lama untuk digunakan.
2. Melakukan pembersihan secara berkala,Bersihkan dan rawatlah APD
agar tetap terjaga kesterilannya karenapemakaian APD secara bergantian
dapat menyalurkan penyakit atauvirus-virus dari pekerja lain.
3. Memeriksa APD sebelum dipakai untuk mengetahui adanya kerusakan
atau tidak layak pakai, periksalah kelayakan APD sebelum digunakan
agar kita tahu apakah alat itu masih layak kita gunakan untuk bekerja
atau tidak. Memastikan APD yang digunakan aman untuk keselamatan
jika tidak sesuai maka perlu diganti dengan yang baru.

50
4. Pastikan peralatan APD yang akan kita gunakan aman untuk
keselamatan kita dan para pekerja lain agar tidak terkaji sesuatu yang
tidak diinginkan. Kalau memang saat kita memeriksa, APD tersebut
tidak layak untuk digunakan, maka segera gantilah dengan yang barudan
yang berkualitas baik.
5. Dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin yang menyangkut
carapenyimpanan, kebersihan serta kondisinya. Jagalah APD dengan
cara-cara yang sudah ditentukan. Mulai dari kebersihan, kondisi serta
kelayakan pakai.
6. Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan alat helm kerja yang
kualitasnya tidak sesuai persyaratan maka alat tersebut ditarik serta tidak
dibenarkan untuk dipergunakan saat kita melaksanakan pemeriksaan
kelayakan APD, periksalah dengan seksama. Apabila ada APD yang
tidak sesuai dengan standart, maka kembalikan dan jangan dipakai.
Secara spesifik sebagai berikut:
1. Helm Safety/ Helm Kerja (Hard hat)
Helm kerja dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin yang
menyangkut cara penyimpanan, kebersihan serta kondisinya oleh
manajemen lini.
Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan alat helm kerja yang
kualitasnya tidak sesuai persyaratan maka alat tersebut ditarik serta tidak
dibenarkan untuk dipergunakan (retak-retak, bolong atau tanpa system
suspensinya)
Topi Pengaman
Untuk penggunaan yang bersifat umum dan pengaman dari
teganganlistrik yang terbatas.
Tahan terhadap tegangan listrik tinggi.

51
a. Tanpa perlindungan terhadap tenaga listrik,biasanya terbuat dari
logam
b. Yang digunakan untuk pemadam kebakaran.
Pengujian Mekanik
a) Dengan menjatuhkan benda seberat 3 kg dari ketinggian 1m, topi
tidakboleh pecah atau benda tak boleh menyentuh kepala.
b) Jarak antara lapisan luar dan lapisan dalam dibagian puncak ; 4-5
cm.
c) Tidak menyerap air dengan direndam dalam air selama 24 jam.
Airyang diserap kurang 5% beratnya
d) Tahan terhadap api
Pengujian Daya Tahan Terhadap Api
a. Topi dibakar selama 10 detik dengan pembakar Bunsen atau
propan,dengan nyala api bergaris tengah 1 cm. Api harus padam
setelah 5detik.
Pengujian listrik:
a) Tahan terhadap listrik tegangan tinggi diuji dengan mengalirkan
arusbolak-balik 20.000 volt dengan frekuensi 60 Hz, selama
3menit,kebocoran arus harus lebih kecil dari 9 mA.
b) Tahan terhadap listrik tegangan rendah, diuji dengan mengalirkan
arusbolak-balik 2200 volt dengan frekuensi 60 Hz selama 1
menitkebocoran arus harus kurang dari 9mA
Manfaat Topi/Tudung:
Untuk melindungi kepala dari zat-zat kimia berbahaya dari Iklim
yang berubah-ubah, dari bahaya api dan lain sebagainya.Setiap
manajemen lini harus memiliki catatan jumlah karyawan yangmemiliki
helm kerja dan telah mengikuti training.
2. Kacamata Safety (Safety Glasses)

52
Kacamata safety dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin
yangmenyangkut cara penyimpanan, kebersihan serta kondisinya
olehmanajemen lini.Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan
kacamata safetyyang kualitasnya tidak sesuai persyaratan maka alat
tersebut ditarik sertatidak dibenarkan untuk dipergunakan.Penyimpanan
masker harus terjamin sehingga terhindar dari debu,kondisi yang ekstrim
(terlalu panas atau terlalu dingin), kelembaban ataukemungkinan
tercemar bahan-bahan kimia berbahaya.Setiap manajemen lini harus
memiliki catatan jumlah karyawan yangmemiliki kacamata safety dan
telah mengikuti training.
3. Sepatu Safety (Safety Shoes)
Alat pelindung kaki berfungsi untuk melindungi kaki dari tertimpa
atau berbenturan dengan benda-benda berat, tertusuk benda tajam,
terkena cairan panas atau dingin, uap panas, terpajan suhu yang ekstrim,
terkena bahan kimia berbahaya dan jasad renik, tergelincir. Jenis
pelindung kaki berupa sepatu keselamatan pada pekerjaan peleburan,
pengecoran logam, industri, kontruksi bangunan, pekerjaan yang
berpotensi bahaya peledakan, bahaya listrik, tempat kerja yang basah
atau licin, bahan kimia dan jasad renik, dan/atau bahaya binatang dan
lain-lain.
Sepatu safety dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin yang
menyangkut cara penyimpanan, kebersihan serta kondisinya oleh
manajemen ini. Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan sepatu
safety yang kualitasnya tidak sesuai persyaratan maka alat tersebut
ditarik serta tidak dibenarkan untuk dipergunakan. Setiap manajemen
lini harus memiliki catatan jumlah karyawan yang memiliki sepatu
safety dan telah mengikuti training.
4. Masker/ Perlindungan Pernafasan (Mask/ Respiratory Protection)

53
Pelindung pernafasan dijaga keadaannya dengan pemeriksaan
rutinyang menyangkut cara penyimpanan, kebersihan serta
kondisinya.Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan alat
pelindungpernafasan yang kualitasnya tidak sesuai persyaratan maka alat
tersebutditarik serta tidak dibenarkan untuk dipergunakan. Kondisi dan
kebersihanalat pelindung pernafasan menjadi tanggung jawab karyawan
yangbersangkutan, Kontrol terhadap kebersihan alat tersebut
akanselaludilakukan oleh managemen lini. Memberikan perlindungan
terhadapsumber-sumber bahaya seperti:
a. kekurangan oksigen
b. pencemaran oleh partikel (debu, kabut, asap dan uap logam)
c. pencemaran oleh gas atau uap
5. Sarung tangan
a. Sarung tangan dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin
yangmenyangkut cara penyimpanan, kebersihan serta kondisinya
olehmanajemen lini.
b. Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan sarung tanganyang
kualitasnya tidak sesuai persyaratan maka alat tersebut ditarik
sertatidak dibenarkan untuk dipergunakan.
c. Penyimpanan sarung tangan harus terjamin sehingga terhindar
daridebu, kondisi yang ekstrim (terlalu panas atau terlalu dingin),
kelembabanatau kemungkinan tercemar bahan-bahan kimia
berbahaya.

Ada beberapa metoda yang dapat dilakukan dalam


mengendalikanbahaya di tempat kerja untuk menurunkan tingkat
kecelakaan akibatkerja,yaitu:

54
a) Engineering control,yaitu dengan menambahkan berbagai
peralatandan mesin yang dapat mengurangi bahaya dari sumbernya.
Contohnya adalah penggunaan exhaust dan system ventilasi untuk
meminimalisir bahaya debu atau gas. Akan tetapi pengendalian
dengan system engineering control membutuhkan dana yang besar.
b) Administrative control,yaitu dengan membuat berbagai prosedur
kerjatermasuk kebijakan manajemen dalam implementasi K3.
Tujuannya adalah agar pekerja bekerja sesuai dengan instruksi yang
sudah ditetapkan sehinggan kecelakaan atau kesalahan kerja dapat
dihindari. Termasuk didalam adminstarsi control yaitu dengan
menyediakan alat pelindung diri (APD) atau personnel pertective
equipment (PPE) bagisetiap pekerja yang terpajan dengan bahaya di
tempat kerja.
c) Inherently Safer Alternative Method,dimana metoda inimemiliki
empat strategi pengendalian bahaya, yaitu:
1) Minimize; yaitu dengan cara meminimalkan tingkat bahaya
darisumbernya dengan cara mengurangi jumlah pemakaian atau
volumepenyimpanan dan proses.
2) Substitue; yaitu dengan cara mengganti bahan yang berbahaya
dengan yang kurang berbahaya. Contohnya hádala
menggunakan metodawaterbase sebagai pengganti solven base.
Water base lebih aman dan ramahlingkungan dibandingkan
solven base.
3) Moderate; Mengurangi bahaya dengan cara menurunkan
konsentrasi bahan kimia yang digunakan. Contohnya adalah
menggunakan bahan kimia dengan konsentrasi yang lebih
rendah sehingga tingkat bahaya pajanannya menjadi lebih
rendah.

55
4) Simplify; Mengurangi bahaya dengan cara membuat prosesnya
menjadi lebih sederhana sehingga lebih mudah di control.
Semua metoda pengendalian tersebut dapat dilakukan secara
bersamaan,karena tidak ada satu metodapun yang betul-betul bisa
menurunkan bahaya dan resiko sampai pada posisi nol,artinya para
pekerjamasih besar kemungkinanya terpajan terhadap bahaya ditempat kerja.
Untuk itu sebagai pertahanan dan perlindungan terakhir bagi pekerja adalah
dengan menggunakan APD.
Berdasarkan Undang-Undang RI No. 1 tahun 1970 bahwa pengurusatau
pimpinan tempat kerja berkewajiban menyediakan alat pelindung
diri(APD/PPE) untuk para pekerja dan para pekerja berkewajiban
memakaiAPD/PPE dengan tepat dan benar. Tujuan dari penerapan
Undang-Undangini adalah untuk melindungikesehatan pekerja tersebut dari
risiko bahaya ditempat kerja. Jenis APD/PPE yang diperlukan dalam
berbagai aktifitas kerja di industri sangat tergantung pada aktifitas yang
dilakukan dan jenis bahaya yang terpapar.
Kesadaran para pekerja akan penggunaan alat pelindung diri(APD)
dalam bekerja ternyata masih sangat rendah. Berdasarkan temuan dari survei
yang penulis lakukan sejak tahun 2004 sampai saat ini banyak sekali
ditemukan kesalahan dan kekurangan dalam menggunakan APD diberbagai
perusahaan baik lokal maupun yang berskala international (lihatgrafik).Ada
dua faktor utama yang melatar belakangi masalah ini yaitu rendahnya
tanggung jawab management terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja
dan rendahnya tingkat kesadaran para pekerja dalam menggunakan APD.
Manajemen sebagai wakil dari pemegang saham atau pemilik
perusahaan sepenuhnya bertanggung jawab atas keselamatan dan kesehatan
pekerja di tempat kerja dengan menyediakan tempat kerja yang aman dan
alat pelindung diri yang memadai. Namun pada kenyataannya manajemen

56
perusahaan masih menempatkan keselamatan dan kesehatan pekerja diurutan
bawah dari skala prioritas dari suatu program perusahaan teruta makalau
sudah berhubungan dengan anggaran keuangan. Sebagai dampak darihal
tersebut para pekerja hanya diberikan APD seadanya tanpa
mempertimbangkan tingkat bahaya di tempat kerja yang dihadapi setiap hari,
tidak mendapatkan pelatihan yang mencukupi mengenai keselamatan dan
kesehatan kerja di tempat kerja dan bahkan ada perusahaan yang secara
sengaja membodohi para pekerja dengan mengatakan pekerjaan yang mereka
lakukan tidak berdampak terhadap kesehatan pekerja atau tidak berbahaya.
Ada beberapa alasan klasik yang selalu dikemukakan oleh pihak manajemen
tehadap para pekerja dalam penyediaan APD yaitu:
a) Anggarannya terlalu besar keuangan perusahaan tidak mampu
mendanainya.
b) APD yang tersedia sudah mencukupi karena banyak perusahaan lainjuga
menggunakan APD yang sama, Meskipun sebenarnya APD tersebut
tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan.
c) Tingkat paparan masih dibawah nilai ambang batas (NAB).
d) Tidak di rekomendasikan oleh induk perusahaan.
e) Kondisi seperti ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan tidak ada
masalah.
Dalam berbagai survey yang dilakukan juga di temukan banyak
perusahaan yang sudah menyediakan APD yang sangat baik buat parapekerja,
bahkan ada beberapa perusahaan yang menyediakan APD secara berlebihan
atau over spec bagi para pekerja. Namun masalah yang dihadapioleh pihak
manajemen adalah rendahnya tingkat kesadaran para pekerjadalam
menggunakan APD secara benar selama bekerja. Banyak pekerjayang main
kucing-kucingan dengan supervisor atau manager dalam menggunakan APD.

57
Dalam beberapa diskusi dengan para pekerja dan berdasarkan observasi
penulis ditemukan beberapa alasan akan rendahnya kesadaran para pekerja
akan penggunaan APD, yaitu:
a. Ketidak nyamanan dalam penggunaan APD selama bekerja. Ini
merupakan alasan yang paling banyak dikemukakan oleh para pekerja.
Ketidak nyamanan disini diantaranya adalah panas, berat, berkeringat
atau lembab, sakit, pusing, sesak dan sebagainya.
b. Merasa bahwa pekerjaan tersebut tidak berbahaya atau berdampak pada
kesehatannya. Terutama bagi para pekerja yang sudah bertahun-tahun
melakukan pekerjaan tersebut.
c. Kesalah pahaman terhadap fungsi APD akibat kurangnya pengetahuan
akan fungsi dan kegunaan APD.
d. APD menggangu kelacaran dan kecepatan pekerjaan.
e. Susah menggunakan dan merawat APD.

Hal lain yang juga ditemukan dalam survey ini adalah penggunaanAPD
yang tidak tepat atau sesuai dengan paparan bahaya yang dihadapi. Hal ini
disebabkan kurangnya pengetahuan atau informasi tentang APD dan jenis
atau kondisi bahaya yang dihadapi. Banyak perusahaan yang menjual APD
tidak memberikan informasi atau training yang memadai tentang penggunaan,
fungsi, jenis, aplikasi, perawatan APD dan dampak kesehatan pengunaan
APD.
Apabila APD digunakan secara benar dan sesuai dengan spesifikasi yang
di tetapkan, maka tingkat kecelakaan dan sakit akibat kerja akan dapat
dikurangi. Penurunan tingkat kecelakaan dan sakit akibat kerja akan
meningkatkan produktivitas kerja sehingga perusahaan akan menjadi lebih
sehat. Untuk mencapai hal ini maka kondisi-kondisi berikut harus terpenuhi:

58
a. Adanya komitmen dari manajemen untuk melindungi pekerja, salah
satunya dengan menyediakan APD yang sesuai dengan standar.
b. Adanya kebijakan/prosedur/WI yang mengatur penggunaan APD bagi
pekerja.
c. Adanya training secara regular tentang tata cara pengenalanresiko,
pengendalian resiko dan penggunaan APD.
d. Adanya program komunikasi untuk meningkatkan awareness pekerja
dalam menggunakan APD seperti regular meeting, poster, stiker dan
singnage.
e. Pekerja mengetahui dengan baik bahaya-bahaya yang ada di
tempatkerja.
f. Pekerja mengetahui dengan baik dampak kesehatan dari pajanan
bahaya-bahaya tersebut.
g. Pekerja mengetahui dengan baik cara-cara pengendalian bahaya
tersebut.
h. Pekerja mendapatkan APD yang sesuai dengan pajanan bahaya yang
dihadapi.
i. Pekerja secara konsisten dan benar menggunakan APD pada saat
melakukan pekerjaan.
j. Pekerja memakai APD secara tepat dan benar selama bekerja.

2.7 Konsep Asuhan Keperawatan pada Tatanan Home Industry


A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah merupakan upaya pengumpulan data secara lengkap
dan sistematis terhadap masyarakat untuk dikaji dan dianalisis sehingga
masalah kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat baik individu, keluarga
atau kelompok yang menyangkut permasalahan pada fisiologis, psikologis,
sosial elkonomi, maupun spiritual dapat ditentukan. Dalam tahap pengkajian

59
ini terdapat 5 kegiatan, yaitu : pengumpulan data, pengolahan data, analisis
data, perumusan atau penentuan masalah kesehatan masyarakat dan prioritas
masalah (Mubarak, 2005).
Yang perlu dikaji pada kelompok atau komunitas adalah :
a. Core atau inti: data demografi kelompok atau komunitas yang terdiri:
umur, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, agama, nilai-nilai,
keyakinan serta riwayat timbulnya kelompok atau komunitas.
b. Delapan subsistem yang mempengaruhi komunitas (Betty Neuman) :
- Perumahan: Rumah yang dihuni oleh penduduk, penerangan,
sirkulasi dan kepadatan.
- Pendidikan: Apakah ada sarana pendidikan yang dapat digunakan
untuk meningkatkan pengetahuan.
- Keamanan dan keselamatan di lingkungan tempat tinggal: Apakah
tidak menimbulkan stress.
- Politik dan kebijakan pemerintah terkait dengan kesehatan: Apakah
cukup menunjang sehingga memudahkan komunitas mendapat
pelayanan di berbagai bidang termasuk kesehatan.
- Pelayanan kesehatan yang tersedia untuk melakukan deteksi dini
gangguan atau merawat atau memantau apabila gangguan sudah
terjadi.
- System komunikasi: Sarana komunikasi apa saja yang dapat
dimanfaatkan di komunitas tersebut untuk meningkatkan
pengetahuan terkait dengan gangguan nutrisi misalnya televisi,
radio, Koran atau leaflet yang diberikan kepada komunitas.
- Ekonomi: Tingkat sosial ekonomi komunitas secara keseluruhan
apakah sesuai dengan UMR (Upah Minimum Regional), dibawah
UMR atau diatas UMR sehingga upaya pelayanan kesehatan yang
diberikan dapat terjangkau, misalnya anjuran untuk konsumsi jenis

60
makanan sesuai status ekonomi tersebut.
- Rekreasi: Apakah tersedia sarananya, kapan saja dibuka, dan apakah
biayanya terjangkau oleh komunitas. Rekreasi ini hendaknya dapat
digunakan komunitas untuk mengurangi stress.
c. Status kesehatan komunitas
Status kesehatan komunitas dapat dilihat dari biostatistik dan vital
statistic, antara lain angka mortalitas, angka morbiditas, IMR, MMR,
serta cakupan imunisasi.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Setelah dilakukan pengkajian yang sesuai dengan data-data yang dicari,
maka kemudian dikelompokkan dan dianalisa seberapa besar stressor yang
mengancam masyarakat dan seberapa berat reaksi yang timbul pada
masyarakat tersebut. Berdasarkan hal tersebut diatas dapat disusun diagnose
keperawatan komunitas dimana terdiri dari: Masalah kesehatan, Karakteristik
populasi, karakteristik lingkungan.
C. PERENCANAAN KEPERAWATAN
Tahap ketiga dari proses keperawatan merupakan tindakan menetapkan
apa yang harus dilakukan untuk membantu sasaran dalam upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Langkah pertama dalam tahap
perencanaan adalah menetapkan tujuan dan sasaran kegiatan untuk
mengatasi masalah yang telah ditetapkan sesuai dengan diagnosis
keperawatan. Dalam menentukan tahap berikutnya yaitu rencana
pelaksanaan kegiatan maka ada dua faktor yang mempengaruhi dan
dipertimbangkan dalam menyusun rencana tersebut yaitu sifat masalah dan
sumber/potensi masyarakat seperti dana, sarana, tenaga yang tersedia.
D. PELAKSANAAN
Perawat bertanggung jawab untuk melaksanakan tindakan yang telah
direncanakan.

61
Pada kegiatan praktik keperawatan komunitas berfokus pada tingkat
pencegahan, yaitu :
a. Pencegahan primer yaitu pencegahan sebelum sakit dan difokuskan pada
populasi sehat, mencakup pada kegiatan kesehatan secara umum serta
perlindungan khusus terhadap penyakit, contoh: imunisasi, penyuluhan
gizi, simulasi dan bimbingan dini dalam kesehatan keluarga.
b. Pencegahan sekunder yaitu kegiatan yang dilakukan pada saat terjadinya
perubahan derajat kesehatan masyarakat clan ditemukan masalah
kesehatan. Pencegahan sekunder ini menekankan pada diagnosa dini dan
tindakan untuk mnghambat proses penyakit, Contoh: Mengkaji
keter¬belakangan tumbuh kembang anak, memotivasi keluarga untuk
melakukan penieriksaan kesehatan seperti mata, gigi, telinga, dll.
c. Pencegahan tertier yaitu kegiatan yang menekankan pengembalian
individu pada tingkat berfungsinya secara optimal dari ketidakmampuan
keluarga,
E. EVALUASI
Evaluasi merupakan penilaian terhadap program yang telah dilaksanakan
dibandingkan dengan tujuan semula dan dijadikan dasar untuk memodifikasi
rencana berikutnya. Evaluasi proses dan evaluasi hasil. Sedangkan fokus dari
evaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan komunitas adalah :
a. Relevansi atau hubungan antara kenyataan yang ada dengan target
pelaksanaan
b. Perkembangan atau kemajuan proses: kesesuaian dengan perencanaan,
peran staf atau pelaksana tindakan, fasilitas dan jumlah peserta.
c. Efisiensi biaya. Bagaimanakah pencarian sumber dana dan
penggunaannya serta keuntungan program.
d. Efektifitas kerja. Apakah tujuan tercapai dan apakah klien atau
masyarakat puas terhadap tindakan yang dilaksanakan.

62
e. Dampak. Apakah status kesehatan meningkat setelah dilaksanakan
tindakan, apa perubahan yang terjadi dalam 6 bulan atau 1 tahun.

63
BAB III
KASUS

3.1 Kasus
KASUS 3
(Asuhan Keperawatan pada Home Industry)
Perawat B, adalah perawat komunitas yang bertanggung jawab program
kesehatan kerja di wilayah kerja Puskesmasnya. Setelah diberikan izin, perawat
B melakukan pengkajian pada home industry milik bapak C yang bergerak di
bidang mebel kayu jati. Perawat B ingin melihat potensial hazard yang ada pada
home industry milik bapak C. Home industry Bapak C memiliki 5 karyawan.
Pekerjaan dari 5 karyawan ini terdiri dari memotong kayu, melakukan amplas,
melakukan varnish, melakukan cat pada body mebel. Saat dilakukan pengkajian,
5 karyawan Bapak C semuanya aktif merokok, saat bekerja tidak ada yang
memakai APD. Salah satu dari 5 orang karyawan mengeluhkan low back pain
karena tidak ergonomic dalam menjalankan pekerjaannya. Dari hasil observasi 5
karyawan tersebut, ada riwayat batuk. Setelah ditanyakan lebih lanjut, batuk
terasa saat pertama mulai kerja di home industry milik bapak C. menurut bapak C,
belum ada dari PUSkesmas yang memeriksa karyawan.

3.2 Asuhan Keperawatan

64
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan /kedokteran
beserta prakteknya yang bertujuan, agar pekerja /masyarakat pekerja memperoleh
derajat kesehatan setinggitingginya, baik fisik, mental maupun sosial, dengan
usaha-usaha preventif dan kuratif, terhadap penyakit-penyakit atau
gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan
lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum.
Model dalam kesehatan kerja yaitu : Plan (Perencanaan), Do (Pelaksanaan),
Check (Pemeriksaan), dan Act (Tindakan). banyak kecelkaan dan penyakit yang
dapat disebabkan oleh kerja., selama bekerja kita banyak menghadapi bahaya.
Dimana bahaya diartikan sebagai potensi dari rangkaian sebuah kejadian untuk
muncul dan menimbulkan kerusakan atau kerugian, namun bahaya hanya akan
menimbulkan efek jika terjadi sebuah kontak atau eksposur. Untuk menghindari
bahaya yang terjadi maka dari itu kita perlu memakai alat perlindungan diri untuk
melindungi diri kita dari bahaya serta penyakit yang dapat menyerang kita di
tempat bekerja.

74
DAFTAR PUSTAKA

Buqhari. 2007. Manajement Kesehatan Kerja & Alat Pelindung Diri. USU

REPOSITORI.

Harington. 2005. Buku saku Kesehatan Kerja. Jakarta: EGC

Oklahoma University State, http://www.pp.okstate.edu/eh

Zahtamal, dkk. 2015. Model Promosi Kesehatan di Tempat Kerja Multilevel:

Bagaimana Implementasinya dalam Mengubah Perilaku Pekerja? (Suatu Kajian

Kepustakaan). Jurnal Kesehatan Komunitas, Vol. 2, No. 6, Mei 2015

Anda mungkin juga menyukai